31 Juli 2008

Unifikasi Armada RI

All hands,
Dalam masa damai, krisis, konflik dan perang, di antara prinsip yang harus tetap dipegang teguh oleh militer adalah unity of command. Bagi militer, unity of command adalah satu dari sembilan prinsip perang. Seperti dinyatakan dalam Naval Doctrine Publication-1 (NDP-1), unity of command is to ensure unity of effort for every objective under one responsible commander. Tanpa unity of command, ends tidak akan tercapai walaupun means-nya tersedia dan mencukupi.
Dikaitkan dengan AL kita, menurut saya kita harus terus memperjuangkan unifikasi Armada RI. Ide yang pernah digulirkan di era beberapa Kasal itu perlu diteruskan, dengan alasan yang jelas dan masuk akal. Jangan kita ulangi kesalahan pakai alasan agar flag officers berbintang tiga bertambah satu, sehingga nantinya banyak kandidat untuk jabatan Kasal. Itu alasan yang justru kontraproduktif buat kita, karena seolah-olah unifikasi Armada RI tujuannya cuma untuk menambah flag officers.
Kalau kita melihat ke negara-negara lain, mereka hanya punya satu armada. Di Amerika Serikat namanya U.S. Fleet Command. U.S Fleet Command membawahi dua armada kawasan, U.S. Atlantic Fleet dan U.S Pacific Fleet. U.S. Atlantic Fleet dan U.S. Pacific Fleet membawahi lagi Armada Bernomor. U.S Pacific Fleet misalnya membawahi U.S. 7th Fleet dan U.S. 3rd Fleet.
Nah…di Indonesia juga sebelum reorganisasi ABRI 1984 kita juga hanya mempunyai satu Armada RI. Baru setelah reorganisasi ABRI dibagi ke dalam dua armada, yaitu Armada RI Kawasan Barat dan Armada RI Kawasan Timur. Posisi keduanya sama, meskipun dalam realita Armada RI Kawasan Timur primus inter pares. Primus inter pares itu kalau terjemahan bahasa Inggris-nya first among peers.
Primus inter pares-nya Armada RI Kawasan Timur bisa dilihat dari kapal perang yang dimiliki, dukungan logistik dan lain sebagainya. Bahkan hingga sebelum reformasi 1998, Kasal dipastikan selalu berasal dari Armada Timur, biasanya jadi Pangarmatim dulu. Itu beberapa contoh betapa Armada Timur primus inter pares.
Sudah saatnya struktur Armada RI disesuaikan dengan yang umum berlaku di negara-negara lain. Artinya, Armada RI akan membawahi dua armada kawasan, yaitu Armada RI Kawasan Barat dan Armada RI Kawasan Timur. Armada membawahi armada itu logika yang benar dan normal di AL, jadi jangan dibandingkan dengan di AD darat.
Waktu dulu gagasan Armada RI membawahi armada kawasan ditolak oleh Mabes TNI, itu karena para petinggi Mabes TNI kebanyakan berasal dari AD dan memakai logika darat untuk bicara maritim. Yah mana akan pernah ketemu, karena tujuan perang di darat dengan di laut saja beda.
Selama ini dengan dua armada, statusnya adalah Kotama Binops. Artinya sang Pangarma selain bertanggungjawab atas masalah operasi (setelah menerima pendelegasian kewenangan dari Panglima TNI), juga bertanggungjawab atas masalah pembinaan. Pembinaan itu mencakup personel dan material. Jadi Pangarma juga harus pikirkan bagaimana kesiapan operasi unsur-unsur yang ada di bawahnya.
Kalau ada unifikasi armada, maka urusan operasi dan pembinaan adanya di Panglima Armada RI. Sedangkan Pangarma Kawasan hanya urus operasi, dia tahunya cuma terima unsur dan operasikan. Atau kalau memang mau membebaskan Panglima Armada RI dari tanggungjawab pembinaan, khususnya siapkan unsur kapal, maka Komando Pemeliharaan Material AL perlu diaktivasi lagi.
Itu akan sama dengan di AU. Di AU, pemeliharaan unsur pesawat tempur, rudal dan radar merupakan tanggungjawab Koharmatau. Koopsau dan Kohanudnas cuma tanggungjawab mengoperasikan unsur. Koopsau dan Kohanudnas tahunya terima unsur siap operasi. Lebih ringkas kan, jadi Panglima kedua Kotama bebannya nggak seberat Pangarma di AL selama ini.

Kesebandingan Ends Dengan Means

All hands,
Strategi mempunyai elemen yaitu ends, means dan ways. Sejarah perang telah mengajarkan kepada kita bahwa ketidaksebandingan (mismatch) antara ends dengan means akan menimbulkan fatalitas. Itu hal yang harus dipahami oleh kita yang mendalami dan bergerak di domain strategy and policy di dunia militer
Kegagalan Deutsche Afrika Korps (DAK)-nya Field Marshall Erwin Rommel disebabkan oleh ketidaksebandingan itu. Bahkan kegagalan Jerman dalam Perang Dunia Kedua secara keseluruhan juga karena itu. Kekalahan Jepang di Pasifik juga karena ada ketidaksebandingan antara ends dengan means. Kegagalan Jenderal William C. Westmoreland, Jenderal Craighton Abrams dengan U.S. MACV (U.S. Military Assistance Command, Vietnam) di Vietnam juga begitu.
Pertanyaan, bagaimana dengan AL kita? Apakah sudah tercapai keseimbangan antara ends dengan means. Kalau ends-nya adalah mengamankan kepentingan nasional yang berada di domain maritim, maka means-nya harus mendukung tercapainya ends.
Soal means kita sudah sangat paham bagaimana kondisi dan kemampuan sensing, mobility, firepower dan C3I AL kita. Karena kita paham itu maka kita nggak lelah berjuang agar AL mendapat perhatian benar-benar dari pemerintah. Bukan sekedar kalimat klise, standar dan normatif yang kita inginkan dari pemerintah, tapi aksi lanjutnya.
Krisis, konflik dan perang bukan sesuatu yang dapat diprediksi dengan mudah kapan akan muncul, meskipun gejala-gejalanya bisa kita baca. Untuk membangun kekuatan itu kan harus pada masa damai, bukan pada masa konflik, krisis apalagi perang.
Nah…diktum kesebandingan antara ends dan means ini harus dipahami oleh pihak-pihak di luar AL. Sayangnya yang paham, mengerti soal strategy and policy di negeri ini masih didominasi oleh para perencana militer. Sementara para perencana sipil di Departemen Keuangan dan Bappenas belum mengerti soal itu. Padahal mereka turut menentukan pembangunan kekuatan AL.
Hirarkinya kan AL mengajukan kebutuhan ke Mabes TNI untuk diteruskan ke Departemen Pertahanan. Departemen Pertahanan lanjutkan ke Departemen Keuangan dan Bappenas. Penentuan anggarannya kan di sana.
Belum lagi harus ke DPR, karena DPR juga punya suara soal anggaran. Kalau DPR kan urusannya dengan uang dan “baju putih”. Substansinya adalah dibutuhkan pemahaman nasional soal keseimbangan antara ends dengan means.

29 Juli 2008

Perlucutan Senjata Angkatan Laut

All hands,
Hasil pertemuan ASEAN Regional Forum 24 Juli 2008 di Singapura harus kita cermati, karena ketiga domain kerjasama yang disepakati mempunyai kaitan langsung dengan Angkatan Laut. Sidang ARF menghasilkan tiga agenda kesepakatan yaitu keamanan maritim, disarmament dan terorisme. Ketiganya jelas punya kaitan langsung dengan AL kita.
Kalau soal keamanan maritim dan terorisme kita sudah sangat paham apa dan bagaimana kaitannya dengan Angkatan Laut. Yang lebih seru dan wajib kita pahami pula adalah soal disarmament. Bahaya itu kalau sudah masuk agenda ARF.
Sadar atau nggak, kita sedang terus jalani naval disarmament. Bentuk nyatanya adalah embargo kepada Angkatan Laut. Contoh, AL kita mau beli rudal Exocet MM-40 dari Prancis (hidup lichting 40…), Washington protes sama Eropa selaku produsen. Alasannya, di rudal keluaran MBDA itu ada komponen buatan Amerika Serikat, sementara Amerika Serikat sendiri masih mengembargo senjata kepada Indonesia.
Betul bahwa sejak November 2005 Menteri Luar Negeri Condolezza Rice gunakan waiver untuk pulihkan kerjasama pertahanan dengan Indonesia. Tetapi dalam kenyataannya, masih saja ada jenis senjata yang perlu otorisasi dari Washington untuk dijual kepada Jakarta. Nggak heran bila sekarang kita mulai berpaling ke Cina dan Rusia untuk beli rudal anti kapal atas air.
Tujuan dari naval disarmament adalah memperlemah kemampuan AL dalam melaksanakan perannya. Masalahnya adalah sebagian dari bangsa Indonesia nggak sadar soal itu. Bayangkan, dua diplomat terkemuka Indonesia yaitu Ali Alatas dan Ambassador Arizal Effendi pernah jadi ketua pertemuan disarmament PBB, yang salah satu topiknya adalah naval disarmament. Celaka itu!!!
Dengan masuknya isu disarmament ke dalam agenda ARF, lalu apa yang bisa kita perbuat? Indonesia harus tekankan bahwa stabilitas keamanan kawasan ditentukan pula oleh kinerja AL Indonesia. Oleh karena itu, merupakan suatu tindakan yang kontraproduktif apabila sebagian negara-negara produsen senjata melanjutkan program naval disarmament terhadap Indonesia.
Itu pesan yang harus kita sampaikan di ARF. Kalau AL kita terus kena naval disarmament, sudah pasti akan berimplikasi terhadap keamanan maritim di Asia Tenggara. Karena kemampuan kita untuk amankan perairan yurisdiksi mengalami penurunan. Masuknya kekuatan ekstra kawasan untuk amankan perairan yurisdiksi Indonesia merupakan tindakan kontraproduktif pula, karena akan memancing pihak ketiga untuk menjadi AL ekstra kawasan itu sebagai sasaran.
Kita harus pintar hadapi isu naval disarmament itu. Gimana kita bisa wujudkan AL yang mampu amankan kepentingan nasional, mempunyai deterrence dan menjamin stabilitas kawasan kalau AL kita dikebiri oleh produsen senjata? Nggak usah mimpi kita akan mandiri dalam hal alutsista AL dalam 30 tahun ke depan. Daripada sibuk dengan urusan mandiri, lebih baik bereskan urusan yang ada di depan mata kita yaitu naval disarmament.

28 Juli 2008

Focused Logistics

All hands,
Dalam transformasi pertahanan di Amerika Serikat, pada tingkat strategis operasional turunannya berupa dominant maneuver, precision engagement, focused logistics and full dimensional protections. Di sini saya akan bahas mengenai focused logistics.
Sudah menjadi jargon yang kita hafal di luar kepala bahwa logistik tidak memenangkan peperangan, namun perang tidak dapat dimenangkan tanpa dukungan logistik. Berangkat dari jargon itu pula mengapa banyak militer yang memberikan perhatian terhadap logistik, meskipun seringkali personel logistik dipandang sebelah mata dibandingkan dengan personel operasi.
Menurut definisi yang dikembangkan oleh militer om Sam, focused logistics is the ability to provide the joint force the right personnel, equipment, supplies, and support in the right place, at the right time, and in the right quantities, across the full range of military operations.
Urusan logistik memang urusan yang rumit, meskipun personelnya sering diremehkan. Apalagi bagi Angkatan Laut yang beroperasi jauh dari pangkalan induk, jaminan logistiknya nggak bisa ditawar-tawar. Bila sebagian Angkatan Laut masih mengikutkan kapal logistik dalam konvoinya, saat ini ada pula Angkatan Laut yang mengembangkan sea-based logistic melalui prepositioned ship. Jadi antara kapal logistik dengan konvoi gugus tugas akan RV di koordinat yang telah ditentukan untuk melaksanakan RAS (replenishment at sea).
Logistik Angkatan Laut secara garis besar bisa dibagi ke dalam logistik basah, cair dan kering. Yang dimaksud logistik di sini bukan saja makanan dan minuman, tapi juga bahan bakar, minyak pelumas, air tawar, munisi berbagai kaliber, bahkan suku cadang kapal perang sendiri.
Kalau kita tarik masalah logistik ke dalam AL kita, kita sama-sama paham ada banyak masalah. Untuk logistik basah dan cair kita nggak banyak masalah. Makanan, minuman, bahan bakar dan minyak pelumas relatif gampang mengaksesnya di pasaran, yang penting ada dukungan anggarannya. Ha..ha..ha..
Yang jadi masalah itu suku cadang kapal dan munisi, terkadang stok kita nggak banyak karena pembeliannya dibatasi oleh negara produsen. Jadi urusan logistik AL itu mempunyai benang merah dengan produsen senjata. Belum lagi ketidakberesan dalam perencanaan pengadaan, khususnya untuk suku cadang kapal.
Belum lagi sebagian besar Lantamal dan Lanal belum mampu dukung logistik AL sepenuhnya. Entah itu dermaganya nggak bisa disandari kapal perang berbagai jenis, nggak ada depo bahan bakar, dermaganya dangkal dan lain sebagainya. Itu antara lain karena pembentukan sebagai Lanal kita bukan untuk dukung operasi kapal perang, tapi lebih untuk kepentingan keamanan laut.
Singkatnya, pekerjaan rumah kita di bidang logistik banyak sekali. Kita harus focused logistics bila ingin mencapai misi di laut. Tantangan makin besar ketika harga BBM masih tinggi, sehingga defisit BBM bagi kepentingan operasi makin besar.

