31 Maret 2009

Merumuskan Kepentingan Bersama, Mungkinkah?

All hands,
Pada 2015, ASEAN Security Community diharapkan sudah eksis dan menjalankan fungsinya sebagai wadah kerjasama keamanan negara-negara ASEAN. Namun ada satu pertanyaan yang masih mengganjal soal itu, bisakah negara-negara ASEAN merumuskan kepentingan bersama di bidang keamanan? Apakah bisa dirumuskan common threats and challenges?
Mencermati dinamika hubungan keamanan negara-negara ASEAN selama ini, rasanya sulit merumuskan kepentingan bersama di bidang keamanan. Memang betul bahwa negara-negara ASEAN menganggap terorisme dan keamanan maritim sebagai common threats and challenges. Akan tetapi mereka mempunyai cara yang berbeda-beda menangani kedua isu keamanan, yang tidak lepas dari kepentingan nasional masing-masing.
Sebagai contoh, Singapura paling antusias terhadap ide pelibatan langsung Amerika Serikat dalam penanganan masalah keamanan maritim di Selat Malaka. Sebaliknya, posisi Indonesia bertolak belakang 180 derajat dengan Singapura. Contoh lainnya, pencurian sumber daya laut di perairan yurisdiksi sebagian dilakukan oleh nelayan-nelayan Thailand dan Filipina. Meskipun Indonesia dirugikan secara ekonomi maupun ekologis, tetapi kedua negara itu tidak peduli karena pencurian tersebut terkait dengan roda ekonomi mereka.
Mungkin karena ketidakpahaman soal sulitnya merumuskan kepentingan bersama di ASEAN, ada pihak-pihak di Indonesia yang mencoba merumuskan hal tersebut, khususnya dalam masalah keamanan maritim, dengan mengacu pada pengalaman negara-negara Uni Eropa dan NATO. Padahal pengalaman sejarah negara-negara Eropa (Barat) jauh berbeda dengan negara-negara Asia Tenggara.
Berangkat dengan kenyataan akan sulitnya merumuskan kepentingan bersama ASEAN, lalu bagaimana operasionalisasi ASEAN Security Community nantinya? Jangan-jangan cuma deklarasi ini dan itu, seperti halnya perilaku ASEAN selama ini.

30 Maret 2009

Bangsa Cek Kosong

All hands,
Berangkat dari pengalaman di bidang kerjasama keamanan dengan negara-negara lain selama ini, rasanya tidak berlebihan bila Indonesia dijuluki bangsa cek kosong. Mengapa demikian? Sebab seringkali ketika sepakat dengan bangsa lain untuk menjalin kerjasama keamanan, Indonesia sangat lemah pada kesiapan untuk implementasinya. Ketika negara mitra meminta implementasi kerjasama, Indonesia seringkali maju dengan cek kosong.
Maksudnya, Indonesia tidak tahu apa yang harus dia ajukan kepada negara mitra untuk dikerjasamakan yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Inilah penyakit yang diidap Indonesia selama ini dalam menjalin kerjasama keamanan. Indonesia hanya siap pada saat perumusan naskah perjanjian, tetapi lemah dalam agenda implementasi.
Pertanyaannya, sampai kapan Indonesia seperti ini terus? Idealnya dalam menjalin kerjasama keamanan dengan pihak lain, yang dicari adalah keuntungan (politik) sebesar-besarnya.

29 Maret 2009

Indonesia Fleet Review 2009 Dan Dukungan Logistik

All hands,
Dalam penyelenggaraan kegiatan seperti Indonesia Fleet Review 2009, salah satu hal penting yang harus diperhatikan oleh Indonesia sebagai tuan rumah adalah aspek dukungan logistik. Dengan mengambil tempat di kota yang infrastrukturnya belum dapat dibandingkan dengan Jakarta atau Denpasar misalnya, dukungan logistik merupakan suatu isu yang krusial. Aspek tersebut secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi penilaian peserta asing terhadap kesiapan bangsa ini dalam penyelenggaraan kegiatan seperti itu.
Misalnya kesiapan fasilitas labuh di sana, seperti dukungan air bersih, BBM, dukungan kapal tunda dan lain sebagainya. Belum lagi kesiapan sarana angkutan untuk kepentingan pesiar para ABK kapal perang asing yang mengikuti Indonesia Fleet Review 2009 beserta LO-nya. Apalagi penataan soal anchorage di perairan yang sempit tersebut.
Dengan puluhan kapal berbagai jenis ikut dalam kegiatan tersebut, perlu dibuatkan peta laut khusus untuk mengatur anchorage setiap kapal yang terlibat. Artinya data kapal yang akan berpartisipasi harus diketahui oleh panitia jauh-jauh hari sebelumnya. Itulah masalah-masalah yang menjadi tantangan bagi panitia untuk mengatasinya.
Mengingat masih ada jangka waktu sekitar empat bulan ke depan, hal-hal detail mengenai dukungan logistik sudah harus diantisipasi sejak dini. Tujuannya agar kegiatan itu tidak berubah menjadi suatu aktivitas yang justru mempermalukan nama bangsa dan negara di hadapan dunia internasional.

28 Maret 2009

Indonesia Fleet Review 2009: Cost And Benefit

All hands,
Salah satu kegiatan dalam Indonesia Fleet Review 2009 adalah seminar antar bangsa yang bertemakan kerjasama keamanan maritim. Seminar ini akan diikuti oleh negara-negara yang diundang mengikuti aktivitas Indonesia Fleet Review 2009. Gagasan tentang seminar itu pada dasarnya bagus-bagus saja, akan tetapi perlu dipertanyakan apa benefit alias keuntungan yang dapat diambil Indonesia dari situ.
Soal cost, sudah jelas Indonesia mengeluarkan cost terkait dengan kegiatan Indonesia Fleet Review. Cost yang tercakup di situ bukan saja dalam bentuk moneter, tetapi juga non moneter. Sehingga sudah sewajarnya bila Indonesia mendapatkan benefit. Kita hendaknya selalu ingat prinsip cost and benefit.
Masalah benefit selalu menjadi kelemahan Indonesia selama ini, termasuk dalam wilayah kerjasama keamanan maritim. Terkait dengan Indonesia Fleet Review 2009, apakah Indonesia akan mendapatkan benefit, misalnya dalam bentuk information sharing?
ReCAAP yang didirikan Jepang dan bermarkas di Singapura serta dimaksudkan sebagai pusat information sharing dalam masalah keamanan maritim di Asia Tenggara, hingga saat ini tidak pernah melaksanakan information sharing dengan Indonesia. Lepas bahwa Indonesia tidak setuju dengan ReCAAP, tetapi harus diingat bahwa Indonesia adalah pemain penting di kawasan dalam soal keamanan maritim. Merupakan kesalahan besar bila ada pihak yang berpendapat bahwa Singapura memainkan peran penting dalam isu itu, sebab luas perairan Singapura tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luas perairan Indonesia.
Kembali ke masalah seminar, sudah Indonesia merancang item apa saja yang harus menjadi benefit dari kegiatan itu? Jangan sampai negeri ini mengulangi kebiasaannya yang selama ini dilestarikan, bikin kegiatan ini itu, tetapi hasil nyatanya tidak didapat oleh Indonesia. Indonesia sudah cukup puas dengan status tuan rumah!!!

27 Maret 2009

Indonesia Fleet Review 2009 Dan Shows of Flag

All hands,
Menurut rencana, pada 18 Agustus 2009 akan diadakan Indonesia Fleet Review 2009 di perairan Manado, Sulawesi Utara. Ada banyak hal menarik yang perlu dibahas mengenai kegiatan ini, sebab setelah saya pelajari sepertinya ada hal-hal yang “kurang cocok”. Kegiatan Indonesia Fleet Review 2009 didanai oleh suatu departemen pemerintah yang tugas pokoknya mengurus masalah laut dan ikan, namun lebih suka mengurus ikan. Adapun panitia penyelenggaranya adalah AL kita.
Mari kita tinjau dari terminologi fleet review. Di mana pun di dunia, yang disebut fleet review pasti akan memamerkan kekuatan Angkatan Laut negara tujuan rumah. Kegiatan itu merupakan bagian dari diplomasi Angkatan Laut, khususnya shows of flag. Itulah yang bisa kita jumpai dalam kegiatan serupa di Korea Selatan Oktober 2008. Negeri ginseng itu memamerkan dengan bangga kekuatan lautnya kepada masyarakatnya sendiri maupun dunia internasional.
Lalu bagaimana dengan Indonesia Fleet Review 2009? Apakah akan ada shows of flag dari AL kita? Kalau memperhatikan rencana kegiatannya, kebanyakan kapal yang akan ikut dalam aktivitas itu adalah kapal layar tiang tinggi dari berbagai negara. Pameran kapal perang dari beberapa negara Asia Pasifik juga ada, tetapi jumlahnya tidak banyak. Yang dominan adalah kapal layar tiang tinggi.
Tentu ada pihak yang bertanya, bagaimana dengan shows of flag AL kita? Akankah kita turut memamerkan kekuatan laut kita dalam Indonesia Fleet Review 2009? Memang akan ada pameran kekuatan dari AL kita, namun soal jumlah sepertinya masih harus menunggu hingga menjelang kegiatan itu dilaksanakan.
Yang menjadi “mengganggu” bagi saya pribadi adalah soal penggunaan istilah Indonesia Fleet Review. Semestinya yang namanya fleet review maka fokus utama adalah pameran kekuatan AL kita, bukan kapal layar tiang tinggi. Namun yang akan terjadi malah sebaliknya.
Pada sisi lain, sepertinya agak sulit bagi Indonesia untuk memamerkan kekuatan lautnya, sebab alutsista baru dalam susunan tempur AL-nya sedikit. Paling mungkin yang layak dipamerkan adalah kapal korvet kelas Diponegoro. Sedangkan alutsista lainnya merupakan alutsista lama. Padahal kembali ke tujuan dari fleet review di mana pun di dunia adalah memamerkan kekuatan laut suatu negara. Kekuatan yang dipamerkan tentu saja kekuatan terbaru hasil pembangunan kekuatan selama ini.
So…?

26 Maret 2009

Penerapan Hedging Strategy

All hands,
Hedging strategy menekankan penyiapan semua kemampuan militer untuk menghadapi tugas-tugas militer pada semua spektrum. Pendekatan ini digunakan dalam pembangunan struktur kekuatan. Salah satu contoh terbaik dalam penerapan hedging strategy adalah U.S. Navy, yang kemampuannya dirancang dari sea control sampai dengan HADR. Kemampuan sea control pun bukan sebatas dalam perang konvensional, tetapi juga dalam perang nuklir.
Mengapa hedging strategy menjadi pilihan? Jawabannya sederhana, yaitu ketidakpastian alias uncertainty dalam lingkungan keamanan di masa depan. Sejarah memberikan pelajaran bahwa kekuatan yang dirancang untuk tujuan tertentu seringkali di-overcome oleh peristiwa-peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Lihatlah postur militer Amerika Serikat sebelum 11 September 2001, berkali-kali diserang oleh aktor non negara tanpa berdaya sama sekali. Serangan terhadap Marinir di Lebanon 1983, Menara Khobar 1996 dan USS Cole 2000 merupakan contoh nyata ketidakberdayaan militer terkuat di dunia itu terhadap serangan bom. Sebab struktur kekuatan militer Amerika Serikat saat itu lebih dirancang untuk menghadapi aktor negara, sehingga tidak fleksibel ketika diserang oleh aktor non negara dengan metode serangan yang sama sekali berbeda dari yang diharapkan.
Dalam perencanaan kekuatan, sudah pasti akan menyentuh aspek sumber daya, khususnya cost. Pertanyaannya adalah apakah hedging strategy tepat untuk diterapkan di Indonesia? Idealnya memang AL kita mempunyai kemampuan yang across the entire spectrum of the possible use of naval force. Tapi apakah dari aspek sumber daya siap untuk mendukung?

