26 September 2008

Sulitnya Perencanaan Masa Kini

All hands,
Bagi kita yang berada pada tataran strategis, membuat perencanaan untuk 10-20 tahun ke depan bukan merupakan pekerjaan gampang. Menjadi sulit karena dalam menyusun perencanaan, ada faktor-faktor yang bukan berada dalam domain kita. Sebagai contoh, dalam 10 tahun ke depan misalnya kita merencanakan pengadaan sekian kapal perang. Dalam realitanya, hal itu bisa terwujud bila kinerja ekonomi nasional juga mendukung.
Bila kinerja ekonomi nasional tidak mendukung, maka pencapaian sasaran di bawah 100 persen. Itu baru aspek ekonomi. Belum lagi aspek politik, baik internal maupun eksternal. Nggak heran bila sebagian pihak menyarankan agar kita nggak membuat perencanaan strategis dengan skenario ideal.
Untuk mengatasi masalah itu, salah satu alternatif adalah political will pemerintah membangun Angkatan Laut. Konkritnya, pemerintah harus berkomitmen (dan membuktikannya) bahwa dalam sekian tahun, dalam kondisi ekonomi apapun, Angkatan Laut harus punya sekian kapal perang dan lain-lain. Tanpa itu, sulit kita untuk mewujudkan perencanaan strategis yang sudah kita susun karena akan sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Tercapai tidaknya probangkuat akan didikte oleh ekonomi.
Kalau nggak mau didikte oleh ekonomi, yah political will itu mutlak. Jangan seperti sekarang, dengan alasan kinerja ekonomi kurang bagus, tahun 2009 APBN untuk pertahanan nilainya turun dibanding APBN 2008. Mestinya anggaran pertahanan itu dikecualikan dari pengurangan.

Keragaman Sumber Logistik

All hands,
Dukungan logsitik merupakan hal yang mutlak bagi keberhasilan operasi Angkatan Laut. Tanpa dukungan logistik, operasi Angkatan Laut tidak akan mencapai tujuan yang ditetapkan. Oleh karena itu, logistik selain sebagai sumber kekuatan, juga bersifat vulnerable. Apalagi bila sumber logistik berada di negeri-negeri di seberang lautan sana.
Di AL kita, sebagian besar kapal perang kita berasal dari Eropa, khususnya unsur kapal kombatan. Sebagian besar kapal kombatan kita usianya sudah di atas 30 tahun, bahkan ada yang di atas 40 tahun. Untuk memperpanjang masa hidup kapal-kapal itu, salah satu yang ditempuh adalah melalui perpanjangan usia pakai. Di ataranya adalah repowering, yang mana mesin aslinya diganti dengan mesin lain.
Sebagian besar kapal kombatan kita sudah menjalani repowering. Dalam repowering itu, mesin yang dulunya mesin uap diganti dengan mesin diesel, dengan alasan lebih hemat bahan bakar. Mesin yang dipakai pun pada dasarnya merupakan mesin komersial, bukan spesifikasi militer seperti aslinya.
Kalau kita perhatikan merek-merek mesin yang menggerakkan kapal kombatan kita saat ini, mereknya ada beberapa seperti MTU (beberapa seri yang berbeda), CAT, MWM DEUTZ. Bahkan nggak jarang dalam satu kelas kapal, mesinnya terdiri dari tiga merek yang berbeda. Perbedaan itu berimplikasi pula pada BHP dan TBO yang berbeda-beda pula.
Keanekaragaman merek itu nggak lepas dari siapa yang melaksanakan repowering itu. Beda rekanan yah beda mesin. Hal itu terpaksa dilakukan karena pemerintah nggak mampu biayai repowering sekaligus, melainkan bertahap.
Berangkat dari situ, hal itu hendaknya menjadi pelajaran buat kita di masa depan. Karena dengan berbinekanya merek mesin, maka biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan mesin berbeda-beda. Membiayai Angkatan Laut memang tidak murah, tapi bagaimanapun kita harus mencari cost effectiveness. Prinsip cost effectiveness ini yang belum sepenuhnya dipahami oleh kita dalam menggerakkan organisasi.

25 September 2008

Interoperability Angkatan Laut

All hands,
Dalam operasi Angkatan Laut multinasional, apapun payungnya, isu interoperability merupakan masalah pokok yang pertama mengedepan. Kenapa demikian? Sebab tidak semua Angkatan Laut yang terlibat mempunyai pengalaman yang cukup dalam combined operations. Cuma negara-negara yang terikat dalam pakta militer atau perjanjian sejenis sehingga Angkatan Laut-nya sering berinteraksi yang punya pengalaman soal interoperability.
Masalah interoperability bukan saja diidap oleh Angkatan Laut negara-negara berkembang, tapi juga oleh negara-negara maju. Sebagai contoh, dalam Perang Teluk 1990-1991, kapal-kapal perang U.S. Pacific Fleet dan U.S. Atlantic Fleet butuh waktu untuk membangun interoperability dalam perang itu. Buat sebagian dari kita hal itu tentu aneh, sebab kapal-kapal perang Amerika Serikat di mana-mana kan memakai SOP yang sama.
Itu baru interoperability antara dua armada berbeda dalam satu Angkatan Laut. Belum lagi antar negara, meskipun sebagian dari mereka tergabung dalam NATO. Cakupan interoperability itu luas, mulai dari urusan “sepele” seperti replenishment at sea (RAS) sampai ke komunikasi taktis dan lain sebagainya.
Masalah interoperability utamanya akan dihadapi oleh Gugus Tugas Angkatan Laut yang statusnya ad-hoc forces. Kalau standing forces tidak, karena mereka intensitas interaksinya cukup tinggi.
Indonesia harus memperhatikan isu interoperability ini terkait dengan pengiriman Gugus Tugas AL ke UNIFIL MTF. AL kita dituntut untuk mampu interoperability dengan AL EUROMARFOR.

24 September 2008

Angkatan Laut Sebagai Instrumen Diplomasi

All hands,
Krisis Rusia-Georgia yang berlanjut hingga hari ini memperlihatkan bahwa Angkatan Laut punya peran penting. Ketika Rusia menghentikan operasi militernya di Abkhazia dan Ossetia Selatan, Amerika Serikat langsung sebarkan kapal perangnya USS McFaul (DDG-74) beserta dua kapal U.S. Coast Guard ke Laut Hitam yang sebagian merupakan perairan Georgia.
Sebagai balasan, Rusia mengirimkan Gugus Tugas Angkatan Laut ke Venezuela untuk latihan bersama di perairan Amerika Selatan. Jenis kapal perang yang dikirim antara lain kapal penjelajah nuklir RFS Peter The Great dan kapal anti kapal selam RFS Admiral Chabanenko. Bersama-sama dengan kapal perang Venezuela, mereka akan gelar latihan bersama November nanti.
Manuver Washington dan Moskow kirim kapal perang ke dekat wilayah masing-masing lawannya merupakan bagian dari diplomasi Angkatan Laut. Atau bahkan dapat digolongkan sebagai gunboat diplomacy. Penyebaran kapal perang itu mengandung maksud agar pihak lawan tidak macam-macam, singkatnya kehadiran kapal perang itu mengirim pesan jelas dan gamblang kepada pihak lawan.
Eksploitasi kekuatan Angkatan Laut untuk kepentingan diplomasi sebenarnya bukan hal baru. Itu sudah berlangsung ratusan tahun silam. Dan peran itu tidak akan hilang selama di dunia masih ada Angkatan Laut. Bagaimana pun, dengan kemampuannya untuk beroperasi jauh dari negara induknya dalam waktu yang lama, Angkatan Laut senantiasa akan menjadi pilihan utama diplomasi bagi negara-negara yang paham akan karakteristik Angkatan Laut.
Diplomasi tidak cukup dengan kata-kata santun para diplomat didikan Departemen Luar Negeri. Diplomasi harus didukung oleh kekuatan militer, khususnya Angkatan Laut. Angkatan Laut merupakan salah satu instrumen diplomasi. Masalahnya adalah Departemen Luar Negeri Indonesia dihuni oleh para pecinta perdamaian dunia (walaupun untuk perdamaian itu harus dibayar mahal dengan diinjak-injaknya martabat bangsa Indonesia), sehingga tidak mau akui AL kita sebagai instrumen diplomasi.