Diplomasi Angkatan Laut

All hands,
Peran diplomasi AL merupakan satu dari tiga peran AL secara universal. Dalam perkembangannya, ada istilah naval diplomacy, ada pula istilah gunboat diplomacy. Banyak menjadi pertanyaan, apa beda kedua?
Naval diplomacy dengan gunboat diplomacy itu pada dasarnya sama saja, cuma cara pendekatannya beda. Kalau naval diplomacy, itu caranya masih persuasif. Sedangkan gunboat diplomacy itu sudah koersif, memaksa. Itu kesimpulan yang saya tarik setelah pelajari literatur-literatur soal diplomasi AL.
Menurut Sir James Cable, gunboat diplomacy adalah the use or threat of limited naval forces, otherwise than as an act of war, in order to secure advantage, or to avert loss, either in the furtherance of an international dispute or else against foreign nationals within the territory or the jurisdiction of their own state. Definisi ini mencakup seluruh spektrum kegiatan AL, seperti manuver kapal perang, kunjungan dan latihan. Tidak tercakup dalam definisi itu apabila dalam manuver kapal perang tersebut tak ada pihak yang menganggapnya sebagai ancaman, karena unsur yang ingin dicapai dari gunboat diplomacy adalah coercion yang diharapkan akan mempengaruhi cara bertindak pihak yang menjadi “korban” diplomasi kapal perang.
Secara singkat, gunboat diplomacy adalah upaya untuk mendemonstrasikan keinginan politik (political will) dari negara pelaku diplomasi itu. Keinginan politik tersebut didemonstrasikan dengan tingkat komitmen yang terukur bukan saja dalam hal jumlah, namun juga nilai pesan politik dari aset kapal perang yang dikerahkan dan digunakan. Sebagai ilustrasi, nilai dari gunboat diplomacy yang menggunakan kapal patroli akan berbeda bila dibandingkan dengan menggunakan kapal fregat atau kapal penjelajah.
Timbul pertanyaan yaitu mengapa AL terpilih menjadi aktor diplomasi sehingga diplomasi menjadi satu dari tiga fungsi AL secara universal menurut Ken Booth? Menurut Fleet Admiral of the Soviet Union Sergey G. Gorshkov, the navy, as a constituent part of the armed forces of the state, has a further distinctive feature, namely the ability to demonstrate graphically the real fighting power of one’s state in the international arena. Thus, the fleet has always been an instrument of the policy of states, an important aid to diplomacy in peacetime. To this corresponded the very nature of a navy, the properties peculiar to it, namely, constant high combat readiness, mobility and ability in a short time to concentrate its forces in selected areas of the ocean.
Dengan kemampuan proyeksi kekuatan, kapal perang dapat poise atau hover di luar perairan yurisdiksi nasional negara lain untuk memberikan pesan kepada negara sasaran diplomasi. Poise atau hover merupakan bagian dari naval presence karena tanpa naval presence berarti kekuatan laut tak memiliki peran untuk dilaksanakan segera. Menurut Jeremy Stocker, naval presence permits intervention but is not self interventionary.
Kemampuan kekuatan laut untuk “berdiam” di perairan internasional untuk periode waktu yang panjang memberikan kesempatan bagi kekuatan itu untuk hadir tanpa membuat komitmen, yang dalam British Maritime Doctrine BR 1806 dikenal sebagai poise. Unsur kekuatan laut yang poise dapat bertindak sebagai kekuatan untuk deterrence ataupun active coercion. Kemampuan unik ini sangat berguna di dalam lingkungan strategis yang dinamis dan tidak pasti saat ini, karena poise mengekspoitasi mobilitas, kelincahan, pencapaian berkelanjutan dan daya angkat (lift capacity).
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa gunboat diplomacy akan dinyatakan berhasil mencapai maksud yang dikehendaki apabila berhasil menimbulkan unsur coercion, di mana menurut Geoffrey Till coercion dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu deterrence dan compellence.
Pentingnya fungsi kapal perang dalam diplomasi telah ditekankan oleh para ahli strategi maritim seperti Sir Julian Corbett, Sir Herbert Richmond, S.G Gorshkov dan Alfred Thayer Mahan yang menekankan strategi maritim dan penggunaan kekuatan AL harus sesuai dengan strategi nasional keseluruhan dan tujuan-tujuan politik negara yang diharapkan dicapai oleh para pemimpin negara.
Sehingga Corbett dengan yakin menyatakan the first function of of the fleet was to support or obstruct diplomatic effort. Adapun Laksamana Horatio Nelson bilang I hate your pen-and-ink men; a fleet of British ship of war ar the best negotiator in Europe. Seolah mendukung pernyataan Nelson, John Stuart Mill, seorang tokoh Inggris sampai bilang our diplomacy stands for nothing when we have not a fleet to back it.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah ucapan para diplomat karir didengar dan dituruti orang lain tanpa eksistensi AL?

Proyeksi Kekuatan Vs Strategi Anti Akses

All hands,
Terdapat beberapa skenario kompetisi militer, dalam hal ini antar Angkatan Laut dan kekuatan maritim, di masa kini dan masa depan yang dikembangkan oleh Amerika Serikat. Salah satunya adalah proyeksi kekuatan vs strategi anti akses. Skenario ini memang menarik untuk dikaji, karena tingkat kebenarannya di atas 95 persen.
Sebagai kekuatan global, U.S. Navy akan diproyeksikan ke seluruh dunia guna mengamankan kepentingan nasional Amerika Serikat. Negara-negara yang berseberangan dengan Amerika Serikat sadar bahwa Angkatan Laut mereka nggak akan mampu tandingi U.S. Navy secara simetris. Oleh sebab itu, dikembangkanlah strategi peperangan asimetris, salah satunya adalah strategi anti akses.
Memperhatikan kecenderungan yang berkembang saat ini, Cina, Iran dan Venezuela adalah negeri-negeri yang tengah kembangkan strategi anti akses. Kalau Cina dan Iran, nggak aneh buat kita. Venezuela baru mengembangkan, di mana dia rencana beli beberapa kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Presiden Hugo Chavez kan musuhnya Amerika Serikat, meskipun dia tetap jual minyaknya ke Washington.
Aktivasi kembali Armada Keempat Amerika Serikat yang area of responsibility-nya di Atlantik Selatan pada awal Juli 2008 makin menguatkan rencana Venezuela untuk strategi anti akses. Kita sama-sama tahu bahwa kapal selam kelas Kilo merupakan kapal selam yang paling senyap di kelas diesel elektrik dan mampu dipersenjatai dengan rudal anti kapal. Dengan kemampuannya, saya nggak ragu Kilo mampu memberikan pukulan terhadap armada U.S. Navy seandainya terjadi konflik terbuka.
Sementara U.S. Navy saat ini masih berkutat bagaimana memperbaiki kemampuan anti kapal selam-nya (AKS). Setelah Soviet runtuh, ternyata kemampuan AKS U.S. Navy menurun. Mungkin karena nggak ada musuh kali, jadi dorongan untuk terus meningkatkan kemampuan jadi berkurang.
Kondisi yang demikian hendaknya mendorong kita di Indonesia untuk mengembangkan kemampuan AL asimetris, salah satunya strategi anti akses. Hanya dengan cara itu AL kita akan diperhitungkan oleh pihak lain.
Kita sulit untuk melakukan pembangunan kekuatan secara besar-besaran, selama anggaran pertahanan kita masih campurkan antara gaji dan biaya rutin dengan anggaran pembangunan. Kita sulit membangun kekuatan laut selama pemerintah masih memandang sebelah mata sama AL. Kita sulit mengembangkan kekuatan laut selama pengambil keputusan di Lapangan Banteng masih anak cucu Mafia Barkeley.
Lalu bagaimana dengan aspirasi agar AL kita dalam 20-25 ke depan juga bisa jadi medium regional force projection navy? Aspirasi itu tetap ada dan sangat mungkin diwujudkan, asalkan didukung oleh kebijakan luar negeri yang mampu mengikuti perkembangan zaman. Adanya undangan dari Jerman agar AL kita berpartisipasi dalam UNIFIL Maritime Task Force menunjukkan bahwa orang lain melihat AL kita mempunyai potensi untuk diproyeksikan ke luar wilayah. Yang membedakan adalah AL kita proyeksi kekuatan bukan untuk cari perkara dengan pihak lain seperti kelakuan U.S. Navy. Jadi kita nggak perlu takut strategi anti akses seandainya suatu ketika nanti AL kita diproyeksikan keluar wilayah kedaulatan.

25 Juli 2008

Stabilitas Kawasan Terletak Pada Angkatan Laut

All hands,
Kalau kita berdiskusi tentang stabilitas kawasan Asia Pasifik dan khususnya Asia Tenggara, salah satu kunci utamanya adalah AL kita. Bersama dengan AL negara-negara besar lainnya, AL kita memainkan peran strategis dan vital yang selama ini justru kurang disadari oleh bangsa Indonesia. Terciptanya stabilitas kawasan tidak bisa diklaim hanya karena peran satu aktor, misalnya U.S. PACOM, dengan menegasikan peran AL negara-negara lain.
Dapat dibayangkan apa jadinya Selat Malaka tanpa kehadiran AL kita di sana. Boleh saja U.S. PACOM dengan U.S. Pacific Fleet-nya jauh lebih kuat dari AL kita, tapi bukan berarti itu jaminan mereka bisa amankan Selat Malaka. Justru kalau mereka hadir di sana, mengundang kelompok-kelompok anti Washington ---khususnya teroris--- untuk jadikan mereka sasaran empuk.
Peran AL kita sebagai salah satu penjamin stabilitas kawasan diakui oleh banyak pihak, termasuk Amerika Serikat sendiri. Itulah salah satu mengapa Washington mau kasih jaringan radar untuk dipasang di Selat Malaka dan Selat Makassar dalam proyek IMSS. Sayangnya justru dari dalam negeri pengakuan itu sangat kurang.
Boleh saja ada pihak-pihak yang mengkritisi bahwa sumber daya alam kita di laut masih banyak dicuri oleh orang lain. Tapi harus diingat, bahwa pengamanan sumber daya alam hanyalah salah satu dari sekian peran Angkatan Laut. Kalau pengamanan sumber daya alam jadi peran dan tugas pokok nomor satu, terus apa gunanya kita beli kapal perang canggih bersenjata torpedo dan rudal jelajah kalau hanya untuk hadapi kapal ikan?
Sampai kapan pun, selama Indonesia merupakan negara kepulauan, AL akan terus berperan sebagai salah satu stabilisator kawasan. Dengan kondisi seperti itu, sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian besar terhadap pembangunan kekuatan AL. Jangan cuma berwacana mau beli alutsista ini dan itu buat AL, tapi begitu ditagih realisasinya, dijawab dananya nggak ada.
Karena jasa AL-lah dalam beberapa tahun terakhir para pejabat dan diplomat kita di luar negeri nggak ”diomeli” lagi sama mitra-mitra mereka soal keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia. Karena jasa AL pula sekarang perairan Indonesia, khususnya Selat Malaka, tidak lagi dikategorikan sebagai war risk zone oleh Lloyd Insurance di London. Lalu apa imbalan yang diterima AL dari pemerintah dari semua itu?

