30 April 2009

Tantangan Keamanan Kontemporer Versus Balance Of Power

All hands,
Sebelumnya pernah dibahas mengenai dilema yang dihadapi oleh banyak Angkatan Laut di dunia. Mereka dihadapkan pada operational challenges seperti isu keamanan maritim di satu sisi, dengan militer Angkatan Laut di sisi lain. Atau dengan istilah lain, sebagian besar Angkatan Laut di dunia tengah mencari ekuilibrium baru dalam melaksanakan peran universalnya.
Isu keamanan maritim merupakan isu keamanan kontemporer. Sedangkan peran militer Angkatan Laut terkait dengan balance of power. Mungkin ada pihak yang menilai bahwa balance of power sudah kurang sesuai dengan kondisi dunia saat ini. Pendapat demikian ada benarnya, tetapi harus dilihat dahulu di mana ruang dan waktunya.
Kalau ruang dan waktunya di kawasan Eropa, sangat mungkin pendapat tersebut akan menemukan pembenaran. Namun bila kawasan Asia Pasifik dipilih sebagai ruang dan waktunya, kebenaran pendapat itu akan tergradasi alias dipertanyakan. Mengapa demikian?
Sebab arsitektur keamanan di kawasan ini sangat kompleks. Konflik antar negara masih merupakan potensi nyata, misalnya di Semenanjung Korea, Selat Taiwan maupun di Asia Tenggara. Potensi konflik di Asia Tenggara bukan sekedar masalah perbatasan, tetapi juga perebutan sumber energi maupun jaminan keamanan SLOC.
Indonesia dengan posisi strategisnya berpotensi melakukan blokade SLOC negara lain, Amerika Serikat pun dapat melakukan blokade SLOC di perairan Indonesia untuk menghadapi negara lain. Dalam strategi maritim, hal itu dikenal sebagai distant blockade.
Dari situ jelas bahwa Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik masih tetap harus memperhatikan balance of power dalam perencanaan dan pembangunan kekuatannya. Angkatan Laut di wilayah ini, termasuk AL kita, boleh disibukkan dengan isu keamanan kontemporer, tetapi jangah sampai melupakan balance of power.
Karena harus dicamkan bahwa Angkatan Laut adalah salah satu bagian dari instrumen kekuatan nasional guna mengamankan kepentingan nasional. Ketika berbicara tentang kepentingan nasional, masa bodoh terhadap negara lain. Realitanya demikian.
Miring

29 April 2009

Exercise Malabar 2009 Dan Indonesia

All hands,
Seperti pernah ditulis sebelumnya, Angkatan Laut India, Amerika Serikat dan Jepang akan menggelar Exercise Malabar 2009 setelah kapal perang mereka mengikuti China Fleet Review 2009. Latihan itu telah dimulai pada 27 April 2009 di perairan Laut Filipina lepas pantai Jepang. Exercise Malabar 2009 digelar hanya berselang seminggu setelah parade kapal perang di Cina.
Exercise Malabar 2009 mempunyai nilai strategis sebab mencerminkan persaingan geopolitik di kawasan antara Cina versus Amerika Serikat yang didukung oleh beberapa sekutu dan mitranya. Apalagi tempat latihan yang ditetapkan adalah di perairan dekat Cina, yang merupakan kali kedua. Sebelumnya dalam Exercise Malabar 2007-1 pada April 2007 juga memilih tempat di perairan yang sama. Padahal sejatinya Exercise Malabar adalah latihan bilateral antara Angkatan Laut India dengan Angkatan Laut Amerika Serikat.
Soal kebangkitan Cina memang tengah menjadi perhatian banyak ahli strategi di kawasan Asia Pasifik. Sebagai contoh, di jurnal-jurnal militer keluaran militer Amerika Serikat seperti Joint Forces Quarterly dan Naval War College Review, sejak lima tahun belakangan tidak sulit mencari berbagai artikel yang membahas tentang kekuatan laut Cina. Mulai dari hal-hal yang bersifat strategis sampai dengan teknis, misalnya analisis kemampuan peperangan kapal selam Cina.
Sebaliknya, di beberapa jurnal militer terbitan PLAN, juga dimuat pandangan ahli strategi Cina mengenai Angkatan Laut Amerika Serikat. Seperti ulasan mereka terhadap A Cooperative Strategy for 21st Century. Ulasan itu kemudian diterjemahkan oleh para ahli Bahasa Mandarin di Amerika Serikat, untuk selanjutnya dianalisis oleh para ahli strategi militer Negeri Uwak Sam. Bahkan tidak sedikit hasil terjemahan tersebut diterbitkan di jurnal militer seperti Naval War College Review.
Indonesia cepat atau lambat akan bersentuhan dengan Cina di luat, dalam hal ini aspek operasional Angkatan Laut. Dari situ terkandung pesan bahwa kita harus siap sejak dini untuk menghadapi situasi demikian. Salah satu bentuk kesiapan adalah knowledge kita tentang PLA-Navy.
Sampai saat ini, knowledge kita terhadap kekuatan laut Negeri Tirai Bambu masih minim. Masih sedikit perhatian kita untuk menganalisis tentang pembangunan kekuatan laut Cina dan arahnya ke depan. Kalau jurnal militer seperti Dharma Wiratama kita jadikan rujukan tentang seberapa besar minat kita terhadap pembangunan kekuatan laut Cina, niscaya akan kita temukan hasilnya nyaris nol.
Jangankan terhadap Cina, knowledge kita terhadap pembangunan kekuatan laut Malaysia juga belum sesuai harapan. Padahal sangat jelas Negeri Tukang Klaim itu adalah musuh potensial Indonesia. Sejauh ini hanya sedikit pihak yang berminat mengulas tentang pembangunan kekuatan laut Malaysia, arahnya ke depan dan implikasinya terhadap kepentingan nasional Indonesia.
Tantangan bagi kita adalah meningkatkan minat terhadap knowledge tersebut. Jangan sampai kita didadak suatu saat nanti dengan kondisi tidak siap, termasuk dalam aspek knowledge.