25 Maret 2009

Geopolitik, Strategi Dan Perencanaan Kekuatan Angkatan Laut

All hands,
Untuk menyusun strategi (pertahanan dan militer), kita harus mengacu pada kepentingan nasional. Dalam upaya penjabaran kepentingan nasional, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah geopolitik. Menyangkut geopolitik, banyak pihak di Indonesia yang sangat miskin pemahamannya tentang hal yang satu ini. Mereka cuma bisa bilang Indonesia berada pada silang, posisi strategis dan lain sebagainya, tetapi implementasinya nyaris mendekati nol.
Karena kemiskinan tersebut, sangat wajar apabila strategi pertahanan Indonesia sangat bertumpu pada perang gerilya di darat. Asumsi dasar dari strategi pertahanan Indonesia adalah mental orang kalah perang, sudah hopeless lebih dahulu. Itulah kenyataan yang ada di lapangan dan sekaligus ada di otak mayoritas para perencana pertahanan.
Pada sisi lain, kebijakan luar negeri pemerintah memberikan penekanan khusus pada kawasan Asia Tenggara, wilayah di mana Indonesia berada. Kebijakan demikian memang tepat, namun disayangkan masih belum dalam suatu konsep dan implementasi yang matang. Sebagai contoh, bagaimana kaitan antara kebijakan luar negeri dengan kebijakan pertahanan, khususnya untuk kawasan ini?
Terlalu naif kalau mengatakan bahwa kaitan keduanya cukup bagus, dengan mengambil contoh kerjasama pertahanan yang telah terjalin. Seperti combined patrol dan combined exercise. Mengapa dikatakan terlalu naif?
Sebab dari aspek geopolitik, Indonesia tidak mempunyai bingkai kerjasama keamanan yang dirumuskan secara matang oleh semua pemangku kepentingan. Sulit untuk menjelaskan apakah pelibatan Indonesia dalam keamanan kawasan termasuk dalam kategori regional selective security, cooperative security atau apa? Sebaliknya, sangat mudah untuk mengatakan bahwa Indonesia tidak melakukan selective engagement strategy untuk mengamankan kepentingan nasionalnya.
Padahal dari aspek geopolitik Indonesia “dimudahkan” guna melaksanakan selective engagement strategy. Yang dibutuhkan tinggal guts dan kecerdasan Indonesia memainkan kartu truf yang dipunyainya. Kartu truf yang dimaksud adalah aspek geopolitik. Selective engagement strategy merupakan bagian dari strategi pertahanan.
Sekarang akan ada ASEAN Security Community, yang di dalamnya antara lain “menuntut” kerjasama Angkatan Laut. Secara teori, suatu security community akan berujung pula pada force planning negara-negara yang terlibat, termasuk pula naval force planning. Sebagai contoh, di antara Angkatan Laut negara-negara yang tergabung dalam suatu security community, akan diterapkan konsep balance fleet.
Misalnya negara A force planning-nya akan ditekankan pada kemampuan AKS, negara B force planning-nya akan difokuskan pada AKPA, negara C force planning-nya dipusatkan pada peperangan udara, negara D force planning-nya pada peperangan asimetris.
Kondisi nyata di Asia Tenggara tidak demikian, sebab ASC itu pada tingkatan tertentu bersifat semu. Contohnya gampang, lihat berapa negara ASC yang masih punyai masalah maritim dengan negara ASC lainnya. Lalu bagaimana mau bekerjasama dengan “tulus” dalam suatu community bila ancamannya adalah negara ASC itu sendiri. ASC tidak mempunyai common threats maupun common challenges.
Kembali ke masalah strategi pertahanan, kalau Indonesia tidak mempunyai agenda selective engagement strategy, lalu bagaimana force planning Angkatan Laut? Sebab berbeda dengan AU dan AD, Angkatan Laut mengemban peran diplomasi. Peran diplomasi akan memiliki keterkaitan langsung dengan selective engagement strategy.
Selective engagement strategy akan menentukan pula force planning Angkatan Laut.

24 Maret 2009

Rusia Kembali Pamerkan Kekuatan Lautnya

All hands,
Muhibah Gugus Tugas kapal perang Rusia RFS Admiral Vinogradov dan RFS Boris Butoma ke Jakarta pada 24-28 Maret 2009 mempunyai banyak makna. Muhibah kapal perang yang tergabung dalam Armada Pasifik Rusia dilakukan sambil dalam perjalanan pulang ke pangkalan mereka di Vladivostok setelah melaksanakan misi anti pembajakan dan perompakan di Teluk Aden. Muhibah kapal perang Rusia ke Indonesia merupakan yang kedua kalinya dalam beberapa tahun terakhir. Muhibah terakhir adalah saat lima kapal perang Armada Pasifik berkunjung pada 28 Oktober-2 November 2005.
Makna pertama dari muhibah kali ini adalah untuk menegaskan kembali kebijakan pemerintah Rusia untuk kembali berpatroli di perairan dunia. Kebijakan itu mulai dilaksanakan pada masa-masa akhir pemerintahan Presiden Vladimir Putin. Alasannya, untuk menunjukkan kembali kehebatan militer Rusia yang kini tengah bangkit setelah terpuruk pasca keruntuhan Uni Soviet.
Muhibah ke Indonesia juga bermakna memperkuat pengaruh Rusia di Asia Tenggara, yang mana Indonesia adalah pemain penting di kawasan ini. Pengaruh Rusia di kawasan Asia Tenggara bisa dilihat dari sepak terjang di bidang ekonomi maupun politik keamanan. Dalam bidang politik keamanan, Indonesia kembali menjadi konsumen senjata buatan Rusia dan saat ini AL Indonesia tengah berencana membeli kapal selam Rusia guna memperkuat armadanya. AL Indonesia juga dipastikan akan mengoperasikan belasan tank BMP-3 dalam satu atau dua tahun ke depan, dalam hal ini Korps Marinir sebagai penggunanya.
Selama ini kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah pengaruh Amerika Serikat. Dengan memilih Indonesia sebagai tempat persinggahan ---dan bukan Singapura---, merupakan suatu tindakan yang mempunyai makna politik besar. Sebab Singapura berada di dalam pengaruh Amerika Serikat, sedangkan Indonesia tergolong bandel di mata Washington. Pemilihan Indonesia sebagai tempat muhibah kapal perang Rusia bukanlah suatu kebetulan, tetapi sudah diperhitungkan dengan matang.
Pertanyaannya, bagaimana sikap Indonesia atas muhibah tersebut? Seharusnya muhibah itu makin memperkuat sikap Indonesia dalam pengadaan alutsista dari Rusia, khususnya kapal selam. Secara tidak langsung, muhibah itu juga merupakan “tekanan” halus Rusia agar Indonesia firm soal pengadaan kapal selam kelas Kilo. Sekarang kembali kepada Indonesia, apakah akan memanfaatkan muhibah Gugus Tugas Rusia demi keuntungannya atau tidak?

23 Maret 2009

Tantangan Keamanan Maritim Di Wilayah Barat

All hands,
Wilayah Indonesia Barat mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kawasan Indonesia Timur dalam isu keamanan maritim. Di wilayah ini, tantangan yang dihadapi setidaknya ada tiga, yaitu isu perompakan dan pembajakan di laut, masalah perbatasan dan kerjasama dengan militer asing. Kalau isu perompakan dan pembajakan di laut, sudah banyak diulas oleh berbagai pihak.
Adapun masalah perbatasan, bukan sekedar soal perundingan atau masalah penegasan klaim. Tetapi yang juga penting adalah pemahaman kita sendiri terhadap rezim hukum laut internasional, khususnya yang terkait dengan penarikan batas laut. Pemahaman ini penting khususnya bagi pengawak kapal perang yang beroperasi di kawasan itu. Sebab dasar argumen ketika berhadapan dengan kapal perang asing yang kita anggap memasuki wilayah kita, baik perairan yang sudah berstatus hukum tetap maupun masih sengketa, adalah hukum laut internasional. Pertanyaannya, seberapa jauh pemahaman di satuan-satuan operasional terhadap hal tersebut?
Mengenai kerjasama dengan militer asing, juga harus dipahami dengan betul. Dalam isu ini, isu yang krusial adalah latihan militer Angkatan Laut asing di perairan yurisdiksi Indonesia. Selain diperlukan ketegasan dalam bersikap, juga dibutuhkan kesamaan persepsi antar berbagai pihak-pihak yang terkait. Pihak-pihak yang terkait tentu saja bukan cuma AL, tetapi juga pihak-pihak lain di negeri ini.
Jangan sampai “keeratan” kerjasama di bidang lain akan mempengaruhi sikap Indonesia terhadap isu latihan militer asing di perairan yurisdiksi. Seperti kita ketahui, pihak asing seperti Singapura akan selalu mencari berbagai pintu untuk masuk mempengaruhi bila dia gagal masuk lewat pintu AL.