24 Juli 2008

RMA dan Perang Asimetris

All hands,
Bagi kita yang menggeluti dunia militer dan banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang di Amerika Serikat, RMA (revolution in military affairs) bukan suatu hal yang baru lagi. Ketika kita menyusun perencanaan ke depan, yang ada di otak kita adalah memperkirakan ancaman atau tantangan apa yang akan dihadapi oleh Angkatan Laut dalam jangka 10-20 tahun nanti. Itu nggak mudah, karena perkembangan lingkungan strategis di atas 5 tahun cukup sulit untuk kita prediksi.
Sementara pada sisi lain, kita harus bikin perencanaan dengan jangka waktu 20 tahun ke depan. Kenapa begitu? Sebab perencanaan itu akan terkait dengan masalah sumber daya, dalam hal ini anggaran. Sebagai contoh, kalau kita mau beli kapal perang baru 3 tahun lagi, dari sekarang kita sudah harus siapkan anggarannya.
Perencanaan memang akan selalu terkait dengan sumber daya, termasuk di dalamnya anggaran. Itu hukum alam dan dialami oleh semua negara, baik negara maju maupun berkembang. Sumber daya, seperti digambarkan dalam paradigma Lloyd tentang pembangunan kekuatan, senantiasa akan menjadi constraint dalam perencanaan.
Amerika Serikat dalam pembangunan kekuatannya pasca 11 September 2001 menekankan pada RMA melalui keunggulan teknologi, karena konflik di masa depan akan berbeda dengan perang di masa lalu. Oleh Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, hal itu disebut sebagai defense transformation atau transformasi pertahanan. Para pendukung RMA berpendapat bahwa Amerika Serikat dapat terus mempertahankan posisi dominan dalam tatanan internasional dengan mengeksploitasi RMA. Kelompok ini dikenal sebagai technological optimist yang berpendapat bahwa kemenangan pasukan Koalisi atas Irak dalam Perang Teluk 1991 merupakan bukti bahwa RMA mempunyai potensi untuk mentransformasi the nature of war.
Kelompok lainnya yang dijuluki sebagai technological pessimists, menolak argumen bahwa RMA akan menyelesaikan banyak masalah dalam perang. Menurut kelompok ini, konflik di masa depan tidak dapat semata-mata dibereskan secara militer melalui eksploitasi teknologi. Kasus kekalahan militer Amerika Serikat di Somalia pada Oktober 1993 mereka jadikan salah satu contoh betapa kehebatan militer yang dilengkapi dengan teknologi canggih ternyata tidak mampu mengalahkan gerilyawan Somalia yang cuma bersenjatakan AK-47, RPG dan technical.
Seperti yang kita pernah pelajari, Carl Von Clausewitz menulis dalam On War bahwa dalam perang selalu ada friction and the fog of war. Substansinya, jalannya perang tidak seperti yang kita rencanakan di atas kertas, selalu ada masalah-maslaah baru yang tidak kita prediksi atau perhitungkan sebelumnya. Banyak contoh soal itu, misalnya perang di Irak.
Laksamana William Owens yang pernah menjadi Vice Chairman of the U.S. Joint Chiefs of Staff dari 1994-1996 pernah berucap bahwa:
These emerging technologies and information dominance would eliminate friction and the fog of war, providing the commander and his subordinates nearly perfect situational awareness, thereby promising the capacity to use military force without the same risks as before. Technology could enable U.S. military forces in the future to lift the fog of war…battlefield dominant awareness might be possible. If you see the battlefield, you will win the war.
Apa itu battlefield dominant awareness? Itu merupakan kebisaan (ability) untuk melihat dan memahami semua yang terjadi di medan tempur. Sarananya tidak lain adalah teknologi, baik itu satelit, alat komunikasi, pesawat tanpa awak, pesawat berawak dan lain sebagainya.
Argumen para pendukung RMA sebagian benar, namun menjadi harus ditinjau ulang ketika menghadapi perang yang bersifat asimetris. Kalau dalam perang simetris, saya yakin argumen para penyokong RMA akan terbukti sepenuhnya. Tetapi nggak demikian dengan perang asimetris.
Soal perang asimetris, sebenarnya sudah tercantum dalam The National Defense Strategy of The United States of America. Dalam dokumen itu, para perencana Pentagon menggolongkan ada empat tantangan (challenges) yang akan dihadapi oleh negerinya. Yaitu traditional, irregular, catastrophic and disruptive. Soal definisi keempat tantangan itu, silakan pelajari dokumen bersangkutan.
Masalahnya adalah pembangunan kekuatan militer Amerika Serikat di bawah Rumsfeld dengan transformasi pertahanannya terlalu menekankan pada ancaman tradisional. Artinya perang simetris. Itulah salah satu alasan kenapa mereka kewalahan di Afghanistan dan Irak sekarang. Di kedua negara Muslim itu peperangan yang terjadi merupakan bentuk dari peperangan generasi keempat dan para perencana di Pentagon terlambat sadar soal itu.
Padahal sejak 1989 beberapa pemikir militer di negeri itu yang dipelopori oleh Kolonel Marinir William S. Lind sudah memperkenalkan peperangan generasi keempat (fourth generation warfare/4GW). Pemikiran Lind kemudian diteruskan oleh juniornya di U.S. Marine Corps yaitu Kolonel Marinir Thomas X. Hammes. Menurut Hammes, modern warfare evolves into fourth generation warfare. Dalam bukunya yang berjudul The Sling and The Stone, Hammes bilang bahwa Pentagon’s emphasis on high-tech warfare has prevented the U.S. military from adapting to a style of warfare in which guerrillas and terrorists employ low technology tactics to counter American strengths and exploits American vulnerabilities.
Pertanyaan, apa alasan Pentagon mengambil kebijakan demikian? Karena warga Amerika Serikat sangat hirau dengan hilangnya nyawa personel militer mereka. Satu soldier, sailor, marine, airmen mati itu merupakan kehilangan besar bagi orang Amerika Serikat. Itu adalah dampak psikologis dari Perang Vietnam yang menjadikan 58.000 GI tewas.
Lalu pelajaran apa yang bisa kita tarik dari kasus di Amerika Serikat itu? Dalam pembangunan kekuatan AL, sebaiknya kita menyeimbangkan antara ability dan capability menghadapi ancaman atau tantangan simetris dengan asimetris. Kemungkinan kita untuk konflik terbuka dengan AL lain persentasenya kecil. Namun itu tidak berarti kita tidak bangun AL. Kita harus tetap bangun AL agar kita mempunyai kemampuan deterrence.
Soal asimetris, kita hingga 20 tahun ke depan mungkin akan lebih banyak menghadapi ancaman dan atau tantangan dari aktor non negara, seperti perompakan, terorisme maritim dan lain sebagainya. Kemampuan itu harus tetap kita bangun pula. Namun hendaknya kita juga jangan mempersempit batasan asimetris hanya untuk menghadapi aktor non negara.
Dengan segala keterbatasan, kita harus bangun AL yang mampu gelar perang asimetris terhadap aktor negara. Contoh dari perang asimetris adalah strategi anti akses. AL negara-negara lain boleh jadi lebih kuat daripada kita, tetapi kita harus punya strategi pamungkas untuk menggigit mereka. Itu harus pula kita kembangkan biar negara-negara di sekitar Indonesia tidak lagi melecehkan kita di laut.

23 Juli 2008

Masalah Dalam Latihan Angkatan Laut Multilateral

All hands,
Dalam minggu ini, AL kita terlibat dalam dua latihan bersama (naval combined exercise) dengan AL lain. Pertama adalah CARAT alias NEA dengan U.S. Navy di Surabaya. Kedua, Kakadu IX Exercise di Darwin, Australia. Kalau CARAT alias NEA adalah latihan bilateral, Kakadu adalah latihan multilateral yang tahun ini diikuti 12 negara.
Dalam Kakadu IX Exercise tahun ini, Indonesia hanya kirim perwira AL sebagai observer. Dua negara lainnya yang juga hanya kirim observer adalah India dan Filipina. Tahun lalu AL kirim KRI Fatahillah-361 untuk partisipasi dalam latihan itu.
Berdiskusi soal latihan-latihan itu, partisipasi Indonesia sebenarnya serba sulit. Partisipasi AL dalam latihan terkadang menimbulkan dilema karena ada protes dari Departemen Luar Negeri. Seolah-olah karena kita ikut latihan maka Indonesia praktis jadi pengikutnya negara-negara itu. Itulah masalah yang lingkupi partisipasi kita dalam latihan-latihan multilateral.
Pertanyaannya kita harus bersikap seperti apa? Satu-satunya cara adalah kemauan untuk lebih fleksibel terhadap aspirasi negara-negara itu. Jangan kaku dengan kebijakan luar negeri bebas aktif yang sudah ketinggalan jaman itu.

22 Juli 2008

Pengadaan Rudal Yakhont

All hands,
Setelah melalui proses yang panjang sejak hampir tiga tahun lalu, akhirnya keinginan AL untuk memperoleh rudal Yakhont terwujud juga. Indonesia sudah menandantangani pengadaan rudal anti kapal yang mampu menjangkau sasaran sekitar 300 km dan kini tinggal menyelesaikan proses delivery dan pemasangan. Sesuai dengan rencana, rudal anti kapal permukaan buatan NPO Mashinostroyeniya Rusia itu akan dipasang di KRI kelas Van Speijk.
Pengadaan rudal Yakhont merupakan kemajuan bagi AL sekaligus yang pertama di kawasan Asia Tenggara. Selama ini rudal yang pernah kita operasikan jarak jangkaunya paling jauh sekitar 150 km, misalnya Harpoon. Dengan punya Yakhont, sedikit banyak pihak lain akan berpikir.
Pengadaan itu sekaligus makin menegaskan bahwa kita makin menjauh dari Amerika Serikat dan Barat dalam pengadaan rudal, karena sebelumnya kita juga telah beli rudal C-802 buatan Cina yang dipasang di KRI kelas FPB-57. Setelah dua KRI FPB-57 sukses dipasang C-802, saat ini menyusul dua KRI lagi yang akan dipasang senjata serupa.
Cuma untuk Yakhont, perlu kita pertimbangkan untuk imbangi dengan sistem sensing yang memadai. Dengan jarak jangkau 300 km, kita harus memiliki sistem sensing dengan jarak segitu juga, bahkan lebih. Pertanyaannya, adakah radar demikian di pasaran? Itu kan tergolong over the horizon radar (OTHR). Negara-negara maju yang mengoperasikan rudal sejenis atau bahkan dengan jarak yang lebih jauh, biasanya mengandalkan pada satelit militer untuk kemampuan sensing unsur AL-nya.
Pilihan lainnya adalah mengandalkan pada target reporting unit untuk memperpanjang jangkauan sensing kapal perang yang bawa Yakhont. Dalam konteks AL, target reporting unit-nya bisa berupa pesawat udara ataupun kapal selam. Kalau pesawat udara, sepertinya saat ini aset pesawat udara kita di Pusnerbal belum ada yang sepenuhnya mampu bantu Yakhont. Pesawat udara kita endurance-nya pendek, baik itu heli maupun pesawat sayap tetap.
Sadar atau tidak, soal Nomad kita memang dari awal dikerjain oleh Australia. Nomad itu kan pesawat gagal, kata para penerbang itu widow maker. Endurance-nya pendek, sehingga dia nggak bisa terbang jauh-jauh dari pangkalan terdekat. Untuk heli, sama juga. Heli kita yang paling besar kan cuma Bell-412. Kebanyakan heli itu BO-105 yang endurance-nya lebih pendek daripada Bell-412. Yang kadang di-attach di KRI kan BO-105, karena ukuran geladak kapal perang kita yang kelas korvet dan fregat memang cuma bisa untuk heli jenis itu. Kalau Bell, bisanya cuma di kapal LPD dan LST asal Korea Selatan.
Artinya, satu-satunya target reporting unit yang bisa kita andalkan saat ini untuk dukung Yakhont cuma kapal selam. Pekerjaan rumah bagi kita adalah perbanyak unsur yang mampu jadi target reporting unit atau pengadaan radar OTHR. Itu harus kita masukkan dalam postur AL yang saat ini akan segera disusun.

21 Juli 2008

Memperkirakan Kebijakan Pertahanan Australia

All hands,
Indonesia dan Australia, suka atau tidak suka, adalah dua negara yang posisinya bertetangga. Keamanan Australia ditentukan pula oleh kondisi stabilitas di Indonesia. Jadi meskipun seringkali kita bertengkar dengan tetangga kulit putih di selatan ini, sebenarnya kita saling membutuhkan.
Setiap kebijakan pertahanan Australia pasti mempunyai dampak bagi Indonesia, karena Indonesia adalah pintu keluar Australia untuk menuju ke kawasan Asia Timur dan sekitarnya. Sekarang Australia tengah menyusun Buku Putih Pertahanan yang baru. Tentu kita di Indonesia penasaran dan ingin tahu seperti apa nantinya isinya buku tersebut.
Mungkin pernyataan Menteri Pertahanan Australia Joel Fitzgibbon di depan The Brooking Institution, Washington pada 15 Juli 2008 dapat kita jadikan acuan. Fitzgibbon bilang:
First, Australia’s priority will remain the defence of our continent and an ability to do so without relying on the assistance of others. Second, it will be necessary to maintain a capability to take a lead role in stabilization efforts in our own immediate region. Third, we will also maintain the capacity to join in coalition efforts in the broader Asia Pacific region and beyond.
Kalau saya bandingkan dengan kebijakan pertahanan di era PM John Howard, sebenarnya tidak ada beda secara prinsipil ketiga butir yang disampaikan oleh Fiztgibbon. Maksudnya Australia tetap akan menjadi pemain regional dan militernya akan terus bersifat sebagai expeditionary forces. Dia tidak ingin melihat instabilitas di kawasan sekitar Australia, karena instabilitas itu akan ganggu stabilitas dia.
Dari situ saya berani ambil kesimpulan bahwa kalau pun ada perbedaan kebijakan dengan era PM Howard, lebih banyak pada program-program saja. Misalnya pengadaan suatu alutsista dari jenis X yang diputuskan di masa Howard dinilai tidak sesuai kebutuhan pertahanan. Kemudian oleh PM Rudd diganti menjadi jenis Y. Jadi perubahan kebijakan yang terjadi sifatnya tidak substansial.
Dalam konteks Angkatan Laut, sepertinya PM Rudd akan meneruskan keputusan soal air warfare destroyer yang diputuskan oleh PM Howard. Nggak ada yang berubah. So…sesungguhnya antara kebijakan di masa PM Howard dan PM Rudd tidak ada perbedaan substansial.