23 September 2008

Karakteristik Gugus Tugas AL Multinasional

All hands,
Dalam suatu Gugus Tugas Angkatan Laut Multinasional, terdiri beberapa karakteristik yang berbeda dan hal itu terkait dengan statusnya. Setidaknya terdapat tiga karakteristik berbeda yang mempengaruhi Gugus Tugas Angkatan Laut Multinasional, yaitu ad hoc forces, on-call forces dan standing forces.
Ad hoc forces dimobilisasi dalam kondisi darurat (tidak dipersiapkan sebelumnya), kesiapannya rendah, berada dalam komando nasional negara asal, dirancang untuk mencapai tujuan jangka pendek dan sementara dan interoperability-nya lemah, kecuali bagi negara-negara yang sebelumnya telah mempunyai kerjasama antar Angkatan Laut.
On-call forces adalah kekuatan laut yang secara struktur sudah ada sebelumnya, namun tidak permanen. Kekuatan ini lebih banyak digunakan untuk kepentingan negara asal, kecuali ketika ada latihan bersama atau kontinjensi, maka statusnya adalah on-call. Meskipun sudah berada dalam struktrur organisasi suprasional, namun seringkali komando dan kendalinya tetap lebih dominan di negara asal. Jangka waktu komitmen on-call forces adalah permanent on part-time basis.
Sedangkan standing forces adalah kekuatan laut yang telah diintegrasikan ke dalam komando multinasional. Meskipun secara hukum satuan ini tetap milik negara asalnya, namun dalam pelaksanaan misinya sudah berkarakter multinasional. Komando dan kendalinya berada pada organisasi supranasional, bukan lagi negara asal. Standing forces sudah terintegrasi dengan baik, sehingga dapat melaksanakan interoperability.
NATO mempunyai standing naval forces, yaitu Standing Naval Forces Atlantic (STANAVFORLANT) yang bermarkas di Northword, Inggris dan Standing Naval Forces Mediterranean (STANAVFORMED) yang bermarkas di Napoli, Italia. Begitu juga dengan Uni Eropa dengan EUROMARFOR.
Seiring dengan integrasi Standing Naval Forces ke dalam NATO Reaction Forces (NRF) sejak 1 Januari 2005, STANAVFORLANT dan STANAVFORMED berubah nama menjadi Standing NRF Maritime Group-1 (SNMG-1) dan Standing NRF Maritime Group-2 (SNMG-2).
Masalah utama dalam Gugus Tugas Angkatan Laut Multinasional adalah soal komando dan kendali (Kodal). Beberapa negara seperti Amerika Serikat konstitusinya melarang pasukan militernya berada di bawah kodal asing. Kalau soal interoperability, nggak terlalu susah mengatasinya karena itu dimensi teknis. Sementara kodal itu berdimensi politik.
Apakah di Asia Pasifik sudah diperlukan Standing Naval Forces? Apakah Indonesia sudah siap dengan konsep itu?

Misi EUROMARFOR

All hands,
Tentu menjadi pertanyaan, misi apa saja yang dapat dilaksanakan oleh EUROMARFOR. Misi EUROMARFOR ada tiga, yaitu:

1. Humanitarian missions and evacuation of nationals,
2. Peacekeeping missions,
3. Combat missions for crisis management, including operations to restore peace.


Kalau memperhatikan misinya, sangat jelas bahwa misi EUROMARFOR mulai dari yang “lunak” sampai yang “keras”. Semua misi itu menggunakan aturan pelibatan yang keras. Artinya, walaupun dia sedang melaksanakan humanitarian missions and evacuation of nationals, namun bila ada yang ancam operasi itu, maka EUROMARFOR akan menggunakan semua sarana yang tersedia (all available means) untuk hadapi ancaman itu.
Contoh dari evacuation of nationals adalah saat Perang Lebanon Juli-Agustus 2006 antara gerilyawan Hizbullah vs Israel. Negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan India sebar kapal perang mereka ke sana untuk melakukan evakuasi warganya dari Lebanon. EUROMARFOR juga terlibat waktu itu.
Soal peacekeeping, berarti EUROMARFOR menggelarnya setelah peace enforcement tercipta di wilayah operasi. Kalau sudah damai, baru di-keep. Sebelum itu, menurut saya dia akan melaksanakan operations to restore peace. Operations to restore peace itu sepemahaman saya termasuk ke dalam kategori peace enforcement.
Peace enforcement artinya memaksakan terciptanya perdamaian tercipta dengan menggunakan semua sarana yang tersedia. Pemaksaan perdamaian artinya apabila ada di antara dua pihak yang bertikai menolak berdamai, maka EUROMARFOR berhak untuk memerangi pihak itu sampai mereka setuju untuk berdamai.
Untuk mendukung misi-misi tersebut, tentu harus diperhatikan siapa yang kasih mandat. Mandat itu penting, karena dia dasar hukum dan pembenaran bagi misi yang dilaksanakan. Dalam konteks EUROMARFOR, pemberi mandatnya bisa Dewan Keamanan PBB, bisa EU, bisa pula NATO atau kelompok multinasional lainnya.
Adanya EUROMARFOR menunjukkan bahwa Angkatan Laut merupakan salah satu penjaga stabilitas perdamaian dunia dan kawasan. Oleh karena itu, AL kita harus berdaya pula agar lebih sering terlibat dalam misi multinasional untuk penjagaan perdamaian.

22 September 2008

EUROMARFOR Dan Gugus Tugas AL

All hands,
Dalam UNIFIL Maritime Task Force (UNIFIL MTF) di Lebanon, motor utamanya adalah EUROMARFOR. EUROMARFOR adalah Gugus Tugas Angkatan Laut negara-negara Eropa yang sejauh ini sifatnya non permanen. Negara-negara yang tergabung dalam EUROMARFOR antara lain Jerman, Prancis, Portugal, Belanda dan Italia.
Dalam penyebarannya, EUROMARFOR beroperasi di bawah pengawasan Uni Eropa. Namun Gugus Tugas ini dapat saja beroperasi bersama dengan NATO atau kekuatan lainnya. Di Lebanon sebagai contoh, dia beroperasi dalam UNIFIL MTF yang berada di bawah komando dan kendali PBB.
Terbentuknya EUROMARFOR tak lepas dari keinginan negara-negara Eropa untuk mengurangi ketergantungan keamanan terhadap Amerika Serikat. Selain itu, dalam perkembangannya antara hubungan Trans Atlantik, seringkali terjadi perbedaan pandangan mengenai bagaimana menangani isu-isu keamanan internasional antara Washington dengan negara-negara Eropa. Negara-negara Eropa seringkali kurang setuju dengan pendekatan Washington yang mengutamakan represif untuk menangani isu yang berkembang.
EUROMARFOR merupakan satu-satunya Gugus Tugas Angkatan Laut di dunia yang dibentuk oleh suatu organisasi kawasan non militer. Seperti kita ketahui, Uni Eropa itu berbeda dengan NATO. Menarik untuk dikaji apakah mungkin suatu saat negara-negara di Asia Tenggara membentuk suatu Gugus Tugas seperti itu. Pembentukan Gugus Tugas itu akan punya banyak konsekuensi, mulai dari komando dan kendali hingga logistik.