22 Maret 2009

Manuver Singapura Mengklaim Laut Natuna dan Laut Cina Selatan

All hands,
Beberapa waktu lalu Mahkamah Internasional menetapkan bahwa kawasan Pedra yang terdiri dari bebatuan dan luasnya hanya beberapa meter persegi, terletak di sebelah timur Singapura dan tenggara Johor merupakan wilayah kedaulatan Singapura. Perkembangan tersebut perlu diwaspadai oleh Indonesia, sebab sangat mungkin digunakan dasar oleh Singapura untuk menetapkan laut teritorial dan ZEE-nya berdasarkan median line. Padahal prinsip median line, sepanjang pengetahuan saya, tidak bisa diterapkan bila garis pangkalnya dihitung dari sebuah pulau kecil bebatuan yang luasnya cuma beberapa meter persegi seperti halnya Pedra Branca.
Patut diwaspadai dengan menggunakan Pedra Branca sebagai garis pangkalnya, berbasis pada median line, negeri kecil, kaya, licik dan rakus itu akan berupaya secara sistematis dari saat ini hingga ke depan untuk mengklaim Laut Natuna sebagai wilayah teritorialnya dan Laut Cina Selatan sebagai ZEE-nya. Klaim itu bukan sesuatu yang tidak mungkin, walau terasa janggal bagi kita yang memahami bagaimana penarikan garis pangkal suatu wilayah berdasarkan karakteristik-karakteristik yang berbeda.
Mengapa Singapura akan mengklaim kedua perairan tersebut? Sebab negeri kecil, kayak, licik dan rakus itu membutuhkan ruang laut bagi latihan tempur Angkatan Lautnya. Selama ini RSN merasa tidak nyaman dengan tindakan AL kita yang secara konsisten mengusir latihan mereka di Laut Natuna maupun ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan. Tanpa publikasi di media massa, AL kita secara konsisten selalu mengusir kegiatan latihan mereka di kedua perairan.
Hal yang tidak sama terjadi pada ruang udara. Kadangkala menjadi pertanyaan mengapa AU negeri Nusantara tidak berani bersikap tegas seperti AL kita? Bahkan terkesan membiarkan, karena sepengetahuan saya belum pernah sekalipun AU Indonesia mengusir latihan RSAF di atas Laut Natuna.
Pertanyaannya, mengapa demikian? Ada dugaan alias sinyalemen tindakan tegas AU Indonesia akan berdampak terhadap dukungan logistik alutsista mereka, khususnya pesawat udara. Sebab Singapura adalah sumber dari beragam suku cadang yang dapat diperoleh lewat black market. Inilah yang membedakannya dengan AL kita, yang walaupun di tengah keterbatasan masih mampu melaksanakan fungsinya sebagai instrumen kekuatan nasional di bidang pertahanan di laut.

21 Maret 2009

Salah Kaprah Pengamanan Pelabuhan

All hands,
Sesuai dengan aturan internasional, pengamanan pelabuhan merupakan tanggung jawab Administratur Pelabuhan. Hal itu merupakan aturan yang tidak bisa ditawar-tawar oleh siapapun. Lalu bagaimana pelaksanaannya di Indonesia?
Di semua pelabuhan resmi terdapat Adpel yang merupakan wakil negara. Tidak heran bila logo yang terpasang di pet Adpel adalah burung Garuda sebagai simbol negara. Adpel adalah penanggung jawab semua hal yang terjadi di lingkungan kerja pelabuhan, termasuk pengamanan pelabuhan.
Seperti diketahui, selama ini ada pihak-pihak non pelabuhan yang juga turut mengamankan pelabuhan, termasuk polisi. Tidak jarang di setiap pelabuhan di Indonesia terdapat satuan polisi KP3, baik Polsek maupun Polres. Benarkah praktek demikian?
Kehadiran unsur-unsur non pelabuhan di pelabuhan dalam sejarahnya adalah karena permintaan Adpel. Begitu pula dengan polisi, mereka awalnya hadir di pelabuhan disebabkan adanya permintaan Adpel. Namun dalam perkembangannya, polisi mengembangkan kehadirannya melalui pembentukan Polsek maupun Polres KP3. Dan dengan percaya dirinya mereka seringkali bangun kantor di lingkungan kerja pelabuhan.
Benarkah pola demikian? Menurut saya tidak benar!!! Tanggung jawab pengamanan pelabuhan berada di pundak Adpel. Siapapun yang akan mengembangkan organisasinya di lingkungan pelabuhan, mestinya dikonsultasikan dulu dengan Adpel. Bukan seperti sekarang, polisi dengan seenaknya bisa berkeliaran bebas masuk kemana saja di pelabuhan.
Mari kita bandingkan dengan praktek serupa di bandara, ambil contoh di Bandara Soekarno Hatta. Dengan berbagai macam alasan, polisi membentuk Polres Bandara. Meskipun demikian, polisi hanya bisa berkeliaran di luar terminal bandara. Mereka tidak bisa seenak perutnya keluar masuk terminal bandara yang merupakan kawasan terbatas.
Tanggung jawab keamanan bandara merupakan tanggung jawab Adban. Makanya kita bisa lihat, begitu masuk terminal yang periksa kita adalah petugas keamanan bandara. Itulah aturan yang benar!!!Sebenarnya aturan serupa berlaku pula di pelabuhan. Tapi itulah, di negeri ini seringkali salah kaprah. Apalagi kalau pihak yang terkait selalu bawa atas nama hukum. Di sisi lain, Adpel sendiri terkesan kurang tegas terhadap masalah ini. Jadilah seperti saat ini, carut marut dan tidak sesuai aturan internasional.

20 Maret 2009

Peningkatan Kemampuan Proyeksi Kekuatan Laut Jepang

All hands,
JMSDF kembali mengalami peningkatan kemampuan proyeksi kekuatan setelah pada 18 Maret 2009 meresmikan bergabungnya kapal induk helikopter bernama Hyuga. Kapal induk helikopter bertonase 13.950 ton dengan panjang 197 m , mampu mengusung 11 helikopter kelas sedang dan diawaki sekitar 340 ABK ini dalam klasifikasi resmi oleh JMSDF digolongkan sebagai kapal destroyer. Tentu saja klasifikasi tersebut oleh sebagian pihak dianggap sebagai “pengelabuan”, mengingat fungsi asasi sebagai kapal perusak tidak dapat dilaksanakan oleh Hyuga bila memperhatikan desain kapal perang tersebut. Dan seperti biasa, pernyataan resmi JMSDF menyatakan kapal induk helikopter itu digunakan untuk overseas disaster relief missions, bukan untuk misi ofensif.
Eksistensi kapal induk helikopter Hyuga dalam armada JMSDF tidak dapat dilepaskan dari kepentingan Jepang untuk mengamankan jalur lautnya sepanjang 1.000 mil laut dari Jepang. Pengamanan kepentingan nasional Jepang tersebut sangat berpotensi menimbulkan gesekan diplomatik dengan negara-negara Asia Pasifik lainnya yang di masa lalu merasakan kekejaman militer negeri itu. Sebab bagi banyak negara di kawasan, peningkatan kemampuan proyeksi kekuatan JMSDF ditafsirkan melanggar Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 yang berbunyi, ”aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as a means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerence by the state will not be recognized”.
Masalah tafsir Konstitusi Jepang 1947 seringkali menimbulkan kecurigaan dari negara-negara lain di Asia Pasifik. Yang pasti sejak 2001 hingga kini, kemampuan proyeksi kekuatan laut JMSDF terus mengalami peningkatan. Momentum GWOT yang digagas oleh Presiden George W. Bush merupakan pintu masuk bagi JMSDF untuk mulai giat menggelar proyeksi kekuatan.
Bagi Indonesia, perkembangan demikian sudah sewajarnya diwaspadai. Sebab ada kepentingan nasional Jepang yang berada di perairan yurisdiksi Indonesia. Yaitu di Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan ketiga ALKI, khususnya ALKI I dan II. Tantangan terhadap Indonesia bukan saja harus dapat menjamin stabilitas keamanan maritim di perairan-perairan strategis tersebut, tetapi juga di wilayah littoral sepanjang perairan itu. Artinya dibutuhkan National Maritime Security Strategy sebagai panduan dan sekaligus mengikat semua pihak yang bertanggungjawab atas isu-isu terkait.

19 Maret 2009

Antisipasi Buku Putih Pertahanan Australia

All hands,
Naiknya Kevin Rudd ke kursi Perdana Menteri Australia membuat sebagian kebijakan pemerintah Australia ditinjau kembali. Termasuk di dalamnya Kebijakan Pertahanan, yang disarikan dalam bentuk Buku Putih Pertahanan. Sejak akhir 2007, pemerintahan Kevin Rudd tengah menyusun buku putih pertahanan Australia yang baru untuk menggantikan Buku Putih Pertahanan 2000 yang diterbitkan di era PM John Howard.
Menurut rencana, pada April 2009 Buku Putih Pertahanan Australia akan dirilis kepada publik, termasuk negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Pertanyaannya adalah apakah ada perubahan berarti dari buku itu dibanding dokumen serupa terbitan tahun 2000?
Untuk dapat menjawab pertanyaan itu, parameter pertama yang harus dijadikan acuan adalah kepentingan nasional Australia. Soal kepentingan nasional Australia sudah jelas, yaitu ingin menjadi aktor kawasan dalam isu keamanan. Sebab dengan menjadi aktor utama, maka isu-isu keamanan yang dapat mengancam keamanan nasionalnya dapat diantisipasi sejak jauh sebelum mencapai wilayah Australia.
Harus diingat di bawah pemerintah Rudd, kebijakan pertahanan Australia berdiri di atas tiga pilar, yaitu aliansi dengan Amerika Serikat, keanggotaan di PBB dan pelibatan komprehensif di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik yang lebih luas. Terkait dengan hal yang terakhir, sesungguhnya tak ada perbedaan kebijakan antara pemerintahan Rudd dengan pemerintahan yang digantikannya.
Krisis di kawasan dipandang akan berpengaruh langsung terhadap keamanan nasional Australia, sehingga kekuatan militer Australia harus mampu diproyeksikan ke kawasan sekitar ketika dibutuhkan (oleh kepentingan nasional Australia). Pemerintahan Rudd tetap memandang kawasan di sekitar Australia sebagai wilayah yang rawan, tidak stabil, mengalami keterbelakangan ekonomi dan kegagalan berfungsinya keamanan dan ketertiban.
Berangkat dari situ, lalu apakah akan ada perubahan drastis dalam kebijakan pertahanan Australia, khususnya yang bersifat eksternal? Saya tidak yakin akan ada perubahan drastis. Dan Buku Putih Pertahanan Australia sebagian isinya tak akan jauh berbeda warnanya dengan dokumen serupa tahun 2000. Mari kita tunggu terbitnya dokumen itu.

18 Maret 2009

Pengawasan Survei Di Laut

All hands,
Kegiatan survei di laut merupakan suatu kegiatan yang kritis, bahkan mungkin mengancam keamanan nasional, bagi banyak negara di dunia. Dalam arti apabila suatu survei dilakukan oleh pihak asing di perairan negara lain. Sebab hasil survei tersebut manfaatnya bukan sebatas bagi kepentingan ilmiah, tetapi dapat digunakan pula untuk kepentingan militer khususnya Angkatan Laut.
Oleh karena itu, tidak sedikit negara di dunia mempersyaratkan izin bagi pihak asing yang ingin melakukan survei laut di negaranya. Izin tersebut kadangkala bukan terbatas pada perairan teritorial, tetapi menyentuh pula ZEE. Itulah alasan mengapa Cina menunjukkan sikap konfrontatif terhadap survei yang dilakukan oleh USNS Impeccable (T-AGOS 23).
Izin bagi survei di laut juga berlaku di Indonesia. Namun seringkali pihak asing berupaya mengakali izin tersebut, misalnya menggunakan tangan lembaga penelitian sipil milik pemerintah. Sebab suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, izin survei di laut salah satunya harus melalui pintu AL. Apabila suatu survei telah memperoleh izin resmi, maka di kapal survei tersebut ditempatkan seorang perwira AL yang biasanya berlatarbelakang hidrografi sebagai security officer.
Tidak jarang pula pihak asing melakukan kegiatan survei di perairan Indonesia dan sekitarnya tanpa izin. Yang sangat disayangkan, kegiatan demikian seringkali tidak diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Padahal kapal survei itu biasanya merapat pula di pelabuhan-pelabuhan Indonesia untuk keperluan bekal ulang.
Itu baru pada kapal survei sipil. Belum lagi survei yang dilakukan oleh militer asing, yang sebagian di antaranya tanpa izin. Misalnya memanfaatkan saat melintas di perairan Indonesia dengan mengambil sample di suatu perairan untuk pemutakhiran data mereka.
Lalu apa yang bisa Indonesia lakukan? Tentu saja harus mengenali tantangannya terlebih dahulu. Tantangannya yaitu bagaimana meminimalisasi survei tanpa izin di perairan Indonesia dan sekitarnya. Untuk dapat menjawab tantangan itu, diperlukan sinergi berupa information sharing antara pihak-pihak yang terkait di Indonesia, baik sipil maupun militer.
Sebab seringkali suatu informasi yang diketahui oleh pihak sipil terkait justru tidak diketahui oleh pihak militer. Guna melaksanakan hal tersebut, perlu diciptakan mekanismenya, baik formal maupun informal.

