31 Oktober 2008

Perang Pabrikan Kapal Selam

All hands,
Tanpa kita sadari, Indonesia sekarang sedang menjadi medan pertempuran para produsen kapal selam, yaitu Rubin Rusia, Ferrostaal AG-Howaldtswerke Deutsche Werft Gmbh (HDW) Jerman dan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME) Korea Selatan. Yang menarik adalah terjadinya perang satu perguruan antara Jerman dan Korea Selatan, karena Jerman gurunya Korea Selatan dalam ilmu kapal selam.
Kalau kita mau lihat lebih jernih, upaya perluasan pasar DSME sudah pasti diterjemahkan sebagai ancaman bagi pasar kapal selam HDW di Indonesia. Indonesia sejak 1977 telah menjadi pasar bagi HDW, di mana HDW adalah galangan kapal utama di Jerman yang memproduksi kapal selam. Oleh karena itu, penting bagi Jerman dan khususnya HDW untuk memastikan bahwa Indonesia tidak beralih ke produsen kapal selam lainnya.
Sebagai ilustrasi, periode 1960-2000 HDW telah memproduksi 102 unit kapal selam diesel elektrik untuk 15 negara dan HDW juga memiliki saham mayoritas pada galangan kapal selam Kockum Swedia dan Hellenic Shipyard Yunani yang juga membuat kapal selam berdasar lisensi HDW.
Perang antara guru dan murid ini sebaiknya dimanfaatkan betul oleh Indonesia agar negeri dapat menarik berbagai keuntungan. Hal-hal yang dapat dimanfaatkan kebanyakan bersifat teknis dengan mengacu pada pengalaman pengoperasian kapal selam kelas U-209/1300 selama ini. Sebab bagaimanapun, keinginan HDW untuk mempertahankan pasarnya bermotif bisnis sehingga Indonesia sebenarnya memiliki posisi tawar yang cukup kuat terhadap HDW.
Berdasarkan pengalaman mengoperasikan kapal selam kelas U-209/1300, Indonesia menghadapi berbagai tantangan sehingga penggunaan kemampuan kapal selam itu sesuai dengan perancangannya belum dapat dilakukan secara maksimal. Berangkat dari situ, apabila Indonesia berdasarkan berbagai kalkulasi politik, ekonomi dan teknis lebih prefered dengan tawaran HDW, maka berbagai pengalaman itu sudah semestinya dijadikan salah satu pertimbangan untuk menentukan spesifikasi kemampuan kapal selam yang diinginkan. Seperti kebutuhan akan sonar yang bukan saja mampu mendeteksi baringan dan jarak terhadap kapal selam lawan, tetapi juga mengetahui apakah posisi kapal selam lawan low (kedalaman kapal selam lawan lebih dalam daripada kapal selam kita) ataukah high (kedalaman kapal selam lawan lebih dangkal daripada kapal selam kita).
Itu bagian dari pembangunan kemampuan peperangan anti kapal selam, sehingga kapal selam yang dimiliki harus memenuhi aspek teknis sebagai kapal selam pemburu kapal selam (hunter killer submarine/SSK). Hal ini sangat mendesak untuk dilakukan karena kini Indonesia telah “dikepung” oleh negara-negara yang mengoperasikan kapal selam.
Mumpung orang lain sedang ”naksir” kita, yah kita juga harus eksploitasi mereka buat sebesar-besarnya keuntungan kita. Walau kita masih berstatus konsumen, tapi jangan begitu saja dengan gampang iyakan paparan teknis dari produsen. Kita harus minta lebih!!! Toh keuntungan dia dari jual kapal selam jangka panjang kok. Sekali dia jual kapal selam, selama kapal itu masih kita operasikan maka ketergantungan logistik kita yah kepada dia. Artinya dia untung bukan saja dari nilai penjualan kapal selam, tetapi juga dari pemeliharaan.
Indonesia adalah pemain pertama kapal selam di Asia Tenggara, sehingga sudah seharusnya kita lebih jago dalam peperangan kapal selam dibandingkan negara-negara lain di kawasan.

30 Oktober 2008

Pengembangan Kemampuan Littoral Warfare Di Sekitar Indonesia

All hands,
Setelah Perang Dingin berakhir, strategi maritim juga mengalami penyesuaian. Dulu strategi maritim menekankan pada decisive battle yang mempertemukan dua Angkatan Laut atau lebih untuk bertempur di tengah laut. Sekarang medan tempur Angkatan Laut sudah berubah dari tengah laut ke wilayah littoral. Kata kuncinya bukan lagi what we can do at sea, tetapi what we can do from sea.
Bergesernya fokus strategi maritim ke wilayah littoral menjadikan littoral warfare menjadi fokus banyak Angkatan Laut. Littoral warfare merupakan operasi proyeksi kekuatan dari laut ke pantai (lawan). Untuk melaksanakan proyeksi kekuatan, tentu saja dibutuhkan alutsista yang harus mampu mendukung proyeksi itu.
Untuk littoral warfare dan juga operasi lainnya di littoral seperti humanitarian assistance and disaster relief, non-combatant evacuation operations, salah satu alutsista yang dibutuhkan adalah kapal pendarat. Jenisnya secara umum adalah landing platform dock (LPD), landing platform amphibious (LPA) atau yang sejenis. Kapal-kapal itu diperlukan untuk operasi amfibi, baik untuk tempur laut maupun non tempur laut.
Di negara-negara sekitar Indonesia, Angkatan Laut mereka terus kembangkan kemampuan littoral warfare, termasuk eksistensi kapal-kapal pendarat sekelas LPD. Misalnya Royal Australian Navy dengan HMAS Kanimbla, HMAS Tobruk dan HMAS Manoora. Untuk mengingatkan, kapal-kapal itu menjadi tulang punggung invasi Australia ke Timor Timur tahun 1999 atas nama kekuatan multinasional dengan dalih melaksanakan responsibility to protect.
Sekarang Angkatan Laut negeri itu tengah menantikan masuknya dua LHD baru kelas Canberra, yang direncanakan masuk pada 2013 dan 2015. Pengadaan LHD kelas Canberra satu paket dengan Air Warfare Destroyer (AWD) kelas Hobart.
Singapura negeri kecil, kaya namun licik dan rakus itu juga demikian. Dia punya kapal-kapal LST yang mampu untuk melaksanakan littoral operation. Tentu kita bertanya, dia mau proyeksi kekuatan kemana sih? Sasaran utama proyeksi kekuatan dia adalah ke wilayah Indonesia, khususnya Sumatera.
Dalam kondisi permusuhan antara Indonesia-Singapura atau ada gejolak di pantai timur Sumatera, dia akan invasi Kepulauan Riau dan pesisir timur Sumatera, kalau bisa mulai dari Aceh sampai Riau. Tujuannya selain untuk menjadikan hal itu sebagai bargaining position terhadap Indonesia, juga untuk amankan Selat Malaka yang jadi jalur hidup mati dia. Sebab negeri kecil, kaya namun licik dan rakus itu takut sekali kalau Indonesia melakukan peperangan ranjau di Selat Malaka dan Selat Singapura. Sekali Indonesia tebar ranjau, nafas Singapura akan tersengal-sengal, meskipun belum sakratul maut.
Waktu gempa dan tsunami di Aceh, Singapura langsung kirim kapal-kapal itu untuk operasi kemanusiaan. Operasi kemanusiaan sambil intip sana sini, updating data dia tentang perairan Indonesia dan pantai-pantainya.
Pertanyaan kini, kemampuan littoral warfare yang dikembangkan oleh Angkatan Laut di sekitar Indonesia mau dipakai di mana sih? Rasanya terlalu ambisius kalau itu akan dipakai di luar wilayah Asia Pasifik. Saya yakin salah satunya mereka bersiap memakai itu di wilayah Indonesia, menggunakan momentum yang ada. Lihat kasus Timor Timur, bencana di Aceh. Dan siap-siap skenario itu terjadi di Papua, bila kondisi di sana kita nggak mampu tangani. Mereka akan masuk dengan topeng responsibility to protect.
Pintu masuknya macam-macam, skenarionya beragam. Entah itu bencana alam, konflik, ancaman terhadap SLOC yang ada di Indonesia (karena perompakan) dan lain sebagainya. Ada bermacam pintu masuk yang bisa mereka gunakan.
Lalu apa yang mesti Indonesia lakukan untuk mengantisipasi skenario-skenario itu? Sebagian tindakan antisipasi adalah domain pemerintah, sebagian lainnya merupakan domain militer, dalam hal ini Angkatan Laut. So...

29 Oktober 2008

Center of Economic Gravity

All hands,
Dalam menangani ancaman keamanan maritim saat ini, kita perlu memahami apa sasaran para perpetrators itu. Perpetrators yang dimaksud di sini lebih banyak didominasi oleh aktor non negara, baik teroris maupun kelompok lainnya. Pasca serangan terhadap USS Cole (DDG-67) pada 12 Oktober 2000, sasaran perompakan, pembajakan dan terorisme maritim bukan lagi pada kapal perang, tapi pada kapal-kapal niaga.
Kapal-kapal niaga itu merupakan urat nadi ekonomi dunia. Ekonomi dunia saat ini sudah terintegrasi dalam bingkai globalisasi. Artinya, serangan terhadap kapal-kapal niaga sama dengan serangan terhadap ekonomi dunia. Ekonomi dunia bisa mengalami guncangan karena serangan itu. Dengan kata lain, center of gravity saat ini berada pada aspek ekonomi.
Dibandingkan dengan sasaran militer seperti kapal perang, kapal niaga merupakan sasaran lunak yang gampang untuk diserang dan dilumpuhkan. Terkait dengan itu, sebagian Angkatan Laut di dunia memiliki tugas untuk melindungi SLOC. Perlindungan SLOC termasuk pula di dalamnya perlindungan terhadap perdagangan dunia lewat laut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dengan kondisi saat ini, kita nggak perlu muluk-muluk. Yang penting kita harus amankan perairan yurisdiksi kita yang menjadi jalur hidup bangsa ini dan bangsa lain. Baik ALKI maupun non ALKI.
Kemampuan untuk mengamankan perairan kita sendiri adalah tantangan bagi kita. Kelihatannya gampang, tapi dalam prakteknya sulit. Karena bila ditarik dari atas ke bawah, garisnya memanjang dari pemerintah, DPR hingga sampai ke AL kita. Kemampuan kita mengamankan garis perhubungan laut di wilayah Indonesia secara langsung atau tidak langsung berarti berkontribusi terhadap stabilitas keamanan kawasan.
Dan sekaligus turut menjaga agar tidak mencegah pengangguran di dalam negeri akibat PHK, karena gejolak ekonomi dunia akibat ancaman keamanan maritim dapat merambat hingga ke mereka. Ancaman terhadap center of economic gravity mempunyai korelasi pula dengan kesinambungan ekonomi dan industri Indonesia.