28 April 2009

Dilema Angkatan Laut Dan Keamanan Maritim

All hands,
Dewasa ini operational challenges Angkatan Laut di dunia lebih banyak menyangkut soal keamanan maritim. Baik menyangkut on the sea maupun from the sea. Tidak sedikit Angkatan Laut yang sangat ingin berkecimpung dalam isu keamanan maritim. Sebagian dari aspirasi tersebut bisa dilaksanakan dengan mudah, sebagian lagi agak sulit.
Kategori yang terakhir berlaku di negara yang menganut asas Posse Commitatus. Angkatan Laut negara-negara tersebut hanya bisa menggelar operasi keamanan maritim di luar wilayah teritorialnya, melalui proyeksi kekuatan. Itulah yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Laut Arab, Teluk Persia dan Teluk Aden.
Yang perlu digarisbawahi dari semua itu adalah banyak Angkatan Laut yang selama ini sibuk dengan patroli tempur kini mulai beralih menangani keamanan maritim. Dulu yang mereka buru adalah kapal atas air dan kapal selam negara-negara lain, sekarang yang dikejar adalah aktor-aktor non negara yang mengancam stabilitas keamanan maritim.
Pada dasarnya Angkatan Laut mempunyai tiga peran universal, yaitu militer, konstabulari dan diplomasi. Selama ini tidak Angkatan Laut yang lebih menitikberatkan operasinya pada peran militer dan diplomasi. Hal itu tidak keliru, sebab Angkatan Laut adalah satu-satunya kekuatan militer yang dapat disebar di mana dan kapan saja tanpa harus takut menimbulkan komplikasi diplomatik dengan negara-negara lain.
Menghadapi perkembangan terakhir dengan makin dominannya isu keamanan maritim, Geoffrey Till telah menggagas balanced fleet. Till menyarankan agar Angkatan Laut di dunia menyeimbangkan perannya menghadapi operational challenges yang berkembang. Artinya, meskipun suatu Angkatan Laut saat ini disibukkan dengan peran konstabulari, tetapi tidak meninggalkan dua peran lainnya. Termasuk peran militer yang merupakan peran yang vital bagi eksistensi Angkatan Laut.
Konsep balanced fleet mungkin bisa menjadi salah satu alternatif solusi dilema yang nampaknya juga dihadapi AL kita. Berbeda dengan kondisi di negara-negara lain, AL kita ingin mengurangi porsinya pada peran konstabulari dan menambah porsi pada peran militer. Hal itulah yang mendorong AL menjadi penyokong kuat berdirinya Indonesia Coast Guard.

27 April 2009

Strategi Dirancang Untuk Menang

All hands,
Para ahli strategi militer menyatakan bahwa any strategy must seek to maintain capabilities that will bolster deterrence and prevail in any conflict if political solutions fail. Dari situ tercermin bahwa strategi harus mendorong kemampuan penangkalan dan sekaligus menang dalam konflik apabila pemecahan politik buntu alias gagal. Untuk bisa mencapai hal tersebut, pertama yang harus dilakukan dalam menyusun strategi militer adalah mengindentifikasi dan memprioritaskan ancaman dan peluang.
Mengidentifikasi ancaman dan peluang dalam situasi kekinian sebenarnya tidak sulit. Yang susah adalah memprioritas mana dari sekian ancaman dan peluang itu yang harus ditempatkan di nomor satu dalam perencanaan kekuatan. Karena akan terkait dengan keterbatasan sumber daya, sehingga ada “perebutan” alokasi sumber daya nasional antara pihak-pihak terkait.
Ketika ditarik ke alam Indonesia, menjadi menarik untuk dikupas mengenai strategi itu sendiri. Strategi militer dirancang untuk menimbulkan penangkalan dan sekaligus menang ketika konflik muncul. Pertanyaannya, apakah strategi kita sudah demikian?
Kalau berbicara mengenai strategi militer, Indonesia belum mempunyainya. Yang tersedia adalah strategi pertahanan. Strategi militer sedang disusun oleh Mabes TNI.
Secara pribadi, saya pesimistis dengan kualitas strategi militer yang nantinya akan dihasilkan oleh Mabes TNI. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal seperti penyusunan Doktrin TNI yang hasilnya sangat jauh dari harapan dan paradigma lama yang masih dianut oleh sebagian besar perencana militer.
Siapa pun setuju bahwa strategi militer dirancang untuk mencapai kemenangan. Namun berdasarkan pengalaman selama ini, strategi yang dianut oleh Indonesia seringkali tidak realistis, walaupun konon dirancang untuk meraih kemenangan. Misalnya asumsi yang selalu menyatakan bahwa TNI (pasti) mampu merebut kembali wilayah Indonesia yang sudah diduduki oleh lawan. Tapi kondisi kita saat ini tidak sesuai dengan strategi yang dianut.
Singkat kata, kalau mau menghasilkan strategi yang bermutu, yang betul-betul dirancang untuk meraih kemenangan, berani tidak rancangan Strategi Militer TNI diuji dulu lewat oyugab ketiga matra. Yang harus digarisbawahi bahwa oyugab itu menggambarkan situasi sesungguhnya, bukan oyu-oyu-an sekedar formalitas. Tanpa itu, strategi yang dihasilkan akan bernasib sama dengan dokumen lainnya yang tidak bisa dipraktekkan dalam alam nyata.

26 April 2009

From The Sea Di Indonesia

All hands,
Angkatan Laut sebagai kekuatan maritim bisa melaksanakan bermacam operasi berdasarkan kemampuannya, baik on the sea maupun from the sea. Operasi on the sea tidak terbatas pada menghancurkan dan atau melumpuhkan kekuatan lawan, tetapi juga menjaga stabilitas kawasan, menjaga economic well being dan lain sebagainya.
Sedangkan operasi from the sea sudah pasti keterkaitannya dengan proyeksi kekuatan seperti yang selama ini kita pahami bersama. Menyangkut proyeksi kekuatan, dapat dipastikan setidaknya melibatkan dua kekuatan, yaitu Angkatan Laut atau armada dan Marinir.
Dalam konteks Indonesia, apakah kita pernah melaksanakan from the sea? Kasus serangan ke Timor Timur Desember 1975 bisa digolongkan demikian. Namun untuk kasus-kasus lain, baik sebelum maupun sesudah Timor Timur, sulit digolongkan dalam from the sea. Sebab from the sea menyangkut proyeksi kekuatan ke wilayah negara lain.
Apakah mungkin ke depan Indonesia melaksanakan from the sea? Jawabannya menurut saya sangat mungkin. Bentuknya tidak mutlak menginvasi negara lain, tetapi untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia di wilayah negeri tertentu.
Misalnya ada ancaman nyata terhadap keamanan maritim di littoral perairan tertentu di sekitar Indonesia. Atau pula mengamankan WNI di negara tertentu di sekitar Indonesia alias melaksanakan NEO. Dengan banyak WNI di beberapa negara tertentu, sebenarnya potensi melaksanakan NEO cukup besar.
Pertanyaannya, kekuatan mana yang harus melaksanakan operasi from the sea? Jawabannya adalah Korps Marinir dan didukung penuh oleh AL. Korps Marinir dan AL sesungguhnya bagaikan dua sisi dari koin yang sama.