Good Order At Sea

All hands,
Setelah Perang Dingin berakhir, isu good order at sea menjadi isu sentral di laut. Komunitas internasional berkepentingan agar tidak ada ancaman terhadap keselamatan dan keamanan bernavigasi di laut. Ancaman terhadap itu merupakan ancaman terhadap globalisasi, karena laut adalah salah satu tulang punggung globalisasi.
Seperti kita ketahui, mayoritas perdagangan dunia dilaksanakan lewat laut, termasuk pula di dalamnya transportasi energi. Security of energy dan energy security merupakan dua hal yang penting di laut. Tentu saja ada beda antara keduanya. Itu akan dijelaskan di bagian lain.
Kembali ke good order at sea, peran Angkatan Laut sangat sentral di sini. Negara-negara maju menyebarkan kekuatannya ke perairan di luar wilayahnya, salah satu tujuannya untuk menjamin good order at sea. Good order at sea pada dasarnya merupakan bagian dari fungsi konstabulari Angkatan Laut.
Karena isu good order at sea maka banyak pihak berteriak soal Selat Malaka. Mereka menilai bahwa perompakan di perairan itu merupakan ancaman terhadap good order at sea. Dan mereka nggak akan segan sebar kekuatan ke Selat Malaka bila kondisi di sana tidak kondusif.
Karena good order at sea pula, maka terbit Resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1816 (2008) soal keamanan maritim di perairan Somalia. Somalia sejak 1991 merupakan failed state, negara tanpa pemerintahan yang efektif. Para warlords di Somalia cari uang dengan berbagai cara, termasuk dengan merompak dan membajak.
Sudah banyak korban dari kegiatan itu. Minggu lalu pasukan komando Prancis tewaskan beberapa pembajak yang sandera beberapa warga negara Prancis yang berlayar di dekat Somalia. Sampai saat ini, meskipun sudah terbit resolusi S/Res/1816 (2008), tetapi sepertinya kekuatan Angkatan Laut negara-negara Eropa (EUROMARFOR) belum masuk ke sana untuk melaksanakan operasi anti pembajakan dan perompakan.
Karena pentingnya good order at sea, Indonesia harus paham. Sebab bila kita nggak paham, orang lain yang akan masuk ke wilayah perairan kita untuk laksanakan “pengamanan”. Pekerjaan rumah yang beres bagi Indonesia soal good order at sea adalah penataan manajemen keamanan maritim.

19 September 2008

Operasi Perdamaian Maritim UNIFIL

All hands,
Salah satu elemen kekuatan UNIFIL di Lebanon adalah UNIFIL Maritime Task Force (MTF). Kekuatan Angkatan Laut yang mengisi UNIFIL MTF saat ini adalah European Maritime Force (EUROMARFOR). UNIFIL MTF merupakan Gugus Tugas Pertama Angkatan Laut yang pertama kalinya ikut dalam operasi perdamaian PBB. Terkait dengan Indonesia, beberapa waktu lalu Jerman sebagai salah satu kontributor pada UNIFIL MTF sekaligus anggota EUROMARFOR dengan dukungan negara-negara lain meminta kepada Indonesia agar mengirimkan Gugus Tugas Angkatan Laut untuk bergabung dengan UNIFIL MTF.
Berita baiknya adalah AL kita menurut rencana akan memenuhi permintaan itu. Saat ini unsur kapal perang yang akan disebarkan ke sana sedang disiapkan. Kemungkinan besar kapal perang yang dikirim fregat kelas Van Speijk beserta satu unit heli yang embark di atasnya. Gugus Tugas akan diberangkatkan sekitar Februari 2009. Apabila rencana itu terwujud, itu merupakan kemajuan buat Indonesia dan AL kita sendiri.
Mengapa kemajuan? Karena selama ini persepsi di Indonesia kirim pasukan perdamaian itu identik dengan infanteri AD. Dari 1957 sampai 2008 yang dikirim cuma infanteri tok, dengan sedikit-sedikit unsur Zeni dan Kesehatan. Para pengambil kebijakan di Mabes TNI belum sampai berpikir bahwa di masa kini AL dan AU pun bisa terlibat dalam operasi perdamaian menggunakan kapal perang dan pesawat udara.
Saya ingat beberapa tahun lalu melalui beberapa tulisan internal dan eksternal, saya mencoba memberikan pandangan baru soal partisipasi AL dalam operasi perdamaian. Bahwa di masa kini ada yang namanya maritime PKO, karena stabilitas keamanan maritim menentukan pula stabilitas dunia. Maritime PKO itu sudah pasti domainnya AL dan sudah sewajarnya bila AL kita terlibat. Saya mendorong demikian.
Rencana pengiriman Gugus Tugas AL kita ke Lebanon merupakan pula tantangan. Karena rekan-rekan dan senior-senior yang mengawaki kapal perang yang dikirim dituntut harus mampu bekerja dalam multi-national SOP. Itu sudah pasti!!! Dalam hal ini SOP-nya UNIFIL, yang saya yakin sebenarnya cuma meng-copy paste SOP-nya EUROMARFOR. Singkat, kita harus siap menggunakan SOP UEROMARFOR. Itu tantangannya.
Kalau kita bisa menggunakan SOP itu, itu artinya kemampuan interoperability AL kita sudah bagus. Sebab kita bisa interoperable dengan AL negara-negara Eropa yang sekaligus merupakan anggota NATO.

18 September 2008

Tugas Kapal Buru Ranjau Singapura

All hands,
Singapura sebagai negara yang hidupnya tergantung pada keselamatan dan keamanan navigasi di Selat Singapura dan Selat Malaka sangat takut dengan ancaman peranjauan. Kalau salah satu bagian di Selat Malaka dan Selat Singapura di ranjau, katakanlah One Fathom Bank, Singapura akan mengalami kerugian yang sangat besar. Baik secara ekonomi, apalagi politik.
Oleh karena itu, kapal-kapal buru ranjau Angkatan Laut Singapura yang terdiri dari empat kapal kelas Landsort selalu aktif berpatroli setiap hari di alur-alur keluar masuk perairan Singapura. Patrolinya apalagi lagi kalau bukan untuk buru ranjau. Jadi eksistensi kapal ranjau di Angkatan Laut Singapura alias RSN bukan saja berguna pada masa konflik, tapi juga di masa damai. Hal itu nggak lepas dari karakteristik negeri itu yang hidup matinya dari jasa, termasuk jasa maritim.
Hal itu berbeda dengan Indonesia. Kapal buru ranjau kita tidak berperan langsung untuk menunjang kelancaran ekonomi melalui pengamanan alur keluar masuk pelabuhan. Pelabuhan Indonesia ratusan, kalau yang besar sih cuma beberapa. Kapal buru ranjau kita memang lebih disiapkan untuk beroperasi pada masa konflik daripada masa damai.
Tapi itu mungkin bagus, daripada kapal itu dipakai buat patroli keamanan laut. Kita sering salah kaprah, fungsi asasi kapal perang kita langgar hanya untuk kepentingan patroli kamla. Jangankan kapal ranjau, kadang LST aja masih dipakai buat kamla.

17 September 2008

Intelijen Angkatan Laut

All hands,
Fungsi intelijen Angkatan Laut (naval intelligence) secara universal tidak lepas dari peran Angkatan Laut itu sendiri. Intelijen Angkatan Laut harus mampu mengidentifikasi capability, intention and circumstances dari Angkatan Laut lawan atau calon lawan. Karena itu, intelijen Angkatan Laut antara lain akan berkutat pada memonitor pergerakan kapal perang asing (visual dan non visual), melakukan assessment terhadap kemampuan tiap jenis kapal perang asing, melaksanakan assessment terhadap organisasi, operasi, logistik, personel Angkatan Laut lain dan lain sebagainya.
Ketika saya membaca laporan intelijen yang diterbitkan oleh Office of Naval Intelligence-nya U.S. Navy, saya kagum atas kedalaman dan keakuratan laporan-laporannya. Salah satu laporannya berjudul China’s Navy 2007. Itu laporan lengkap sekali, mulai dari struktur organisasi, kepemimpinan, sistem politik, doktrin, satuan-satuan kapal, personel, korps perwira, enlisted, satuan latihan, kesejahteraan, hubungan luar negeri dan sistem senjata. Komplit sekali laporan itu.
Itulah yang namanya intelijen Angkatan Laut. Intelijen Angkatan Laut harus mampu menguasai informasi berbagai hal terkait laut dan maritim. Sebagai contoh, kita harus tahu bagaimana pattern pergerakan kapal perang Singapura. Jam berapa saja kapal perang dia keluar dari pangkalan Changi dan patroli di sekitar perairan Singapura. Jam berapa dia masuk lagi ke pangkalan. Lewat alur mana dia masuk dan keluar. Apakah menggunakan alur yang berbeda atau tidak.
Semua pergerakan itu bisa dipolakan. Dan pola itu bisa berubah dalam jangka waktu tertentu.
Seandainya kita bisa petakan itu, akan sangat bermanfaat sekali. Itu adalah fungsi intelijen Angkatan Laut.