28 Oktober 2008

Menguji Ketulusan Singapura

All hands,
Bila mau jujur dalam pengamanan Selat Malaka dan Selat Singapura, Indonesia lebih banyak sebagai pecundang. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia punya peluang untuk mengubah posisinya dari pecundang menjadi pemenang atau setidaknya pihak yang diuntungkan? Sudah pasti jawabannya adalah ya, dengan syarat pemerintah mampu memanfaatkan posisi tawar yang sebenarnya ada.
Indonesia harus mampu menekan Singapura agar nilai informasi yang diberikan dalam sistem Surpic ditingkatkan yang dilakukan bersamaan dengan pelebaran lebar bandwidth sistem tersebut. Adapun informasi yang harus didapatkan Indonesia adalah tentang asal pelabuhan keberangkatan terakhir kapal, apa muatannya dan tujuan pelabuhan berikutnya. Selain itu, Indonesia juga membutuhkan data-data tentang perahu-perahu kecil yang berlalu lalang di kedua selat.
Hal ini lebih bermanfaat bagi Indonesia sebab Indonesia harus mengawasi kapal-kapal segala jenis dan ukuran yang berlayar melalui perairannya, agar jangan sampai memuat barang-barang contraband seperti rudal, bahan nuklir dan sebagainya. Begitu juga dengan pengawasan terhadap perahu-perahu kecil, baik untuk mencegah penyelundupan dari Indonesia ke Singapura maupun mencegah potensi terjadinya serangan terorisme maritim. Seperti kita tahu, modus serangan terorisme maritim seringkali menggunakan perahu-perahu kecil berkecepatan tinggi untuk menghantam sasarannya, khususnya kapal-kapal besar.
Kalau Singapura nggak mau penuhi permintaan itu, sebenarnya Indonesia tidak rugi. Sebab kita sudah mempunyai jaringan radar pengamatan sebagai bagian dari proyek IMSS. Dalam kondisi sekarang dan ke depan, tanpa Surpic pun Indonesia nggak apa-apa kok, toh sudah ada IMSS.
Masalah peningkatan pemberian informasi dari Singapura dalam kerangka Surpic sebenarnya merupakan uji kasus apakah negeri kecil yang licik itu tulus bekerja sama dengan Indonesia untuk kepentingan bersama dan bukan hanya untuk kepentingan dia secara sepihak.
Singapura selama ini banyak curang dan tidak jujur kepada Indonesia. Waktu Latgab TNI 2008 di Sangata saja dia jamming komunikasi dan sensing TNI selama 30 menit. Apakah tindakan itu menunjukkan persahabatan atau tidak? Apakah tindakan itu menunjukkan solidaritas ASEAN atau tidak?
Bagi kalangan militer, jawabannya jelas tidak. Tapi bagi kalangan pecinta perdamaian dunia di Pejambon, jawabannya bisa lain. Menyedihkan!!!
Kalau Malaysia saja yang langgar wilayah kita di Laut Sulawesi (Ambalat) kita kirim nota diplomatik (biar orang Deplu ada kerjaan), tindakan Singapura jamming kita didiamkan saja tuh. Apakah sudah capai bikin nota diplomatik??? Bukankah Deplu kita jagoan bikin nota diplomatik tuh???
Singapura tidak tulus bekerja sama dengan Indonesia dalam isu keamanan maritim juga bisa dilihat dari peran Information Sharing Center (ISC) milik ReCAAP yang bermarkas di negeri licik dan rakus itu. Dari dulu sampai sekarang dia nggak pernah berbagai informasi mengenai pergerakan kapal di sekitar perairan Selat Singapura dan Selat Malaka kepada Indonesia lewat ISC. Padahal di forum-forum diplomatik negeri itu tidak henti-hentinya membual bahwa information sharing itu penting bagi keamanan maritim. Tapi mana buktinya?
Kembali ke pertanyaan pokok, apakah Singapura tulus bekerja sama dengan Indonesia? Indonesia wants to see deeds in addition to words!!!

27 Oktober 2008

Surpic: Untung Atau Rugi?

All hands,
Dalam rangka pengamanan Selat Malaka dan Selat Singapura, sejak 2005 AL kita bersama Republic of Singapore Navy meluncurkan sistem informasi Surface Picture (Surpic) yang bertujuan memonitor situasi di Selat Malaka dan Selat Singapura. Melalui sistem informasi berbasis radar tersebut, Indonesia dan Singapura dapat secara bersama memantau pergerakan kapal di alur pelayaran Selat Singapura, baik alur barat maupun alur timur.
Setelah berjalan beberapa tahun, sepertinya dalam kerjasama ini Indonesia belum meraih banyak keuntungan dibandingkan dengan Singapura. Kenapa begitu? Pertama, soal nilai informasi. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa mekanisme kerja Surpic adalah terkirimnya data dari Puskodal Coastal Command (COSCOM) kepada Puskodal AL kita di Lanal Batam menggunakan bandwidth tertentu, sehingga kedua pihak dapat melihat data yang sama real time. Data tersebut merupakan hasil pengolahan dari sistem radar Singapura yang berada di Sektor 7-9 Selat Malaka dan Selat Singapura.
Namun sangat disayangkan bahwa nilai informasi yang terkandung dalam sistem itu bagi Indonesia sesungguhnya kurang bermanfaat, karena informasi yang tersedia terbatas pada nama dan callsign, baringan dan posisinya di alur Selat Singapura. Dan informasi tersebut terbatas pada kapal-kapal niaga berukuran besar yang memang sangat vital bagi kelangsungan hidup Singapura, namun kurang berarti bagi Indonesia.
Selain itu, tidak semua informasi yang tertangkap radar COCSOM diberikan kepada kita. Sebagian info itu dipilah-pilah dulu untuk kepentingan dia. Akibatnya, kita curiga bahwa kapal-kapal kecil yang mau selundupkan barang dari Indonesia ke negeri itu nggak diberikan datanya sama kita.
Kedua, kapasitas sistem Surpic. Pada sistem Surpic, bandwidth yang digunakan sempit sehingga ada keterbatasan kapasitas pengiriman data yang secara tidak langsung untungkan Singapura. Sehingga sulit untuk mengharapkan peningkatan kemampuan Indonesia dalam meningkatkan pengamanan Selat Malaka dan Selat Singapura saat ini. Agar Surpic dapat berfungsi seoptimal mungkin sekaligus dapat meningkatkan kemampuan Indonesia mengamankan perairan itu, tak ada pilihan lain kecuali Indonesia meminta kepada Singapura agar lebar pita gelombang yang digunakan ditingkatkan. Masalahnya, dia mau kasih apa nggak?
Kita kan sama-sama tahu kelakuan negeri kecil yang kaya dan licik ini. Dia hanya mau kerjasama buat kepentingan dia. Soal keamanan maritim dia eager kerjasama, begitu kita minta soal penyelundupan dari Indonesia ke Singapura dia nggak mau. Itulah Singapura negeri maling!!!
Ketiga, soal pengendalian. Dalam sistem Surpic, data yang diterima Indonesia sepenuhnya dipasok dari Singapura, begitu pula dengan berbagai fasilitas penunjang yang hampir semuanya dibangun oleh Singapura. Sebab Surpic memang dirancang lebih untuk kepentingan negeri itu dan partisipasi Indonesia cenderung sebagai pelengkap saja. Posisi Indonesia cenderung pasif yaitu sekedar menerima data dari Singapura, sebab komando dan kendali Surpic berada di Singapura.
Kenapa begitu? Karena selama ini negeri kita tidak terlibat secara penuh dalam sistem pengawasan Selat Malaka dan Selat Singapura dibandingkan Malaysia dan Singapura. Sebagai ilustrasi, terdapat 10 fasilitas dan teknologi informasi yang digunakan untuk keselamatan maritim dan perlindungan lingkungan di kedua selat, seperti Vessel Traffic Information System/VTIS, sistem radar, Ship Routeing System dan STRAITREP.
Selain itu, Selat Malaka dan Selat Singapura dibagi dalam delapan sektor pengawasan, di mana Sektor 2-6 dikontrol oleh Malaysia dan Sektor 7-9 dikendalikan oleh Singapura. Puskodal dari beragam sistem pengawasan itu berada di Malaysia dan Singapura dan tak satupun di Indonesia. Kondisi ini tak lepas dari kurangnya kepercayaan pihak pengguna terhadap kemampuan Indonesia mengamankan kedua selat.
Pertanyaannya, apakah soal kepercayaan itu akan terus berlanjut setelah proyek IMSS Section 1206 selesai? Itu menjadi tantangan buat kita.
Kalau Singapura nggak mau tingkatkan nilai kerjasama dalam Surpic menyangkut hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, sebaiknya kerjasama itu diputus saja!!! Toh tanpa Surpic Indonesia sudah punya jaringan radar maritim IMSS dan kita bisa deteksi sasaran apa saja yang kita kita mau. Termasuk kapal-kapal kecil yang melakukan penyelundupan ke Singapura dan dilindungi oleh negeri licik itu!!!

24 Oktober 2008

Kredit US$ 1 Milyar Butuh Konsistensi

All hands,
Menyangkut pengadaan alutsista, Indonesia harus sadar bahwa dirinya adalah konsumen dan penuh ketergantungan dari negara-negara lain. Apabila kita sudah bersikap bahwa dalam pengadaan senjata tertentu dari negara x, maka seluruh komponen nasional harus mendukung. Tekanan pasti akan datang dari negara besar yang kurang suka dengan pengadaan itu dan bentuk tekanan itu bisa beragam.
Salah satu hal krusial dalam pengadaan senjata, khususnya alutsista AL kita, adalah sumber-sumber otorisasi keuangan dikuasai oleh kelompok tertentu yang bagi sebagian kalangan dinilai sebagai antek lembaga keuangan internasional tertentu yang didukung oleh negara besar tertentu. Misalnya masalah kredit US$ 1 milyar dari Rusia, salah satu critical uncertainties-nya adalah dalam urusan bagaimana pengaturan kredit itu. Otoritas pengaturan kredit itu di Indonesia kan bukan di Departemen Pertahanan, tapi di Departemen Keuangan.
Di situ yang bisa jadi pintu masuk bagi negara besar tertentu untuk menghambat realisasi kredit US$ 1 milyar, bahkan menggagalkannya. Supaya tidak gagal dibutuhkan konsistensi dari para pejabat yang punya otorisasi di bidang keuangan. Selain itu, Departemen Pertahanan harus menekan terus soal itu.
Lepas dari pro kontra soal biaya operasi dan pemeliharaan alutsista asal Rusia, saat ini pilihan dari Rusia adalah pilihan paling rasional dari segi politik dan finansial. Kita harus sadar bahwa nggak ada pilihan yang ideal sepanjang kita masih berstatus sebagai konsumen.