Pembekuan Penjualan Senjata Ke Taiwan

All hands,
Ketika berbicara di depan The Heritage Foundation, Washington pada 16 Juli 2008, Panglima U.S. Pasific Command Laksamana Timothy Keating mengkonfirmasi laporan bahwa Amerika Serikat telah membekukan penjualan senjata ke Taiwan. Perkembangan itu berarti tertunda penyerahan paket senjata senilai US$ 11 milyar, penyerahan lusinan F-16 dan 12 P-3C Orion kepada Taiwan. Menurut Keating, setidaknya kebijakan itu sampai Presiden Bush menyelesaikan masa jabatannya Januari 2009.
Kasus itu menarik untuk dianalisis dampaknya bagi Indonesia. Pada dasarnya kebijakan Amerika Serikat itu nggak lepas dari urusan Korea Utara maupun kepentingan untuk hindari konflik di Selat Taiwan. Keberhasilan Amerika Serikat menekan Korea Utara untuk mengakhiri program nuklirnya tidak lepas dari peran Cina sebagai sekutu dekat Korea Utara. Mungkin itu satu dari sedikitnya kebijakan luar negeri Bush yang berhasil selama delapan tahun di Gedung Putih.
Oleh karena itu, Amerika Serikat harus memberikan kompensasi kepada Cina, yang dalam hal ini wujudnya adalah pembekuan penjualan senjata. Kompensasi itu juga karena kepentingan utama Amerika Serikat adalah menghindari konfrontasi militer dengan Cina. Lagi pula situasi hubungan Selat Taiwan yang mulai menunjukkan kemajuan dalam beberapa waktu terakhir menjadi alasan bagi Amerika Serikat untuk menilai bahwa tidak ada ancaman segera terhadap Taiwan.
Gimana Amerika Serikat mau lawan Cina, Cina kan mempunyai cadangan dalam dollar senilai US$ 1.700 milyar. Kalau sepertiga cadangan itu dilepas ke pasar, pasti akan menurunkan secara drastis nilai dollar Amerika Serikat. Washington berkepentingan memulihkan perekonomiannya, termasuk di antaranya mengurangi defisit perdagangan dengan Cina yang pada 2007 sebesar US$ 256,3 milyar. Sehingga dia nggak mau main-main sama Cina. Lagi pula dia nggak punya instrumen untuk tekan Cina.
Pertanyaannya kemudian, apa hubungannya dengan Indonesia? Kita sama-sama tahu kalau Amerika Serikat kurang senang karena Cina mulai memasarkan senjatanya kepada Indonesia yang saat ini masih diembargo olehnya. Sekarang kita AL sudah pakai rudal C-802 buatan Cina untuk gantikan Harpoon. Yang kita khawatirkan, salah satu skenario yang mungkin dikembangkan oleh Cina adalah mengurangi penjualan senjata ke Indonesia apabila Amerika Serikat mampu menekannya. Masalahnya adalah apakah Amerika Serikat mempunyai instrumen untuk menekan Cina saat ini?
Kita harus cermat memperhatikan fenomena ini. Siapa tahu pembekuan itu mempunyai sinyal politik yang harus kita tangkap. Setidaknya berimplikasi pada pembangunan kekuatan AL kita.

Penambahan Personel Militer Australia

All hands,
Saat ini pemerintah Australia tengah melakukan penyusunan Buku Putih Pertahanan sebagai pengganti dari dokumen Defence 2000: Our Future Defence Force serupa yang terbit pada tahun 2000 di masa PM John Howard. Penyusunan dilakukan karena Buku Putih lama dinilai tidak merespons perkembangan terkini di Timor Timur, Kepulauan Solomon, perang di Irak yang berlangsung di tengah kebangkitan India dan Cina. Dalam proses penyusunan, Menteri Pertahanan Joel Fitzgibbon melaksanakan konsultasi publik secara luas, termasuk dengan pihak Amerika Serikat. Minggu lalu Fitzgibbon berkunjung ke Washington untuk bertemu dengan mitranya Robert Gates dan juga memberikan pidato di The Brooking Institution soal kebijakan pertahanan Australia.
Bersamaan dengan penyusunan Buku Putih itu, pada 4 Juli 2008 mantan Kepala Staf AD Australia yang baru saja pensiun Letnan Jenderal Peter Leahy mengusulkan penambahan perkuatan personel AD guna merespon tantangan-tantangan keamanan. Usulan Leahy sebenarnya bukan hal baru, karena doktrin keamanan nasional Australia menegaskan bahwa tantangan terhadap keamanannya harus dicegah jauh sebelum mencapai wilayah Australia. Oleh sebab itu, apa pun Partai yang memimpin Australia, kepentingan utamanya tetap sama yaitu secure Australia in secure region.
Hal ini merupakan penjelasan mengapa sang Kangguru gemar menyebarkan kekuatan militernya hingga ke Irak dan Afghanistan, selain ke Timor Timur dan Kepulauan Solomon. Meskipun kini di era PM Kevin Rudd Australia telah menarik pasukannya dari Irak pada Juni 2008, tetapi hal itu tidak mengurangi komitmen negeri itu sebagai sekutu Amerika Serikat.
Karena tingginya keterlibatan AD Australia di Afghanistan, Irak, Timor Timur dan Solomon Islands yang mencapai 4 ribu personel, AD mengalami kekurangan personel karena tingginya tingkat rotasi pasukan. Kekuatan AD Australia menurut data resmi dari Kementerian Pertahanannya adalah 27.461 dan didukung oleh Cadangan AD sebesar 16 ribu personel. Sepintas lalu kekuatan Cadangan AD besar, tetapi kita harus ingat bahwa 16 ribu itu kan tidak semuanya bertugas di satuan tempur.
Karena merasa kekurangan, dalam Defence Update 2007 yang disusun oleh pemerintahan PM Howard, telah digariskan penambahan satu atau dua batalyon AD dalam beberapa tahun ke depan. Hal itu untuk merespon ketidakpastian keamanan, bukan saja di Afghanistan dan Timor, tetapi juga di wilayah lain seperti Papua, Fiji dan juga Timur Tengah. Jadi, gagasan dari Jenderal Leahy sebenarnya bukan hal baru karena dia masih mengacu pada Defence Update 2007.
Terus apa implikasinya bagi Indonesia? Menurut saya, yang harus diantisipasi situasi politik di Papua dan kawasan Indonesia Timur lainnya yang merupakan wilayah kepentingan Australia. Kalau di wilayah itu bergolak, most possibly Australia akan sebarkan pasukannya untuk stabilkan situasi. Perlu diketahui bahwa militer Australia kini sudah menjadi expeditionary forces, termasuk AL di dalamnya.

18 Juli 2008

Kolinlamil Dalam Postur Angkatan Laut

All hands,
Ada dua peristiwa berbeda namun mempunyai titik temu dalam beberapa waktu terakhir. Beberapa waktu lalu seorang rekan yang lagi dinas di salah satu Lanal bertanya kepada saya soal rencana pengadaan kapal Landing Craft Tank oleh AD. Pertanyaan yang sekaligus informasi baru buat saya itu (karena saya nggak pantau berita itu), justru bersamaan waktunya dengan adanya wacana di beberapa rekan agar Kolinlamil (Komando Lintas Laut Militer) dilikuidasi. Sekali lagi, itu sekedar wacana di level bawah.
Apa alasan likuidasi Kolinlamil? Menurut yang punya ide, pertama tugas-tugas Kolinlamil mirip dengan Satuan Amfibi Armada. Kedua, kita nggak proyeksikan kekuatan keluar wilayah Indonesia, sehingga eksistensi Kolinlamil kurang relevan.
Setelah saya renungkan beberapa hari soal wacana itu, saya memutuskan berada pada posisi oppose alias nggak setuju dengan wacana itu. Mengapa begitu? Pertama, Kolinlamil itu bukan saja punya AL, tapi punya TNI. Lihat saja statusnya yang Kotama Binops (Komando Utama Pembinaan dan Operasi). Yang butuh Kolinlamil itu bukan saja AL, tapi juga TNI. TNI butuh bukan sekedar untuk angkutan lintas laut untuk kepentingan pembangunan seperti di masa Orde Baru, tapi juga untuk keperluan militer. Walaupun sekarang tugas angkutan laut militer berkurang dibanding beberapa tahun lalu.
Di masa lalu, Kolinlamil menjadi induk dari kapal-kapal niaga yang dimiliterisasi. Waktu operasi di Timor Timur tahun 1970-an begitu. Kapal-kapal niaga tidak ditempatkan di bawah Satfib, tapi di Kolinlamil.
Kedua, domain operasi Kolinlamil dengan Satfib Armada berbeda. Satfib itu untuk kepentingan tempur semata, khususnya opsfib. Memang di masa damai bisa saja kapal-kapal Satfib digunakan gantikan kapal-kapal Kolinlamil, tetapi di masa perang tidak akan seperti itu. Kembali lagi contoh kasusnya adalah di Timor Timur.
Memang betul bahwa AL kita belum mempunyai tugas proyeksi kekuatan. Yang dimaksud proyeksi kekuatan adalah ke luar wilayah Indonesia. Tapi bukan berarti karena itu lalu menjadi alasan kita nggak butuh Kolinlamil. Kalau Kolinlamil nggak ada, tugas-tugas angkutan laut militer akan diambil alih oleh AD yang kapalnya kita kenal sebagai kapal ADRI XXX. Karena saat ini dia satu-satunya di luar AL yang punya kapal, walaupun ukuran kapalnya lebih kecil dari LST-LST maupun kapal bantu lainnya punya kita. Bahkan dulu waktu di Timor Timur, AU juga punya kapal-kapal angkut sendiri yang dikenal sebagai AURI XXX.
Di Armada, selain Satfib ada pula Satban (Satuan Kapal Bantu) yang isinya beberapa tipe kapal bantu. Seperti kapal rumah sakit (BRS), bantu cair minyak (BCM) alias kapal tanker dan bantu angkut pasukan (BAP). Hubungannya dengan Kolinlamil, mungkin kita perlu kaji ulang hubungan antara kapal di Satban dengan di Kolinlamil.
Pada U.S. Navy dan Royal Navy yang punya organisasi seperti Kolinlamil yaitu Military Sealift Command (MSC) dan Royal Fleet Auxiliary (RFA), kapal-kapal bantu masuk di situ. Jadi kapal tanker, kapal rumah sakit, kapal munisi dan lain-lain masuk di MSC dan RFA. Kapal-kapal MSC berfungsi sebagai unsur pendukung kapal-kapal perang Armada Pasifik dan Armada Atlantik, yang selalu berstatus prepositioned ship.
Berangkat dari contoh itu, perlu kita kaji apa untung ruginya bila Satban Armada dilikuidasi dan digabungkan dengan Kolinlamil. Kolinlamil kan punya dua Satlinlamil, di Barat dan di Timur. Posisi kedua Satlinlamil berada dekat dengan dua Armada yang ada. Artinya, meskipun berada dalam dua Kotama yang beda, namun bisa kok dikoordinasikan tugas-tugasnya, bahkan mungkin di BKO-kan ke Armada.
Eksistensi Kolinlamil harus kita pertahankan, dengan catatan perannya perlu dimaksimalkan sehingga nggak timbul pandangan bahwa itu organisasi yang kurang relevan. Kalau tidak, matra lain yang tidak punya kaitan dengan domain maritim akan merebut domain yang selama ini diperankan oleh Kolinlamil. Substansinya adalah kita harus tahu di mana kita tempatkan Kolinlamil dalam postur kita.