16 September 2008

Armada AL Cina

All hands,
Kebanyakan dari kita belum mengenal banyak tentang Angkatan Laut Cina alias PLA Navy. Bandingkan dengan pengenalan kita terhadap AL negara-negara Barat, Rusia, maupun negara-negara Asia Pasifik. Kita tidak banyak paham soal doktrin, operasi, organisasi, personel Angkatan Laut Cina.
Contoh sederhana adalah armada Angkatan Laut. PLA Navy punya berapa armada sih? Jawabannya yaitu tiga armada, terdiri dari Armada Laut Utara, Armada Laut Timur dan Armada Laut Selatan. Armada Laut Utara berpangkalan di Qingdau, Armada Laut Timur berbasis di Dinghai, sedangkan Armada Laut Timur bermarkas di Zhan Jiang.
Kalau yang wilayah tanggung jawabnya Laut Cina Selatan, itu Armada Laut Selatan. Tapi unsur-unsur kapal perangnya bisa saja diperkuat oleh unsur-unsur dua armada lainnya. Kenapa saya singgung Laut Cina Selatan? Karena Indonesia masih punya masalah laten dengan Cina di situ.
Ada hal-hal lain yang menarik mengenai Angkatan Laut Cina. Misalnya organisasi mereka yang ikut organisasi AD. Jadi di PLA Navy itu nggak ada organisasi khas AL. Itu yang membedakannya dengan Angkatan Laut di negara-negara lain.
Misalnya di armada, untuk satuan kapal atas air mereka mengenal tiga level organisasi, yaitu Zhidui, Dadui dan Zhongdui. Zhidui itu setingkat divisi di AD, Dadui setingkat resimen di AD dan Zhongdui setingkat batalyon di AD. Untuk pembagian di satuan kapal selam juga begitu.

Offshore Defense AL Cina

All hands,
PLA-Navy alias Angkatan Laut Cina mempunyai strategi operasi yang disebut Active Defense. Komponen dari active defense bagi Angkatan Laut disebut sebagai offshore defense. Apa itu offshore defense?
Wacana offshore defense di militer Cina berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Sebelum 1980-an, offshore defense artinya pertahanan sampai sejauh 200 mil laut dari pantai Cina. Kemudian keluar arahan dari Deng Xiaoping bahwa offshore defense termasuk wilayah Laut Kuning, Laut Cina Timur, Laut Cina Selatan, Kepulauan Spratly, laut di dalam dan di luar Taiwan dan Kepulauan Ryukyu dan kawasan laut di Samudera Pasifik bagian utara.
Kemudian pada 1997 pemimpin Cina Jiang Zemin memberikan arahan lagi, yaitu PLA Navy should focus on raising its offshore comprehensive combat capabilities within the first island chain, should increase nuclear and conventional deterrence and counterattack capabilities, and should gradually develop combat capabilities for instant ocean defense.
Dengan offshore defense, lalu sejauh mana PLA Navy akan beroperasi? Menurut publikasi Angkatan Laut Cina…as far as the PLA Navy’s capabilities will allow it to operate task forces out at sea with the requisite amount of support and security.
Di dalam arahan Jiang Zemin, terselip istilah the first island chain. Apa itu? The first island chain adalah istilah untuk menjelaskan garis yang melewati Kepulauan Kuril, Jepang, Kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina dan Indonesia (dari Pulau Kalimantan hingga Pulau Natuna Besar).
Selain itu, ada pula the second island chain yang memanjang utara-selatan dari Kepulauan Kuriles melalui Jepang, Kepulauan Bonin, Kepulauan Marianas, Kepulauan Carolines dan Indonesia (di atas Irian).
Memperhatikan konsep offshore defense Angkatan Laut Cina, wilayah Indonesia jelas masuk di situ. Pesan buat Indonesia singkat dan sederhana, negeri ini harus bersiap menerima implikasinya. Cina sedang membangun Angkatan Laut yang berstatus blue water navy.

15 September 2008

Blokade Selat

All hands,
Indonesia mempunyai empat dari sembilan chokepoints vital dunia, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Ombai-Wetar. Artinya Indonesia bisa tentukan harga minyak dan komoditas dunia lainnya, apakah mau kita naikkan atau turunkan. Kalau orang lain mainkan harga itu di pasar bursa, kita mainkan itu dengan blokade salah satu chokepoints itu.
Cuma masalahnya apakah pemimpin Indonesia sekarang berani tutup salah satu selat selama beberapa hari saja? Cukup pakai alasan ada latihan perang Angkatan Laut. Di masa lalu pemimpin kita berani lakukan itu, Selat Sunda dan Selat Lombok ditutup.
Memang menutup selat-selat itu ada implikasi politiknya, karena dianggap mengganggu freedom of navigation. Itu yang harus kita perhitungkan dengan matang sebelum ambil keputusan tutup selat-selat itu. Yang perlu blokade Selat Malaka, cukup Selat Sunda atau Selat Lombok saja.
Kapan kita tutup selat itu? Kalau ada negara-negara tertentu yang tekan kita, baik secara politik, ekonomi dan militer. Entah itu Australia, Cina, Jepang. Untuk melakukan itu, selain dibutuhkan keberanian pemimpin nasional, juga dibutuhkan diplomat yang mampu mengamankan kebijakan pemerintah Indonesia. Bukan diplomat yang kerjanya senangkan negara-negara lain.
Ide menutup selat memang gagasan nakal karena bisa timbul instabilitas. Tapi itu sekali-kali harus kita mainkan, biar orang lain nggak macam-macam sama Indonesia.

SLOC dan Keamanan Energi

All hands,
Salah satu penyebab konflik masa kini dan masa depan adalah perebutan energi, khususnya minyak dan gas bumi. Energi adalah penggerak roda ekonomi, politik dan sekaligus militer setiap negara. Tanpa itu, suatu negara bisa kalang kabut dan kepentingan nasionalnya terancam. Sebagai contoh, dihentikannya pasokan BBM dari Pertamina kepada TNI beberapa waktu lalu selama beberapa hari nyaris melumpuhkan operasional TNI.
Karena vital dan strategisnya energi, sebagian besar negara kini mempersiapkan kekuatan militernya, termasuk kekuatan laut, untuk mengamankan pasokan energi itu. Energi adalah bagian dari geopolitik kontemporer. Perang Rusia-Georgia awal Agustus 2008 juga tak lepas dari faktor energi. Keengganan Eropa mengisolasi Rusia, menjatuhkan sanksi dan mengeluarkan negera itu dari G-8 juga karena energi, sebab Rusia memasok 30 persen kebutuhan energi Eropa.
Pembangunan Angkatan Laut negara-negara di dunia sebagian juga karena untuk amankan pasokan energi. Mereka sangat hirau dengan keamanan jalur pasokan energi yang dikenal sebagai SLOC atau garis perhubungan laut. Misi Angkatan Laut adalah bagaimana mengamankan SLOC itu dari segala macam ancaman.
Angkatan Laut India memasukkan pengamanan energi sebagai salah satu isu dalam strategi maritimnya. Jepang juga begitu, yang mana Pasukan Beladiri Maritim Jepang harus mampu amankan jalur 1.000 mil laut dari negerinya. Itu pula alasan Perdana Menteri Junichiro Koizumi langgar Pasal 9 Konstitusi Jepang dan kirim armadanya ikut operasi Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak.
Australia juga tengah membangun kekuatan laut yang mampu amankan SLOC dia. Singapura juga begitu, negeri kecil yang rakus dan licik itu merasa perlu punya fregat. Cina yang lalu mengejar status blue water navy juga begitu. Kata kuncinya adalah bangun Angkatan Laut untuk amankan SLOC yang menjadi perlintasan energi.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? SLOC yang kita harus amankan itu ada dua, satu di dalam negeri (domestic life line) dan satunya lagi di luar negeri. Kalau memang kita belum mampu untuk proyeksi kekuatan untuk amankan SLOC di luar negeri, minimal kita harus mampu amankan SLOC domestik. Apakah pengamanan SLOC domestik sudah menjadi agenda kita di alam nyata?