Masalah Sengketa Maritim di Laut Sulawesi

All hands,
Seperti sudah diprediksi sebelumnya, Angkatan Laut Malaysia masih terus bertingkah di wilayah sengketa Laut Sulawesi (Ambalat). Selama akhir Agustus dan awal September 2008, kapal perang Malaysia beberapa kali menerobos masuk ke wilayah yang diklaim oleh Indonesia. Dan seperti biasa, kapal perang AL kita cuma bisa mengusir saja, tapi nggak berani menembak. Soalnya para pemimpin negeri di Jakarta nggak berani kasih aturan pelibatan yang bolehkan kapal perang AL menembak kapal perang Malaysia bila kondisinya mengharuskan demikian.
Boleh saja para pemimpin negeri di Jakarta bilang bahwa Indonesia cinta damai, sehingga lebih mengutamakan penyelesaian diplomatik atas sengketa itu. Tapi bukan berarti atas dasar itu terus Indonesia tidak berani tegas terhadap pelanggaran Malaysia di wilayah sengketa. Ketidakberanian pemimpin negeri di Jakarta bersikap tegas dapat dilihat ketika sang pemimpin berkunjung ke wilayah sengketa Maret 2005, di mana KRI KST-356 yang dinaiki sang pemimpin beberapa kali haluannya dipotong oleh kapal perang Malaysia.
Tindakan demikian sudah sangat jelas merupakan tindakan permusuhan. Tapi sang pemimpin tenang-tenang saja tuh. Mungkin karena dia dari matra lain sehingga nggak mengerti ”tata krama” di laut.
Negeri tetangga yang culas itu sekali-sekali harus diberi pelajaran, bukan diberi hati seperti selama ini. Bagaimana caranya beri pelajaran? Salah satunya, aturan pelibatan untuk AL kita di perairan Kalimantan Timur di masa damai harus direvisi. Aturan pelibatan itu ditetapkan dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor : Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005.
Revisinya menyangkut tindakan yang harus dilakukan bila ada hostile act dari Malaysia. Sekarang kita hanya boleh menembak setelah kapal perang Malaysia membuka tembakan. Untuk membuka tembakan peringatan saja kita nggak boleh!!! Karena itulah makanya ketika kapal perang yang ditumpangi sang pemimpin negeri haluannya dipotong, kita diam saja. Padahal tindakan memotong haluan merupakan tindakan permusuhan yang dapat direspon dengan penggunaan senjata.

23 Oktober 2008

Pemahaman Yang Benar Tentang Peperangan Asimetris Angkatan Laut

All hands,
Masih banyak rekan dan senior kita yang salah memahami soal naval asymmetric warfare alias peperangan asimetris Angkatan Laut. Karena kondisi AL kita yang tengah berjuang hidup mati di tengah sedikitnya anggaran yang dikucurkan oleh peperangan, lalu peperangan asimetris Angkatan Laut dipahami sebagai penggunaan pasukan khusus dalam perang laut.
Pemahaman demikian sangat jelas salah besar. Peperangan asimetris tidak identik dengan penggunaan pasukan khusus. Seperti pernah saya tulis, suatu peperangan dikategorikan sebagai asimetris bila:
1. asimetris dalam hal kekuatan,
2. asimetris dalam hal persenjataan
3. asimetris dalam hal organisasi
4. asimetris dalam hal moralitas

Kalau hal itu kita tarik dalam konteks AL kita, untuk menghadapi Angkatan Laut lainnya, setidaknya kita asimetris dalam persenjataan. Sebagian besar persenjataan kita termasuk kategori aging weapon system, sementara lawan yang kita hadapi senjatanya sebagian besar merupakan teknologi 1990-an atau 2000-an.
Lalu bagaimana menghadapi kondisi demikian? Apakah kita harus menggunakan pasukan khusus dalam peperangan asimetris guna menghancurkan kapal perang lawan di tengah laut? Jawabannya, tidak!!!
Satu-satunya cara adalah taktik apa yang akan kita gunakan untuk menghadapi kapal perang yang lebih canggih. Secanggih-canggihnya teknologi senjata, bukan berarti tidak ada kelemahannya. Kelemahan itu yang harus kita eksploitasi dalam taktik yang akan kita gunakan.
Bagaimana caranya mengetahui kelemahan kapal-kapal lawan? Selain mengumpulkan informasi intelijen dari berbagai sumber, semisal rekanan atau pemasok logistik, juga bisa kita kumpulkan dari data-data terbuka tentang kapal perang itu. Bahkan akan lebih bagus bila ada data terbuka atau mungkin data tertutup tentang kinerja kapal perang itu dalam latihan perang yang diikutinya.
Dari situ kita bisa analisis apa kelebihan dan kekurangan kapal perang lawan. Hasil analisis itu kemudian harus dikembangkan menjadi taktik peperangan di laut. Taktik itu ada yang umum, ada yang spesifik. Maksudnya, untuk menghadapi kapal fregat kelas Lafayette Singapura taktiknya tidak persis sama dengan menghadapi korvet kelas Kedah Malaysia.
Di situ yang dimaksud dengan asimetris. Jadi peperangan asimetris bukan perang yang identik dengan penggunaan pasukan khusus. Lihat Perang Lebanon Juli-Agustus 2006, kelompok Hizbullah hantam korvet INS Ahi Hanit pakai rudal C-802, bukan pasukan khusus. Padahal perang itu juga termasuk kategori peperangan asimetris.

22 Oktober 2008

Partisipasi Dalam Latihan Bersama

All hands,
Salah satu bentuk interaksi antar Angkatan Laut adalah melalui latihan bersama, baik bilateral maupun multilateral. Latihan bersama Angkatan Laut mencerminkan bukan saja tingkat hubungan antar Angkatan Laut, tetapi juga antar negara. Namun tesis ini belum tentu berlaku di Indonesia yang kebijakan luar negerinya tidak jelas.
Sampai saat ini, belum ada panduan yang jelas mengenai latihan apa yang bisa diikuti oleh Angkatan Laut dan mana yang tidak boleh diikuti. Panduan itu semestinya ada, karena Departemen Pertahanan secara garis besar telah memberikan lampu hijau latihan bersama dengan negara-negara lain. Panduan itu idealnya merupakan “kesepakatan” antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri.
Sangat disayangkan selama ini panduan itu tidak ada. Akibatnya bagi Angkatan Laut, kadang tidak jelas mana latihan yang boleh diikuti, mana yang tidak. Sebagai contoh, bagaimana sikap Departemen Luar Negeri terhadap partisipasi Angkatan Laut dalam latihan multilateral? Tahun 2008, salah satu latihan multilateral yang kita ikuti adalah RIMPAC 2008 Exercise, di mana kita kirim kekuatan untuk terlibat aktif. Jadi bukan sekedar jadi pengamat.
Akar masalah dari semua itu adalah tidak padunya antara kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri. Hal itu berimbas terhadap Angkatan Laut dalam interaksinya dengan mitranya di luar negeri. Sampai kapan ketidakpaduan itu akan terus berlangsung? Mungkin sampai ada pemerintahan yang berani rumuskan strategi keamanan nasional.

21 Oktober 2008

No Ship, No Navy!!!

All hands,
Some of our guys in the Naval Service thought that for nowadays, the naval special operation forces is more useful, more frightening, could create a deterrence effect than our warship. Oh my God, this is the craziest thing I ever heard as long as I serve in the beloved Navy. How could they thought that way?
I think, first of all, we should know who we are, what are our characters and why people call us Navy. Who we are? Navy or Army? Where we serve? At sea or on the land?
People call us Navy because we have warships, we serve at sea and we do have the specific characters and customs that make different compare to the Army. We are guarding the national interest at sea, yesterday, today, tomorrow and forever.
Frankly, no ship… no Navy. If we depend on our special operation forces for naval operation, then what are our differences compare to the Army? People out there will laugh to see what we thought about a Navy. They thought we are in progress of transformation, from Naval Service to quasi-Army Service.
If we thought like that, I suggest that naval and maritime operation should not be teach again in our Naval Command and Staff College. Let’s abandon about Mahan’s or Till’s or Collomb’s brother or other naval strategist’s thought on naval operation. And then let’s embrace Jomini’s, Clausewitz’s, Rommel’s etc thought on land operation.
I think our main problem is how to create a deterrent. For Navy, the choice is through it’s weapons system, particularly warship. Half of our warship is the aging things and that’s why our deterrence effect can not work on the field so far. How to deal with it? First, replace those ships based on priorities. It’s still on progress so far. Second, adopt the effect-based operations. This second thing is the hardest one, I think.

Stop Pelecahan

All hands,
Untuk menilai kinerja satuan militer, termasuk Angkatan Laut, terdapat empat elemen yang harus diperhatikan. Yaitu sensing, mobility, firepower dan C4ISR. Harus kita akui bahwa kemampuan kita pada keempat elemen itu mengalami deteriorating, sehingga pilihan satu-satunya adalah pembenahan apabila kita nggak ingin nggak bisa apa-apa ke depan. Pertanyaannya, dari keempat elemen itu, mana sebaiknya yang harus diprioritaskan?
Menurut saya, sensing dan mobility adalah prioritas utama. Saat ini, apabila dibandingkan, kemampuan mobility AL kita sudah lebih baik dibandingkan awal tahun 2000-an. Sensing perlu mendapat perhatian khusus, karena terkait dengan maritime domain awareness.
Salah satu masalah yang masih menghinggapi kemampuan sensing kita adalah soal kemampuan anti jamming. Ini prioritas sekali, karena bila itu kita nggak benahi segera, pelecehan terhadap kita akan terus terjadi.
Contoh nyatanya adalah saat Latgab TNI di Sangata Juni 2008 lalu. Singapura melalui satelit militernya melakukan jamming terhadap sensing dan komunikasi TNI selama 30 menit. Selama jangka waktu itu, mata dan telinga satuan TNI dibutakan dan ditulikan.
Kasus ini akan terus terjadi bila pembenahan kemampuan soft kill kita belum diprioritaskan. Soal hard kill, kita relatif masih lebih bagus daripada soft kill. Soft kill kita parah sekali. Caranya bagaimana?
Secara teori gampang. Adakan sistem radar dan komunikasi yang anti jamming. Itu saja kok!!! Kalau di-jamming, frekuensi kita bisa lompat-lompat alias frequency hopping. Sebagian sistem kita sudah demikian, namun sebagian besar lainnya belum. Soal mahal kan relatif, tidak semahal harga diri yang dilecehkan.