25 April 2009

Angkatan Laut Dan Pengamanan Energi Indonesia

All hands,
Peran Angkatan Laut dalam keamanan energi bukan sekedar mengamankan jalur SLOC serta mengawal kapal tanker. Peran itu mencakup pula pengamanan sumber energi, khususnya ladang minyak dari berbagai ancaman, baik dari aktor negara maupun non negara. Itulah satu satu tantangan operasional yang dihadapi oleh AL kita sekarang dan ke depan.
Pengamanan ladang minyak di laut sangat tidak tepat diserahkan kepada polisi, seperti persepsi beberapa pihak yang tidak paham selama ini. Sebab ladang minyak itu berada di domain maritim, karakteristiknya pun bersifat maritim. Di situ tidak bisa menggunakan logika TKP ala darat.
Sebagian besar ladang minyak Indonesia berada di ZEE. Dari situ saja sudah sangat jelas bagi kita yang cerdas, bahwa ZEE bukan wilayah kedaulatan Indonesia. Artinya pengamanan di wilayah itu hanya bisa dilakukan oleh AL. Sebagai contoh, pengamanan anjungan minyak yang berada di sekitar Laut Natuna dan Laut Cina Selatan sesungguhnya merupakan domain AL.
Begitu pula dengan di Laut Sulawesi, yang karena tergiur minyak maka negeri tukang klaim berani melanggar hukum internasional dengan mengklaim itu wilayahnya. Seolah-olah negeri tukang klaim kekuatannya seperti Amerika Serikat yang bisa berbuat apa saja dan seenaknya terhadap negara dan bangsa lain. Eksistensi Blok Ambalat yang berada di ZEE Indonesia harus diamankan oleh AL, termasuk operasional anjungan minyak di sana nantinya.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa kemampuan proyeksi kekuatan kita masih terbatas. Agar realistis dalam mengamankan sumber energi Indonesia, pengamanan energi bisa dimulai dari pengamanan ladang minyak yang berada di ZEE. Pengamanan itu bukan sekedar menempatkan kekuatan kecil di atas anjungan minyak, tetapi juga patroli rutin oleh kapal perang dan pesawat udara AL kita.

24 April 2009

Transfer of Technology Atau Lisensi?

All hands,
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kegemaran baru pemerintah khususnya Departemen Pertahanan dalam soal pengadaan alutsista. Hobi baru itu adalah program transfer of technology bagi pengadaan alutsista dari luar negeri. Pertanyaannya, realistiskah hobi itu?
Senjata adalah komoditas dagang. Itu hukum ekonomi yang tidak bisa dibantah siapa pun. Senjata juga komoditas politik. Di dalam senjata ada muatan teknologi dari negara produsen.
Sistem senjata Angkatan Laut sudah pasti bermuatan teknologi tinggi. Teknologi adalah hasil dari investasi riset selama tahunan, bahkan puluhan tahun dari suatu negara. Investasi itu harus kembali dalam bentuk lakunya senjata yang diisi oleh teknologi dimaksud. Dari situ terlihat ada keterkaitan antara penguasaan teknologi dengan aspek ekonomi serta aspek politik.
Teknologi-ekonomi-politik hidup di alam yang bernama negara. Setiap negara berupaya untuk menguasai ketiganya dan sekaligus menjaga rahasia teknologi untuk kepentingan politik. Dengan kata lain teknologi adalah komoditas politik dan ekonomi.
Dikaitkan dengan hobi baru Departemen Pertahanan, realistiskah program transfer of technology? Adakah negara yang dengan sangat bermurah hati mentransfer teknologi senjatanya kepada Indonesia secara gratis? Ini soal teknologi tinggi seperti rudal, meriam, sewaco, torpedo, bukan soal teknologi bikin senapan serbu.
Indonesia di masa lalu di era BJ Habibie memang berhasil membuat sejumlah sistem senjata berteknologi tinggi, seperti pesawat angkut, helikopter dan torpedo SUT. Dan hasilnya dirasakan saat ini, walaupun dukungan dari pemerintah sekarang terhadap industri itu terkesan setengah hati. Kemampuan menghasilkan sejumlah sistem senjata itu bukan karena kemurahan hati Jerman dan negara-negara Barat lainnya. Bukan pula sekedar kehebatan lobi pribadi BJ Habibie.
Semua itu karena pemerintah saat itu kebijakannya berbeda dengan pemerintah saat ini. Pemerintah di masa lalu tidak ragu mendukung ide pembelian lisensi ke pabrikan sistem senjata yang kita taksir. Dengan lisensi, pihak pabrikan membuka rahasia produk mereka. Karena kita membayar lisensi, mereka tidak rugi dengan membuka rahasia produk itu.
Dengan sistem lisensi, kita bisa belajar dari mereka, mereka juga “tulus” buka rahasia teknologinya kepada kita. Makanya torpedo SUT bisa kita bikin sendiri sekarang, meskipun beberapa komponennya masih harus impor dari Jerman. Itu karena pemerintah di masa lalu paham bahwa tidak ada makan siang gratis dalam teknologi senjata.
Entah kenapa kebijakan pemerintah sekarang dalam teknologi senjata adalah cari makan siang gratis. Transfer of technology itu sulit bagi senjata dengan teknologi tinggi. Tapi kok masih mimpi yah makan siang gratis. Jangankan senjata pemukul, bikin LPD saja PT PAL sempat terhenti karena tenaga ahli dari Korea Selatan sempat pulang karena ada ketidakcocokan teknis.
Akibatnya jadwal produksi dan penyerahan LPD melebihi dari yang seharusnya. Kalau untuk bikin LPD saja begitu, lalu bagaimana dengan senjata pemukul seperti rudal? Selama masih percaya pada transfer of technology, tidak akan ada perubahan pada penguasaan Indonesia terhadap teknologi senjata.
Pilihan yang realistis adalah lisensi. Memang lisensi butuh uang, tetapi itu lebih bagus. Tidak ada makan siang gratis di dunia ini. Kita bayar sama mereka, mereka buka rahasia teknologi senjata mereka. Walaupun tidak 100 persen rahasianya dibuka, tetapi itu lebih bagus dari transfer of technology. Transfer of technology lebih sering menimbulkan ketidaksenangan dari produsen senjata, seperti kasus LPD.
Negara produsen senjata mana yang rela kasih teknologi yang dikuasainya gratis kepada negara lain dan membiarkan negara lain menjual hasil teknologi itu ke pihak-pihak ketiga? Selain rugi secara politik, juga rugi secara ekonomi.