Mengetahui Kebutuhan Sendiri

All hands,
Rudal anti kapal merupakan salah satu senjata anti akses yang diperhitungkan oleh negara-negara maju yang memiliki global projection navy. Selain membatasi lewat Missile Technology Control Regime (MTCR) dan end use certificate, cara lainnya untuk mengendalikan senjata itu di tangan negara-negara berkembang adalah melalui expired date rudal-rudal itu. Yang dimaksud expire date adalah propelannya, yang mana bila melewati expire date maka propelan itu nggak akan berfungsi lagi. Akibatnya ketika ditembakkan, rudal nggak akan meluncur dari peluncurnya. Kasus itu pernah terjadi di hadapan Presiden RI sekitar 4 atau 5 tahun lalu, ketika saksikan latihan uji coba penembakan senjata strategis di sekitar perairan Selat Sunda-Samudera India.
Bayangkan, expire date rudal sejenis yang kita punya semuanya di set sama oleh pabrikan. Gimana kita nggak kelabakan. Artinya puluhan rudal yang belum pernah dipakai jadi benda nggak berguna di arsenal dan mungkin tinggal tunggu waktu untuk dijadikan monumen atau masuk museum. Itulah salah satu cara negara-negara produsen senjata kendalikan kita dan seringkali kita nggak sadar soal itu.
Lalu ke depannya seperti apa? Menurut saya ada beberapa solusi untuk itu. Pertama, kita harus negosiasi dengan produsen agar dalam satu jenis rudal yang sama, expire date-nya nggak sama. Nggak mudah memang karena dalam kenyataannya produsen tetap saja jadi raja, tapi kita harus lakukan itu.
Kedua, faktor perencanaan. Secara teoritis, dalam perencanaan kita mempunyai daftar alutsista lengkap dengan kapan sistem senjatanya, khususnya rudal, akan memasuki expire date. Idealnya adalah ketika expire date masih sekitar tiga tahun lagi, kita sudah merancang pengadaan rudal baru. Kalau kita menganut perencanaan jangka pendek per lima tahun, maka daftar rudal yang akan expire date lima dalam jangka lima tahun ke depan kan kita bisa identifikasi. Sehingga kita bisa ancang-ancang beli rudal baru, termasuk siapkan anggarannya.
Sepanjang pengetahuan saya, kita dalam faktor perencanaan tergolong lemah selama ini. Sebenarnya kita sudah tahu senjata atau kapal apa saja yang akan segera memasuki fase pensiun setelah berdinas selama 30 tahun atau lebih. Tapi entah mengapa dalam perencanaan kita, soal-soal seperti itu sepertinya luput dari perhatian. Sering kita lebih prioritaskan pengadaan jenis kapal perang baru yang sebenarnya kehadirannya bisa ditunda hingga beberapa tahun ke depan daripada segera cari pengganti jenis kapal perang, khususnya korvet dan fregat, yang akan segera memasuki usia 30 tahun atau lebih.
Dari kondisi itu, seringkali kita curhat yang intinya kok kita nggak tahu sih kebutuhan kita sendiri? Itulah penyakit yang masih hingga kita yang berada di lingkungan militer. Celaka kan kalau kita yang mengklaim diri paling tahu soal domain militer, khususnya domain AL, justru nggak tahu kebutuhan sendiri.

16 Juli 2008

Operasi Perlindungan Terhadap Perkapalan

All hands,
Perlindungan terhadap perkapalan (protection of shipping) pada dasarnya merupakan alasan sejarah kelahiran AL di dunia. Seiring dengan berjalannya waktu, AL mempunyai peran-peran yang meluas dan pada akhirnya dirumuskan oleh Ken Booth ke dalam trinitas AL yaitu military, constabulary and diplomacy.
Perlindungan terhadap perkapalan merupakan salah satu operasi AL di masa Perang Dunia Kedua. Kemudian operasi itu juga menonjol ketika terjadi Perang Iran-Irak yang salah satu bagiannya adalah tanker war. Karena kapal tanker milik Kuwait diranjau oleh Iran, U.S. Navy memberikan perlindungan dengan syarat re-flagging.
Protection follows the flag. Begitu kata para petinggi Pentagon dan U.S. Navy. Artinya kapal tanker Kuwait harus ganti bendera Stripe and Stripes agar bisa dilindungi oleh U.S. Navy.
Sekarang operasi perlindungan terhadap perkapalan kembali menjadi perhatian seiring dengan perang terhadap terorisme, perompakan dan pembajakan. Sudah ada beberapa contoh kasus betapa perlindungan terhadap perkapalan bersifat imperatif.
Itulah salah satu operasi yang dilaksanakan oleh beberapa AL dunia, bukan saja U.S. Navy. Mereka melaksanakan itu dalam payung maritime security operations, yang merupakan bagian dari peran konstabulari. AL India juga melaksanakan itu, dengan mengawal kapal-kapal niaga berbendera Star and Stripes yang lewat Selat Malaka.
Lalu kita bagaimana? Lepas bahwa saat ini tidak ada ancaman imminent terhadap armada kapal niaga berbendera Merah Putih, tapi sebaiknya kita harus mempersiapkan diri untuk itu. Waktu Aceh masih bergolak, perairan Selat Malaka sekitar Aceh nggak aman. Kondisi itu sebenarnya bisa menjadi alasan bagi AL untuk melaksanakan operasi perlindungan terhadap perkapalan, minimal yang berbendera Merah Putih.
Meskipun dalam beberapa tahun ke depan kita belum akan mengarah menjadi expeditionary navy, namun setidaknya kita harus mempunyai kemampuan perlindungan terhadap perkapalan di wilayah kita sendiri. Lingkungan strategis berubah dengan cepat dan terkadang perubahan itu meleset dari perkiraan kita. Makanya kita harus expect the unexpected.

15 Juli 2008

Kemampuan Angkatan Laut Cina

All hands,
Artikel-artikel mengenai Angkatan Laut Cina alias PLAN banyak beredar di sejumlah majalah yang spesialisasinya soal AL dan pertahanan. Itu gejala dalam lima tahun terakhir, khususnya majalah-majalah yang dipunyai oleh U.S. Navy atau U.S. Department of Defense. Seperti Naval War College Review dan Joint Force Quarterly. Di U.S. Naval War College, ada beberapa profesor dan purnawirawan AL yang fokus pada kajian terhadap PLAN.
Banyaknya artikel mengenai PLAN mencerminkan bahwa PLAN menjadi fokus perhatian bagi Amerika Serikat, khususnya U.S. Navy. Cina diprediksi akan menjadi peer competitor Amerika Serikat dan status itu dianggap akan membahayakan kepentingan Washington.
Banyak isu soal PLAN, tapi biasanya yang difokuskan oleh para pemikir strategi di U.S. Navy adalah soal kapal induk, kapal selam dan kapal atas air. Dari tiga itu, saat ini fokus terbesar adalah pada kapal selam. Sebab PLAN terus membangun kemampuannya di situ, yang ditujukan untuk counter kapal induk U.S. Navy.
Yang menarik untuk kita cermati antara kemajuan C4ISR PLAN dengan komando dan kendali. Dengan semakin majunya C4ISR, maka kodal operasi akan lebih bersifat desentralisasi sesuai dengan kondisi di lapangan. Para komandan kapal perang akan lebih banyak mengambil keputusan sendiri tanpa harus laporan ke komando atas. Apalagi sudah ada aturan pelibatan yang jelas.
Hal demikian berlaku pada AL negara-negara demokratis. Bagaimana dengan PLAN? Seperti kita ketahui, di tiap kapal perang mereka ada dua penguasa, komandan dan komisaris politik. Komandan tidak sepenuhnya berkuasa, dia harus dapat persetujuan dari komisaris politik untuk bertindak. Keduanya pun masih harus lapor lagi ke komando atas. Artinya, kodal masih tersentralisasi di pusat.
Dengan kondisi seperti itu, AL Uni Soviet di masa lalu kapal-kapalnya lebih banyak disebar di perairan di dekat wilayahnya daripada berpatroli keliling dunia. Yang berpatroli keliling dunia kebanyakan kapal selam. Pertanyaannya, kenapa begitu? Uni Soviet takut kalau sebagian besar kapal perangnya dilepas patroli jauh dari wilayahnya, para awak kapal akan membelot ke Barat.
Dikaitkan dengan Cina, apakah juga begitu? Mungkinkah PLAN akan menjadi AL ekspedisi? Ingat, Cina masih negara komunis di mana dalam militernya peran komisaris politik sangat besar dan menentukan. Apakah PLAN akan banyak sebarkan kapal-kapalnya jauh dari wilayah Cina dengan segenap resikonya? Seberapa besar faktor pengaruh kodal tersentralisasi dikaitkan dengan rencana Cina menjadikan PLAN sebagai blue water navy?

14 Juli 2008

Proyeksi Kekuatan Angkatan Laut

All hands,
Angkatan Laut mempunyai empat core capabilities yaitu naval presence, sea control, sea denial dan power projection. Soal power projection, kekuatan itu diproyeksikan ke luar negeri guna mendukung kepentingan nasional. Sebagian AL di dunia selalu melaksanakan power projection, sehingga kemampuan terus dipelihara dan ditingkatkan.
Bagi Indonesia, isu proyeksi kekuatan senantiasa menarik untuk dibahas. Secara mendasar, AL kita mempunyai kemampuan untuk proyeksi kekuatan secara terbatas. Setidaknya untuk di kawasan Asia Tenggara, kita masih sanggup. Namun karena kebijakan luar negeri kita yang enggan menggunakan kekuatan militer sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional, sulit untuk dibantah bahwa kemampuan proyeksi kekuatan AL kita statusnya idle.
Karena statusnya idle, ada pemikiran agar kita nggak usah bangun kemampuan proyeksi kekuatan. Alasannya, mau diproyeksikan kemana? Kebijakan luar negeri Indonesia kan menghindari penggunaan kekuatan militer, lalu apa gunanya kemampuan proyeksi kekuatan yang kita miliki?
Pendapat demikian ada benarnya. Namun saya tidak berada pada posisi setuju sepenuhnya pada pendapat itu. Lepas dari situ, pemikiran bahwa kemampuan proyeksi kekuatan tak perlu dibangun mencerminkan ada yang salah dalam interaksi antar instrumen kekuatan nasional.
Itu yang harus kita benahi. Karena AL negara-negara di sekitar kita sekarang justru sibuk bangun kemampuan proyeksi kekuatan. Lihatlah Singapura dan Malaysia. Singapura sibuk bantu Amerika Serikat laksanakan maritime security operations di Teluk Persia. Malaysia sibuk show the flag ke negara-negara lain.
Lalu kita bagaimana? Apakah kita mundur kembali? Tahun 1960-an, kita punya kemampuan proyeksi kekuatan yang lebih besar dibandingkan saat ini. Contohnya, kita kirim GT ke Pakistan tahun 1965 untuk dukung posisi Pakistan saat perang dengan India.
Kemampuan proyeksi kekuatan punya kaitan erat dengan kebijakan luar negeri. AL adalah salah satu instrumen diplomasi, baik itu naval diplomacy maupun gunboat diplomacy. Beda naval diplomacy dengan gunboat diplomacy adalah pendekatannya saja. Kalau naval diplomacy, itu non coercive. Adapun gunboat diplomacy, itu coercive.
Pekerjaan rumah buat kita adalah rumuskan kembali kebijakan luar negeri. Kita jangan jadi bangsa yang fatwakan haramnya penggunaan instrumen AL untuk mendukung kebijakan luar negeri. Hanya bangsa yang bodoh yang menolak kebenaran pernyataan Milan Vego bahwa naval power is undoubtedly a powerful tool in support of foreign policy.

Konsep Counterinsurgency Angkatan Laut

All hands,
Bangsa ini punya pengalaman yang banyak soal insurgency dan counterinsurgency. Sejak tahun-tahun pertama kita jadi negara bangsa, kita sudah dihadapkan pada insurgency. Sejak awal pula AL senantiasa terlibat dalam berbagai kampanye counterinsurgency, dengan kasus pemberontakan RMS di Maluku pada 1950 sebagai awal keterlibatan itu. Terakhir AL kita terlibat kampanye counterinsurgency di Aceh.
Dari keterlibatan itu, sudah sepantasnya kita mengambil lesson learned. Kampanye counterinsurgency yang dilaksanakan oleh AL akan senantiasa dihadapkan pada luasnya wilayah laut yang harus dikendalikan. Di Aceh misalnya, kita tak sepenuhnya bisa mencegah penyelundupan senjata dari Thailand dan Malaysia ke wilayah itu. Begitu pula di Maluku, penyelundupan senjata dari luar Maluku nggak bisa kita cegah sepenuhnya.
Berangkat dari situ, ada baiknya bila kita kembangkan konsep kampanye counterinsurgency AL. Mungkin saja konsep itu ada, namun sejauh ini saya belum pernah dengar. Yang ingin saya tekankan di sini adalah konsep itu menjawab masalah kekinian yang kompleks.
Konsep itu akan berisikan antara lain masalah battlespace awareness (geografis wilayah operasi yang sebagian besar terbuka 360 derajat dari laut), pola atau modus penyelundupan senjata beserta wahana apa yang mereka gunakan, pola operasi AL dan yang tak kalah pentingnya maritime domain awareness. Maritime domain awareness itu sangat penting dalam counterinsurgency AL. MDA itu merupakan penjumlahan dari situational awareness + intelligence.
Belajar dari pengalaman di Aceh, konsep operasi yang kita gunakan saat ini untuk mencegah penyelundupan senjata melalui penyekatan laut ada baiknya ditinjau kembali. Kita harus ukur apa kelebihan dan kekurangan dari konsep itu. Kalau memang konsep itu nggak bisa jawab tantangan yang berkembang di lapangan, pilihan logisnya adalah kita revisi atau kembangkan konsep baru.
Untuk kampanye counterinsurgency, AL mempunyai peran yang cukup besar karena kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Tantangannya adalah mampu tidak kita melaksanakan itu sehingga mencapai kesuksesan dengan parameter yang jelas dan terukur?