20 Oktober 2008

Kemampuan Global Reach dan Regional Reach

All hands,
Dalam aspek operasi Angkatan Laut, khususnya berdasarkan jangkauan operasi, dikenal beberapa istilah sebagai global reach dan regional reach. Aspek operasi ini sangat terkait dengan tataran strategis, yaitu apa aspirasi bangsa yang punya Angkatan Laut itu. Angkatan Laut yang global reach penuh adalah U.S. Navy, sedangkan yang terbatas seperti Royal Navy, Russian Navy dan French Navy.
Adapun Angkatan Laut yang punya aspirasi regional reach semisal punya Jepang, Korea Selatan, India dan Singapura. Kemampuan global reach dan regional reach bisa dilihat dari jenis kapal perang yang dipunyai oleh masing-masing Angkatan Laut. Tapi perlu dipahami bahwa itu tidak selalu berbanding lurus.
Sebagai contoh, Thailand yang sejak 1990-an memiliki kapal induk HMTS Chakri Naurebet sampai sekarang wilayah operasinya cuma di sekitar perairan negeri itu saja. Padahal secara teori, kapal induk itu minimum dapat beroperasi 5.000 km dari wilayah negaranya. Sebaliknya Singapura yang nggak punya kapal induk, seiring dengan masuknya kapal perang kelas Lafayette dari Prancis sudah bermain hingga ke Jepang.
Lalu Indonesia bagaimana? Nenek moyang bangsa ini kemampuannya regional reach, walaupun dalam bentuk ekonomi dan bukan militer. Artinya karakter bangsa ini sebenarnya regional reach. Sebelum negara-negara modern di Asia terbentuk sebagai hasil penjajahan orang-orang Eropa, ratusan tahun silam penduduk Nusantara sudah mempunyai jejak ekonomi dan kebudayaan dengan wilayah-wilayah di kawasan Samudera Pasifik dan Samudera India.
Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia masa kini masih punya aspirasi regional reach? Semestinya harus, karena perdamaian dunia di kawasan Asia Tenggara tidak dapat ditata tanpa peran Indonesia sebagai negara terbesar, baik dari segi luas wilayah maupun jumlah penduduk. Untuk menata itu, suka atau tidak suka, peran Angkatan Laut merupakan suatu hal yang absolut.

Teknologi dan Paradigma

All hands,
Penerapan revolution in military affairs (RMA) merupakan hal yang tidak bisa ditolak-tolak lagi. Seiring makin majunya teknologi militer, sistem senjata militer beserta pendukungnya makin canggih teknologinya. Bahkan peran pengawakan manusia untuk sistem senjata dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sama sekali.
Misalnya soal penggunaan pesawat tak berawak alias unmanned aerial vehicle (UAV) atau unmanned aerial system (UAS) yang kini meluas untuk tugas-tugas pengamatan dan pengintaian. Termasuk pula di lingkungan Angkatan Laut di dunia yang digunakan untuk kepentingan maritim domain awareness (MDA).
Bagi negara-negara maju, penerapan RMA tidak terlalu banyak menghadapi kendala, baik teknis maupun non teknis. Tetapi hal itu akan berbeda apabila diaplikasikan di negara-negara berkembang, yang salah satu kendalanya adalah budaya.
Yang dimaksud budaya di sini adalah kemauan untuk mengubah kebiasaan lama yang sudah puluhan tahun dilaksanakan. Ini yang sulit, karena pasti akan menimbulkan ”resistensi”. Sebagai contoh, untuk penggunaan UAV/UAS untuk kepentingan pengamatan dan pengintaian, mungkin akan menyenangkan bagi unsur kapal perang.
Sebab memperluas daya jangkau sensing mereka yang selama ini cuma andalkan radar dan sekali-sekali didukung unsur penerbangan. Namun apakah itu tidak akan menimbulkan resistensi dari unsur penerbangan yang selama ini merupakan kepanjangan mata dari kapal perang? Pihak lain bisa saja berpendapat bahwa kehadiran UAV/UAS justru meringankan tugas unsur penerbangan, namun pendapat demikian belum tentu diamini oleh pihak terkait.
Contoh lainnya adalah kian sedikitnya awak kapal yang dibutuhkan untuk mengawaki kapal perang generasi terakhir. Karena sebagai pekerjaan di kapal sudah diambil alih oleh komputer, diotomasi. Hal ini masih menjadi kendala buat di negara-negara seperti Indonesia yang Angkatan Lautnya masih anut paradigma padat karya dalam pengawakan kapal.
Untuk menghadapi ”resistensi-resistensi” itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma. Paradigma bahwa perang masa kini dan masa depan sebagian di antaranya sudah push button war, perang di masa kini dan masa depan dilakukan dari jarak jauh, perang di masa kini dan masa depan sebagian dilakukan dengan pengawakan sistem senjata yang jauh lebih sedikit, perang di masa kini dan masa depan sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi dan perang di masa kini dan masa depan center of gravity-nya sangat banyak.
Hanya dengan mengubah paradigma maka kita dapat mengikuti kemajuan teknologi militer yang sangat berpengaruh terhadap tataran strategis, taktis, teknis dan prosedur militer. Tanpa perubahan paradigma, kita tak akan bisa paham apa yang sesungguhnya terjadi di lingkungan kita.

17 Oktober 2008

Uang dan Perencanaan

All hands,
Merupakan hal yang menyedihkan ketika kita melakukan akuisisi alutsista namun tidak komplit. Tidak komplit yang dimaksud adalah kita lebih mendahulukan akuisisi alutsista tetapi tanpa juga memprioritaskan dukungan logistiknya. Akhirnya ketika alutsista masuk dalam inventori kita, belum didukung oleh dukungan logistik alias integrated logistic support.
Dalam kondisi demikian, sulit untuk membayangkan bagaimana bila ada komponen-komponen yang harus diganti, baik karena rusak maupun masa pakainya sudah habis. Kemana kita harus mencari dukungan logistiknya? Apakah kita harus kanibal alutsista sejenis?
Kalau kita telusuri kenapa masalah ini terjadi, alasannya selalu masalah dana alias uang. Apakah benar alasan yang demikian sederhana itu? Menurut saya jawabannya tidak seperti itu.
Kenapa? Dalam pengadaan alutsista, mestinya perencanaan itu harus komprehensif. Bukankah dalam paket akuisisi yang disediakan oleh produsen yang disiapkan bukan saja alutsistanya, tetapi juga dukungan logistiknya. Aneh bila kita membeli alutsista tanpa dukungan logistik dengan alasan belum ada dukungan anggaran.
Akuisisi alutsista jelas berbeda dengan beli mobil. Kita beli mobil nggak perlu dengan suku cadangnya. Kalau alasan anggaran, yah semestinya harus dipenuhi. Pemerintah kita sebenarnya cukup kaya kok. Negara nggak akan bangkrut hanya karena mengeluarkan Rp.30-40 trilyun untuk akuisisi beberapa buah kapal perang AL.
Keluarkan Rp.600 trilyun saja buat BLBI yang nggak jelas pertanggungjawabannnya itu saja Indonesia nggak bangkut. Apalagi cuma Rp.30-40 trilyun. Tinggal mau apa tidak keluarkan itu. Untuk itu tergantung hasil lobi juga ke pemerintah dan DPR.
Artinya, harus diperjuangkan bahwa kebutuhan dana itu bukan saja untuk alutsistanya, tetapi juga dukungan suku cadang hingga beberapa tahun ke depan.
Katakanlah paket logistiknya untuk dukungan hingga dua tahun. Sangat terlalu sering didengungkan bahwa pertempuran tidak dapat dimenangkan tanpa dukungan logistik. Tapi dalam prakteknya, kita sendiri yang justru tidak melaksanakan slogan itu.

16 Oktober 2008

Menerapkan Life Cycle Cost

All hands,
Dalam pengadaan alutsista, salah satu hal yang harus kita perhitungkan dengan matang adalah life cycle cost. Sebab life cycle cost akan menguntungkan atau mungkin membebani anggaran ketika kita sudah memutuskan bahwa kita membeli kapal jenis kelas x atau y atau z. Secara garis besar, life cycle cost terdiri dari tiga elemen yaitu akuisisi, operasi dan pemeliharaan dan penghapusan.
Sebelum kita melaksanakan akuisisi, harus ada analisis life cycle cost terhadap calon-calon kapal perang yang kita akan beli. Ambil contoh kapal selam, misalnya dengan tiga kandidat yang relatif sekelas yaitu U-209, Kilo dan Changbogo. Dari ketiganya, kita harus bandingkan life cycle cost-nya.
Changbogo untuk harga pengadaan memang lebih murah dibandingkan U-209 dan Kilo. Tapi apakah untuk biaya operasi dan pemeliharaannya juga lebih murah dibandingkan dua kompetitornya? Murah pada harga pengadaan bukan jaminan akan murah pula pada operasi dan pemeliharaan, yang mana jangka operasi dan pemeliharaan minimal 25 tahun. Selama 25 tahun bergabung dalam armada, kita harus perhitungkan berapa biaya pemeliharaannya.
Dengan perhitungan itu, kita bisa menyusun ancar-ancar anggaran tiap tahunnya hingga tahun ke 25. Misalnya tahun ke berapa dia harus masuk pemeliharaan menengah dan berapa biayanya, tahun ke berapa harus masuk pemeliharaan depo dan juga berapa biayanya. Dengan demikian sejak dini kita punya perencanaan anggaran, sehingga nggak ada lagi cerita kapal tidak bisa operasional karena belum dianggarkan pemeliharaannya.
Pendekatan serupa harus kita lakukan pula pada U-209 dan Kilo. Mana yang life cycle cost-nya terendah. Dari situ baru kita bisa ambil kesimpulan, bahwa dari aspek life cycle cost kapal selam jenis x lebih murah dibandingkan lainnya. Tentu masih ada aspek-aspek lain yang harus dipertimbangkan pula sebelum sebuah keputusan mengenai kapal selam yang dipilih dikeluarkan.
Pendekatan serupa diterapkan pula pada alutsista lainnya, baik kapal atas air maupun pesawat udara. Penggunaan life cycle cost itu wajib hukumnya dalam pengadaan alutsista, karena selama masuk dalam inventori maka kita harus siapkan dana pemeliharaan. Berapa besaran dana yang dibutuhkan, itu hanya bisa dikalkulasi melalui life cycle cost. Tanpa itu, kita nggak bisa tentukan apakah alutsista yang kita pilih itu ekonomis atau malah jadi beban anggaran.
Harus diakui bahwa di militer Indonesia, masalah life cycle cost belum dipahami dengan betul, apalagi diterapkan. Padahal kalau itu diterapkan, akan ada banyak efisiensi yang terjadi. Dari situ kita bisa tentukan kapal perang apa saja yang harus kita hapus dari inventori karena sudah tidak ekonomis lagi. Ekonomis dalam arti bahwa kinerja operasionalnya sebanding dengan jumlah dana yang dikeluarkan untuk pemeliharaan kapal itu.
Departemen Pertahanan yang merupakan pintu masuk tunggal pengadaan alutsista pun belum mengerti masalah life cycle cost. Dalam pengadaan selama ini, mereka nggak pernah bikin analisis life cycle cost. Jadi bukan militernya saja yang sebagai pengguna yang nggak paham, tapi juga Departemen Pertahanan sebagai penentu kebijakan.
Dengan pendekatan life cycle cost pula, dalam pengadaan alutsista dapat diminimalisasi pertimbangan-pertimbangan subyektif yang selama ini banyak terjadi. Karena pertimbangan-pertimbangan subyektif itu maka ada cost yang harus dibayar setelah alutsista itu masuk dalam armada. Dan cost itu tidak selamanya berupa uang, tapi juga yang sifatnya non materi.