23 April 2009

Tidak Ada Belas Kasihan Untuk Malaysia

All hands,
Perundingan Indonesia-Malaysia menyangkut klaim di Laut Sulawesi nampaknya menemui jalan buntu. Sebab Malaysia sudah kehabisan argumen menghadapi Indonesia soal Blok Ambalat. Klaim negeri tukang klaim itu berdasarkan Peta 1979 tidak diakui oleh dunia internasional dan dasar hukumnya juga tidak berbasis pada pendekatan praktek hukum laut internasional yang lazim digunakan. Jadi kalau mereka kehabisan argumen, itu suatu hal yang wajar.
Meskipun demikian, mereka tetapi tidak mau mengaku kalah. Mereka malah sepertinya berupaya membujuk Indonesia agar mencari win-win solution, maksudnya Indonesia agar berbelas kasihan kepada negeri yang sering melecehkan martabat Indonesia itu agar tidak mereka tidak kehilangan muka di dalam negeri dan dunia internasional. Belas kasihan itulah yang dulu menyebabkan Indonesia kalah di Mahkamah Internasional.
Upaya ini harus diwaspadai oleh Indonesia, khususnya instansi-instansi terkait. Jangan lagi kasus di Blok Ambalat 2005 terulang, yaitu polisi Indonesia yang karena tidak cerdas bersedia gelar patroli bersama di perbatasan kedua negara di Laut Sulawesi. Padahal AL kita sedang bersitegang di lapangan dengan kekuatan laut negeri tukang klaim itu.
Di sisi lain, pemimpin negeri ini hendaknya tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu membawa kasus sengketa ke Mahkamah Internasional. Kalau memang menghadapi kebuntuan, lebih baik status quo seperti situasi saat ini. Status quo dalam arti Indonesia secara politik tetapi firm atas klaimnya di Laut Sulawesi, secara militer tetap menggelar kekuatan AL 24 jam x 365 hari. Bukan status quo seperti kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dulu.
Siapapun nantinya yang akan memimpin negeri ini, sikap politiknya harus tetap mempertahankan klaim Indonesia atas Blok Ambalat. Selain itu dibutuhkan sikap politik tambahan, yaitu lebih firm dalam mendukung pembangunan kekuatan laut dan diwujudkan dalam bentuk nyata.

22 April 2009

Menguji Validitas Strategi Pertahanan

All hands,
Strategi Pertahanan Negara yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan tahun lalu, menurut hemat saya, perlu diuji validitasnya. Uji validitas semestinya dilaksanakan jauh sebelum strategi itu dijadikan kebijakan resmi pemerintah. Karena sekarang sudah dijadikan kebijakan resmi pemerintah, nampaknya belum terlambat untuk menguji validitasnya.
Kenapa harus diuji? Sebab kita belum tahu sejauh mana strategi itu bisa diterapkan di lapangan. Kita belum tahu faktor apa saja yang rawan dalam penerapan strategi tersebut. Kita belum tahu seberapa besar kemampuan alutsista yang saat ini eksis untuk mampu mengiplementasikan strategi pertahanan dan bagaimana interoperability antar matra TNI.
Bagaimana cara mengujinya? Gampang, buat saja oyu dengan sejumlah skenario yang mengacu pada strategi pertahanan yang dibuat oleh Departemen Pertahanan. Tentu saja dalam oyu semua asumsi harus realistis, bukan mengecilkan kekuatan lawan dan melebih-lebihkan kekuatan pihak sendiri.
Di situ akan teruji apakah kekuatan laut kita mampu beroperasi di ZEE dan luar ZEE seperti yang ditetapkan oleh strategi pertahanan. Apakah kekuatan udara Indonesia mampu memberikan payung udara kepada AL kita? Apakah doktrin operasional TNI, khususnya opsgab masih sahih?Bagaimana pula interoperability antar matra.
Dari oyu juga akan terlihat bagaimana kemampuan dukungan logistik tiap matra untuk menggelar operasi pertahanan sesuai dengan strategi pertahanan yang dianut. Berapa biaya yang dibutuhkan oleh tiap matra TNI untuk beroperasi di wilayah-wilayah yang berbeda dengan skenario yang tidak sama. Dan masih banyak parameter lain yang bisa mengukur kemampuan dan kinerja kekuatan pertahanan kita yang sesungguhnya.Pertanyaan, mau tidak kita menguji itu? Berani tidak menguji validas kebijakan yang telah ditetapkan?

21 April 2009

Pengoperasian Kapal Induk Di Indonesia

All hands,
Pertanyaan yang sering muncul soal kapal induk di Indonesia adalah apakah cocok mengoperasikan kapal induk? Jawaban atas pertanyaan itu tidak satu, tetapi minimal dua. Pertama jawaban dari aspek operasional, kedua jawaban dari aspek logistik, tepatnya kemampuan anggaran.
Untuk aspek operasional, menurut hemat saya kapal induk layak dioperasikan oleh AL kita. Bukan saja di wilayah perairan Nusantara, tetapi kapal itu juga bisa diproyeksikan ke kawasan Asia Tenggara untuk mendukung kepentingan nasional negeri ini. Nyaris semua perairan Indonesia bisa dilayari oleh kapal induk.Kapal induk juga penting untuk menjadi payung udara AL kita, sebab kita tidak bergantung lagi pada payung udara dari AU yang pesawat udaranya mempunyai endurance yang terbatas.
Prestise AL Indonesia akan meningkatkan dengan mengoperasikan kapal induk, karena karakteristik kapal induk yang mampu untuk diproyeksikan ke luar wilayah kedaulatan. Minimal kapal itu bisa diproyeksikan sekitar 5.000 km dari wilayah kita. Namun untuk bisa mengoperasikan kapal induk, harus mengacu pada aspek kedua yaitu dukungan logistik. Kata kuncinya adalah kemampuan anggaran untuk mendukung operational cost. Soal ini sudah dibahas di tulisan sebelumnya.