12 Juli 2008

Pemahaman Ulang Terhadap Peran Konstabulari

All hands,
Peran konstabulari merupakan peran yang akan terus senantiasa akan melekat pada AL di seluruh dunia. Bahkan pasca Perang Dingin, porsi terbesar peran yang dilaksanakan oleh AL adalah peran konstabulari. Peran itu sangat luas, mulai dari penegakan hukum maritim internasional dan resolusi Dewan Keamanan PBB yang terkait dengan terorisme dan senjata pemusnah massal, perlindungan terhadap fasilitas minyak dan gas, perlindungan terhadap pelayaran niaga, perlindungan terhadap aktivitas perikanan, combating maritime terorism, perompakan dan pembajakan, pencegatan terhadap penyelundupan senjata ringan dan lain sebagainya.
Besarnya porsi peran konstabulari tidak lepas dari perubahan lingkungan strategis yang mana penggunaan kekerasan tidak lagi dimonopoli oleh negara. Tantangan terhadap keamanan regional dan global lebih didominasi oleh aktor non negara. Dengan tantangan tersebut, kekuatan laut merupakan satu-satunya kekuatan militer yang aktif beroperasi terus menerus, dibandingkan dengan kekuatan darat dan udara.
Soal peran konstabulari bukan suatu hal yang baru bagi AL kita. Kita sudah lama laksanakan itu, bahkan dari dulu peran konstabulari selalu lebih dominan daripada peran militer maupun diplomasi. Namun ada baiknya bila kita tinjau kembali pemahaman kita terhadap peran konstabulari yang dilaksanakan selama ini.
Peran konstabulari yang dilaksanakan selama ini oleh AL identik dengan memeriksa kapal ikan dan aktivitas perikanan di tengah laut. Itulah citra yang sadar atau tidak sadar kita bangun selama puluhan tahun. Persepsi begitu yang melekat di kepala kita. Dan bagi sebagian dari kita, karena citra itu pula maka peran konstabulari mengalami degrasi makna.
Konstabulari = kejar kapal ikan. Mungkin karena faktor itu pula sehingga banyak lembaga daratan berupaya luaskan kewenangannya di laut, walaupun itu salahi hukum internasional.
Dalam kondisi seperti ini, kita perlu pahami ulang peran konstabulari. Peran konstabulari bagi AL nggak sekedar kejar kapal ikan. Sadar atau tidak, kita juga sudah laksanakan bagian lain dari peran konstabulari. Contoh yang sangat jelas dan dilihat oleh dunia internasional adalah pengamanan Selat Malaka dari ancaman terorisme, perompakan dan pembajakan. Itu juga bagian dari peran konstabulari.
Seperti sudah ditulis sebelumnya, peran konstabulari sangat luas. Oleh karena itu, ada baiknya bila kita memperluas operasi-operasi yang tercakup dalam peran konstabulari dan tidak hanya fokus pada satu jenis operasi seperti yang dilakukan selama ini. Operasi keamanan laut/opskamla hendaknya dipahami dalam pemahaman yang luas, sebab opskamla identik dengan kejar kapal ikan. Mungkin ada baiknya terminologi itu kita ganti menjadi operasi keamanan maritim, sebab itu istilah yang umum di dunia. Kan padanannya maritime security operations, bukan sea security operations.
Aktivitas yang ada di laut itu dikenal sebagai aktivitas maritim, bukan aktivitas laut. Sehingga di mana-mana orang memakai istilah maritim, bukan laut. Jadi Gugus Keamanan Laut (Guskamla) kita perlu diganti jadi Gugus Keamanan Maritim. Mau disingkat Guskammar juga boleh-boleh saja. Ha..ha..ha..

11 Juli 2008

Kesalahan Alokasi Anggaran Pertahanan

All hands,
Selama ini komponen anggaran pertahanan kita terdiri dari dua, yaitu anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Besaran anggaran rutin kita sekarang sekitar 65-70 persen, sisanya anggaran pembangunan. Komposisi itu sudah lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu yang 85 persen isinya anggaran rutin.
Anggaran rutin itu isinya buat bayar gaji dan lain-lain yang sifatnya rutin. Anggaran pembangunan yah terkait dengan seluk beluk alutsista. Dengan kondisi begitu, nggak aneh kita susah beli alutsista baru. Jangankan beli baru, pelihara alutsista yang ada saja sulit.
Sadar nggak sih kita kalau penggunaan komponen demikian sebenarnya salah dari sisi ilmu keuangan? Kita sudah puluhan tahun lakukan itu, sehingga dianggap benar aja.
Menurut info dari seorang rekan yang paham dengan ilmu keuangan, anggaran rutin itu seharusnya tidak masuk dalam anggaran pertahanan. Anggaran pertahanan itu isinya buat investasi, dalam hal ini alutsista. Soal bayar gaji, itu nggak bisa dimasukkan ke dalam anggaran pertahanan. Harus ditaruh di pos lain.
Karena kita salah selama ini, data-data tentang peningkatan anggaran pertahanan dalam beberapa tahun terakhir berpotensi menipu bagi kalangan awam yang nggak paham. Betul anggaran kita terus meningkat, tapi itu kan karena gaji terus naik sehingga otomatis meningkat. Peningkatan itu semu, karena tak cerminkan investasi sesungguhnya di bidang pertahanan.
Pengadaan alutsista baru kita macet. Kalau ada yang baru, pasti pakai fasilitas KE. Nggak ada yang rupiah murni.
So...sebaiknya kesalahan itu diperbaiki. Siapa yang harus perbaiki? Departemen Pertahanan dan Departemen Keuangan. Mereka itu yang punya otorisasi soal anggaran pertahanan.

Pengadaan Kapal Selam: Imbal Balik Dengan CN-235 MPA?

All hands,
Ada sebuah berita yang belum dapat dikategorikan A-1 mengenai rencana pengadaan kapal selam kita. Menurut sumber di institusi yang atur ekspor-impor senjata Korea Selatan, negeri ginseng itu tengah menuntaskan negosiasi dengan PT. DI soal pengadaan delapan CN-235 MPA. Sebagai imbal balik pembelian dari pabrik pesawat di Bandung itu, Korea Selatan menawarkan dua kapal selam kelas U-209 eks ROK Navy yang sudah di-overhauled dan pembangunan fasilitas pemeliharaan kapal selam di Surabaya. Itu baru berita sepihak dari Korea Selatan.
Soal kapal selam U-209, saya nggak yakin U-209 yang ditawarkan asli buatan Jerman. Sangat besar kemungkinannya U-209 lisensi yang dikenal sebagai kelas Changbogo. Korea Selatan kan dapat lisensi dari HDW Jerman untuk buat U-209 sendiri.
Soal kualitas kelas Changbogo, debatable. Menurut seorang kawan yang punya koneksi dengan HDW, Changbogo itu performance-nya di bawah U-209. Ekstremnya, itu kapal selam gagal. Maklumlah, tidak semua blue print U-209 dikasih oleh Jerman. Sementara kawan yang lain bilang performance-nya nggak kalah sama U-209.
Lepas dari perdebatan itu, sepanjang pengetahuan saya, belum ada AL negara lain yang operasikan kelas Changbogo selain ROK Navy. Bisa jadi Korea Selatan nggak terlalu agresif pasarkan, bisa jadi juga karena permainan di belakang layar dari HDW agar Korea Selatan nggak gerogoti pasar kapal selam dia.
Terkait dengan statusnya yang bekas, saya mendapat informasi yang berbeda dari rekan yang langsung tangani rencana pengadaan itu. Menurut rekan itu, AL mengajukan permintaan kapal selam baru ke Korea Selatan, bukan bekas. Kalau sudah begini, lalu di mana yang salah?
Proses pengadaan saat ini berada di Departemen Pertahanan. AL sudah ajukan pertimbangan, spesifikasi soal kapal selam seperti apa yang kita butuhkan. Pertanyaannya, mungkinkah dalam proses di Departemen Pertahanan mengalami perubahan kebutuhan? Artinya usul AL yang ingin kapal selam baru oleh Departemen Pertahanan diubah menjadi kapal selam bekas.
Kalau ditanya alasannya, yang paling gampang kan kambing hitamkan anggaran. Ha..ha..ha…
Hal lain yang harus kita perhatikan dalam berbisnis dengan Korea Selatan adalah soal imbal balik. Dulu mereka setuju beli beberapa CN-235 versi militer dengan syarat Indonesia beli produk mereka. Akhirnya AU beli pesawat latih KT-1 dari Korea Selatan. Nah sekarang ketika tahu kita butuh kapal selam dari mereka, Korea Selatan mainkan itu untuk dapat CN-235 MPA.
Yah kalau kita dapat kapal selam baru sih nggak apa-apa. Tapi kalau bekas, itu akan lebih banyak merugikan kita. Biaya pemeliharaannya akan lebih tinggi daripada kita beli yang baru. Oleh karena itu, ada baiknya kita timbang baik-baik seandainya betul Korea Selatan cuma tawarkan kapal selam bekas kepada kita.

09 Juli 2008

Dukungan Logistik Alutsista Angkatan Laut

All hands,
Seandainya kita mencermati proses pengadaan alutsista AL selama ini, khususnya kapal perang, akan ditemukan sejumlah anomali. Salah satunya adalah sumber dana pengadaan alutsista dikaitkan pemeliharaan alutsista itu selama commissioning di armada AL. Di situ ada anomali yang sebenarnya kita tahu tapi kurang mencermati, mungkin karena dianggap sudah biasa saja.
Pengadaan kapal perang kita sebagian besar dukungan keuangannya berbasis pada kredit ekspor (KE). Jadi bukan dari APBN murni. Ketika sudah commissioning, dukungan anggaran pemeliharaannya berasal dari APBN murni. Di sinilah anomali itu.
Pengadaan pakai KE, pemeliharaan APBN murni. Akibatnya, unsur kapal nggak selalu siap beroperasi karena masalah logistik. KE-nya dollar atau Euro, APBN rupiah. Ketika kapal masuk ke armada, nggak ada jaminan anggaran pemeliharaan di armada meningkat drastis. Akibatnya, nggak semua kapal bisa dipelihara secara rutin sesuai dengan service bulletin dari pabrikan. Itu masalahnya!!!
Sebagai contoh, apakah dengan masuknya KRI Diponegoro-365 dan KRI-Hasanudin-366 di Armatim, terus anggaran pemeliharaan dari APBN otomatis naik dengan menyesuaikan pada kalkulasi kebutuhan pemeliharaan kedua kapal? Saya nggak yakin soal itu. Jadi pengadaan kapal kita selalu pakai anggaran ekstra (KE), sementara pemeliharaan gunakan anggaran rutin (APBN). Yah wajar kalau banyak unsur kita yang nggak siap.
Terus solusinya gimana? Nggak ada pilihan lain kecuali anggaran pemeliharaan harus naik drastis ketika ada kapal-kapal baru masuk ke jajaran armada. Kalau nggak, yah kita akan tambal sulam terus. Ada kapal-kapal yang akan ditunda pemeliharaannya agar bisa dukung pemeliharaan kapal-kapal lain yang dinilai lebih prioritas.
Untuk itu, diperlukan kemampuan lobi ke Departemen Pertahanan, Bappenas dan Departemen Keuangan. Dan juga DPR (terserahlah apa kepanjangan DPR itu. Ha..ha..ha..). Memelihara aset tempur AL memang mahal, tapi itu tergolong murah daripada harga diri kita diinjak-injak sama orang lain.