15 Oktober 2008

Motif Kunjungan Muhibah Kapal Perang India

All hands,
Sejak beberapa hari lalu dua kapal perang India INS Kumbhiri (L-22) dan INS Trinkat (T-61) bersandar di Pelabuhan Belawan. Kedua kapal perang jenis pendarat dan korvet itu merupakan tamu Lantamal I, Belawan. Apabila mengikuti keterangan resmi yang diberikan, kunjungan itu adalah untuk mengadakan latihan bersama dengan AL kita.
Hal itu wajar-wajar saja, mengingat memang interaksi AL kita dengan AL India mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Kapal perang kita pun hampir setiap tahun berkunjung ke India, tepatnya di Kepulauan Andaman dan Kepulauan Nikobar mengikuti MILAN Exercise di Port Blair.
Namun ada baiknya kita harus tangkap pula maksud terselubung dari kunjungan itu. Seperti kita ketahui, di kawasan Sumatera Utara dan sekitarnya banyak bermukim komunitas India, baik yang sudah berstatus WNI maupun masih warga negara India. Mereka ini masih mendapat “perhatian” dari pemerintah India, antara lain dengan kunjungan muhibah itu.
Kunjungan muhibah itu merupakan implementasi dari Strategi Militer Maritim India. Sebagai diketahui, dalam strategi tersebut salah satu tugas Angkatan Laut India adalah melindungi diaspora India di manapun, khususnya di kawasan Samudera India. Melindungi di sini artinya luas, bukan saja dalam arti fisik, namun juga dalam arti memberikan perhatian melalui kunjungan kapal perang India.
Salah satu agenda dalam kunjungan muhibah ke Belawan adalah open ship. Dalam agenda itu, masyarakat umum dapat mengunjungi kapal perang India. Sudah bisa ditebak bahwa komunitas India di Medan dan sekitarnya akan mendapat kesempatan khusus guna berinteraksi dengan saudara-saudara sebangsa mereka yang bertugas sebagai awak kapal perang. Bagi Angkatan Laut India, hal itu memberikan pesan kepada komunitas India setempat bahwa mereka mampu hadir di wilayah di mana komunitas India berada. Mereka mampu dan sekaligus memberikan rasa aman dan kebanggaan akan eksistensi India kepada komunitas India.
Kehadiran kapal perang India di wilayah kita pada dasarnya tak perlu dicurigai. Hal itu wajar-wajar saja, apalagi berada dalam kerangka kerjasama Angkatan Laut kedua negara. Cuma kita harus berpikir ke depan, bahwa itu merupakan pesan bahwa bila suatu saat nanti komunitas India di wilayah kita terancam keselamatan nyawa dan hartanya, Angkatan Laut India mampu untuk hadir di sini guna amankan mereka. Itu yang mesti kita antisipasi agar tidak terjadi skenario demikian.

Mimpi Industri Pertahanan Dalam Negeri

All hands,
Penggunaan hasil industri pertahanan dalam negeri kembali ditekankan oleh pemimpin nasional saat HUT TNI. Penekanan atau perintah itu bagus sekali, kalau industri pertahanan dalam negeri memang sudah mampu. Namun bila belum mampu, jangan dipaksakan tiap Angkatan memakai hasil industri dalam negeri. Karena hasilnya akan mempengaruhi kinerja operasional TNI di lapangan.
Kita sama-sama tahu, kemampuan industri pertahanan dalam negeri itu baru sebatas senapan ringan, mortar dan munisinya. Itu cuma bisa buat mempersenjatai pasukan infanteri. Untuk kendaraan lapis baja, kapal perang, pesawat udara dan lainnya, suka tidak suka masih harus andalkan pengadaan dari luar negeri.
Betul PT Pindad bisa bikin kendaraan lapis baja. Tapi kenyataannya kendaraan masih mempunyai sejumlah kekurangan yang mesti diperbaiki. Ketergantungan Pindad sama vendor asing juga masih tinggi, lihat saja mesinnya masih harus tergantung dari Prancis. Kasus yang mirip adalah PT PAL, yang kemampuannya memang cuma bikin bangun kapal. Mesin, senjata dan elektronikanya masih tergantung pasokan dan kemurahan hati dari Eropa.
Artinya apa? Industri pertahanan dalam negeri belum didukung oleh vendor dari dalam negeri pula. Vendor itu bisa berupa industri mesin, elektronika, sistem senjata dan lain-lain. Ini yang selama puluhan tahun kurang didorong pengembangannya oleh pemerintah.
Pemerintah cuma sibuk dengan industri hulunya, tapi hilirnya kurang dirangsang untuk dikembangkan. Bandingkan dengan India, yang dukungan vendor dalam negerinya kuat. India bikin kapal perang bukan bangunan kapalnya saja, tapi hampir semuanya. Cuma beberapa komponen saja yang masih tergantung dari luar negeri.
Kita selama ini masih bermimpi alih teknologi. Alih teknologi itu nggak ada!!! Itu cuma bahasa politik!!! Kita kalau pengadaan alutsista, maunya sebagian dibuat di dalam negeri. Negara produsen nggak akan keberatan, asalkan belinya puluhan atau ratusan. Kita cuma beli empat kapal, maunya sebagian dibuat di dalam negeri.
Mana mau negara produsen. Kecuali kita beli 10, masih mau dia. India beli kapal selam dari Rusia saja lebih dari lima, sehingga posisi tawar dia untuk dibuat di galangan nasional India ada. Begitu pula pengadaan pesawat tempur Sukhoi India yang satu paket lebih dari seratus pesawat, jelas saja Rusia mau kasih lisensi.
Indonesia yang punya kebiasaan belanja alutsista eceran maunya diperlakukan seperti konsumen yang belanja alutsista grosir. Yah mana mau produsen kasih lisensi ke Indonesia. Lihat kemajuan pembangunan kapal LPD ke-3 dan ke-4 di PT PAL, sampai sekarang belum beres. Bandingkan bila kapal itu dibangun di Korea, mungkin sekarang dua-duanya sudah masuk dalam Armada AL kita.
Pesannya adalah pemerintah jangan nafsu besar tenaga kurang dalam program pengadaan alutsista dari dalam negeri. Kalau belum mampu, yah sadar diri. Kedaulatan, harga diri bangsa, martabat bangsa, pembelaannya nggak bisa menunggu sampai industri pertahanan dalam negeri mampu dukung alutsista TNI. Nggak ada pilihan lain kecuali masih harus andalkan pengadaan dari luar negeri dengan segenap resikonya. Tentu yang kita cari adalah resikonya paling sedikit buat bangsa ini.
Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Kementerian Ristek mestinya dorong bagaimana caranya agar para pengusaha di dalam negeri itu mau kembangkan R&D, jangan jadi pedagang kayak para “pengusaha” otomotif. Dorongan itu antara lain berupa insentif pajak, pengurangan cukai masuk barang modal dan lain-lain. Tanpa itu, masalah vendor tetap akan menjadi lingkaran setan dalam pengembangan industri pertahanan dalam negeri.

14 Oktober 2008

Bukan Sekedar Demo Kekuatan

All hands,
Sudah menjadi rahasia umum kalau dalam kegiatan seremonial militer di Indonesia, khususnya untuk parade dan defile, demo kekuatan merupakan agenda wajib. Cuma pertanyaannya, apakah demo kekuatan itu berbanding lurus dengan kemampuan yang dipunyai? Buat kalangan yang sinis, hal itu dipandang sebagai kemampuan seremonial saja, bukan kemampuan di alam nyata.
Kalau kita pikir lebih dalam, berapa biaya yang dihabiskan untuk kegiatan itu. Ambil contoh HUT TNI 2008 yang tahun ini AL kita menjadi tuan rumah. Berapa biaya yang dihabiskan TNI untuk kegiatan itu? Asumsi saya paling sedikit Rp. 5 milyar dihabiskan buat kegiatan itu.
Rp. 5 milyar itu berarti 1/10 biaya Latgab TNI 2008 Rp.50 milyar. Katanya TNI kekurangan anggaran, tapi buang Rp.5 milyar kok enak-enak aja tuh. Kalau Rp.5 milyar buat latihan tempur, nggak masalah. Tapi kalau Rp. 5 milyar buat demo kekuatan yang semu, perlu dipertanyakan kembali soal itu.
Jujur harus kita berkaca bahwa apa yang kita tampilkan dalam demo bukan realitas di lapangan sehari-hari. Sebagai contoh, pasti ada pengucuran anggaran khusus sehingga pesawat udara dan kapal perang yang bisa ikut demo lebih banyak. Sama dengan menjelang Latgab TNI 2008, ada anggaran khusus untuk meningkatkan kesiapan unsur senjata biar bisa ikut latihan.
Padahal dalam kenyataan sehari-hari, nggak ada pengucuran anggaran khusus buat meningkatkan kesiapan operasional unsur. Semua pakai anggaran rutin, sehingga nggak heran unsur yang siap tempur cuma sedikit. Begitu ada parade atau latihan gabungan, tiba-tiba kesiapan unsur meningkat tajam.
Artinya, kita menipu diri sendiri. Demo kekuatan itu juga menipu diri sendiri. Pura-pura hebat, padahal kita nggak hebat. Nggak hebat karena perbuatan kita sendiri, bukan karena kepintaran orang lain.