17 Maret 2009

Menelisik Kasus USNS Impecabble (T-AGOS 23)

All hands,
Pada 8 Maret 2009, terjadi ketegangan di Laut Cina Selatan pada posisi sekitar 70 mil laut selatan Pulau Hainan antara kapal survey USNS Impecabble (T-AGOS 23) dengan lima kapal “trawler” Cina. Menurut Cina, aktivitas USNS Impecabble (T-AGOS 23) telah berada dalam ZEE-nya dan hal itu tidak dapat ditoleran oleh Negeri Tirai Bambu. Sementara Amerika Serikat bersikeras bahwa aktivitas kapal Angkatan Laut-nya (ingat: bukan kapal perang) berada di perairan internasional.
Ada banyak hal yang bisa dikupas dari kasus ini. Salah satunya menyangkut operasi survei dan pengamatan oleh kapal Angkatan Laut di wilayah perairan internasional. Pertanyaannya adalah apakah aktivitas demikian bertentangan dengan hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982? Kalau dikaitkan dengan kepentingan nasional negara pantai terdekat, ceritanya mungkin akan berbeda.
Menurut hemat saya, meskipun Amerika Serikat menolak meratifikasi UNCLOS 1982, aktivitas kapal Angkatan Laut-nya di Laut Cina Selatan tidak dapat disalahkan. Selama aktivitas itu berada di ZEE, sulit bagi negara pantai untuk menggugatnya. Sebab ZEE bukanlah wilayah kedaulatan negara manapun, termasuk negara pantai.
Pandangan demikian tentu saja berbeda ketika dialihkan ke perspektif kepentingan nasional negara pantai. Meskipun aktivitas Amerika Serikat berada di ZEE yang mana Cina tidak berdaulat di perairan itu, namun kegiatan demikian dipandang mengancam kedaulatan Cina. Tidak heran bila Cina sengaja menyebarkan kapal “trawler” ke sana untuk menghalangi aktivitas USNS Impecabble (T-AGOS 23). Penyebaran kapal itu dinilai implikasi politiknya lebih ringan daripada dia mengirim kapal fregat atau destroyer-nya.
Lalu apa lesson learned bagi Indonesia dari kasus USNS Impecabble (T-AGOS 23)? Pertama, aktivitas kapal survei asing di perairan ZEE sulit untuk diawasi apabila Angkatan Laut tidak mempunyai kemampuan. Baik kemampuan pengamatan maupun proyeksi kekuatan. Kedua, sikap Cina yang kukuh atas klaimnya di Laut Cina Selatan patut untuk terus diwaspadai. Lepas dari benar salahnya tindakan Amerika Serikat di sana, Indonesia harus mewaspadai sedini mungkin aktivitas kapal “trawler” di sekitar Laut Natuna-Laut Cina Selatan.
Ketiga, masih ada banyak pekerjaan rumah di dalam negeri menyangkut pengawasan survei oleh kapal asing. Saat ini Indonesia sebaiknya jangan berpikir dulu untuk bertindak seperti Cina, namun lebih baik mengawasi dengan benar survei oleh kapal asing di perairan teritorial Indonesia sendiri. Dalam waktu satu bulan terakhir, ada beberapa kasus survei ilegal oleh kapal asing di perairan yurisdiksi Indonesia, antara lain kapal dari beberapa negara Eropa.
Mengapa hal itu terjadi? Karena intelijen maritim Indonesia belum berfungsi sebagaimana mestinya!!!

16 Maret 2009

Penangkalan Terhadap Aktor Non Negara (Bag-2)

All hands,
Untuk melakukan penangkalan terhadap aktor non negara, sepertinya tidak cukup dengan hanya melalui pembangunan kekuatan (fisik) Angkatan Laut. Termasuk pula kekuatan asimetris. Menurut hemat saya, aktor non negara secara mental sudah didoktrin untuk tidak gentar menghadapi kekuatan militer konvensional. Itulah alasan mengapa mereka mampu menghadapi kekuatan militer dunia seperti Amerika Serikat dan Israel dalam beberapa kasus yang berbeda. Dari situ jelas mereka tidak gentar terhadap kekuatan militer konvensional, termasuk kekuatan Angkatan Laut.
Lalu bagaimana solusinya agar bisa menimbulkan dampak penangkalan? Penangkalan ditujukan agar mempengaruhi psikologis lawan sehingga mereka tidak bertindak yang tak sesuai dengan yang kita harapkan. Kata kuncinya adalah kemampuan mempengaruhi psikologis lawan. Berangkat dari situ, penangkalan terhadap aktor negara hendaknya menitikberatkan pada operasi psikologis. Operasi tersebut harus dirancang dengan menyesuaikan karakter psikologis lawan.
Artinya kita harus mengetahui terlebih dahulu unsur apa saja yang menjadi faktor pendorong motivasi mereka. Dari situ baru kemudian dilancarkan counter melalui operasi psikologis. Hanya dengan cara demikian mereka dapat ditangkal.
Pertanyaannya, seberapa besar perhatian kita terhadap operasi psikologis selama ini? Operasi psikologis mempunyai keterkaitan erat dengan operasi intelijen, sebab intelijen tidak bisa dipisahkan dengan unsur psikologis. Seberapa kuat kemampuan kita melancarkan operasi psikologis selama ini?
Hal ini penting untuk diperhatikan, karena percuma kita membangun kekuatan (fisik) Angkatan Laut tanpa diimbangi dengan peningkatan kemampuan di bidang operasi psikologis. Operasi psikologis usianya setua perang itu sendiri.

15 Maret 2009

Penangkalan Terhadap Aktor Non Negara (Bag-1)

All hands,
Pembangunan kekuatan laut selama ini di banyak negara salah satunya ditujukan untuk menimbulkan dampak penangkalan. Adapun penangkalan itu ditujukan kepada aktor negara, karena dari era Perang Dingin konsep penangkalan ditujukan kepada aktor tersebut. Namun seiring dengan lebih menonjolnya peran aktor non negara dalam isu keamanan maritim masa kini, Angkatan Laut di dunia ditantang untuk menciptakan pula suatu postur yang mampu melakukan penangkalan terhadap aktor non negara.
Merujuk pada kasus Perang Israel-Hizbullah, Perang Irak dan Perang Afghanistan, cukup jelas bahwa kekuatan militer negara-negara maju yang luar biasa tersebut ternyata tidak mampu menimbulkan penangkalan terhadap aktor-aktor non negara. Aktor-aktor non negara seperti kelompok Hizbullah, gerilyawan Irak, gerilyawan Taliban maupun grup teroris Al Qaidah sama sekali tidak gentar dengan kehebatan militer Israel maupun Amerika Serikat.
Lalu bagaimana menimbulkan dampak penangkalan terhadap aktor non negara? Postur kekuatan laut seperti apa yang harus dibangun? Apakah Angkatan Laut di dunia harus mengembangkan kemampuan asimetris? (Bersambung)

14 Maret 2009

Kepentingan Nasional Dan Tujuan Nasional

All hands,
Seperti pernah ditulis sebelumnya, terdapat perbedaan antara kepentingan nasional alias national interests dengan tujuan nasional alias national objectives. Dalam hirarki strategy and force planning, tujuan nasional adalah turunan dari kepentingan nasional.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kepentingan nasional merupakan suatu hal yang tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar-tawar, misalnya integritas wilayah, kedaulatan dan keselamatan rakyat. Adapun national objectives are the specific goals a nation seeks advance, support or defend national interests.
Dengan kata lain, tujuan nasional mendukung pelaksanaan kepentingan nasional. Tujuan nasional tersebut dapat dikategorikan dalam politik, ekonomi dan keamanan atau militer. Namun bisa pula diperluas sehingga mencakup aspek ideologi, sosial, teknologi dan lain sebagainya.
Untuk melihat perbedaan antara kepentingan nasional dan tujuan nasional dalam praktek, bisa dilihat dari perbedaan antara satu pemerintahan ke pemerintahan lain. Bukan saja di Amerika Serikat, bahkan di Indonesia pun sebenarnya bisa dilihat. Sebagai contoh, dalam pemerintahan yang kini berkuasa di Indonesia, salah satu prioritasnya adalah menyelesaikan masalah separatisme.
Hal itu, menurut pandangan saya, dapat dikategorikan sebagai (salah satu) tujuan nasional. Penyelesaian masalah separatisme merupakan turunan dari salah satu kepentingan nasional, yaitu menjaga integritas wilayah Indonesia. Soal lain misalnya prioritas pengamanan perbatasan dengan negara-negara di sekitar Indonesia, termasuk wilayah perbatasan maritim dan pulau-pulau terdepan.
Semua itu sebenarnya dapat dikategorikan sebagai tujuan nasional. Merupakan hal yang lumrah bahwa tujuan nasional dalam setiap era pemerintahan berbeda. Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Sebagai contoh, tujuan nasional dari administrasi Presiden George W. Bush, Jr berbeda dengan tujuan nasional di administrasi Presiden William J. Clinton. Namun semuanya tetap mengacu pada kepentingan nasional Amerika Serikat.
Di Indonesia, masalahnya kita belum terbiasa dengan penggunaan istilah kepentingan nasional dan tujuan nasional. Kepentingan nasional memang sering disebut-sebut, tetapi banyak pihak tak paham soal itu. Begitu pula dengan tujuan nasional. Kalau tidak paham, bagaimana untuk mendetailkannya dalam suatu kebijakan tertulis?