20 April 2009

Menggembosi Ekonomi Bersama Kapal Induk

All hands,
Hanya sedikit negara di dunia yang Angkatan Laut-nya mengoperasikan kapal induk. Hal itu tentu saja tidak lepas dari faktor ekonomi, sebab cost operasionalnya sangat besar. Dari sekian negara yang mengoperasikan kapal induk, bisa dilihat berapa negara yang kapal induknya aktif beroperasi menjelajah kawasan dan dunia dan berapa negara yang kapal induknya lebih banyak beroperasi di sekitar wilayah negaranya saja.
Sebagai contoh adalah Thailand. Negara ini sejak pertengahan 1990-an telah mempunyai kapal induk HMTS Chakri Naurebet buatan Spanyol. Namun kiprah kapal induk itu di kawasan Asia Tenggara tidak dirasakan, walaupun secara teknis kapal tersebut mampu beroperasi ribuan mil dari Thailand.
Dari situ terlihat jelas bahwa pengoperasian kapal induk memiliki keterkaitan langsung dengan kemampuan ekonomi negara pemilik kapal induk. Amerika Serikat mampu menyebarkan hampir semua kapal induknya secara simultan ke seluruh dunia karena ditopang oleh ekonominya yang kuat. Bisa dibayangkan berapa biaya operasional satu kapal induk seperti USS Abraham Lincoln yang bertonase sekitar seratus ribu ton, diawaki oleh sekitar lima ribu personel, puluhan pesawat udara dan lain sebagainya. Satu kali deployment kapal induk U.S. Navy berjangka waktu minimal enam bulan.
India yang mempunyai dua kapal induk mempunyai masalah dalam pengoperasiannya. Selain usia kapal induknya yang sudah lanjut, juga biaya operasionalnya. Makanya manuver kapal induk negeri itu belum bisa jauh dari India. Pada saat yang sama, India juga dihadapkan pada masalah biaya overhaul INS Vikramaditya eks RFS Gorshkov di galangan Rusia yang terus mengalami pembengkakan.
Akibatnya rencana penyerahan kapal induk itu pada 2010 mengalami kemunduran menjadi paling cepat 2012. India juga tengah membuat kapal induk lokal di galangan nasionalnya. Diharapkan kapal induk lokal itu akan selesai pada dekade mendatang untuk mendukung aspirasi geopolitik India.
Cina yang ekonominya mulai berjaya kini mulai berani bermain dengan kapal induk, dengan rencana membuat dua kapal induk lokal. Berambisi mampu melaksanakan proyeksi kekuatan, Cina membangun kapal induk dengan basis pengetahuan hasil membongkar dua eks kapal induk Australia dan Rusia yang dibelinya.
Apa yang bisa ditarik dari situ? Mampu membuat kapal induk atau minimal membeli kapal induk adalah suatu soal. Mampu mengoperasikan kapal induk adalah persoalan lain. Tidak ada perbandingan lurus antara keduanya.
Hal inilah yang harus didalami oleh Indonesia bila suatu saat ingin mengoperasikan kapal induk. Masalah utama yang harus diperhatikan adalah operational cost.

19 April 2009

Proyeksi Kekuatan Di Era Globalisasi

All hands,
Proyeksi kekuatan Angkatan Laut bukan merupakan suatu hal yang baru. Kegiatan itu telah dilaksanakan sejak berabad-abad silam. Tujuannya adalah untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing negara. Yang membedakannya dengan di era globalisasi kini adalah mulai banyaknya negara-negara non Barat yang mampu melaksanakan proyeksi kekuatan, walaupun secara terbatas.
Di Asia Tenggara, Malaysia dan Cina yang 50 tahun silam kekuatan lautnya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan AL kita, kini sudah mempunyai kemampuan proyeksi kekuatan. Mereka aktif mengirimkan kapal perang untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, seperti ke kawasan Teluk Aden dan Teluk Persia. Kebetulan kedua wilayah saat ini merupakan salah satu hotspot dalam isu keamanan dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 1960-an AL Indonesia mempunyai kemampuan proyeksi kekuatan dan hal itu dipraktekkan dengan melaksanakan Operasi Chittagong pada September 1965. Setelah Operasi Chittagong, sepengetahuan saya, nyaris tak ada lagi proyeksi kekuatan yang dilaksanakan oleh AL kita. Paling yang tercatat adalah pengiriman satu KRI kelas FTH ke perairan Filipina 1988 untuk mengamankan KTT ASEAN, ketika negeri di utara Indonesia itu AD-nya sedang dilanda demam kudeta.
Sekarang kita kembali melaksanakan proyeksi kekuatan ke Lebanon dalam bingkai UNIFIL MTF. Proyeksi kekuatan tersebut memang terkait dengan kepentingan nasional Indonesia, khususnya aspirasi untuk turut memelihara perdamaian dunia. Mungkin ke depan perlu dipikirkan proyeksi kekuatan yang mempunyai keterkaitan langsung dengan situasi politik ekonomi di Indonesia.
Ambil contoh proyeksi kekuatan Malaysia dan Singapura. Sangat jelas proyeksi kekuatan itu bermotif mengamankan kepentingan ekonomi mereka, yaitu mengawal kapal-kapal dagang dan kapal tanker yang berbendera kedua negara atau paling tidak yang mempunyai tujuan ke pelabuhan kedua negara. Ketidakstabilan di Teluk Aden dan Teluk Persia akan dirasakan langsung di dalam negeri mereka, dalam bentuk gejolak ekonomi.
Pertanyaannya, apakah Indonesia juga tidak akan mengalami hal demikian? Memang betul armada kapal niaga berbendera Merah Putih belum dominan dalam pelayaran internasional. Tetapi paling tidak ada kapal-kapal niaga berbendera asing yang memuat barang atau komoditas yang lewat kedua perairan dengan tujuan Indonesia atau asal Indonesia. Artinya komoditas yang dimuat menyangkut pula economic well being bangsa Indonesia.
Isu seperti ini kurang tidak bila dipandang merupakan urusan AL atau Departemen Pertahanan saja. Harus ada kesamaan persepsi dari pihak-pihak lain, termasuk Departemen Keuangan sebagai bendahara negara. Kalau ingin pendapatan negeri ini banyak, kegiatan ekonomi berputar, hendaknya tidak perlu berpikir seribu kali untuk mengucurkan dana bagi pembangunan kekuatan AL.

18 April 2009

Aspek Logistik Dalam Proyeksi Kekuatan

All hands,
Saat ini, satu-satunya Angkatan Laut di dunia yang menguasai secara komprehensif aspek logistik dalam proyeksi kekuatan adalah U.S. Navy. Penguasaan U.S. Navy dalam aspek logistik sudah dibangun sejak berlangsungnya Perang Dunia Kedua. Sehingga tidak aneh bila sejak Perang Dunia Kedua sampai sekarang, armada kapal perang U.S. Navy terus disebarkan ke seluruh dunia tanpa jeda.
Angkatan Laut yang gagal dari aspek logistik dalam proyeksi kekuatan adalah Imperial Japanese Navy (IJN). Kegagalan aspek logistik berkontribusi pada tumbangnya dominasi Jepang di kawasan Asia Pasifik dalam Perang Dunia Kedua yang berujung pada penyerahan tanpa syarat Jepang dan disusul oleh likuidasi IJN.
JMSDF sebagai “penerus” IJN belajar dari kegagalan tersebut, dengan berguru kepada U.S. Navy yang selama puluhan tahun menjadi payung pertahanan maritim Jepang. Hasil dari berguru itu kemudian dipraktekkan sejak 2001, ketika JMSDF menyebarkan kekuatannya ke Samudera India untuk mendukung GWOT yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
PLA-Navy yang berambisi mempunyai kemampuan proyeksi kekuatan masih diragukan daya dukung aspek logistiknya. Walaupun sekarang kekuatan laut Cina mulai disebarkan jauh dri daratannya, tetapi hal itu nampaknya lebih sebagai uji coba konsep operasi mereka, termasuk aspek logistik. Namun secara garis besar, logistic sustainment-nya masih diragukan. Jangankan menyamai U.S. Navy, untuk menyamai JMSDF saja masih sangat diragukan.
Bila AL kita di masa depan dirancang untuk mampu melakukan proyeksi kekuatan, maka salah satu pekerjaan yang harus segera diselesaikan adalah aspek logistik. Saat ini merupakan kesempatan bagi AL kita untuk belajar mengenai long distance naval operation logistic, sebab ada kapal perang kita yang disebarkan ke Lebanon. Dari sana niscaya banyak lesson learned mengenai apa kekurangan logistik AL kita yang harus dibenahi.
Pembenahan logistik tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Sebab “jarak” ke hulu logistik cukup panjang, yaitu ke produsen sistem senjata yang melengkapi kapal kita. Lepas dari semua itu, penyebaran kekuatan laut Indonesia ke Lebanon merupakan kesempatan emas untuk belajar tentang proyeksi kekuatan, termasuk aspek logistiknya.