Orientasi Membingungkan

All hands,
Salah satu jargon yang saya kurang suka adalah soal TNI harus manunggal dengan rakyat. TNI harus dicintai rakyat. Itu kan jargon era 1940-an, era perang gerilya. Sehingga orientasi TNI itu membingungkan. TNI itu mau jadi tentara profesional atau tentara rakyat atau tentara pejuang?
Nggak bisa pilih ketiga-tiganya, karena tiga-tiganya berbeda. Kalau dari persepsi saya yang berdomain maritim, militer itu harus jadi tentara profesional. Artinya, dia harus dipenuhi kebutuhannya, minimal kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok itu yah dari aspek kesejahteraan maupun persenjataan yang dibutuhkan. Tanpa itu, dia nggak bisa jadi profesional.
Kalau tentara rakyat itu kan tentara seadanya, nggak ada yang bayar. Siapa yang bayar? Rakyat? Rakyat saja susah kok, mau bayarin tentaranya?
Orientasi militer itu harus profesional. Soal mau dicintai rakyat atau tidak, itu dampak saja. Outcome-nya harus profesional. Cuma di Indonesia tentaranya yang berupaya dicintai rakyat, tapi buktinya kurang. Di luar negeri, kapal perang yang baru kembali pangkalan dari operasi di laut selama beberapa bulan disambut masyarakat di dermaga dengan bawa bunga dan bendera negara mereka. Yang sambut itu bukan saja keluarga awak kapal, tapi juga masyarakat umum.
Di Indonesia yang katanya tentaranya dicintai rakyat, nggak ada tuh sambutan masyarakat seperti itu. Lalu apa yang salah? Salah satunya adalah kita terlalu sibuk dengan jargon. Kita suka bermacam jargon, tapi buktinya nol besar.
Kalau TNI itu ingin dicintai rakyat, yah bikin HUT itu jangan ganggu kegiatan masyarakat. Jangan karena HUT lalu kegiatan ekonomi masyarakat berhenti beberapa jam. Kegiatan penerbangan Bandara Juanda dihentikan beberapa jam, begitu juga aktivitas di pelabuhan Tanjung Perak. Itulah krisis intangible yang terjadi di TNI selama ini dan lebih sulit memperbaikinya daripada sekedar nggak ikut berpolitik praktis.

13 Oktober 2008

Angkatan Laut dan Sejarah Maritim

All hands,
Dalam menyusun doktrin dan strategi Angkatan Laut, salah satu faktor yang tak boleh dilewatkan adalah sejarah. Hal ini bukan masalah bagi Angkatan Laut yang punya sejarah panjang, punya banyak pengalaman perang. Tapi jadi masalah buat Angkatan Laut yang miskin pengalaman itu.
India misalnya, dalam strategi maritimnya mengambil pengalaman perang dengan Pakistan tahun 1947, 1965 dan 1971 sebagai patokan. Indonesia bagaimana? Harus kita akui, kita kesulitan di situ. Pengalaman perang laut kita minim. Paling banter Operasi Trikora dan Dwikora, dengan pertempuran (asimetris) Laut Aru sebagai puncaknya. Setelah itu, AL kita nggak pernah lagi berhadapan langsung dengan AL lain. Kalau kasus-kasus ”kecil” seperti dengan Malaysia, Singapura, Australia, Amerika Serikat sih sering.
Eksistensi Angkatan Laut memang sebaiknya ditunjang oleh sejarah maritim yang memadai. Tapi nggak mungkin kan kita pakai sejarah maritim zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara dulu, karena eranya sudah beda sekali.
Selain soal itu, kelemahan bangsa ini adalah tak mau belajar dari sejarah, khususnya lesson learned. Lesson learned di negeri ini identik dengan siapa yang salah. Padahal tujuannya bukan mencari siapa yang salah, tapi apa yang salah.

Mahan dan Kondisi Indonesia

All hands,
Kalau kita berbicara mengenai sea power, salah satu tokoh yang tidak boleh dilewatkan adalah Mahan. Lengkapnya adalah Alfred Thayer Mahan, seorang Laksamana Muda U.S. Navy yang merupakan penganjur pembangunan kekuatan laut Amerika Serikat di akhir abad ke-19. Mahan juga punya kontribusi terhadap terbentuknya U.S. Naval War College, di Newport, Rhode Island bersama-sama dengan Stephen B. Luce.
Mahan terkenal gara-gara pemikirannya yang dituang dalam buku The Influence of Sea Power upon History 1660-1783. Buku ini bacaan wajib buat para navalist dan maritime strategist. Kalau belum baca buku itu, berarti belum sah statusnya. Ha…ha…ha…
Buku itu ditulis berdasarkan pengalaman negara-negara Eropa berperang satu sama lain selama jangka waktu 1660-1783. Dari peristiwa-peristiwa itu Mahan berpendapat bahwa sea power itu mempunyai pengaruh dalam menentukan sejarah Eropa. Dan secara khusus buku itu sebenarnya ditujukan untuk menggugat kondisi sea power Amerika Serikat, yang menjelang akhir abad ke-19 tidak ada kemajuan berarti.
Selain The Influence of Sea Power upon History 1660-1783, Mahan juga menulis buku The Influence of Sea Power upon the French Revolution and Empire 1793–1812. Pertanyaannya, butir apa yang menarik dari buku Mahan The Influence of Sea Power upon History 1660-1783?
Di situ Mahan menuliskan bahwa terdapat enam kondisi prinsip yang mempengaruhi sea power suatu negara. Yaitu geographical position, physical conformation, extent of territory, number of population, national character dan character and policy of governments.
Lalu bila kita tarik ke kondisi Indonesia, yang mana yang nggak dipunyai negeri ini? Jawabannya dua yang terakhir, yaitu national character dan character and policy of governments. Itu masalah yang mendasar sekali. Kalau empat kondisi yang lain kita punya, given.
Jadi jangan salahkan siapa-siapa kalau kita cuma berstatus negara kepulauan, tapi di dunia maritim kita tidak diperhitungkan. Itu karena karakter bangsa ini yang melupakan laut. Juga karakter dan kebijakan pemerintah yang tidak memandang laut dalam arti yang sebenarnya. Padahal kondisi geopolitik Indonesia itu sangat dipengaruhi oleh laut.
Ingat, oceans unite, lands divide. Yang persatuan negeri ini adalah laut, bukan daratan. Laut itu pemersatu, bukan pemisah karena laut adalah bagian terintegrasi dari negeri ini.

10 Oktober 2008

Reformulasi Konsep Pengendalian Laut

All hands,
Krisis pembajakan MV Faina di perairan Somalia hingga sekarang belum terselesaikan. Krisis ini mengingatkan saya kembali kepada pemikiran Geoffrey Till tentang reformulasi konsep pengendalian laut (reformulating concept of sea control). Konsep laut merupakan isu sentral dari strategi maritim sejak berabad-abad silam. Pikiran pokok dari konsep itu adalah melaksanakan pengendalian laut dalam ruang dan waktu tertentu, sekaligus mencegah lawan menggunakan laut bagi kepentingannnya. Hanya dengan pengendalian laut, maka operasi-operasi Angkatan Laut lainnya dapat dilaksanakan.
Seiring dengan era globalisasi, konflik di laut yang menghadapkan dua armada besar sepertinya kemungkinannya lebih kecil dibandingkan abad-abad sebelumnnya. Terkait dengan hal itu, Geoffrey Till menawarkan reformulasi konsep pengendalian laut.
Apa saja yang direformulasikan? Pengendalian laut, menurut Till, harus diciptakan untuk mengamankan laut aman bagi siapa saja, kecuali bagi musuh sistem (globalisasi). Itu pokok pikirannya.
Dengan adanya pengendalian laut, menurut Till, Angkatan Laut dapat melaksanakan operasi di littoral region seperti operasi ekspedisionari, menjaga good order at sea dan maintenance of a maritime concensus. Untuk dapat melaksanakan itu, dibutuhkan switch focus dari what we do at sea menjadi what we do from it.
Pemikiran Till sangat layak untuk kita pertimbangkan. Karena dengan kondisi saat ini, sulit bagi kita untuk membangun AL secara drastis. Mesti pelan-pelan, namun harus pasti ke depan mau jadi seperti apa. Fokus kita untuk sementara sebaiknya adalah menjamin dahulu keamanan maritim di perairan kita, melalui pengendalian laut itu.
Kalau itu sudah bisa, baru mewujudkan fokus yang beyond Indonesian waters. Artinya kita masuk ke kawasan Asia Tenggara, ruang hidup kita itu. Indonesia yang harus jadi penguasa di Asia Tenggara, termasuk di laut.

09 Oktober 2008

Menguji Taring Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1816

All hands,
Saat ini krisis pembajakan MV Faina di lepas Somalia belum selesai. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa ada negosiasi dengan para pembajak untuk melepaskan kapal dengan kompensasi beberapa juta dolar. Negosiasi itu dilaksanakan beberapa kapal perang, termasuk milik Amerika Serikat dan Rusia, tengah membayang-bayangi kapal kargo yang memuat tank T-72 dan sejumlah senjata lainnya menuju Kenya.
Krisis ini merupakan ujian terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1816 (2008) yang digagas oleh Amerika Serikat. Resolusi itu memberikan otorisasi kepada negara-negara lain untuk menggunakan kekerasan guna menumpas pembajakan di perairan Somalia dan sekitarnya.
Apabila kompensasi terwujud, yang akan tercoreng mukanya adalah Amerika Serikat. Sebab peristiwa itu terjadi di depan hitung mereka. Namun di sisi lain U.S Navy nggak punya pilihan lain, sebab bila MV Faina diserbu, sangat mungkin tank T-72 akan dirusak oleh para pembajak. Masalahnya, tank itu punya Rusia dan kapal perang Rusia juga ikut membayang-bayangi MV Faina. Komplikasi politiknya terlalu rumit buat Amerika Serikat untuk berhadapan lagi dengan Rusia, setelah Agustus 2008 silam mereka bertengkar soal Georgia.
Pertanyaannya, apakah S/Res/1816 (2008) punya gigi sekarang? Kita lihat dalam perkembangan beberapa hari ke depan untuk mendapatkan jawabannya.