13 Maret 2009

Strategi Dan Teknologi

All hands,
Ketika kita berkutat pada strategy and force planning, salah satu variabel yang harus diperhatikan dengan seksama adalah soal teknologi. Teknologi merupakan variabel independen yang dapat mempengaruhi penyusunan strategy and force planning. Meskipun independen, variabel ini mempunyai keterkaitan pula dengan variabel lain sebab teknologi tidak pernah bebas dari kepentingan.
Teknologi pada dasarnya merupakan cost. Cost tidak semata dalam bentuk moneter, tetapi juga non moneter. Cost dalam bentuk moneter dapat dirunut dari investasi yang dikucurkan untuk menciptakan suatu teknologi hingga teknologi itu diproduksi massal dan siap dipasarkan. Sedangkan non moneter kaitannya lebih banyak dengan aspek politik.
Bagi Angkatan Laut negara-negara berkembang, ketergantungan teknologi pada negara-negara maju masih cukup besar. Meskipun banyak negara telah mampu membangun platform kapal perang, akan tetapi cerita menjadi berbeda ketika menyentuh soal sewaco dan propulsi. Kedua hal terakhir teknologinya masih dimonopoli oleh negara-negara maju.
Saat menyusun strategi, salah satu tantangannya adalah bagaimana merancang strategi dimaksud agar bisa hidup di alam nyata dan tidak berada di awang-awang. Contoh strategi yang berada di awang-awang misalnya di Indonesia adalah menyangkut forward defense. Strategi forward defense mensyaratkan adanya kemampuan proyeksi kekuatan. Untuk menciptakan kemampuan itu, diperlukan kapal perang yang minimal bertonase 2.000 ton, begitu pula pesawat udara yang mempunyai endurance lama.
Masalahnya bagi Indonesia bukan sekedar uang, tetapi kebijakan selektif negara-negara produsen kapal perang terhadap negeri Nusantara. Negara-negara itu mengawasi dengan ketat penjualan kapal perang kepada Indonesia, misalnya dalam bentuk senjata apa yang boleh dan tidak boleh mengisi kapal perang yang kita beli. Indonesia bisa saja membeli fregat, namun senjatanya belum tentu sesuai dengan harapan kita.
Memang masih ada alternatif lain, misalnya membeli ke negara-negara yang aturannya tidak terlalu ketat. Namun dari sini muncul tantangan, yaitu bagaimana meng-interoperability-kan antara kapal perang dari negara-negara Barat dengan negara-negara non Barat. Tantangan itu sebenarnya mudah dipecahkan bila ada ruang untuk berinovasi, termasuk dalam bentuk dukungan anggaran.
Kata kuncinya di sini adalah silakan kita mengembang strategi yang sesuai dengan kemampuan kita dan mampu diikuti oleh force planning yang benar. Saat menyentuh force planning, kita akan bersentuhan dengan aspek teknologi. Di situ dibutuhkan kecermatan kita bukan sebatas pada aspek teknis, tetapi juga geopolitik. Geopolitik dunia mempengaruhi penyebaran teknologi senjata Angkatan Laut.

12 Maret 2009

Angkatan Laut Dan Sejarah Bangsa

All hands,
Kalau kita berdiskusi dengan kalangan sejarahwan, salah satu butir yang akan mereka angkat mengenai sejarah bangsa Indonesia pasca 1945 adalah dominannya penempatan militer dalam cerita sejarah yang disusun. Seolah-olah peran komponen bangsa Indonesia lainnya dalam perjalanan sejarah pasca 1945 tidak banyak. Dengan kata lain, sejarah bangsa Indonesia identik dengan sejarah militer. Militer yang dimaksud di sini sudah pasti menunjuk pada pihak tertentu, bukan militer secara keseluruhan.
Tidak heran bila dalam Doktrin ABRI di masa lalu, tidak bisa dibedakan mana yang tergolong sejarah bangsa, mana yang diklasifikasikan sejarah militer. Padahal secara teoritis maupun empiris kedua hal tersebut jelas berbeda. Sejarah bangsa pada waktu itu seringkali dikooptasi oleh sejarah militer. Tentu kita yang bersekolah pada era 1980-an hingga awal 1990-an masih ingat pelajaran sejarah yang isinya kebanyakan soal perang atau operasi militer.
Dikaitkan dengan AL kita, eksistensi AL dalam sejarah sudah ada sejak hari-hari pertama Proklamasi. Namun dalam konteks Angkatan Laut yang modern, maksudnya organisasinya lengkap, begitu pula sistem senjata dan pembinaan personel, baru tersusun pada 1950 setelah Pengakuan Kedaulatan oleh Belanda. Pengakuan Kedaulatan kemudian disusul dengan penyerahan aset-aset Koniinklije Marine kepada ALRIS, termasuk di dalamnya kapal perang.
Sumbangsih AL terhadap upaya mengamankan kepentingan nasional negeri ini tidak perlu diragukan lagi. Kampanye Trikora dan Dwikora merupakan salah satu puncak pengabdian AL kita kepada Ibu Pertiwi. Atas dukungan politik yang kuat dari pemerintah saat itu, AL kita memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam kedua kampanye militer. Termasuk pula gugurnya para personel AL dan KKO, yang tentu saja nama Usman dan Harun tidak akan dilewatkan dari situ.
Namun adakah penghargaan yang patut dari bangsa ini terhadap apa yang telah dilakukan oleh AL di masa lalu? Memang di mana pun di dunia, militer profesional tidak pernah meminta penghargaan ketika menunaikan misinya. Namun bangsa yang mempunyai militer itu, biasanya tidak akan pernah melupakan pengorbanan dan jasa-jasa yang telah diperbuatkan oleh militer mereka.
Lihatlah Amerika Serikat dengan Vietnam War Memorial. Perang Vietnam memang menimbulkan perpecahan pendapat di masyarakat Amerika Serikat. Namun tidak demikian halnya dengan kehadiran Vietnam War Memorial. Tempat itu seolah menjadi tempat yang wajib dikunjungi oleh bangsa Amerika bila mereka bertandang ke Washington.
Lepas dari soal apakah di monumen itu ada nama sanak saudara mereka atau tidak. Kata kuncinya adalah mereka menghargai pengorbanan putra-putri militer di dinas militer!!! Karena mereka berperang demi Star and Spangled Banner, bukan demi U.S. Navy, U.S. Marine Corps, U.S. Army atau U.S. Air Force.
Lalu bagaimana dengan kita? Ambil contoh peringatan pertempuran Laut Aru pada setiap 15 Januari. Lepas dari banyaknya kekurangan kita dalam pertempuran laut yang tidak berimbang itu, semestinya peristiwa itu patut dikenang oleh semua bangsa Indonesia. Sayangnya peringatan pertempuran Laut Aru hanya dilakukan oleh AL saja, sementara komponen bangsa lainnya tidak melakukan hal yang sama.
Seolah-olah pertempuran Laut Aru adalah milik AL. Padahal jelas bukan, itu milik bangsa Indonesia. AL terlibat dalam pertempuran Laut Aru karena perintah pemimpin nasional dalam rangka Trikora. Tapi itulah kenyataan yang terjadi saat ini, bangsa ini seolah tak menghargai sejarah pertempuran Laut Aru.
Belum lagi soal Usman-Harun. Seberapa banyak bangsa ini yang mengenal perjuangan mereka. Jangan-jangan bangsa Indonesia yang bertugas di KBRI Singapura pun sudah tidak ingat lagi soal Usman-Harun. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang hobi pesiar dan menghabiskan uang di Singapura.
Menyedihkan memang!!!

11 Maret 2009

Kepentingan Nasional Dan Ways of Life

All hands,
Kepentingan nasional setiap bangsa pada dasarnya hampir sama, yaitu to ensure the security and prosperity of the state and its people. Yang berbeda adalah bagaimana pengejawantahannya, apakah menyerang negara lain atas nama keamanan nasional ataukah menjual perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan atau melego sumber daya alam kepada pihak asing atas nama kesejahteraan rakyat. Untuk mengamankan kepentingan nasional, bukan merupakan monopoli instrumen militer, tetapi harus dilakukan secara bersama-sama dengan instrumen-instrumen kekuatan nasional lainnya.
Kepentingan nasional akan menurunkan keamanan nasional. Di antara kepentingan nasional dan keamanan nasional terselip tujuan national alias national objective. Tentu saja terdapat perbedaan antara national interest dengan national objective. Mengenai apa bedanya, akan dibahas di kesempatan lain.
Yang akan dibahas di sini menyangkut kepentingan nasional dengan keamanan nasional. Keamanan nasional dirancang untuk mengamankan kepentingan nasional. Cakupan hal-hal yang harus dilindungi oleh keamanan nasional bukan sebatas rakyat dan wilayah, tetapi juga mencakup aspek lain seperti ekonomi dan national values. Setiap bangsa biasanya mempunyai national values yang tidak sama, kecuali bangsa-bangsa yang telah sepakat berintegrasi di bawah organisasi supranasional seperti Uni Eropa misalnya.
Ketika Amerika Serikat dipimpin oleh Presiden W.J. Clinton, dalam 1996 National Security Strategy of Engagement and Enlargement, dinyatakan bahwa “protecting our nation’s security ---our people, our territory and our way of life--- is my Administration’s foremost mission and constitutional duty”. Menjadi hal menarik ketika ways of life menjadi salah satu aspek yang harus dilindungi oleh pemerintah menggunakan semua instrumen kekuatan nasional yang tersedia.
Ways of life suatu bangsa pasti akan terkait dengan national values yang dianut oleh bangsa itu. Dalam konteks Indonesia, apakah national values kita? Mungkin ada yang menjawab Pancasila. Namun masalahnya adalah apakah Pancasila masih menjadi national values yang mengikat semua anak bangsa?
National values tersebut akan membentuk ways of life suatu bangsa. Pertanyaan berikutnya, apakah ways of life bangsa Indonesia? Apakah terlalu silau dengan globalisasi dan melupakan kepentingan sendiri merupakan ways of life bangsa ini? Ataukah bangsa ini tidak mempunyai ways of life, yang ada ways of life masing-masing kelompok?
Kalau dikaitkan dengan Angkatan Laut, memang menjadi tugasnya untuk melindungi ways of life. Cuma kalau ways of life-nya saja tidak bisa diidentifikasi, lalu bagaimana Angkatan Laut akan melindunginya?