08 Juli 2008

Pengendalian SLOC

All hands,
Kekuatan laut Amerika Serikat sebagai kekuatan ekspedisionari mempunyai tugas pokok untuk mengamankan kepentingan negerinya di seluruh dunia. Salah satu kepentingan itu adalah pengendalian SLOC. Pengendalian SLOC yang merupakan bagian dari pengendalian secara operasional dilaksanakan oleh U.S. Navy lewat Armada Atlantik dan Armada Pasifik. Sedangkan pada tingkat politik dan hukum dilaksanakan oleh DOS alias Department of State alias Departemen Luar Negeri.
Kalau kita telusuri lebih jauh resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1816 (2008) tentang Somalia, itu merupakan bagian dari pengendalian SLOC. Uwak Sam ingin mengamankan SLOC yang terbentang dari Afrika Timur sampai Asia Timur. Pengendalian itu lebih ditujukan untuk menghadapi tantangan dari aktor non negara daripada aktor negara. Karena bentangannya dari Afrika Timur hingga Asia Timur, maka perairan yurisdiksi Indonesia sudah termasuk di dalamnya.
Skenario pengendalian SLOC oleh Amerika Serikat harus kita pahami. Pemahaman itu penting karena kita nggak bisa abaikan kepentingan dia. Selain itu, kemampuan untuk mengendalikan perairan kita sehingga dapat digunakan dengan aman oleh para pengguna sesungguhnya merupakan bargaining power bagi Indonesia. Hanya saja soal ini banyak pihak yang nggak paham.
Dan yang tak kalah pentingnya, kita bisa kembangkan strategi anti akses berangkat dari pemahaman itu. Meskipun U.S. Navy bukan tandingan kita, tapi hendaknya kita sekali-sekali unjuk gigi juga, ketika digencet oleh dia secara politik.
Kemampuan AL kita salah satunya harus dibangun untuk pengendalian SLOC. Probilitas bagi kita untuk bertempur dengan AL lain antara 40-50 persen. Sebab Washington nggak akan biarkan di perairan yurisdiksi Indonesia sebagai bagian dari SLOC dia ada naval engagement. Naval engagement itu akan ganggu manuver kapal dia dari Samudera Pasifik ke Samudera India dan sebaliknya, juga ganggu dia secara politik.
Dengan probabilitas kita bertempur di laut cuma antara 40-50 persen, artinya kita perlu kembangkan kemampuan untuk pengendalian SLOC di masa damai. Untuk itu, kita sebaiknya prioritaskan pengadaan kapal patroli yang lebih banyak dalam kapal kombatan seperti korvet dan fregat.
Kita tetap butuh kapal korvet dan fregat, sebab itu untuk menggantikan kapal-kapal sejenis yang sudah saatnya diganti. Dari perhitungan kasar, dalam 5-15 tahun ke depan mungkin kita hanya butuh 6-8 korvet dan atau fregat untuk gantikan fregat kelas Van Speijk. 6-8 itu sudah perhitungkan proyeksi kemampuan dukungan anggaran kita.
Kapal patroli yang dimaksud bukan kapal plastik alias fiber, tapi minimal sekelas FPB-57 dengan dipersenjatai senjata pemukul berupa rudal atau torpedo. Jadi kecil-kecil cabe rawit. Janganlah kita memaksakan kapal yang spesifikasinya nggak cocok buat kapal patroli jadi kapal patroli.

07 Juli 2008

John McCain dan Pembangunan Kekuatan AL

All hands,
Setiap menjelang pemilu Presiden Amerika Serikat, salah satu isu yang mengedepan antara calon Partai Republik dan Partai Demokrat adalah politik luar negeri. John McCain, mantan tawanan Perang Vietnam karena F-4 Phantom-nya ditembak jatuh oleh Vietnam Utara, mengidentifikasi sembilan isu dalam agenda kebijakan luar negerinya bila dia terpilih menuju Gedung Putih. Satu dari sembilan isu itu adalah revitalizing the transatlantic partnership.
Terkait dengan isu tersebut, McCain dengan tegas menyatakan:
We need a new Western approach to this revanchist Russia. We should start by ensuring that the G-8, the group of eight highly industrialized states, becomes again a club of leading market democracies: it should include Brazil and India but exclude Russia.
Saya garis bawahi exclude Russia. Kalau kebijakan McCain begitu, dapat dipastikan andai dia terpilih jadi Presiden, maka geopolitik dunia sepertinya akan diarahkan kembali menyerupai masa Perang Dingin. Artinya, akan ada dua kubu besar yang berhadapan dan Cina nampaknya akan menjadi kekuatan yang akan dibujuk oleh kedua belah pihak untuk in favor of kepada mereka. Tendensi McCain ke Perang Dingin semakin kuat ketika dia bicara isu defending the homeland. McCain bilang:
I will set up a new agency patterned after the erstwhile Office of Strategic Services. A modern-day OSS coul draw together specialists in unconventional warfare, civil affairs, and psychological warfare; covert-action operators; and expert in anthropology, advertising, and other relevant disciplines from inside and outside government.
Bagi kita yang belajar sejarah, kita sangat paham bagaimana sepak terjang OSS selama Perang Dunia Kedua dan sejak 1947 dilanjutkan oleh CIA. OSS adalah cikal bakal CIA.
Terus apa dampaknya buat Indonesia, khususnya pembangunan kekuatan AL? Indonesia kayaknya akan dihadapkan pada pertanyaan either you with us or against us. Kalau jamannya Bush Jr konteksnya adalah terorisme, di era McCain konteksnya adalah Rusia. Masalah bagi AL adalah untuk beberapa tahun ke depan, pembangunan kekuatan kita sedikit banyak akan mengandalkan pasokan alutsista dari Rusia. Yang sepertinya sudah pasti tank BMP-3. Yang masih tarik ulur kapal selam kelas Kilo, juga rudal jelajah Yakhont.
Pada sisi lain, kita nggak bisa andalkan om Sam dalam pembangunan kekuatan AL kita. Jangankan alutsistanya, ”restu”-nya saja susah.
So…it’s better for us to enter such an era, whether we like it or not.

Pengembangan Kemampuan AKS

All hands,
Kita sadari atau tidak, ancaman kapal selam terhadap kita semakin meningkat dalam dekade ini dan ke depan. Kalau dulu ancaman itu muncul dari Amerika Serikat dan Australia, sekarang sudah muncul dari negara-negara Asia Tenggara di sekitar kita. Khususnya Singapura dan Malaysia, yang terkesan saling berlomba operasikan kapal selam.
Menghadapi kondisi begitu, sudah sepantasnya kita kembangkan kemampuan AKS. Kalau bicara harga memang mahal, tapi apa sih teknologi AL yang murah??? Masalah kemampuan AKS adalah The Hobson Choice, yang artinya no choice at all.
Terus bagaimana sebaiknya pengembangan kemampuan AKS kita? Secara garis besar, itu harus padukan antara sistem yang ada di kapal atas air, pesawat udara dan sistem deteksi bawah air. Kalau nggak salah, AL kita pesan dua pesawat CN-235 ASW kepada PT.DI. Itu bagus, karena memang pesawat patroli maritim itu fungsi asasinya yah AKS. Memang designasi pesawat ASW tidak populer di dunia internasional, karena mereka lebih suka pakai designasi MPA. Cuma karena di sini MPA seolah-olah punyanya AU (AU mikirnya gitu), yah diakalilah pakai ASW. Selain pesawat sayap tetap, kita juga butuh pesawat sayap putar.
Lalu bagaimana dengan kapal atas air kita? Untuk AKS ada baiknya kita kembangkan kapal dengan platform besar. Saya nggak mengatakan kapal KCT kita nggak bagus, cuma dengan platform yang terbatas, berarti kemampuan operasionalnya juga terbatas. Untuk perairan dalam sepertinya KCT kurang tepat. Belum lagi kita berbicara soal senjata bela dirinya, khususnya hadapi ancaman kapal selam itu sendiri.
Menurut hemat saya, kita perlu pula memprioritaskan pengembangan korvet atau fregat AKS ke depan. Kalau kita petakan, kebutuhan kapal kombatan atas air yang kita butuhkan terdiri dari tiga kemampuan yaitu ASUW, AAW dan ASW. Untuk ASUW, kapal yang ada sekarang sudah mencukupi. Yang belum itu AAW dan ASW. Kita perlu kapal dengan spesialisasi itu.
Dalam pengadaannya, bisa saja kita bagi dua dalam satu kelas. Misalnya, kita dalam 5 atau 10 tahun ke depan akan adakan 4 atau 6 kapal kelas korvet atau fregat. Dari jumlah 4 atau 6 itu, sebagian kita rancang kemampuannya untuk AAW, sebagian lagi untuk ASW alias AKS. Pendekatan itu lebih murah secara biaya daripada setiap AAW dan ASW terdiri dari kelas yang berbeda.
Kata kuncinya adalah kita butuh tingkatkan kemampuan AKS kita. Salah satu caranya adalah lewat pengadaan kapal baru. Kalau kita beli peralatan AKS baru dan dipasang pada kapal-kapal kita sekarang, saya khawatir itu tidak akan efektif. Sebab usia operasional kapal-kapal itu sudah tidak akan panjang, kecuali kelas Sigma.

02 Juli 2008

Alih Teknologi Militer

All hands,
Karena posisi kita sebagai konsumen senjata lebih banyak dirugikan dan didikte oleh produsen, ada keinginan dari kita untuk alih teknologi. Cuma masalahnya, apakah itu realistis? Dari perspektif persaingan bisnis, rasanya sulit buat pihak yang memegang teknologi mengalihkan teknologinya ke konsumen. Sebab itu artinya sama saja dengan mengurangi keuntungan bisnis mereka, membuat konsumen jadi mandiri.
Dulu ada gagasan pengembangan korvet nasional di PT. PAL. Sebagai mitra, PT. PAL gandeng Fincantieri dari Italia. Sekarang program itu nggak kedengaran lagi tuh gimana jadinya. Apakah nggak ada dukungan dari pemerintah? Dukungan di sini bukan cuma dukungan di mulut, tapi dukungan dana. Termasuk komitmen bahwa produk itu akan dibeli oleh pemerintah, dalam hal ini AL.
Sebangun ceritanya dengan FPB-60 yang merupakan pengembangan dari FPB-57. Gimana kelanjutannya? Apakah lagi-lagi nggak ada dukungan dari pemerintah? Dalam arti produk itu nanti akan dipakai oleh AL seperti halnya FPB-57 itu kan lisensi. Terus apa teknologi yang kita dapat dari lisensi? Jangan-jangan cuma platform aja. Yang lain-lain seperti sewaco nggak dapat. Lisensi itu kan salah satu metode alih teknologi.
Torpedo SUT kita sudah bikin sendiri di PT. DI dengan pola lisensi. Tapi sejauh mana kita kuasai teknologi torpedo? Jangan-jangan kita cuma bisa merakit. Saya harap hal itu bukan kenyataan sebenarnya.
Sudah kita melakukan assessment soal penguasaan teknologi lewat lisensi? Harusnya BUMN industri pertahanan lakukan assessment itu. Atau setidaknya Departemen Pertahanan lakukan assessment selaku pemakai. Sehingga kita bisa ukur kemampuan kita sesungguhnya.
Dalam dunia yang semakin interdependen, ketergantungan bahan baku sangat tinggi. Pada torpedo SUT, berapa persen yang komponennya kita bikin sendiri di sini? Di FPB-57, berapa persen komponen berasal dari dalam negeri?
Orang bijak mengatakan bahwa teknologi harus direbut alias dicuri. Jangan pernah harapkan alih teknologi. Terus kita bagaimana? Masih harapkan alih teknologi?
Teknologi berkaitan dengan bisnis. Teknologi berkaitan dengan dominasi dan penguasaan. Dominasi dan penguasaan terkait dengan domain politik.

Aturan Pelibatan Mohon Petunjuk

All hands,
Kalau kita pelajari aturan-aturan pelibatan (rules of engagement) yang ditetapkan buat AL kita, misalnya Aturan Pelibatan Unsur-unsur AL Di Wilayah Perairan Kalimantan Timur perbatasan Indonesia-Malaysia Di Masa Damai, sangat jelas bahwa substansinya itu bukan aturan pelibatan. Kenapa begitu? Karena sebenarnya aturan pelibatan memberikan kewenangan, discretion kepada on scene commander untuk bertindak membela diri dalam kondisi hostile act. Kan begitu yang diajarkan kepada kita, karena teorinya secara universal memang begitu.
Tapi apa yang terjadi di lapangan? Aturan pelibatan yang ditandatangani oleh bos besar TNI substansinya bukan aturan pelibatan. Gimana nggak, setiap ada hostile act dari lawan kita harus mohon petunjuk ke komando atas. Kalimatnya yang kita sangat hafal di luar kepala…”Laporkan ke komando atas, infokan ke komando samping”. Ada lagi yang bunyinya…”laksanakan penghindaran sambil menyiapkan sista dan menunggu perintah lebih lanjut”.
Celaka itu!!! Celaka aturan pelibatan kayak gitu. Padahal komando atasnya ratusan bahkan ribuan kilometer dari kapal kita. Jangan-jangan pas dilaporkan ke komando atas, komando atasnya lagi main golf. Ha..ha..ha..
Dari aturan pelibatan yang kayak begitu, saya berani berkesimpulan bahwa pemegang komando TNI nggak berani ambil resiko!!! Alasannya sih demi menjaga hubungan baik dengan negara lain!!! Kedaulatan nggak bisa ditukar dengan menjaga hubungan baik. Kapal perang itu extended territory. Hostile act terhadap kapal perang kita artinya hostile act terhadap negeri kita.
Singkatnya, kita butuh aturan pelibatan yang tegas, yang dalam substansi sebenarnya. Untuk mempunyai aturan pelibatan seperti itu, kita butuh pemimpin yang berani ambil resiko untuk kepentingan bangsa, bukan pengecut. Di negara-negara lain, aturan pelibatan di kapal perang mereka ditandatangani oleh Presiden!!! Bukan Menteri Pertahanan, apalagi panglima militer. Dengan kondisi sekarang, kalau ada engagement di laut yang paling gampang dikambinghitamkan adalah rekan-rekan kita yang jadi komandan KRI.