08 Oktober 2008

Terbang Sambar Laut

All hands,
Di banyak negara, para penerbangan Angkatan Laut lebih suka disebut sebagai naval aviator, bukan naval pilot. Karena istilah pilot itu seolah sudah milik para penerbang Angkatan Udara. Salah satu contoh naval aviator yang tidak sukses itu yah John S. McCain, calon penghuni Gedung Putih dari Partai Republik. Seperti kita ketahui, John S. McCain berambisi menggantikan posisi George W. Bush, penerbang Air National Guard yang juga tidak sukses.
Kenapa McCain dicap nggak sukses? Dia beberapa kali jatuhkan pesawat selama karirnya selama jadi naval aviator. Dan menurut hasil penyidikan tim keselamatan penerbangan U.S. Navy, itu karena faktor pilot, bukan sistem pesawat. McCain terkenal seolah-olah dia penerbang yang hebat hanya karena pesawat tempur F-4 Phantom-nya ditembak jatuh oleh Vietnam Utara dan terus dia jatuh tawanan perang.
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, penerbangan Angkatan Laut itu kekuatannya sama dengan Angkatan Udara. Bahkan peran mereka pun sudah masuk tugas strategis seperti penyerangan udara. Sementara di negara-negara berkembang, naval aviation lebih banyak berfokus pada patroli maritim. Hanya beberapa negara saja yang punya kapal induk dengan pesawat tempur di geladaknya, seperti Thailand dan India.
Karena fokus pada patroli maritim, maka para naval aviator di negara-negara berkembang berbeda dengan para air force pilot. Kalau air force pilot terbangnya pasti tinggi-tinggi, 15.000 kaki ke atas, justru naval aviator itu kalau patroli sekitar 10.000 kaki atau bahkan di bawahnya. Sebab meskipun pesawat patroli maritim dilengkapi dengan sejumlah peralatan deteksi canggih, namun mereka tetap saja sewaktu-waktu harus terbang pada ketinggian 500-1000 kaki dari permukaan laut untuk pastikan sasaran.
Karena alasan itu pula, sebagian besar naval aviation masih lebih andalkan pesawat turboprop untuk patroli maritim dibandingkan pesawat jet. Selain soal konsumsi bahan bakar, pesawat jet riskan diajak terbang sambar-sambar laut. Selain itu, kecepatan minimal pesawat turboprop lebih rendah daripada jet, sehingga cocok untuk terbang lambat di atas laut.
Memang U.S. Navy sedang mau gantikan pesawat P-3C Orion dengan pesawat yang berbasis B-737 atau yang sekelas untuk patroli maritim. Sebab P-3 Orion itu kan aslinya pesawat Lockheed Electra. Buat kita yang dibesarkan tahun 1970-1980-an, pasti dulu sering lihat pesawat Lockheed Electra di tanah air. Bahkan mungkin sebagian dari kita pernah menaikinya, karena dulu Mandala Airline operasikan pesawat itu sebelum digantikan oleh B-737-200 pada tahun 1993-an.
Pesawat Electra itulah yang jadi basis dari P-3 Orion. Pesawat Electra itu besar, roda-roda pendaratnya tinggi. P-3C Orion itu engine-nya empat. Kalau dia sedang kejar sasaran di atas permukaan laut (biasanya kapal selam), dia akan kurangi kecepatan dan engine yang dioperasikan cuma dua. Jadi ada mesin di kiri dan kanan pesawat yang di-shut down-kan.
PT Dirgantara Indonesia lagi upayakan pemasaran CN-235 MPA ke negara-negara lain. Sejauh ini yang sudah pakai pesawat itu adalah AU kita, dengan catatan itu pesawat MPA gadungan. Karena kalau pesawat MPA asli, dia punya kemampuan endus kapal selam. CN-235 MPA AU itu nggak bisa.
Insyaallah dalam dua tiga tahun ke depan Penerbangan AL kita akan dilengkapi dengan CN-235 asli, bukan gadungan. Memang sudah seharusnya begitu, karena patroli maritim itu fungsi aslinya adalah deteksi kapal selam. Dan itu adalah bisnis inti Angkatan Laut di manapun di dunia.

07 Oktober 2008

Penerapan Revolution in Military Affairs

All hands,
Makin banyak kekuatan pertahanan di dunia yang menerapkan revolution in military affairs (RMA). Penerapan RMA kini tidak lagi hanya dilakukan oleh negara-negara maju, tetapi juga oleh negara-negara berkembang. RMA adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak bila ingin menciptakan kekuatan pertahanan yang kuat dan mampu merespon semua situasi, baik masa damai maupun konflik.
RMA telah pula mewarnai dokumen-dokumen strategis pertahanan banyak negara, di antaranya Freedom to Use the Seas: India’s Maritime Military Strategy. Kalau dipelajari dokumen itu, separuh isinya itu terkait dengan RMA. Dan Angkatan Laut ini sudah bertekad untuk terus membangun kekuatannya menggunakan teknologi terkini.
Penerapan RMA pada dasarnya bukan soal biaya dan atau anggaran, tapi kemajuan untuk melaksanakan perubahan paradigma. Biaya atau anggaran itu konsekuensi saja. Itu hal mendasar yang harus kita pahami, sebab di Indonesia setiap ada apa-apa, pertanyaan pertama soal pasti soal biaya. Itu karena kita selama puluhan tahun sudah jadi kaum materialistis, sehingga seolah-olah biaya atau anggaran itu Tuhan kita.
Dengan negeri kita yang sangat luas dan disatukan oleh lautan, penerapan RMA merupakan suatu keniscayaan. Bisa kok kita menerapkan RMA sesuai dengan kebutuhan kita. Jangan kita menerapkan RMA versi Amerika Serikat, karena kebutuhan dia dengan kita berbeda. Yang sulit itu merubah paradigma kita soal perang di masa depan. Biaya yang terberat untuk terapkan RMA itu adalah perubahan paradigma.

Eksistensi FPDA

All hands,
Mulai 8-24 Oktober 2008, FPDA kembali menggelar latihan bersama di lepas pantai Malaysia dan Laut Cina Selatan. Sandi latihannya adalah Bersama Lima. Latihan itu merupakan latihan tahunan FPDA.
Eksistensi FPDA dimulai tahun 1971. Latar belakangnya tak lain dan tidak bukan yaitu ketakutan mereka terhadap Indonesia yang di tahun 1960-an mempunyai militer terkuat di Asia Tenggara dan berani berkata tidak kepada negara-negara Barat. Negara-negara Persemakmuran yang kemudian membentuk FPDA pernah direpotkan oleh militer Indonesia saat Konfrontasi.
Jadi sebenarnya FPDA dibentuk untuk hadapi Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, menjadi pertanyaan apakah FPDA masih relevan? Di kawasan Asia Tenggara telah eksis ASEAN dan Indonesia tidak lagi mengambil kebijakan luar negeri yang konfrontatif. Lalu sekarang FPDA untuk hadapi siapa?
FPDA sebenarnya duri dalam daging di Asia Tenggara. Hal itu juga karena kesalahan ASEAN sendiri, karena dulu ASEAN enggan melaksanakan kerjasama pertahanan. Kerjasama pertahanan yang ada di antara negara-negara anggota lebih bersifat bilateral atau trilateral.
Sekarang ASEAN mau wujudkan ASEAN Community, yang salah satunya adalah ASEAN Security Community. Cuma masalahnya bagaimana itu bisa terwujud bila keamanan di kawasan Asia Tenggara masih diatur oleh pihak lain, yaitu FPDA. Celakanya lagi, ada negara-negara ASEAN yang merangkap anggota FPDA. Celaka berikutnya adalah Indonesia, dalam hal ini Departemen Luar Negeri, tenang-tenang saja dengan FPDA. Bagaimana mungkin agenda ASEAN Security Community akan terwujud bila FPDA masih eksis?
Kalau ASEAN ingin menjadi tuan rumah di Asia Tenggara, yah tamunya “diusir”. Tapi setelah ditelisik lebih dalam, kecenderungan politik luar negeri negara-negara ASEAN beda-beda. Ada yang bangga tidak kemana-mana alias sendirian, ada yang pro Washington, ada yang dekat sama Beijing, ada yang akrab dengan Moskow, ada yang mesra dengan London. So...where u go, ASEAN?

06 Oktober 2008

Potensi Non-Combatant Evacuation Operations Di Indonesia

All hands,
Salah satu operasi yang cukup sering digelar Angkatan Laut negara-negara maju selain Maritime Security Operations (MSO) adalah Non-Combatant Evacuation Operations (NOE Ops). NOE Ops biasanya digelar ketika di suatu negara terjadi konflik, yang mendorong negara-negara maju mengirimkan kapal perangnya untuk mengevaluasi warga negaranya serta warga asing lainnya dari wilayah konflik itu. Contohnya adalah Perang Lebanon Juli-Agustus 2006, di mana Angkatan Laut Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan India mengirimkan kapal perangnya ke lepas pantai Beirut untuk mengevakuasi warga negara mereka masing-masing dari sana.
Indonesia pernah hampir mengalami hal serupa waktu kerusuhan Mei 1998. Saat itu beberapa kapal perang Amerika Serikat sudah berada di perairan Laut Jawa dan sekitarnya, tinggal menunggu perintah dari Washington untuk mengevakuasi warganya dari Jakarta. Cuma perintah yang ditunggu itu nggak pernah turun, entah kenapa. Apakah karena Indonesia menyatakan keberatan atau kondisi Jakarta yang sudah kembali dikuasai aparat keamanan ataukah orang-orang asing di Jakarta (kecuali staf diplomatik esensial) sudah berhasil meninggalkan Jakarta lewat penerbangan komersial.
Contoh kasus itu menandakan bahwa Indonesia sangat potensial untuk menjadi sasaran NOE Ops. Komunitas asing banyak tersebar di sini, bukan saja di kota-kota besar, tapi juga di pedalaman. Lihat di Tembaga Pura yang menjadi lahan konsesi Freeport. Pengamanan Freeport bagi Amerika Serikat dilaksanakan oleh U.S. Pacom, dalam hal ini Armada Ketujuh Amerika Serikat. Kalau kondisi keamanan di sana bergolak dan mengancam investasi serta keselamatan warga Amerika Serikat, kapal-kapal perang Armada Ketujuh segera bergerak. Selain Armada Ketujuh, armada Angkatan Laut dan pesawat udara Australia juga siap bergerak ke sana untuk NOE Ops.
Wilayah potensial NOE Ops lainnya adalah Pulau Sumatera. Di pulau ini bukan saja kepentingan Amerika Serikat saja yang ada (tambang minyak), tapi juga kepentingan India. Di sini banyak tersebar komunitas India. India di dalam dokumen Strategi Militer Maritim India sudah menegaskan akan melindungi diaspora India yang berada di sekitar kawasan Samudera India.
Pihak lain yang akan ambil untung adalah Singapura. Atas nama negara-negara maju lain, dia akan gelar NOE di Pulau Sumatera. Kita kan tahu negeri kecil dan licik ini anggota Persemakmuran. Dia bisa beroperasi atas nama Persemakmuran, bisa pula atas nama FPDA.
Tantangan buat Indonesia adalah bagaimana menjamin stabilitas keamanan di wilayahnya, sehingga tidak tercipta peluang NOE Ops bagi negara-negara lain di sini. Jangan lagi kita jadikan wilayah kita sebagai ajang demonstrasi militer negara-negara lain, seperti pasca tsunami Aceh 26 Desember 2004.