10 Maret 2009

Kerjasama Intelijen Dan Kedaulatan

All hands,
Menghadapi situasi lingkungan keamanan yang kompleks dan multidimensional, kerjasama antar negara merupakan salah satu pendekatan yang harus dilakukan. Salah satu bentuk kerjasama itu adalah di bidang intelijen melalui kerjasama pertukaran intelijen alias intelligence sharing. Kerjasama pertukaran intelijen merupakan hal yang mutlak apabila negara-negara sekawasan atau yang mempunyai kepentingan yang sama untuk menghadapi tantangan dan ancaman yang berkembang.
Di atas kertas, kerjasama intelijen terasa mudah untuk digagas. Akan tetapi di alam nyata, kerjasama intelijen seringkali tidak gampang dilakukan karena berbagai faktor. Misalnya mutual trust yang belum mencapai kondisi yang diharapkan atau ada negara yang merasa posisinya lebih tinggi daripada negara mitra dalam kerjasama itu, sehingga tidak tercipta kesetaraan.
Dalam menjalin kerjasama intelijen, khususnya di bidang intelijen maritim, banyak hal yang harus diperhatikan oleh Indonesia. Di antaranya adalah kesetaraan pihak-pihak yang terlibat kerjasama. Dengan kemampuan intelijen maritim Indonesia yang masih terbatas, dalam kerjasama intelijen posisi Indonesia sepertinya lebih sebagai pelaksana di lapangan daripada sebagai pemberi informasi.
Berikutnya mengenai nilai informasi. Nilai informasi intelijen yang diberikan oleh satu pihak ke pihak lain bisa jadi dinilai berbeda. Informasi X yang diberikan oleh negara A dinilai sangat bermanfaat bagi kepentingannya, namun bagi negara B yang menerima informasi belum tentu demikian. Seringkali dalam kerjasama intelijen informasi sensitif yang diperlukan oleh suatu negara tidak diberikan oleh negara mitra.
Masih banyak hal lainnya yang sudah sepantasnya diperhatikan dalam menjalin kerjasama intelijen. Kata kuncinya adalah mutual trust, sebab tanpa itu kerjasama yang dijalin tidak akan memuaskan pihak-pihak yang terlibat.
Ada sisi lain yang harus dicermati pula dalam kerjasama intelijen maritim. Sampai pada tahapan tertentu, kerjasama intelijen maritim mencapai apa yang disebut “pengorbanan” kedaulatan. “Pengorbanan” kedaulatan yang dimaksud adalah diketahuinya hal-hal sensitif mengenai keadaan suatu negara mitra oleh negara mitra lainnya. Isu “pengorbanan” kedaulatan merupakan hal yang sensitif bagi beberapa negara, termasuk Indonesia.
Siapkah Indonesia dengan “pengorbanan” kedaulatan? Yang pasti, Indonesia telah mempraktekkan “pengorbanan” kedaulatan melalui ratifikasi terhadap ASEAN Charter.

09 Maret 2009

Angkatan Laut Dan Shaping The Environment

All hands,
Kerjasama Angkatan Laut dapat dipastikan senantiasa berada dalam bingkai besar kerjasama antar negara. Hal itu harus mengacu pada kebijakan pertahanan dan luar negeri yang telah digariskan oleh pemerintah. Dengan kata lain, kebijakan pertahanan dan luar negeri harus dapat menjadi penuntun bagi militer, termasuk Angkatan Laut untuk melaksanakan kerjasama dengan mitranya di luar negeri.
Tujuan kerjasama Angkatan Laut tidak boleh dilepaskan dari kepentingan nasional masing-masing negara. Dalam era masa kini, instrumen yang digunakan untuk mengamankan kepentingan nasional tidak lagi sebatas instrumen politik, ekonomi dan militer, namun telah melebar menjadi instrumen militer, intelijen, diplomatik, penegakan hukum, informasi, keuangan dan ekonomi. Meskipun instrumen kekuatan nasional telah meluas, akan tetapi peran instrumen militer tetap tidak dapat diabaikan.
Dalam perkembangan terkini, kebijakan-kebijakan sektoral di banyak negara selalu disinkronkan dan diintegrasikan menjadi kebijakan nasional. Begitu pula dengan kebijakan pertahanan dan luar negeri, di mana kedua kebijakan itu senantiasa saling terkait. Saat ini isu-isu politik dan keamanan cukup mendominasi atmosfir berbagai kawasan di dunia, yang untuk menghadapinya membutuhkan pendekatan komprehensif. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang aneh bila terdapat keterkaitan antara kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri.
Isu-isu politik dan keamanan yang berkembang tidak dapat direspon hanya dengan mengandalkan pendekatan militer saja sebagai satu-satunya solusi, tetapi harus lebih banyak melalui pendekatan diplomatik yang didukung oleh kekuatan militer. Pada sebagian besar negara seperti Amerika Serikat, Departemen Pertahanan memainkan peran penting dalam kebijakan luar negeri. Di negeri itu, terjalin kerjasama erat antara Duta Besar Amerika Serikat di negara akreditasi dengan Panglima militer Amerika Serikat di kawasan setiap negara akreditasi. Keduanya bekerjasama untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan luar negeri Presiden, yang dikenal sebagai shaping the environment.
Shaping the environment telah banyak dipraktekkan oleh negara-negara lain. Contohnya adalah serial latihan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Atau latihan-latihan bilateral dan multilateral yang dilakukan oleh India dengan negara-negara lain di sekitarnya. Semua itu dimaksudkan untukn mengamankan kepentingan nasional masing-masing negara.
Dalam shaping the environment, Angkatan Laut seringkali menjadi ujung tombak. Terlebih lagi ketika kondisi lingkungan keamanan masa kini yang sangat dinamis dan ditandai dengan munculnya banyak ancaman dan tantangan terhadap keamanan bersama negara-negara se-kawasan.
Environment bagi Indonesia yang utama adalah ASEAN. Di sanalah titik berat kerjasama pertahanan, termasuk kerjasama Angkatan Laut, harus dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah kerjasama pertahanan yang selama ini dilaksanakan oleh Indonesia sudah dirancang dengan matang untuk shaping the environment? Ataukah kerjasama itu terbatas pada formalitas belaka?

08 Maret 2009

Peluang Dari Perjanjian Perbatasan Indonesia-Singapura

All hands,
Hubungan Indonesia-Singapura merupakan sebuah hubungan yang “sulit” dan lebih sering merugikan Indonesia. Banyak contoh soal itu, mulai dari isu FIR, kerjasama pertahanan, pengamanan Selat Malaka, “ekspansi” Singapura ke Kepulauan Riau khususnya yang menjadikan wilayah itu sebagai halaman belakangnya, investasi Singapura terhadap sektor-sektor penting di Indonesia dan lain sebagainya. Tidak heran bila hubungan kedua negara pasang surut.
Pada sisi lain, kedua bangsa sebenarnya saling membutuhkan satu sama lain. Singapura membutuhkan sumber daya seperti air, gas dan lain sebagainya dari Indonesia, sementara sebagian warga Indonesia membutuhkan bertamasya ke Singapura. Seolah-olah kalau belum berwisata ke Singara, khususnya wisata belanja, statusnya belum lengkap sebagai traveler.
Pasang surutnya hubungan Indonesia-Singapura harus ditinjau kembali dari aspek sejarah. Negeri itu mempunyai trauma sejarah dengan Indonesia ketika masa Konfrontasi. Tidak heran bila Kakek Agung negeri itu tetap bersikeras menggantung dua prajurit KKO pada 1968, walaupun pemimpin Indonesia sudah memintakan pengampunan. Supaya terkesan “menyesal”, si Kakek itu pada 1975 menaburkan bunga di atas pusaka makam Usman dan Harun.
Terkait dengan hal tersebut, seberapa banyak anak negeri ini yang masih ingat akan kasus penggantungan dua prajurit KKO itu? Mungkin dari 1.000 orang Indonesia yang berkunjung ke Singapura, hanya satu orang yang masih ingat dengan pengorbanan dua prajurit KKO tersebut, yang sayangnya lagi nama mereka lebih banyak diabadikan di properti AL daripada properti umum.
Kasus penggantungan Usman dan Harun, menurut saya, adalah salah satu landasan dalam membentuk hubungan Indonesia-Singapura untuk masa-masa selanjutnya. Itulah yang terjadi hari ini. Mungkin tidak banyak yang sadar atau paham soal kasus penggantungan tersebut justru membentuk suatu hal penting dalam hubungan kedua negara, khususnya di Indonesia.
Saat ini sebagian petinggi negeri sedang senang, karena masalah perbatasan Indonesia-Singapura di sektor barat sudah beres. Perunding kedua negara telah sepakat mengenai batas maritim kedua negeri di sektor itu. Pertanyaannya adalah apakah peluang dari kesepakatan yang akan ditandatangani beberapa hari ke depan itu akan dimanfaatkan oleh Indonesia?
Perairan di sekitar Pulau Nipah merupakan kawasan anchorage atau lego jangkar bagi kapal-kapal yang menunggu giliran masuk ke pelabuhan Singapura. Sayangnya, perairan kawasan itu seringkali dijadikan tempat pembuangan limbah oleh kapal-kapal sebelum masuk ke pelabuhan Singapura, sebab bila suatu kapal masuk ke Singapura dalam kondisi kotor maka kapal itu akan dikenakan denda. Singapore is fine nation, right???
Dari situ artinya ada peluang bagi Indonesia untuk mendirikan bisnis pembersihan kapal. Tentu bisa dihitung berapa puluh atau ratus kapal yang tiap hari menunggu giliran masuk pelabuhan Singapura. Peluang itu harus dimanfaatkan oleh Indonesia, jangan sampai justru Singapura yang menangkap peluang.
Seperti diketahui, bisa saja pengusaha Singapura memberi modal alias menanam investasi untuk bisnis itu di Indonesia, khususnya Kepulauan Riau. Itulah yang terjadi dalam bisnis galangan kapal di Batam selama ini.
Itu baru satu peluang saja di bidang maritim. Masih banyak peluang lainnya yang bila dimanfaatkan oleh Indonesia akan membantu realisasi peralihan dari bangsa yang nenek moyangnya pelaut menjadi bangsa pelaut.

07 Maret 2009

Interaksi Cina-Indonesia Di Laut

All hands,
Belum lama ini sebuah media massa Cina menurunkan berita tentang pembangunan kapal induk Cina. Laporan tersebut seolah untuk mempertegas terhadap kesimpangsiuran berita mengenai program kapal induk dalam pembangunan kekuatan negeri itu. Sebagaimana diketahui, kapal induk adalah simbol prestise suatu Angkatan Laut dan sekaligus simbol kemampuan proyeksi kekuatan.
Terkait dengan hal tersebut, Indonesia cepat akan lambat akan ”berinteraksi” dengan kekuatan laut Cina. Selama ini, sangat jarang interaksi kedua kekuatan itu di laut. Sebab tahapannya baru pada confidence building measures. Yang perlu diperhatikan adalah masih adanya sejumlah sengketa antara Indonesia dengan Cina, yang di masa depan mungkin akan mengemuka lagi apabila Negeri Tirai Bambu telah mampu mewujudkan impiannya mempunyai kapal induk sendiri.
Secara politik, relasi kedua negara telah diikat oleh Perjanjian Kemitraan Strategis tahun 2005. Kerjasama di bidang pertahanan adalah salah satu ranahnya, yang pada tingkat Angkatan Laut sejauh ini diwujudkan melalui Navy to Navy Talk. Di samping itu, juga pertukaran perwira untuk mengikuti pendidikan militer di kedua negara. Karena kerjasama kedua Angkatan Laut masih baru, maka cakupannya baru pada tingkat confidence building measures.
Dikaitkan dengan kepentingan nasional Indonesia, perlu dipertanyakan apakah ambisi global Cina yang antara lain dalam bentuk proyeksi kekuatan laut tidak akan menjadi tantangan atau ancaman kepentingan perairan Indonesia di masa depan. Sebab harus diingat bahwa kasus klaim Cina terhadap atas Laut Cina Selatan, termasuk Kepulauan Natuna masih mengambang. Sebagai latar belakang informasi, dalam peta Cina tahun 1992 terdapat sembilan garis putus-putus di Laut China Selatan di sekitar Kepulauan Natuna. Secara kasat mata, peta itu ingin menunjukkan bahwa Beijing mengklaim wilayah Kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatannya.
Dan sampai sekarang Jakarta belum mendapat penjelasan yang memuaskan mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, sebelum kapal induk Cina terwujud sebaiknya Indonesia mengantisipasi sejak dini kemungkinan beberapa skenario yang mungkin terjadi di perairan itu dalam 10-20 tahun ke depan. Pada masa itu, diperkirakan Beijing sudah mempunyai kemampuan kapal induk guna melakukan proyeksi kekuatan ke kawasan Asia Tenggara untuk menunjukkan ototnya kepada pihak-pihak lain.
Antisipasi dapat dilakukan paling tidak menggunakan tiga instrumen kekuatan nasional, yaitu politik dan militer. Instrumen politik bisa dengan memainkan kartu ASEAN, ARF dan juga Amerika Serikat. Adapun secara militer dapat memainkan kartu Amerika Serikat, ASC maupun kartu sendiri (unilateral).
Kartu sendiri bisa dimainkan bila komitmen pemerintah terhadap pembangunan kekuatan AL tidak sebatas pada pernyataan, tetapi diwujudkan ke alam nyata. Untuk mewujudkan ke alam nyata, dukungan dari instrumen ekonomi mutlak diperlukan.