Sikap Taktis Terhadap PSI

All hands,
Amerika Serikat sebagai pencetus Proliferation Security Initiative (PSI) nggak cape-cape dan bosan-bosannya bujuk Indonesia dengan segala cara untuk setujui gagasan itu. Terakhir kalinya minggu lalu dalam sidang panel PBB mengenai hukum laut internasional. Dalam sidang itu, Washington melalui sekutu dan kawan-kawannya tanyakan kembali sikap Indonesia soal PSI.
Sikap Indonesia soal itu jelas, menolak. Karena dianggap bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS 1982) yang mengakui kedaulatan negara di wilayah perairan yurisdiksi. Selain itu, UNCLOS juga akui kebebasan bernavigasi yang tak bisa diinterupsi oleh negara pantai.
Masalah kebebasan bernavigasi itu sejak lama jadi ajang tarik menarik kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Ketika dulu bahas draf UNCLOS 1982, negara-negara maju nggak mau ada gangguan terhadap kebebasan bernavigasi di perairan yurisdiksi suatu negara. Sikap itu dilatarbelakangi oleh kepentingan mereka untuk menyebarkan kekuatan militer, khususnya kekuatan maritim, ke mana saja dan kapan saja. Maklum, waktu itu lama jaman Perang Dingin.
Sedangkan ada negara-negara berkembang yang nggak mau memberikan kebebasan bernavigasi secara mutlak di perairan yurisdiksi. Indonesia termasuk ke dalam kelompok itu. Setelah tarik-menarik kepentingan itu, lahirlah rezim lintas alur laut kepulauan alias archipelagic sea lanes (ASL). ASL yang di tempat kita dikenal sebagai ALKI sebenarnya merupakan jalan tengah alias alat take and give asalkan status negara kepulauan diakui oleh hukum laut internasional.
Ketika Perang Dingin usai, muncul ancaman asimetris. Yang paling terkenal yah terorisme dan proliferasi senjata pemusnah massal. Washington takut ada keterkaitan antara dua isu itu, yang mana dia takut kelompok teroris punya akses dan kuasai senjata pemusnah massal. Kalau sampai itu terjadi, om Sam akan kelabakan hadapi Osama Bin Ladin cs.
Makanya pada 28 April 2004 uwak Sam sponsori lahirnya resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1540 (2004) tentang proliferasi senjata pemusnah massal kepada aktor non negara. Nggak lama setelah resolusi itu lahir, dimunculkanlah PSI pada pertemuan di Krakow, Polandia pada 31 Mei-1 Juni 2004. Menurut data, lebih dari 60 negara yang menyatakan setujui dengan Statement of Interdiction Principles (SoIP)-nya PSI.
Di Asia Tenggara, cuma negeri kecil yang licik dan rakus yang terletak di utara Pulau Batam yang adopsi SoIP. Negara-negara lainnya masih belum setuju PSI. Bagi Washington sebagai penggagas PSI, partisipasi Indonesia sangat penting bagi PSI, sebab negeri kita tempat yang ideal untuk interdiksi maritim. Kita kan punya selat-selat, chokepoints yang merupakan bagian dari perlintasan navigasi internasional.
Sikap Indonesia soal PSI juga jelas dan terang benderang. Cuma ketika tekanan makin kuat, pada 2005 Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mencoba bermain taktis dengan menyatakan bisa menerima PSI on ad hoc. Sikap beliau yang begitu bagi saya sangat dipahami, karena sulit bagi Indonesia untuk tidak bersikap kooperatif terhadap om Sam. Cuma sikap itu ditentang keras oleh Menteri (di) Luar Negeri Hassan Wirayuda (maklum, dalam setahun hampir enam bulan posisinya di luar negeri terus). Wirayuda menentang keterlibatan apapun Indonesia dalam PSI.
Ketika sekarang Washington kembali menekan kita soal PSI, harusnya Indonesia bersikap taktis seperti yang pernah digagas oleh Menteri Pertahanan. Menurut pemahaman saya, Menteri Pertahanan lebih paham soal ”bermain” taktis daripada Menteri (di) Luar Negeri yang terlalu kaku dengan prinsip hukum. Kita harus pahami bahwa dalam pergaulan internasional, power alias kekuatan militer itu yang menentukan. Jadi percuma Menteri (di) Luar Negeri gembar-gembor soft diplomacy kalau kekuatan militer nggak mendukung itu.
Bagaimana kita bermain taktis soal PSI? Kita laksanakan terus latihan AL dengan U.S. PACOM, termasuk yang materinya interdiksi maritim. Kita juga harus coba jajaki intelligence sharing dengan U.S PACOM dengan syarat dia juga mau sharing info ”berat” ke kita. Kalau dia nggak mau sharing info ”berat”, susah. Uwak Sam kan curangnya di situ, minta info ”berat” ke kita, tapi dia nggak mau kasih info ”berat” juga. Jadi asas resiprokal alias timbal balik nggak berlaku.
Soal latihan-latihan dengan U.S. PACOM, Departemen (di) Luar Negeri harus diam aja, jangan risih dan cerewet. Dan kita sebaiknya tutup telinga kalo departemen itu risih dan cerewet. Ada kepentingan nasional yang harus kita amankan, dan untuk amankan itu kita harus bersikap taktis terhadap Washington. Hendaknya kita ingat, bila Washington gagal masuk di satu pintu, dia akan goyang kita lewat pintu lain.

Peperangan Generasi Keempat

All hands,
Bagi kita di domain AL, istilah peperangan generasi keempat (fourth generation warfare) bukan sesuatu yang asing di telinga. Tapi bagi yang berada di luar kita, belum tentu mereka paham. Jangan-jangan malah baru dengar. Ha..ha..ha.. Itulah hebatnya AL!!!
Terminologi peperangan generasi keempat pertama kali dipopulerkan oleh Kolonel William S. Lind, USMC dan kawan-kawan pada 1989 lewat tulisan majalah Marine Corps Gazette berjudul The Changing Face of War: Into the Fourth Generation. Jadi pencetus pemikiran tentang pemikiran tentang peperangan generasi keempat masih saudara kandungnya AL juga. Ha..ha..ha..
Peperangan generasi pertama sampai ketiga dimonopoli oleh aktor negara. Kekerasan adalah monopoli negara. Titik!!! Tapi premis itu gugur dengan sendirinya ketika muncul peperangan generasi keempat. Kini pelaku kekerasan bukan saja aktor negara, tapi juga aktor non negara.
Munculnya peperangan generasi keempat tidak lepas dari perubahan masyarakat di dunia, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan technical yang mempengaruhi sifat alamiah (nature) dari perang. Kolonel Lind dan kawan-kawan mempostulasikan sejarah peperangan, khususnya dari pengalaman peradaban Barat, dalam beberapa fase yang berbeda. Fase pertama dimulai tahun 1648 ketika negara-negara Eropa, menandatangani perdamaian Westphalia yang merupakan awal dari munculnya konsep negara bangsa. Adapun fase lengkap tiga generasi peperangan sebelumnya adalah sebagai berikut:

Peperangan Generasi Pertama
Tactics : Line and column
Economy : Surplus of peoples and resources
Politics : Nation states mobilized population and resources
Society : ”Rules of war” resulted from Thirty Years War and Treaty of Westphalia
Technology : Musket, muzzle load artillery


Peperangan Generasi Kedua
Tactics : Mass firepower
Economy : Mass product
Politics : Total mobilization of nation state
Society : Social pressure kept men at the colors
Technology : Rail road, telegraph, small arms, artillery



Peperangan Generasi Ketiga
Tactics : Penetration and disruption
Economy : Mechanized economy
Politics : Capacity of nation state to innovate
Society : Society that produce speciliazed skills that enable freedom of action (e.g pilots, mechanics, etc)
Technology : Internal combustion, aircraft, radio



Peperangan generasi keempat itu merupakan konsep baru yang berpijak pada networked, transnational dan information based. Peperangan ini menggunakan semua jaringan politik, ekonomi, sosial dan militer yang tersedia untuk melakukan serangan langsung terhadap keinginan (the will) pemimpin politik musuh. Di sini sasarannya adalah untuk mengubah pemikiran para pembuat kebijakan musuh secara langsung.
Konsep dasar peperangan ini adalah keinginan politik yang lebih kuat dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Dengan kata lain, peperangan generasi keempat karakteristiknya bersifat politik, protracted dan networked.
Siapa yang praktekkan peperangan ini? Kelompok Osama Bin Ladin, di Irak dan Afghanistan, juga kelompok Hizbullah di Lebanon. Mereka sadar betul akan kalah kalau menghadapi uwak Sam dan Israel secara simetris. Makanya mereka garap asimetris.
Dalam pemikiran Lind yang terbaru, dia menilai bahwa peperangan generasi keempat juga diwarnai oleh kembali “berhadapannya” kultur dunia yang di masa lalu pernah berhadapan. Yaitu Barat yang identik dengan identitas Kristen dan Islam. Setidaknya itu yang terjadi di wilayah-wilayah yang identik dengan pusat politik dan budaya Islam, khususnya Arab dan sekitarnya. Namun tidak berarti bahwa peperangan generasi keempat adalah peperangan agama, sebab siapa pun bisa eksploitasi metode peperangan ini.
Dalam konteks maritim, peperangan generasi keempat sudah terjadi. Serangan Al Qaida terhadap USS Cole, MV Limburg dan serangan kelompok Hizbullah terhadap kapal korvet Ahi Hanit adalah bagian dari peperangan generasi keempat. Bagaimana dengan Indonesia sekarang? Siap nggak menghadapinya?

01 Juli 2008

Standar Ganda Amerika Serikat Soal Maritim

All hands,
Kita sudah sama-sama paham bahwa Amerika Serikat selalu pakai standar ganda dalam hubungannya dengan negara atau pihak lain. Begitu pula dalam soal maritim. Dalam beberapa waktu terakhir, saya melihat adanya kecenderungan Washington manfaatkan IMO dan lembaga PBB yang terkait hukum laut internasional untuk kepentingannya. Ini sebuah preseden baru, sebab di masa lalu uwak Sam sepertinya nggak terlalu anggap penting lembaga-lembaga itu.
Hasilnya bisa kita lihat dari terbitnya resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1816 (2008) soal keamanan maritim di Somalia. Contoh lainnya adalah di sidang Grup Hukum Laut Internasional PBB minggu lalu. Di sidang itu, Amerika Serikat menaikkan isu PSI dengan menanyakan sikap negara-negara lain yang selama ini tidak setuju dengan PSI, termasuk Indonesia.
Padahal kita sama-sama tahu, UNCLOS memiliki beberapa pasal yang secara prinsipil bertentangan dengan PSI. Kok Washington mau paksa pihak lain agar langgar PSI? Itulah kepentingan politik, yang pasti dan senantiasa abaikan hukum internasional. Artinya, kekuatan militer dapat dan mungkin akan selalu kalahkan hukum internasional. Kan nggak ada sanksi pidananya bila suatu negara langgar hukum internasional. Ha..ha..ha..
So...pesan yang ingin disampaikan di sini adalah kita harus jeli dan hati-hati dengan langkah-langkah Amerika Serikat gandeng lembaga internasional bidang maritim untuk kepentingan dia. Kita masih punya isu ALKI Timur-Barat, PSI, keamanan maritim (khususnya di Selat Malaka) yang berpotensi dibawa ke lembaga internasional oleh om Sam. Saya ulangi, potensi!!!
Maksudnya, walaupun baru pada tingkat potensi tetapi kita harus tetap waspada. Kita harus ingat bahwa daya tawar kita terhadap Amerika Serikat nggak banyak. Salah satu daya tawar adalah perairan kita. Cuma masalahnya apakah kita bisa eksploitasi itu?
Om Sam yang selama ini kurang anggap AL kita sekarang mulai lain. Dia mulai cermati bangkuat AL kita, khususnya kerjasama dengan Cina. Dua FPB-57 kita sudah dipersenjatai rudal C-802 buatan Cina, dua KRI lagi menyusul. Itu bikin Washington nggak nyaman, walaupun C-802 bukan senjata canggih-canggih amat.
Bagi dia, adanya C-802 berarti kembali tingkatkan kemampuan anti akses Indonesia. Sebelumnya kan menurun karena rudal Harpoon expired. Exocet juga begitu. Kalau kerjasama militer kita dengan Cina terus meningkat, mungkin dia akan pukul di bidang lain.
Dulu waktu kita mau kerjasama dengan Rusia dan sebuah negeri lain, dia pukul dengan pergantian pimpinan AL. Adalah hak kita untuk kerjasama dengan siapa pun untuk bangun AL. Namun ada baiknya itu dilakukan dengan hati-hati, agar bangkuat kita tidak mengalami kemunduran karena tekanan eksternal yang bersifat invisible. Bukan keinginan kita untuk menyaksikan bangkuat kita jalan di tempat.