13 September 2008

Komitmen Terhadap Pertahanan

All hands,
Pemerintah Australia mempunyai komitmen yang sangat tinggi terhadap pembangunan kekuatan pertahanannya. Pemerintah Australia telah mencanangkan untuk meningkatkan pertumbuhan anggaran pertahanan menjadi 3 persen per tahun hingga 2017-2018. Hal itu merupakan kebijakan pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd.
Bukti lain dari komitmen pemerintah Australia itu adalah mengecualikan anggaran pertahanan dari program efisiensi anggaran yang tengah dilaksanakan. Program efisiensi anggaran merupakan terminologi lain dari pemotongan anggaran.
Sangat berbeda dengan pemerintah Indonesia yang katanya selalu menempatkan kedaulatan sebagai prinsip dasar. Dengan kedaulatan sebagai prinsip dasar yang nggak bisa ditawar-tawar, yang dilakukan tahun ini adalah memotong anggaran pertahanan 10 persen dan tahun depan anggaran pertahanan turun dibandingkan tahun ini. Ironi sekali, padahal banyak pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk benahi pertahanannya.
Nggak usah muluk-muluk pertahanankan SLOC yang berada di luar perairan Indonesia, mempertahankan SLOC yang berada di perairan Indonesia saja nggak ada komitmen. Atau setidak-tidaknya nggak jelas komitmennya.
Komitmen yang jelas dari pemerintah Indonesia adalah mempertahankan Republik Indonesia. Tapi implementasinya nggak jelas. Dengan kata lain, itu cuma komitmen di atas kertas, nggak direalisasikan ke alam nyata.
Kalau pemerintah Indonesia serius mau mempertahankan republik ini, mengapa mempertahankan SLOC nggak pernah masuk dalam agenda pemerintah. Untuk mempertahankan SLOC yang ada di wilayah perairan Indonesia, butuh pembangunan kekuatan laut yang capable. Sekarang apakah kita mengarah ke sana?

Mempertahankan SLOC Australia

All hands,
Pada 9 September 2008, Perdana Menteri Australia Kevin Rudd memberikan pidato pada RSL National Congress di Townsville, Australia. RSL itu Returned and Services League, organisasi veteran Australia. Ada hal yang kita di Indonesia, khususnya di AL, yang harus garisbawahi dari kegiatan Rudd. Dalam pidatonya, Rudd antara lain menyatakan bahwa we need an enhanced naval capability that can protect our sea lanes of communication and support our land forces as they deploy.
Kemudian setelah menyampaikan pidato, Rudd menggelar wawancara dengan wartawan. Yang menarik dari wawancara itu adalah penekanan Rudd pada kemampuan Royal Australian Navy untuk amankan SLOC Australia. Bahkan boleh dikatakan 70 persen isi wawancara itu soal pembangunan kekuatan laut Australia. Baik itu aspek operasional maupun aspek personel.
Aspek personel sedang menjadi bahan perdebatan di Australia, antara lain karena enam kapal selam kelas Collins mengalami kekurangan pengawak. Sebagian kalangan melihat masalah personel merupakan salah satu masalah yang menghadang ambisi Rudd untuk membangun kekuatan laut Australia sebagai respon terhadap pembangunan kekuatan militer di Asia Pasifik.
Dari pidato dan wawancara Rudd di RSL National Congress, pesan buat Indonesia jelas. Australia tidak akan ragu menggunakan kekuatan kinetik untuk mengamankan SLOC dia yang berada di wilayah perairan Indonesia. Lalu bagaimana sikap kita? Apa yang akan kita lakukan untuk menghadapi skenario itu?

11 September 2008

Kapal Selam Australia Kekurangan Pengawak

All hands,
Mengutip berita di koran The Australian, Royal Australian Navy berencana menaikkan kapal selam keempat dari enam kapal selam kelas Collins ke dok kering. Alasannya sederhana, kekurangan awak. Sebelumnya tiga kapal selam Australia sementara tidak dioperasikan karena alasannya yang sama. Sebagai informasi, Collins butuh diawaki 45 kru yang mana 50 persennya harus diisi oleh teknisi berkualifikasi tinggi.
Masalah ini seolah menampar muka Perdana Menteri Kevin Rudd yang mencanangkan massive upgrade in naval resources to counter military build up ini Asia. Rudd mengatakan bahwa Australia harus menjadi kekuatan maritim dan melindungi jalur perkapalannya untuk melindungi perdagangan. Tentu menjadi pertanyaan, pembangunan kekuatan laut Australia ditujukan untuk menghadapi siapa? Jawabannya adalah Cina yang lagi berupa membangun AL yang berstatus blue water navy.
Kasus Australia ini menarik, karena terjadi di negara yang fondasi Angkatan Laut-nya sudah mapan, dibandingkan dengan Indonesia misalnya. Kalau benar bahwa selama ini tiga kapal selam Collins nggak beroperasi, berarti yang beroperasi hanya dua kapal mungkin. Bahkan mungkin satu.
Memang dalam siklus operasi, kalau kita punya enam kapal selam, yang siap operasi biasanya cuma 3-4. Sisanya menjalani maintenance. Tapi kalau sampai setiap kapal selam kekurangan kru, itu kelewatan. Gimana kalau terjadi kontinjensi dan dia harus operasikan setengah atau lebih dari kekuatannya?
Bisa saja sih comot sana comot sini, tapi itu tidak menyelesaikan masalah. Kasus ini bisa jadi pelajaran bagi Indonesia yang tengah merencanakan pengadaan kapal selam baru. Kita harus siapkan kru sesuai kebutuhan agar nggak seperti Australia.



10 September 2008

Peran Kekuatan Udara Dalam Operasi Maritim

All hands,
Dalam konsep operasi maritim, eksistensi kekuatan udara merupakan suatu keharusan. Oleh sebab itu, nggak aneh bila kita mempelajari sejarah perang laut di abad ke-20, kekuatan udara mempunyai peran tersendiri. Khususnya dalam Perang Dunia Kedua di Samudera Pasifik. Dibandingkan dengan di Samudera Atlantik, peran kekuatan udara di Samudera Pasifik lebih menonjol karena mandala operasi di Pasifik memang didominasi oleh lautan.
Kalau kita menyentuh kekuatan udara, kita harus melihatnya secara jernih. Kekuatan udara bagi operasi maritim tidak selalu identik dengan AU. Bahkan AL mempunyai kekuatan udara sendiri yang dikenal sebagai naval air wing. Naval air wing tugasnya kebanyakan pada tataran taktis dan dia melekat pada kapal perang. Pemahaman ini sudah umum di negara-negara maju, bahwa AL butuh kekuatan udara sendiri.
Yang masih jadi masalah itu di negeri seperti Indonesia. Di sini AU terkesan mau dominasi kekuatan udara. Padahal sebenarnya di negeri ini sudah ada kesepakatan tidak tertulis soal pembagian tugas di udara. Soal pertahanan udara itu urusan AU, tapi kalau soal serangan udara ke permukaan bukan didominasi oleh AU.
Faktanya, AL dan AD sulit kalau bergantung pada AU untuk menjadi payung udara ketika operasi. Misalnya AL kalau konvoi, kan nggak mungkin pesawat tempur AU jadi payung udara terus. Endurance-nya terbatas, dia harus kembali ke pangkalan untuk bekal ulang.
Okelah ada pesawat tempur AU yang bisa air refuelling, tapi faktanya sistem air refuelling di pesawat tanker C-130B Hercules nggak bisa untuk semua pesawat tempur. C-130B kan sistem pengisiannya hose, sementara ada pesawat tempur AU yang hanya bisa pake sistem boom. Jadi C-130B nggak bisa layani semua pesawat tempur AU.
Kemudian, konvoi itu kan berlayar siang malam. Pesawat tempur AU sebagian besar ---khususnya buatan Barat--- bertipe tempur siang hari/daylight fighter. Pesawat itu dirancang untuk bertempur di siang hari. Kalau begitu, gimana bisa jadi payung udara AL.
Lalu solusinya bagaimana? Karena anggaran kita masih terbatas, sebaiknya pembangunan kekuatan udara AL kita difokuskan dulu untuk kemampuan anti kapal selam/AKS dan patroli maritim. Untuk AKS, sebaiknya pakai heli karena dengan demikian dia mudah untuk melekat pada unsur kapal perang.
Sedangkan untuk patroli maritim, kontrak AL kita dengan PT.DI untuk pengadaan dua CN-235 MPA merupakan langkah bagus. Asalkan peralatan yang diusung pesawat itu memang murni untuk AKS.