06 Maret 2009

Manuver Cina Di Asia Tenggara

All hands,
Munculnya Cina sebagai kekuatan regional yang tengah tumbuh menjadi kekuatan global menimbulkan berbagai reaksi di kawasan Asia Pasifik. Tidak sedikit pihak di kawasan yang memandang dengan curiga kebangkitan Negeri Tirai Bambu tersebut. Untuk itu, beberapa kekuatan besar yang sudah mapan seperti Amerika Serikat, Jepang dan India tengah menjalin kerjasama yang nampaknya merupakan upaya untuk containment terhadap Cina. Sedangkan Cina sendirni paham akan upaya itusebagaimana tercermin dari beberapa tulisan para ahli strategi negara itu yang menyebut langkah strategis Amerika Serikat sebagai upaya encirclement.
Kawasan Asia Tenggara yang merupakan bagian dari Asia Pasifik, dari kacamata Beijing merupakan wilayah yang attractive, vulnerable and nearby. Sejak dekade 1990-an, nilai strategis kawasan ini di mata Cina semakin meningkat, seiring dengan terus tumbuhnya perekonomiannya. Pertumbuhan tersebut bukan saja harus ditunjang oleh ketersediaan pasar, akan tetapi juga harus ditunjang pula oleh lancarnya pasokan energi dari Timur Tengah ke Cina.
Tidak aneh bila Beijing sangat hirau dengan keamanan SLOC di Asia Tenggara, khususnya di Selat Malaka. Para ahli strategi Cina terus membahas kerentanan Cina akan akses terhadap perairan yang berada jauh di luar wilayahnya. Terkait hal tersebut, Cina kini aktif melakukan pendekatan diplomatik-militer kepada negara-negara Asia Tenggara, khususnya yang dilalui oleh SLOC-nya.
Manuver Cina di Asia Tenggara terkait dengan strategi politik keamanan internasionalnya, dikenal sebagai Strategi 24 Karakter. Strategi yang dirumuskan oleh Deng Xiaoping itu terdiri dari “Observe calmly; secure our position; cope with affairs calmly; hide our capacities and bide our time; be good at maintaining a low profile; and never claim leadership”.
Para pejabat di Beijing selalu menekankan bahwa niat negeri itu terhadap kawasan Asia Tenggara tak lebih dari bergabung bersama kawasan ini dalam pengembangan ekonomi dan perdamaian dan keamanan regional. Sebagai buktinya, mereka menyodorkan data terus mendorong hubungan investasi dan perdagangan antara ASEAN dengan Cina. Di samping multilateral, Cina juga melaksanakan kerjasama bilateral dengan negara-negara Asia Tenggara.
Berkaitan dengan hal itu, pertanyaannya adalah apakah manuver Cina di Asia Tenggara sekadar dilatar belakangi isu keamanan maritim dan kepentingan ekonomi, ataukah ada alasan yang lebih mendasar di balik semua itu? Sebagian pihak berpendapat bahwa manuver Cina ke Asia Tenggara tidak lepas dari upayanya untuk keluar dari kebijakan pengurungan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Menurut pandangan Cina, “Southeast Asia as the weak link in this chain and the point where China can break through and defeat attempted American “containment”.
Untuk menjawab pertanyaan itu secara tuntas, perkembangan lingkungan keamanan ke depan perlu terus dicermati.

05 Maret 2009

Strategi Tanpa Panduan

All hands,
Apa hubungan antara strategi dengan hari esok? Jawabannya singkat, strategi dirancang untuk menyeimbangkan antara menjawab tantangan hari ini (masa kini) dengan perencanaan untuk menggarisbawahi kemungkinan-kemungkinan alternatif di hari esok (masa depan). Akan tetapi dalam dunia nyata, merancang strategi yang mampu menjawab tantangan saat ini dan perencanaan hari esok tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Terdapat banyak variabel yang harus diperhatikan dalam merancang strategi berikut force planning yang muncul sebagai turunan dari strategi. Dari sekian banyak variabel tersebut, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua grup. Yaitu lingkungan keamanan pada satu sisi dan keterbatasan sumber daya pada sisi lain.
Dihadapkan pada kondisi demikian, setiap negara merancang strategi untuk jangka waktu tertentu. Karena seiring dengan berjalannya waktu, negara-negara di dunia biasanya akan melakukan penilaian ulang terhadap kepentingan nasionalnya. Sebagai contoh, strategi keamanan nasional Amerika Serikat di era Perang Dingin dan peralihan Perang Dingin ke pasca Perang Dingin, menekankan pada aspek militer berupa containment terhadap Uni Soviet. Ketika tampuk kekuasaan di Gedung Putih beralih kepada generasi Baby Boomer yang dimotori oleh Presiden Bill Clinton, strategi keamanan nasional Amerika Serikat mengalami enlargement dengan lebih menekankan pada aspek ekonomi dan membatasi keterlibatan militer pada masalah-masalah internasional.
Tidak heran kalau di era Clinton (1993-2001), kesejahteraan rakyat Amerika Serikat meningkat pesat. Rakyat negeri itu di masa tersebut menikmati pertumbuhan ekonomi yang berimbas pada peningkatan kemakmuran mereka. Pada sisi lain, keterlibatan militer Paman Sam dalam urusan keamanan internasional lebih menitikberatkan pada peran peacekeeping. Misalnya dalam kasus Somalia, Haiti dan Kosovo.
Kembali kepada isu strategi dan hari esok, bagaimana dengan Indonesia? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Sebab negeri ini tidak memiliki Strategi Keamanan Nasional, yang tersedia adalah Kebijakan Pertahanan Negara.
Dalam kebijakan tersebut, memang sudah ditetapkan kriteria atau penggolongan kepentingan nasional. Namun sejauh ini belum diidentifikasi aktor siapa saja yang dalam beberapa tahun ke depan potensial mengancam kepentingan nasional tersebut. Selain itu, belum ada pembedaan mana yang tergolong threat, mana yang vulnerabilities, mana yang challenges. Dan mana pula yang tergolong opportunities.
Kondisi dunia yang sudah berubah dari 30 tahun silam membuat kita tidak dapat lagi memakai parameter ATHG. Parameter ATHG latar belakangnya, sepengetahuan saya, tidak lepas dari masalah ideologis di masa lalu dan kepentingan rezim saat itu untuk mengamankan kekuasaan. Jadi ATHG, menurut hemat saya, lebih banyak bertitik berat pada kepentingan pemerintah (rezim) daripada kepentingan nasional.
Tanpa adanya strategi keamanan nasional yang kokoh, tujuan yang jelas dan fokus, lalu bagaimana merancang strategi? Strategi pertahanan merupakan turunan dari strategi keamanan nasional. Memang bisa saja kita merancang strategi dan kemudian melaksanakan force planning, tetapi karena dasarnya tidak kokoh maka hasilnya adalah suatu kekuatan pertahanan yang tidak sesuai alias mismatch dengan kepentingan nasional. Harap diingat bahwa kepentingan nasional yang harus diamankan oleh militer bukan saja soal hidup matinya negara, keutuhan wilayah dan hal-hal lain yang klasik, tetapi juga menyentuh isu-isu kontemporer yang terkait dengan kepentingan nasional.

04 Maret 2009

Menakar Pilihan Strategi Pertahanan

All hands,
Apabila kita berbicara tentang strategy and force planning, salah satu variabel yang harus ditinjau adalah strategi yang dikaitkan dengan lingkungan keamanan. Dalam menyusun strategi keamanan nasional yang mana salah satu turunannya adalah strategi pertahanan, biasanya terdapat dua aliran yang berbeda. Aliran pertama adalah kelompok yang mengutamakan pada strategy of cooperative security, adapun aliran kedua yaitu strategy of selective engagement.
Masing-masing penganut mahzab mempunyai alasan sendiri-sendiri mengapa lebih memilih aliran yang satu daripada mahzab lainnya. Termasuk dalam alasan tersebut adalah cost yang harus dikeluar (monetary and non monetary cost). Mahzab apapun yang dipilih dari dua aliran yang tersedia, setiap pilihan mempunyai konsekuensi.
Apabila menganut pendekatan strategy of cooperative security, suatu negara harus aktif menggalang kerjasama keamanan dengan negara-negara lain, minimal negara-negara yang satu kawasan dengannya. Bentuknya bisa berupa pertukaran perwira, latihan bersama, kerjasama intelijen, kerjasama logistik, bahkan combined operations. Force planning-nya pun disesuaikan dengan pendekatan tersebut, yaitu siap beroperasi secara multinasional.
Jikalau suatu negara lebih mengutamakan pada strategy of selective engagement, titik berat force planning-nya pada merancang kemampuan untuk menghadapi ancaman tertentu terhadap kepentingan nasionalnya yang vital. Ancaman tersebut bisa datang dari aktor negara, dapat pula berasal dari aktor non negara. Pada strategy of selective engagement, pendekatan strategi pertahanan yang dianut lebih bersifat unilateral. Artinya, negara itu siap bertindak secara unilateral untuk mengamankan kepentingan nasionalnya bila negara-negara lain tidak bersedia bergabung untuk beraksi dalam payung multilateral.
Kalau dua pendekatan itu ditarik ke dalam situasi Indonesia, mana yang dianut? Mungkin jawaban saya tidak tepat, namun sepengetahuan saya strategi pertahanan Indonesia lebih menekankan pada strategy of selective engagement. Pemilihan strategi tersebut nampaknya tak lepas dari semangat kemandirian bangsa. Soal apakah mampu mandiri dalam arti sebenarnya atau tidak, itu urusan lain.
Silakan dalami Strategi Pertahanan yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan, semangat adalah demikian. Memang betul dalam Strategi Pertahanan juga mengenal kerjasama pertahanan dengan negara-negara lain, namun lingkup kerjasamanya terbatas dan terlalu tradisional. Dan dalam kerjasama tersebut Indonesia seringkali bukanlah penggagas kerjasama, tetapi lebih sebagai pengikut. Kalaupun menggagas suatu kerjasama, setelah kerjasama berjalan maka peran Indonesia tidak dominan atau menentukan.
Mengapa demikian? Sebab untuk menjadi penggagas kerjasama militer di alam nyata, harus siap dengan cost yang akan timbul sebagai konsekuensi. Sebagai contoh, apakah Indonesia mempunyai paket latihan dengan negara-negara ASEAN semacam paket CARAT, SEACAT, Flash Iron dan lainnya yang digagas oleh Amerika Serikat?
Dalam lingkungan keamanan yang sangat dinamis saat ini, pertanyaannya adalah apakah strategy of selective engagement masih relevan dianut oleh Indonesia? Apakah benar cost dari strategy of selective engagement lebih murah daripada strategy of cooperative security? Sudah saatnya kita berpikir soal hal ini, jangan lagi yang dipikirkan hanya Sishankamrata yang sudah out of date itu!!!