Strategi Mandala

All hands,
Dalam organisasi pertahanan Amerika Serikat, terdapat Combatant Command Structure. Panglima tertingginya adalah POTUS, sedangkan pelaksana kebijakannya adalah SECDEF. POTUS itu sandi dari President of the United States, SECDEF itu Secretary of Defense alias Menhan. SECDEF membawahi dua jenis komando, yaitu Geographic Commands dan Functional Commands.
Geographic Command itu adalah komando militer yang membawahi kawasan-kawasan dunia. Sekarang terdapat enam Geographic Command, yaitu U.S. Centcom, U.S. Eucom, U.S. Pacom, U.S. Northcom, U.S. Southcom dan yang terbaru U.S. Africom. Adapun Functional Command mencakup Special Operations Command, Transportation Command, Strategic Command dan Joint Forces Command.
Geographic Command mempunyai apa yang disebut Combatant Commander’s Theater Strategy alias strategi mandala. Apa itu strategi mandala? Yaitu suatu strategi untuk mengkoordinasikan penggunaan kekuatan dan aktivitas militer lainnya yang mendukung strategi nasional yang tidak menggunakan kekuatan. Strategi mandala mengarahkan kegiatan militer mulai dari kerjasama dengan negara-negara lain di masa damai sampai dengan menyiapkan rencana kontinjensi untuk menghadapi ancaman dan rencana aksi menghadapi krisis. Dalam prakteknya, Combatant Commander akan berkoordinasi dengan U.S. State Department untuk menangani isu-isu keamanan di wilayah tanggung jawabnya. Oleh karena itu, di tiap Markas Komando Combatant Commander terdapat semacam penasehat luar negeri dari Departemen Luar Negeri, dengan status Ambassador. Sang penasehat ini akan memberikan pandangan Departemen Luar Negeri terhadap isu-isu keamanan yang berkembang, sekaligus juga mendengarkan dan meneruskan aspirasi Combatant Commander ke atasan sang Ambassador di Washington.
Kata kuncinya adalah koordinasi. Koordinasi untuk mengamankan kepentingan nasional. Untuk mengamankan kepentingan nasional, pendekatan yang dianut oleh banyak negara, termasuk Amerika Serikat, melibatkan semua instrumen kekuatan nasional. Instrumen militer saja tidak cukup, karena bagian terbesar isu keamanan tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan instrumen militer.
Bagaimana dengan Indonesia?


Keselamatan dan Keamanan Pelayaran Vs Stabilitas Perdamaian Dunia

All hands,
Awal Oktober 2008, peristiwa pembajakan MV Faina di perairan lepas Somalia menjadi sorotan internasional. MV Faina merupakan kapal berbendera Belize yang memuat sejumlah tank T-72 dan senjata lainnya yang dibeli Kenya dari Rusia. Saat dibajak MV Faina sedang berlayar menuju Kenya.
Merespon situasi itu, Armada Kelima Amerika Serikat segera mengirimkan kapal perusak USS Howard (DDG-83) untuk membayang-bayangi kapal yang dibajak itu. Bersama dua kapal perang dari negara-negara Eropa, nampaknya akan digelar operasi pembebasan melalui pendekatan kinetik alias kekerasan.
Masalah pembajakan di perairan Somalia dan sekitarnya sudah dianggap mengancam stabilitas perdamaian dan keamanan dunia. Itulah mengapa Dewan Keamanan PBB, atas desakan Amerika Serikat, mengeluarkan resolusi S/Res/1816 (2008) pada 2 Juni 2008. Kasus MV Faina seolah membenarkan alasan dikeluarkannya resolusi itu.
Kalimat mengancam stabilitas perdamaian dan keamanan dunia memang seringkali kontroversial dan mengundang perdebatan. Apakah suatu kasus di suatu wilayah dunia memang secara langsung mengancam stabilitas dan perdamaian dunia? Karena seringkali yang terancam itu cuma kepentingan negara-negara tertentu, yang notabene negara-negara besar dan punya kursi di Dewan Keamanan PBB.
Saya tidak mengatakan bahwa masalah pembajakan itu bukan ancaman, karena hal itu jelas merupakan ancaman terhadap terhadap keselamatan dan keamanan pelayaran. Namun apakah semua ancaman itu otomatis merupakan ancaman pula terhadap stabilitas perdamaian dan keamanan dunia?
Kita harus waspada dengan hal-hal seperti ini. Sebab Indonesia mempunyai empat dari sembilan chokepoints internasional. Artinya ada kepentingan internasional, khususnya negara-negara maju, di perairan yurisdiksi Indonesia. Tentu kita tidak ingin perairan kita di-Dewan Keamanan-kan seperti perairan Somalia, bukan?

Peperangan Asimetris

All hands,
Secara garis besar, peperangan asimetris adalah peperangan antara dua pihak atau lebih dengan tingkat kekuatan yang berbeda. Peperangan ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu, dengan contoh yang legendaries adalah antara Nabi Daud AS dengan Thalut atau Goliath kata orang-orang Eropa. Sampai kini pun peperangan asimetris masih terus terjadi, demikian pula di masa depan. Peperangan yang digelar oleh Al Qaida terhadap Amerika Serikat adalah salah satu peperangan asimetris yang masih terus berjalan hingga sekarang.
Dalam berdiskusi soal peperangan asimetris, banyak pihak yang belum paham betul bentuk-bentuk atau jenis-jenis asimetris yang ada. Suatu peperangan dikatakan asimetris bila:
1. asimetris dalam hal kekuatan,
2. asimetris dalam hal persenjataan,
3. asimetris dalam hal organisasi.
4. asimetris dalam hal moralitas


Asimetris dalam hal kekuatan itu jelas menyangkut soal jumlah. Kekuatan militer yang kecil seringkali bisa mengalahkan kekuatan militer yang lebih besar. Banyak contohnya, baik dalam sejarah agama-agama dunia, khususnya agama Samawi alias yang mempunyai keterkaitan dengan Nabi Ibrahim AS, maupun sejarah-sejarah lainnya.
Asimetris dalam hal persenjataan itu sudah pasti soal jumlah maupun teknologi persenjataan. Contohnya adalah kelompok Hizbullah Lebanon yang sanggup bertempur 34 hari melawan Israel. Di tangan Hizbullah, militer Israel yang merupakan tentara terkuat di Timur Tengah seolah-olah tidak ada artinya. Tank Merkava rontok, INS Ahi Hanit kena rudal C-802, sistem komunikasi militer negeri Yahudi itu bisa dipenetrasi.
Asimetris dalam hal organisasi, contohnya banyak. Selain kasus Hizbullah vs Israel, juga Mujahiddin vs Uni Soviet dan Al Qaida vs Amerika Serikat. Organisasi para gerilyawan plus aktor non negara itu boleh dikatakan ”sederhana” bila dibandingkan dengan organisasi militer aktor-aktor negara yang menjadi lawan mereka.
Asimetris dalam hal moralitas, ini menyangkut soal semangat juang alias semangat tempur. Kasusnya lagi-lagi Hizbullah vs Israel dan Al Qaida vs Amerika Serikat. Para aktor non negara itu semangat tempurnya berkali-kali lipat dibandingkan lawan-lawan mereka yaitu aktor negara. Pada waktu Perang 34 hari di Lebanon Juli-Agustus 2008, di antara foto-foto yang terbit ke dunia internasional adalah tangisan para prajurit wajib militer Israel menghadapi gempuran roket Hizbullah yang nyaris tanpa henti setiap waktu. Tangisan itu menunjukkan kondisi moral atau semangat tempur mereka saat itu.
Untuk Indonesia, jenis peperangan asimetris seperti apa yang akan kita siapkan? Apakah keempat-empatnya atau dua saja atau satu saja atau tiga saja? Bersiaplah, karena peperangan itu secara militer telah ada di depan mata.

Pembangunan Kekuatan AL India

All hands,
Dalam Freedom to use the Seas: India’s Maritime Military Strategy, Bab VII membahas tentang Strategi Pembangunan Kekuatan. Disini dijelaskan tiga prinsip dasar pembangunan kekuatan laut India ke depan. Prinsipnya yaitu konsep kemandirian dan indigenesation, menghasilkan kesiapan tempur dan lompatan katak teknologi untuk menjembatani kesenjangan dengan negara maju dan akibat lanjutannya melalui investasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi, infrastruktur uji coba dan kemitraan dengan perguruan tinggi.
Guna mewujudkan pembangunan kekuatan Angkatan Laut India, negeri itu melaksanakan investasi pada sejumlah teknologi masa depan. Strategi Militer Maritim India menegaskan bahwa bidang investasinya meliputi teknologi informasi dan komunikasi, teknologi nano dan teknologi evolusioner. Teknologi evolusioner meliputi sumber daya pembangkit, teknologi propulsi, teknologi angkasa, teknologi senjata, teknologi targeting/navigasi presisi, wahana tanpa awak, simulator dan teknologi computing.
Dalam pembangunan kekuatan Angkatan Laut India, diidentifikasi adanya delapan faktor pendorong. Yaitu maritime domain awareness, enhanced reach and sustainability, operasi anti kapal selam, operasi anti (serangan) udara, operasi ekspedisionari, operasi gabungan, operasi khusus dan peperangan ranjau. Terkait dengan hal itu, pembangunan kekuatan laut akan senantiasa dituntun oleh tiga faktor yaitu perencanaan jangka panjang dan alokasi anggaran dan pembangunan kompetisi inti (pada galangan kapal, pabrik pesawat udara dan industri pertahanan).
Lalu lesson learned apa yang bisa ditarik oleh Indonesia dari sini? Pertama, kekuatan militer harus didukung oleh industri pertahanan yang kuat. Kedua, AL harus berpikir ke depan soal RMA (investasi teknologi oleh India karena soal RMA itu). Ketiga, pembangunan kekuatan harus disesuaikan dengan kebutuhan operasional kini dan ke depan.