09 September 2008

Humanitarian Assistance and Disaster Relief Ops

All hands,
Setelah tingginya frekuensi bencana alam dalam dekade ini, salah satu operasi yang sering dilaksanakan oleh Angkatan Laut di dunia adalah Humanitarian Assistance and Disaster Relief Operations. Di antara contoh HADR Ops yang massif adalah waktu bencana tsunami 26 Desember 2004 di sekitar Samudera India, termasuk di Aceh. U.S. Navy saat itu langsung kerahkan kapal induk USS Abraham Lincoln (CVN-72) ke Aceh.
Secara kasat mata, HADR Ops itu bagus dan mulia. Dia bantu orang yang lagi kesusahan. Namun di balik itu, ada hal yang mesti kita ketahui bersama.
HADR Ops pasti digelar di wilayah yang kacau balau, infrastruktur rusak, pemerintahan antara ada dan nggak ada, keamanan nggak terjamin. Sebelum bantuan disalurkan, Angkatan Laut perlu kirim personel untuk masuk ke wilayah operasi. Tujuannya untuk pantau situasi.
Nah, yang dikirim itu bukan awak kapal, tapi pasukan khusus. Masalahnya bukan soal paranoid terhadap militer asing, tetapi siapa yang awasi dia ketika berada di wilayah bencana? Dia masuk ke wilayah bencana bukan di kota saja, tapi sampai ke wilayah terpencil. Lihat kasus di Aceh.
Karena itu, ada beberapa negara yang terbuka menerima HADR Ops U.S. Navy, dengan catatan drop bantuan cuma sampai bandar udara. “Untuk penyaluran lanjutan, serahkan kepada kami,” begitu kata negara-negara itu. Itulah yang dilakukan oleh Cina ketika terjadi bencana beberapa bulan lalu. Dia welcome terhadap bantuan dari Om Sam, tapi untuk penyaluran kepada korban dilaksanakan sendiri karena dia punya kemampuan.
Kasus itu hendaknya menjadi lesson learned bagi Indonesia.

08 September 2008

Operasi Ekspedisionari AL India

All hands,
Sebagai AL yang menuju status blue water navy, AL India telah memasukkan Operasi Ekspedisionari sebagai salah satu kemampuan yang harus dibangun. Itu dinyatakan dengan jelas dan terang dalam Strategi Militer Maritim India. Dalam Operasi Ekspedisionari, secara garis besar bentuknya ada dua yaitu distant operations dan amphibious operations.
Untuk kesuksesan operasi itu, India antara lain mengandalkan pada maritime domain awareness. Kemampuan maritime domain awareness harus dibangun bersama-sama dengan kemampuan operasi ekspedisionari. AL India juga memperhatikan kemampuan stand-off ranges weapon untuk mendukung kesuksesan operasi tersebut.
Soal AL India mempunyai kemampuan operasi ekspedisionari, bukan suatu masalah. Yang mesti kita waspadai itu adalah kemana dia akan disebarkan? Itu yang harus diantisipasi oleh Indonesia.

07 September 2008

Forward Presence AL India

All hands,
Forward presence merupakan hal yang lumrah bagi AL. Sayangnya di Indonesia, khususnya di AL kita, forward presence belum dipahami dalam konteks yang sebenarnya. Forward presence sering diartikan bahwa unsur kita harus hadir di perairan di luar laut teritorial. Forward presence kadang kita artikan hadir di ZEE kita. Tapi untuk apa di sana?
Sebenarnya forward presence memiliki kaitan dengan kebijakan luar negeri. Forward presence bagian dari diplomasi AL. Forward presence dapat ditujukan kepada pihak tertentu, dapat pula ditujukan kepada siapa saja. Tergantung seberapa mampu kekuatan laut kita timbulkan effect-based.
Dalam konteks Indonesia, masih sulit untuk forward presence. Kesulitan utama bukan terletak pada keterbatasan sumber daya, khususnya alutsista, tetapi pada kebijakan luar negeri. Politik luar negeri kita ini nggak jelas mau kemana.
Beda dengan India. Aspirasinya jelas, ingin menjadi kekuatan dunia dan minimal jadi aktor utama di sekitar Samudera India. Oleh karena itu, forward presence AL India juga jelas tujuannya, begitu pula lokasinya. Forward presence AL India dimaksudkan untuk:
- Demonstrate India’s commitment to regional stability;
- Gain familiarity with overseas operational environments;
- Keep the area of interest under surveillance, and;
- Promote interoperability among the forces of friendly nations

Karena aspirasi politik luar negeri mereka jelas, pembangunan kekuatan AL-nya juga jelas. Kita karena aspirasinya juga nggak jelas, arah pembangunan AL juga penuh ketidakpastian.

Fokus Operasi AL India

All hands,
Dalam Freedom to use the Seas: India’s Maritime Military Strategy disebutkan bahwa AL India mempunyai the areas of focused interest. Area itu terbagi dua, yaitu primary areas dan secondary areas. Primary areas yaitu Laut Arab dan Teluk Benggala, choke points di sekitar Samudera India (Selat Malaka, Selat Bab El Mandeb, Selat Hormuz dan Tanjung Harapan), Teluk Persia, negara-negara pulau di Samudera India dan jalur laut internasional yang melewati kawasan Samudera India.
Adapun secondary areas meliputi kawasan selatan Samudera India, Laut Merah, Laut Cina Selatan dan kawasan Asia Timur. Menurut pernyataan di strategi itu, kehadiran AL India saat ini difokuskan pada primary areas, karena pertimbangan ketersediaan sumber daya.
Berangkat dari situ, dapat diprediksi bahwa apabila The Indian Navy Vision 2022 sudah tercapai, antara lain mempunyai tiga kapal induk, sangat mungkin secondary areas saat ini akan menjadi primary areas pula. Saat ini wilayah-wilayah perairan yang ditetapkan termasuk secondary areas karena pertimbangan sumber daya AL India yang masih terbatas. Padahal sebenarnya aspirasi politik India adalah hadir di Laut Cina Selatan dan perairan Asia Timur untuk unjuk kekuatan terhadap bebuyutannya, Cina.
Bagi Indonesia, kita harus bersiap hadapi skenario itu. Tidak ada pilihan lain kecuali bangun AL. Kecuali kita masih mau terus untuk dilecehkan.

05 September 2008

Melindungi Diaspora India

All hands,
Setelah berusaha, akhirnya saya mendapatkan juga dokumen Strategi Maritim India yang berjudul Freedom to use the Seas: India’s Maritime Military Strategy. Dokumen ini diterbitkan pada Mei 2007, tapi baru bulan Agustus 2008 bisa diakses secara bebas oleh pihak asing. Sebelumnya dokumen ini diedarkan oleh AL India secara terbatas ke AL negara-negara lain, termasuk AL kita.
Saya belum pelajari bab per bab dokumen itu, baru lihat secara sepintas. Kalau boleh komentar, dokumen itu sangat lengkap, tujuan yang ingin dicapai juga sangat jelas. Mereka bekerja untuk mencapai tujuan itu. Strateginya jelas tergambarkan, jadi sesuai dengan judulnya. He...he...he...
Banyak hal menarik dari Strategi Maritim India itu. Salah satunya adalah soal MDA alias maritime domain awareness. MDA yang digagas oleh Amerika Serikat ternyata dengan cepat ditangkap idenya dan diadaptasikan dengan kepentingan India.
Dalam Bab V tentang Maritime Domain Awareness, salah satu sub babnya adalah Likely Scenarios for the Use of Military Force by the Indian Navy. Salah satu skenarionya adalah…action to assist the Indian diaspora and Indian interest abroad.
Singkatnya, AL India siap untuk disebarkan ke wilayah-wilayah di sekitar Samudera India untuk melindungi diaspora India. Di Indonesia juga terdapat kantong-kantong diaspora India, antara lain di wilayah Sumatera yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan Samudera India.
Sebenarnya saya nggak terkejut dengan pernyataan dalam Strategi Maritim India itu. Hal itu sudah saya prediksi sebelumnya, karena untuk apa punya AL yang punya kemampuan proyeksi kekuatan dan berstatus blue water navy kalau nggak untuk melindungi kepentingan nasionalnya di luar wilayah yurisdiksi.
Di masa lalu (1987) mereka pernah mau kirim kekuatan untuk melindungi diaspora India di Fiji setelah kudeta militer oleh Kolonel Sitiveni Rabuka. Di Fiji itu terjadi pertarungan kekuasaan antara penduduk asli Fiji dengan diaspora India. Waktu kudeta, orang-orang India sebagian diusir, sebagian ditangkap oleh militer. Cuma karena waktu AL India belum semaju sekarang dan juga jaraknya yang jauh sekali dari India, dia nggak jadi sebarkan kekuatan.
Skenario itu perlu diwaspadai oleh India, khususnya AL kita. Secara demografis, diaspora India di Indonesia banyak di wilayah pantai timur Sumatera yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Diaspora India, kalau kita bandingkan dengan diaspora Cina, jauh lebih eksklusif. Contoh, dia kawin sesama bangsanya.
Selat Malaka sendiri merupakan primary area of interest dari India sendiri. Jadi klop, di Selat Malaka dia punya kepentingan, di pinggiran Selat Malaka banyak diaspora India yang menurut pemerintah India wajib dilindungi.