03 Maret 2009

Bisnis Dalam Misi PBB

All hands,
Apabila sesuai dengan jadwal, diharapkan 11 Maret 2009 Gugus Tugas AL kita yang akan bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force akan meninggalkan tanah air menuju Lebanon. Misi tersebut merupakan misi bersejarah bagi AL Indonesia, sekaligus memberikan pelajaran-pelajaran baru kepada pihak-pihak di Indonesia yang terkait dengan Operasi Perdamaian PBB.
Secara politik, prestise misi AL kita sangat besar dan hal itu tidak dapat diragukan. Bila AL negeri tukang klaim mampu mengirimkan kekuatan lautnya ke Somalia untuk menindas pembajakan di sana, AL negeri Nusantara dikirim ke Lebanon untuk menegakkan perdamaian. Sangat disayangkan masih ada pihak-pihak di dalam negeri yang tidak siap dengan konsekuensi dari prestise tersebut.
Ketidaksiapan itu antara lain menyangkut tentang hal-hal teknis terkait dengan logistik. Molornya keberangkatan Gugus Tugas AL kita disebabkan oleh hal tersebut. Padahal soal logistik dalam Misi PBB sudah diatur dengan jelas, mana item yang masuk kategori reimburst, mana yang tidak. Namun ada saja pihak di negeri ini yang mencoba menawar aturan tersebut, padahal aturan itu sudah baku dan diberlakukan oleh PBB terhadap negara manapun tanpa diskriminasi.
Menurut pandangan saya pribadi, hal itu terjadi karena Misi PBB diperlakukan sebagai bisnis yang tidak pada tempatnya. Selalu ada keinginan mencari keuntungan sebesar-besarnya sekaligus prestise, namun tidak siap dengan konsekuensinya. Misi PBB memang bisnis, namun tidak dalam pemahaman seperti yang ada di benak pihak-pihak tertentu di Indonesia.
Alih-alih ke New York menegosiasikan hal yang sudah baku di PBB dan tidak bisa ditawar-tawar, lebih baik menegosiasikan kembali sektor patroli Indonesia. Penempatan Gugus Tugas AL Indonesia di sektor Selatan sebenarnya bukan hal yang aneh, selama lobi Indonesia masih lemah. Sehingga sudah lumrah di manapun pasukan perdamaian PBB asal Indonesia ditempatkan, dapat dipastikan sektor operasinya termasuk sektor yang rawan bahkan ekstrim.
Dari dulu lobi Indonesia menyangkut soal penempatan sektor operasi seringkali lemah dan ini tak lepas dari peran Penasehat Militer di PTRI Untuk PBB NY. Posisi Penasehat Militer memang penting dan sekaligus krusial, karena pejabat ini yang akan bernegosiasi dengan UNDPKO. Pos ini lebih sering diduduki oleh perwira AL, seolah sudah menjadi hukum tak tertulis.
Sebab pos di Washington seolah sudah menjadi jatah AD, jadi di NY seolah jatah AL. Kalau tak salah sampai saat ini sudah ada tujuh perwira TNI yang menjabat Penasehat Militer di sana, lima di antaranya berasal dari matra laut. Sisanya adalah matra darat dan udara.
Bisnis Misi PBB dalam arti sebenarnya antara lain dapat dilihat dari promosi negara-negara yang terlibat dalam misi tersebut terhadap produk-produk mereka yang digunakan oleh PBB. Ada negara yang spesialis pada peralatan rumah sakit lapangan, ada negara yang spesialis pada peralatan zeni, ada negara yang spesialis pada kendaraan lapis baja, ada pula negara yang spesialis pada peralatan komunikasi dan lain sebagainya.
Lalu Indonesia di mana? Ini yang belum jelas, karena bisnis dalam Misi PBB berbeda pemahamannya antara pihak-pihak tertentu di Indonesia dengan di negara-negara lain. Kalau bisnis di Indonesia cenderung diartikan seperti kerbau punya susu, sapi dapat nama.

02 Maret 2009

Primus Inter Pares Di Kawasan Asia Tenggara

All hands,
Di masa lalu Indonesia merupakan primus inter pares di kawasan Asia Tenggara. Tidak ada negara ASEAN yang berani say no to Indonesia!!! Tidak seperti saat ini, Singapura dan Malaysia berani say no to Indonesia. Menurut informasi yang saya dapat dari tangan pertama, pemimpin republik ini gusar dengan keberanian kedua negeri eks jajahan Inggris itu say no to Indonesia.
Sejak ASEAN berdiri pada 1967, hingga 1997 Indonesia masih menjadi primus inter pares. Karena primus inter pares itulah mengapa Sekretariat ASEAN berlokasi di Jakarta, bukan Bangkok, Kuala Lumpur ataupun Singapura. Ketika Indonesia dilanda krisis politik dan ekonomi pada 1998 dan beberapa tahun setelah itu, ada upaya dari Singapura dan Malaysia untuk memindahkan Sekretariat ASEAN ke negara mereka masing-masing. Untung saja upaya itu tidak berhasil.
Terwujudnya primus inter pares bukan semata-mata karena kemampuan diplomatik plus determinasi pemimpin nasional waktu itu, tetapi juga ditunjang oleh kekuatan militer yang (relatif) memadai. Percaya atau tidak, kekuatan militer Indonesia di kawasan Asia Tenggara saat itu cukup diperhitungkan, walaupun tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan di masa Presiden Soekarno.
Memang pada sisi lain waktu itu Amerika Serikat mulai memberlakukan kebijakan khusus dalam penjualan senjata canggih ke Indonesia, khususnya rudal. Rudal yang dijual kepada Indonesia sudah harus terlebih dahulu dipakai oleh Singapura. Begitu pula dengan pesawat tempur. Yang berbeda memang cuma untuk sistem senjata Angkatan Laut, baik kapal atas air maupun kapal selam.
Sudah menjadi keinginan bangsa ini untuk kembali menjadi primus inter pares di kawasan Asia Tenggara. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan keterpaduan dan sinergi semua instrumen kekuatan nasional. Termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan laut yang memiliki kemampuan proyeksi kekuatan, dalam hal ini berkategori medium regional projected navy.
Artinya, dibutuhkan determinasi dari kepemimpinan nasional untuk membangun kekuatan laut. Determinasi itu sangat penting, agar kasus yang terjadi beberapa tahun lalu tidak terulang lagi. Kasus tersebut terjadi karena kurangnya determinasi yang berimbas terhadap AL kita.
Determinasi juga diperlukan untuk menggerakkan instrumen ekonomi untuk mendukung pembangunan kekuatan laut. Sungguh hal yang mengecewakan melihat kenyataan bahwa realisasi Renstra AL 2005-2009 realisasinya sangat jauh dari yang diharapkan. Kondisi itu tidak lepas dari kurangnya dukungan dari instrumen ekonomi, meskipun Renstra tersebut telah menjadi program pemerintah.
Untuk kembali menjadi primus inter pares di Asia Tenggara, mustahil bagi Indonesia untuk mengabaikan kekuatan laut. Tidak adanya kekuatan laut Indonesia yang dapat berbicara di tingkat kawasan sama artinya dengan tidak terwujudnya kembali primus inter pares. Sebab di masa lalu, primus inter pares Indonesia didukung pula oleh kekuatan laut. Dengan dukungan kekuatan laut, bersama instrumen kekuatan nasional lainnya, negeri kecil seperti Singapura dan Malaysia tidak berani say no to Indonesia!!!
Harus dicamkan, kejayaan negeri ini dari aspek militer ditentukan oleh kekuatan laut (dan udara). Hal itu sudah terbukti di masa lalu pada era 1960-an. Berapa juta pun kekuatan darat negeri ini, namun tanpa kekuatan laut yang mampu berbicara di kawasan, tidak akan pernah diperhitungkan oleh pihak-pihak lain.

01 Maret 2009

Mimpi ASEAN Terhadap Stabilitas Keamanan Asia Tenggara

All hands,
Sebagai organisasi kawasan, ASEAN mempunyai mimpi untuk mewujudkan stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara. Selama ini memang telah tercipta stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara, akan tetapi sulit untuk mengklaim bahwa itu hanya kinerja ASEAN saja. Karena di kawasan ini, stabilitas keamanan lebih banyak ditentukan oleh Amerika Serikat dan FPDA.
Melalui pembentukan ASEAN Security Community (ASC), terdapat harapan agar ASEAN mampu menata stabilitas keamanan kawasan ini. Tetapi mungkinkah hal itu tercipta? Sebab secara kasat mata tidak semua negara ASEAN bersikap tulus terhadap ASC. Malaysia dan Singapura tidak bertumpu sepenuhnya pada ASC, melainkan juga mengandalkan FPDA.
Dengan kata lain, penataan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara tumpang tindih. Lihat saja di Selat Malaka beberapa negara ASEAN menggelar inisiatif Malsindo Coorpat. Tetapi di tempat yang sama beberapa negara ASEAN yang merupakan anggota FPDA juga mengikuti gagasan FPDA Extended Role on Maritime Security.
Berangkat dari situ, apa mungkin ASEAN sebagai organisasi supranasional “berdaulat” di kawasan Asia Tenggara? Bagaimana ASEAN mau mengatur rumahnya sendiri di saat yang sama ada pihak asing di rumah ASEAN atas undangan dari beberapa penghuni rumah itu sendiri?
Dikaitkan dengan kerjasama ASEAN di bidang keamanan maritim melalui ASEAN Maritime Forum, saya tidak optimis. Alasannya sederhana, masih ada pihak lain di kawasan ini yang juga mengatur keamanan maritim berdasarkan agendanya dan bukan berdasarkan pada agenda yang disepakati bersama oleh semua negara-negara ASEAN.
Bagi kita bangsa Indonesia, adanya pihak lain yang menata stabilitas keamanan Asia Tenggara belum menjadi perhatian. Belum ada satu sikap yang sama soal itu. Buktinya, dari dulu sampai sekarang ada instrumen nasional yang tenang-tenang saja dengan soal itu. Bahkan mungkin tidak ambil pusing!!! Yang penting deklarasi-deklarasi dalam setiap pertemuan ASEAN isinya enak dibaca dan didengar di telinga.