17 April 2009

Proyeksi Kekuatan Di Masa Depan

All hands,
Ada sebuah pertanyaan sederhana yang patut untuk direnungkan oleh kita bangsa Indonesia. Yaitu perlukan AL kita dilengkapi dengan kemampuan proyeksi kekuatan di masa depan? Proyeksi kekuatan merupakan satu dari tiga aspek yang terkait kemampuan dengan kekuatan maritim, dua lainnya adalah sea control dan sea denial.
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu mengacu kepada kepentingan nasional bangsa ini? Kepentingan nasional bangsa Indonesia, baik aspek kesejahteraan maupun aspek keamanan, letaknya melampaui batas kedaulatan negeri ini. Artinya sebagian dari kepentingan nasional berada di luar wilayah yurisdiksi Indonesia.
Dari situ tergambar jelas bahwa ada amanat untuk mengamankan kepentingan nasional. Amanat itu ditujukan kepada semua elemen bangsa dan instrumen untuk mengamankan minimal ada tiga, yakni instrumen politik, ekonomi dan militer.
Sebagian bangsa Indonesia ada yang mencari nafkah di Malaysia, Singapura, Hongkong dan wilayah Arab. Sebagian besar sumber minyak Indonesia berada di wilayah Arab. Pasaran ekspor Indonesia tersebar di wilayah Asia Timur dan juga negara-negara Arab, selain tentunya kawasan Amerika dan Eropa.
Semua itu harus diamankan, karena menyangkut lebensraum bangsa Indonesia. Ancaman terhadap keselamatan dan keberlanjutan sumber nafkah bangsa Indonesia sama artinya dengan ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia. Dengan kata lain, semua itu harus diamankan menggunakan instrumen kekuatan nasional.
Untuk instrumen militer, pilihan yang realistis dan lazim dalam hubungan bangsa adalah penyebaran dan penggunaan kekuatan Angkatan Laut. Dengan demikian, AL kita ke depan dituntut untuk mampu mempunyai proyeksi kekuatan dengan alasan dan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya.
Proyeksi kekuatan tersebut minimal diarahkan pada dua jurusan, yaitu Asia Pasifik dan Samudera India. Sebab di kedua kawasan itu terkonsentrasi kepentingan nasional Indonesia yang terbesar dibandingkan wilayah lainnya di dunia. AL harus dirancang untuk mampu melaksanakan proyeksi kekuatan untuk mengamankan kepentingan nasional di kedua kawasan.
Bertolak dari kondisi kekinian AL kita, walaupun untuk mewujudkan kemampuan proyeksi kekuatan memerlukan waktu paling tidak 10 tahun, tetapi hal itu bukan sesuatu yang mustahil. Pertanyaannya kini, apakah pemikiran para perancang strategi di Departemen Pertahanan sudah sampai ke sana?

16 April 2009

Saling Pamer Kekuatan Laut Di Samudera Pasifik

All hands,
Minggu depan Cina dijadwalkan akan menggelar China International Fleet Review di Pangkalan Angkatan Laut Qingdao. Kegiatan yang baru pertama kalinya dilaksanakan oleh Negeri Tirai Bambu ini mengikutsertakan sejumlah Angkatan Laut kawasan Asia Pasifik, seperti U.S. Navy dan Indian Navy. Kedua Angkatan Laut, bersama beberapa Angkatan Laut lainnya mengirimkan sejumlah kapal perang untuk berpartisipasi dalam parade kapal perang tersebut.
China International Fleet Review merupakan pesan politik Cina bahwa Angkatan Laut mereka kini mampu untuk diproyeksikan ke kawasan. Contohnya adalah pengiriman Gugus Tugas ke perairan Somalia untuk menindak perompakan dan pembajakan. Seperti diketahui, Cina kini merupakan salah satu negara di dunia dengan jumlah armada niaga yang besar, sehingga menjadi tugas bagi PLA-N untuk melindungi armada niaga negerinya dari ancaman apapun.
Pesan politik juga ditujukan kepada kekuatan maritim yang selama ini dianggap berupaya menghalangi manuver Cina, seperti U.S. Navy, Indian Navy dan JMSDF. Ketiga negara itu sejak beberapa tahun terakhir aktif menggalang kerjasama Angkatan Laut, antara lain melalui Malabar Exercise, baik di Samudera India maupun di Laut Filipina lepas pantai Okinawa. Menurut rencana, kapal perang U.S. Navy dan Indian Navy setelah mengikuti China International Fleet Review akan segera bertolak menuju Laut Filipina lepas pantai Okinawa untuk melaksanakan Malabar Exercise 2009.
Dari sini ada dapat terlihat dua anomali. Pertama yaitu Cina memamerkan kekuatan lautnya kepada negara-negara yang selama ini dianggap berusaha membendungnya. Kedua, negara-negara yang dianggap Cina ingin membendungnya kemudian merespon pamer kekuatan laut Cina dengan menggelar Malabar Exercise 2009 yang dilaksanakan hanya beberapa hari setelah China International Fleet Review berakhir. Malabar Exercise yang terakhir kali digelar di Laut Filipina adalah pada April 2007.
Terkait dengan Indonesia, apa strategi dan kebijakan yang akan ditempuh menghadapi pertarungan para raksasa kawasan ini? Mau atau tidak mau, negeri ini harus bersikap karena para raksasa yang bertarung akan melalui perairan Indonesia dalam manuver dari Samudera India ke Samudera Pasifik dan sebaliknya.