04 September 2008

Australia Gerah

All hands,
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kesan bahwa Australia mulai gerah terhadap Indonesia. Gerah karena Indonesia di tengah berbagai kesulitan, masih terus membangun kekuatan pertahanannya. Dan sumber senjatanya sebagian berasal dari negara-negara yang kurang disukai oleh Australia, seperti Cina dan Rusia.
Nggak heran kalau pada 5 September 2007 Harian The Sidney Morning Herald mengeluarkan berita soal rencana pengadaan kapal selam Kilo dari Rusia oleh Indonesia. Berita harian itu sebenarnya mengutip pada laporan yang diterbitkan oleh ASPI (Australian Strategic Policy Institute) yang berjudul Special Report Issue 2 - The enemy below: Anti-submarine warfare in the ADF pada 1 Maret 2007.
Ketika Jane’s Industry Quarterly baru-baru ini mengeluarkan laporan tentang anggaran pertahanan negara-negara di dunia, di situ dimuat bahwa Australia adalah negara dengan anggaran pertahanan no.13 di dunia. Anggaran pertahanan Australia menurut Jane’s sebesar US$ 19.74 milyar. Bahkan Menteri Pertahanan Australia Joel Fitzgibbon telah menyewa konsultan untuk menghitung apakah anggaran pertahanan negeri itu dapat tingkatkan sebesar US$ 1 milyar per tahun dalam dekade mendatang.
Tentu menjadi pertanyaan untuk apa anggaran sebesar itu? Untuk menghadapi instabilitas di seluruh dunia, khususnya yang mempunyai pengaruh langsung terhadap Australia. Termasuk pula di Indonesia yang merupakan pintu keluar masuk Australia dari arah utara. Modernisasi kekuatan pertahanan Indonesia dengan sumber alutsista dari negara-negara non Barat bukan skenario optimis yang diinginkan oleh Australia.
Artinya, kita harus bersiap andai suatu saat tiba-tiba kita engage dengan dia. Penyebab engage bisa macam-macam. Dapat saja karena dia merasa tidak bebas melintas di ALKI dan perairan Indonesia lainnya. Merasa tidak bebas karena manuver kapal perang dia dipantau oleh Indonesia.

03 September 2008

Keterpaduan Perencanaan Strategis

All hands,
Saat ini muncul ironi dalam pelaksanaan perencanaan strategis (Renstra) di TNI. Dalam renstra AD, dia akan bangun dua Kodam di Pulau Kalimantan, salah satunya bermarkas di Pontianak. Yang jadi masalah bukan Renstra itu, tapi “pemaksaan” kepada AL dan AU untuk mengubah Renstra masing-masing biar klop dengan Renstra AD. Itu yang jadi masalah.
Agar TNI terlihat klop, AL dan AU harus mengubah renstra-nya di Kalimantan Barat. Saat ini AL mempunyai Lanal (Pangkalan AL) kelas B yang dipimpin oleh seorang Kolonel. AU memiliki Lanud kelas B yang dipimpin oleh seorang Kolonel, lengkap dengan satu skadron pesawat tempur Hawk 100/200 beserta usur pendukungnya.
Demi ambisi AD bikin Kodam di Pontianak, AL dan AU “dipaksa” naikkan status pangkalannya. Lanal kelas B Pontianak harus jadi Lantamal (Pangkalan Utama AL) yang kelas A dan sudah pasti harus dipimpin oleh seorang Laksamana Pertama. Begitu pula Lanud Pontianak harus naik status jadi kelas A dan dipimpin seorang Marsekal Pertama.
Yang mengganjal itu adalah dulu Mabes TNI menolak mentah-mentah keinginan AL pindahkan Mako Lantamal IV/Tpi dari Tanjung Pinang ke Pontianak. Itu sekitar tahun 2006, waktu AL dipimpin oleh Laksamana Slamet Soebijanto. Sekarang demi AD, AL ”diminta” bangun Lantamal di Pontianak. Bangun Lantamal baru, bukan geser dari Tanjung Pinang.
Kalau begini caranya, tidak ada gunanya disusun perencanaan strategis. Untuk apa disusun, kalau program-programnya harus “menyesuaikan” dengan aspirasi pihak lain. Pertimbangan strategis AD belum tentu sama dengan AL maupun AU. Oleh karena itu, sesuatu yang menjadi kebutuhan mendesak AD belum tentu pula menjadi kebutuhan mendesak Angkatan lain.

ALKI dan Strategi Pertahanan Berlapis

All hands,
Strategi pertahanan berlapis perlu kita uji dengan eksistensi ALKI. Indonesia wajib menyediakan ALKI bagi para pengguna militer. ALKI itu secara tidak langsung merupakan kompensasi dari pengakuan hukum internasional terhadap status negara kepulauan. Adanya ALKI berarti mewajibkan Indonesia untuk memberikan akses terhadap lalu lintas kapal perang asing tanpa gangguan dalam normal mode.
Normal mode maksudnya apabila dia kapal selam, maka mode-nya ketika melintas di ALKI adalah menyelam. Kalau kapal atas air yah tetap di atas air. Ha…ha…ha… Yang selalu jadi perdebatan adalah pesawat udara, khususnya yang onboard di kapal induk. Apakah dia harus diam di atas kapal induk ataukah melakukan kegiatan penerbangan?
Menurut salah satu pasal di UNCLOS 1982 (maaf...lupa pasal berapa), ada aturan yang melarang pesawat udara yang berada di kapal induk melakukan kegiatan penerbangan selama melintas di perairan teritorial suatu negara. Cuma yang belum yakin apakah aturan itu cuma untuk rezim lintas damai ataukah mencakup pula rezim lintas alur laut kepulauan dan rezim lintas transit.
Dikaitkan dengan strategi pertahanan berlapis, bagaimana kalau kapal perang yang melintas ALKI tiba-tiba mengganggu negara pantai. Bentuk gangguan itu bisa berupa jamming alias pengacauan gelombang elektromagnetik, melakukan penyerangan terhadap fasilitas telekomunikasi dan lain sebagainya. Intinya adalah mengganggu stabilitas keamanan negara pantai.
Dalam kondisi itu, lalu bagaimana strategi pertahanan berlapis bekerja? Strategi pertahanan berlapis didasarkan pada asumsi bahwa kita harus hadang lawan dari ZEE, baru kemudian ke perairan teritorial dan terakhir di daratan. Dengan lawan masuk menggunakan ALKI dan sebelumnya “sopan” namun tiba-tiba berubah menjadi hostile, bagaimana mungkin strategi pertahanan berlapis dapat berfungsi.
Contoh nyata adalah kasus Bawean tahun 2003. Apa yang bisa kita lakukan bila saat itu USS Carl Vinson Carrier Battle Group serang armada kita di Ujung dan Lanud Iswahyudi di Madiun. Apakah strategis pertahanan berlapis akan berfungsi di situ?