15 April 2009

Australia Menangkal Cina

All hands,
Menurut informasi yang dapat dipercaya, Buku Putih Pertahanan Australia yang akan diluncurkan pada akhir April 2009 memandang Cina sebagai ancaman terhadap Australia. Pandangan itu terkait dengan peningkatan pembangunan kekuatan militer Cina selama 10 tahun terkait yang dinilai cukup agresif. Untuk merespon perkembangan demikian, Australia akan membangun kapabilitas Angkatan Laut dan Angkatan Udara-nya hingga 2025 dengan lebih agresif pula. Misalnya pembelian 12 kapal selam baru dan sejumlah destroyer dan fregat.
Guna menangkal Cina, mau tidak mau, Australia harus melewati perairan Indonesia sebelum masuk ke Laut Cina Selatan maupun Laut Filipina. Pertanyaannya, bagaimana sikap politik dan militer Indonesia terhadap pertarungan tersebut? Kondisi seperti itu seolah menempatkan Indonesia di antara dua gajah yang bertarung.
Apa sikap politik Indonesia? Apa respon Indonesia di bidang pertahanan, khususnya menyangkut kekuatan laut dan udara? Sebagai negara dengan posisi yang strategis di kawasan Asia Pasifik, Indonesia sudah seharusnya bersikap menyangkut soal itu.
Negeri ini mempunyai perjanjian keamanan dengan Australia. Indonesia memiliki juga perjanjian kemitraan strategis dengan Cina. AL negeri ini mulai menggunakan senjata strategis buatan Cina. Lalu bagaimana bersikap dalam pertarungan geopolitik Australia-Cina?

14 April 2009

Perlukah Kapal Munisi?

All hands,
Dalam ranah operasi Angkatan Laut, kita sangat mengenal apa yang disebut RAS. Cakupan alias ruang lingkup RAS sangat luas, mencakup hal-hal yang terkait dengan bekal ulang logistik. Entah itu logistik basah, kering, cair, munisi dan lain sebagainya.
Di Amerika Serikat, masalah RAS adalah tanggung jawab U.S. Military Sealift Command yang merupakan salah satu komando di bawah U.S. Navy. Armada yang memperkuat U.S. MSC adalah kapal-kapal bantu berbagai jenis, termasuk kapal bantu untuk keperluan bekal ulang munisi yang kodenya adalah T-AE.
Di Indonesia, pemahaman kita tentang RAS identik dengan isi ulang bahan bakar dari kapal tanker ke kapal perang. Itulah setidaknya kesan yang ada dibenak kita kalau berdiskusi soal RAS. Padahal bila kita kembali pelajari konsep RAS, cakupannya sangat luas. Termasuk di antaranya bekal ulang munisi kapal perang, itu tergolong dalam RAS.
Saat ini, dalam konsep operasi kita masalah bekal ulang munisi melalui RAS belum lazim dipraktekkan. Kapal perang yang beroperasi biasanya diisi dengan sejumlah munisi sesuai dengan keperluan operasi. Begitu munisi menipis, kapal itu akan mundur ke daerah belakang atau ke pangkalan induk untuk bekal ulang munisi.
Konsep demikian dalam kekinian mungkin ada baiknya ditinjau ulang. Sebab gudang arsenal AL negeri ini cuma ada di satu tempat. Sementara wilayah operasi kapal perang kita sangat luas. Tentu butuh waktu dan biaya bila kapal perang dalam operasi harus bekal ulang munisi ke pangkalan induk, khususnya dalam operasi militer perang.
Oleh sebab itu, apakah tidak sebaiknya kita memikirkan soal eksistensi kapal munisi dalam susunan tempur kita di masa depan? Sebenarnya soal kapal bantu munisi kita mempunyai preseden di masa lalu, yaitu RI Ratulangi dan RI Thamrin. Kedua kapal itu merupakan kapal tender kapal selam, yang isi di perutnya antara lain adalah torpedo untuk bekal ulang kapal selam kelas Whiskey.
Dengan adanya kapal tender kapal selam, kapal selam kita di masa itu tak perlu harus ke pangkalan induk untuk bekal ulang munisi. Cukup RV dengan kapal tender kapal selam. Memang kapal tender kapal selam tidak dapat digolongkan sepenuhnya sebagai kapal munisi, tetapi setidaknya kapal itu sebagian dari fungsinya adalah bekal ulang munisi.
Dengan luasnya wilayah tanggung jawab AL kita, apakah tidak sepantasnya bila kita mempunyai kapal munisi di masa depan? Kapal itu diharapkan bisa suplai munisi bukan saja buat kapal atas air, tetapi juga kapal selam. Dengan demikian, ketergantungan pada pangkalan induk untuk bekal ulang dapat diminimalkan. Dari situ berarti ada cost yang bisa dihemat, selain soal jarak dan waktu.

13 April 2009

Masih Perlukah LST Di Masa Depan?

All hands,
Apabila mengacu pada konsep operasi amfibi pada era Perang Dunia Kedua hingga Perang Korea, peran kapal LST cukup dominan. Kapal itu sesuai dengan desainnya dapat mendarat di pantai yang landai, untuk kemudian retreat. Dengan mendarat di pantai, kapal LST bisa melakukan debarkasi kering terhadap satuan-satuan amfibi.
Seiring dengan kemajuan teknologi, taktis peperangan amfibi kini sudah mengalami perubahan. Salah satu di antaranya adalah STOM yang tidak lagi mewajibkan adanya pembentukan tumpuan pantai. Cukup dengan GKK lintas heli, pasukan amfibi langsung didaratkan di sasaran yang hendak dituju. Dengan STOM, tidak diperlukan lagi pendaratan amfibi tradisional yang kemudian dilanjutkan dengan operasi darat lanjutan.
Karena terjadi perubahan taktis, maka sedikit demi sedikit kini peran kapal LST mulai digantikan oleh kapal yang lebih besar berjenis LPD, LHD dan atau LSD. Kapal-kapal itu selain mampu memuat tank dan panser amfibi, juga dilengkapi dengan helikopter. Artinya kapal jenis LPD, LHD dan atau LSD selain mampu mendukung taktik operasi amfibi tradisional, juga mampu mendukung taktik operasi amfibi yang lebih maju seperti STOM. Yang membedakan dengan LST, kapal jenis LPD, LHD dan atau LSD tidak mampu mendarat di pantai, sebab desain lunasnya berbeda dengan LST.
Dalam 20 tahun terakhir, terlihat kecenderungan bahwa pembuatan kapal jenis LPD, LHD dan atau LSD mengalami peningkatan di berbagai galangan kapal dunia. Sebaliknya, produksi LST mengalami penurunan cukup besar. Dari situ secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi LST sedikit demi sedikit mulai digantikan oleh LPD, LHD dan atau LSD.
AL Indonesia pun sudah mengoperasikan beberapa kapal LPD. Pertanyaannya kini, masih perlukah LST dalam susunan tempur kita di masa depan?