02 September 2008

Strategi Pertahanan Berlapis?

All hands,
Meskipun sudah 10 tahun memasuki era reformasi, tetapi nggak ada reformasi dalam strategi pertahanan Indonesia. Saya berani bilang begini karena kita semua paham betul bahwa strategi pertahanan yang kita anut masih peninggalan zaman represif. Itu suatu strategi yang sudah tidak sesuai lagi dengan konteks strategis kini dan ke depan.
Apabila ditanya tentang strategi pertahanan Indonesia, baik Departemen Pertahanan maupun TNI dengan yakin dan bangga bilang strategi pertahanan kita strategi pertahanan berlapis. Berlapis seperti apa? Teorinya, musuh dipukul ketika masih dalam perjalanan ke Indonesia, di wilayah ZEE dan ruang udara di atas. Kemudian dipukul lagi ketika sudah memasuki perairan teritorial Indonesia. Kalau masih nggak bisa dikalahkan, lawan mendarat di wilayah daratan Indonesia dan TNI masuk hutan alias bergerilya (MEMANGNYA MASIH ADA HUTAN SEKARANG???).
Nggak usah ragu untuk bilang strategi pertahanan berlapis itu kuno. Strategi itu tak lain merupakan pembenaran untuk tidak bangun kekuatan laut dengan alasan kita masih miskin. Sehingga mendorong AD untuk terus bernostalgia dengan semangat juang 45 di tengah hutan alias bergerilya. Mana ada gerilya di tengah hutan sekarang.
In 2008, bukan 1945 Bung!!! Ini era network-centric warfare!!! Ini era digital, bukan era morse.
Perang Irak membuktikan bahwa gerilya itu di kota. Lesson learned-nya itu. Mereka hantam militer Amerika Serikat di kota, menggunakan metode peperangan generasi keempat.
AD kita mau berperang menggunakan metode peperangan generasi kedua sekaligus berhalusinasi seolah-olah ini dunia 1945. Seolah-olah hutan Indonesia masih seperti 1945. Padahal kondisi nyata menunjukkan hutan kita sudah habis jadi kebun sawit, area tambang dan lain-lain. Terus mau gerilya di mana?
Bagi Angkatan Laut, menurut saya nggak ada bukti AL dipersiapkan oleh pemerintah untuk melaksanakan strategi pertahanan berlapis. Contohnya gampang. Lihat saja berapa banyak kapal kombatan kita yang mampu untuk ocean going, mampu bertempur di Laut Natuna, Samudera India dan Samudera Pasifik yang sea state-nya di atas 6?
Kalau korvet, kita nggak usah berangan-angan itu bisa dipakai untuk di perairan-perairan itu. Untuk fregat, bolehlah. Sayang usia fregat kelas Van Speijk itu harus diperhitungkan pula.
Dari contoh-contoh itu jelas bahwa strategi pertahanan berlapis itu cuma teori saja. Adanya di atas kertas, bukan di alam nyata. Padahal Geoffrey Till bilang strategi tidak bekerja di alam vakum.

01 September 2008

Fungsi Pangkalan

All hands,
Pangkalan Angkatan Laut secara universal mempunyai empat fungsi, yaitu rest, recreation, repair and replenishment alias 4R. Eksistensi pangkalan adalah untuk mendukung unsur kapal perang yang beroperasi. Dengan kata lain, eksistensi pangkalan terkait dengan dukungan logistik.
Adapun kewenangan pangkalan hanya sejauh pagar yang membatasi pangkalan itu. Pangkalan tidak mempunyai urusan-urusan di luar pagar pangkalan kecuali yang terkait dengan core business-nya. Itulah fungsi dan kewenangan pangkalan bagi Angkatan Laut.
Di Indonesia, sangat sulit untuk mencari pangkalan AL yang memenuhi 4R. Pangkalan Surabaya pun nyaris tak memenuhi 4R, kecuali fasilitas PT PAL dikembalikan lagi kepada AL. PT PAL itu kan dulunya fasilitas pemeliharaan milik AL. PAL itu sendiri sebenarnya singkatan dari Penataran Angkatan Laut, yang kalau diterjemahkan ke Bahasa Inggris menjadi Naval Shipyard.
Soal pangkalan, masalah yang kita hadapi bermacam-macam. Ada pangkalan yang nggak punya dermaga sendiri dan itu banyak. Ada pangkalan yang nggak punya fasilitas tangki timbun BBM dan juga jaraknya dari fasilitas Pertamina jauh.
Ada punya yang dukungan air bersihnya nggak memadai. Dan yang pasti sebagian besar pangkalan nggak punya fasilitas rest and recreation. Serta masih banyak masalah-masalah lain.
Dari dulu sampai sekarang masalah-masalah itu belum mampu untuk dipecahkan. Kenapa belum terpecahkan? Masalahnya bukan sekedar ketersediaan dukungan anggaran. Ada masalah lain yang sepertinya perlu untuk dipahami kembali.
Kita bikin pangkalan itu kebanyakan karena pertimbangannya untuk melaksanakan operasi keamanan laut (opskamla). Bukan untuk dukungan logistik kapal perang. Nggak heran bila pangkalan AL kita sekarang tersebar di mana-mana, dengan berbagai tipe. Dan dalam kenyataannya, tidak semua pangkalan itu mampu mendukung logistik kapal perang, seperti sudah ditulis sebelumnya.
Pertanyaannya, quo vadis pangkalan AL kita?

Ambisi Kapal Selam Nuklir India

All hands,
Selain kapal induk, ambisi AL India lainnya adalah mempunyai kapal selam nuklir. Menurut rencana pembangunan kekuatan laut India, pada tahun 2009 AL India akan dilengkapi dengan kapal selam nuklir kelas Akula. Kapal selam Akula adalah kapal selam nuklir Rusia. Oleh India, kapal selam ini dibangun di galangan Magazon Dockyard Limited, Mumbai dan dipersenjatai dengan rudal nuklir balistik.
Menarik untuk mendiskusikan soal operasional kapal selam nuklir. Kalau suatu negara mengoperasikan kapal selam diesel elektrik alias kapal selam konvensional, dapat dipastikan bahwa daya jelajahnya tidak akan jauh dari wilayah negara bersangkutan. Entah itu coastal submarine maupun ocean going submarine.
Contoh coastal submarine adalah kelas U-206 buatan Jerman yang pada 1996-1997 pernah hampir dibeli oleh Indonesia. Kalau saja saat itu tidak ada krisis ekonomi, kapal selam itu sudah dioperasikan oleh Indonesia. Adapun ocean going submarine itu seperti kelas Kilo, U-209, Scorpene dan lain-lain. Kapal selam yang ada dalam armada AL kita termasuk ocean going.
India selama ini mengoperasikan kapal selam ocean going, yaitu Kilo dan akan disusun oleh Scorpene pada 2012. Dengan kapal selam itu, wilayah operasinya Samudera India dan sekitarnya. Lalu bagaimana dengan ambisi kapal selam nuklirnya?
Hal itu memperlihatkan bahwa India sangat berambisi untuk menyebarkan kekuatan lautnya hingga di Laut Cina Selatan dan Samudera Pasifik sekitar kawasan Asia Timur. Kalau cuma kepentingan India sebatas Samudera India, dia nggak perlu bikin dalam rencana pembangunan kekuatannya untuk pengadaan kapal selam nuklir. Cukup dengan kapal selam diesel elektrik seperti yang ada saat ini.
Dengan mempunyai kapal selam nuklir, AL India dapat menyebarkan kekuatannya jauh dari wilayah India. Ke Samudera Pasifik pantai timur Amerika dan Samudera Atlantik pun bisa. Yang penting dukungan logistik basah, cair dan kering untuk awak kapal mencukupi. Kalau soal bahan bakar, dia nggak pusing karena reaktor nuklirnya bisa dipakai terus menerus selama tiga tahun non stop.
Kalau ditanya bagaimana implikasinya terhadap Indonesia, jawaban saya sama dengan tulisan sebelumnya soal ambisi kapal induk India.