12 April 2009

Diplomasi Angkatan Laut Sebagai Bagian Dari Strategi Pertahanan

All hands,
Mengacu pada strategy and force planning, salah satu perdebatan yang sering mengemuka adalah pilihan deterrence versus warfighting. Pilihan itu bukan masalah mana memilih salah satu dan meninggalkan yang lainnya, tetapi lebih pada prioritas sesuai dengan kondisi lingkungan keamanan.
Penting untuk dipahami bahwa baik deterrence maupun warfighting adalah satu rangkaian. Should deterrence fail, then we proceed to warfighting. Artinya setiap kekuatan pertahanan, termasuk Angkatan Laut di dalamnya, dituntut untuk mampu melaksanakan keduanya.
Salah satu cara untuk menimbulkan deterrence dari perspektif strategi maritim adalah melalui diplomasi Angkatan Laut. Di banyak negara maju, diplomasi Angkatan Laut merupakan bagian dari strategi pertahanan mereka. Maka tidak aneh bila di Amerika Serikat misalnya, U.S. Navy bersama dengan regional combatant commander mengemban tugas untuk shaping the environment. Instrumennya adalah Angkatan Laut melalui diplomasi Angkatan Laut.
Lalu Indonesia bagaimana? Meskipun diplomasi Angkatan Laut sudah diakui eksistensinya dalam kebijakan pertahanan, akan tetapi upaya untuk memaksimalkan diplomasi Angkatan Laut belum merupakan bagian dari kebijakan pertahanan. Diplomasi Angkatan Laut nampaknya belum diarahkan sebagai bagian dari strategi pertahanan Indonesia. Sebab pemahaman di Departemen Pertahanan menyangkut diplomasi baru sebatas pertemuan bilateral antar pejabat pertahanan saja.
Jadi diplomasi pertahanan Indonesia masih mengandalkan pada kegiatan seperti USIDBDD dan IASDD. Begitu juga pada tingkat ASEAN, baru terbatas pada ADMM. Sedangkan untuk tingkat yang lebih bawah, juga masih menitikberatkan pada dialog belaka.
Memang betul ada kegiatan latihan bersama dan patroli bersama, tetapi sebenarnya masih ada ruang-ruang yang belum dieksplorasi untuk kepentingan strategi pertahanan. Tercakup di dalamnya diplomasi Angkatan Laut.
Sebagai contoh, dengan segala keterbatasan, Departemen Pertahanan dapat membuat program mirip shaping the environment-nya Amerika Serikat. Misalnya seperti CARAT, Flash Iron, simposium keamanan maritim tahunan dan lain sebagainya. Untuk pelaksanaannya, diserahkan kepada AL kita. Adapun pendanaan dari Departemen Pertahanan.
Tidak usah muluk-muluk, program itu dilaksanakan secara rutin di beberapa negara Asia Tenggara yang bertindak seperti tuan rumah. Materi latihan selain yang hard, juga yang soft seperti HADR. Latihan-latihan seperti itu mempunyai nilai strategi sangat tinggi, sekaligus untuk menunjukkan bahwa meskipun masih diliputi keterbatasan, tidak berarti kemampuan teknis militer Indonesia di bawah negara-negara Asia Tenggara.
Itulah salah satu bentuk implementasi diplomasi Angkatan Laut sebagai bagian dari strategi pertahanan. Dengan begitu, nampak jelas di kawasan bahwa Indonesia masih mampu berbicara. Di situlah deterrence berbicara di alam nyata, bukan sekedar di konsep belaka.

11 April 2009

Reformulasi Diplomasi Angkatan Laut

All hands,
Memperhatikan praktek tiga peran Angkatan Laut di dalam AL negeri ini, dapat disimpulkan bahwa peran diplomasi merupakan peran yang paling sedikit porsinya, dibandingkan peran konstabulari dan militer. Diplomasi Angkatan Laut yang melibatkan kapal perang, tidak terlalu sering dilaksanakan. Pada sisi lain, kondisi lingkungan keamanan menunjukkan terjadinya kecenderungan diplomasi Angkatan Laut yang dilakukan oleh negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik.
Untuk mereformulasi diplomasi Angkatan Laut dengan menonjolkan kehadiran kapal perang, perlu dimulai dari peningkatan anggaran untuk kegiatan tersebut. Dalam penyusunan anggaran tahunan AL, hal itu dapat diusulkan kepada pemerintah. Agar gagasan demikian disetujui, dibutuhkan argumen yang kuat agar pihak-pihak penentu anggaran dapat menerima alasan yang kita berikan.
Oleh karena itu, perlu difokuskan terlebih dahulu pada wilayah mana saja dari saat ini hingga paling tidak tiga tahun ke depan AL kita akan diproyeksikan untuk melaksanakan peran diplomasi. Menurut hemat saya, ada dua kawasan fokus yang tersedia yang sesuai dengan kepentingan nasioal Indonesia.
Pertama, Lebanon. Kedua, kawasan Asia Tenggara, dengan fokus ke Malaysia dan Singapura. Ketiga, Australia.
Mengapa Lebanon? Karena AL kita telah mempunyai footprint di sana dengan keikutsertaan dalam UNIFIL. Partisipasi itu hendaknya dilanjutkan dan tidak terputus. Sebab selain mempunyai nilai politis, footprint di Lebanon merupakan wadah ujung meningkatkan interoperability AL kita dengan Angkatan Laut negara-negara maju, khususnya Uni Eropa.
Mengapa Malaysia dan Singapura? Sebab Indonesia mempunyai potensi konflik dengan kedua negara, sehingga pameran bendera merupakan hal yang penting. Tujuan pameran bendera itu salah satunya agar mereka mengurangi tindakan kurang ajarnya kepada Indonesia.
Mengapai Australia? Jawabannya serupa dengan Malaysia dan Singapura. Negeri para keturunan penjahat itu menganggap wilayah Indonesia Timur adalah wilayahnya. Hal ini yang harus dinetralisasi melalui pameran bendera AL kita. Tujuannya agar mereka berpikir ulang soal kawasan Indonesia Timur.
Untuk melaksanakan diplomasi Angkatan Laut, diperlukan dukungan anggaran yang memadai. Di situlah pentingnya lobi dengan pihak-pihak yang memiliki kewenangan menyangkut anggaran.
Pada sisi lain, jangan dilupakan pula tentang tools diplomasi. Tools-nya adalah alutsista AL, khususnya kapal perang. Artinya program dalam Renstra 2005-2009 yang akan segera berakhir harus segera direalisasikan oleh pemerintah, termasuk di dalamnya kapal atas air. Diplomasi Angkatan Laut hanya akan mengenai sasaran apabila didukung oleh alutsista yang memadai.

10 April 2009

Strategi Maritim Dan Capability-Based Planning Di Indonesia

All hands,
Seperti pernah ditulis sebelumnya, strategi maritim akan senantiasa terkait dengan isu sea control, sea denial dan power projection. Ketika dihadapkan dengan capability-based planning, nampaknya ada sejumlah kompromi yang harus dilaksanakan terkait dengan strategi maritim yang dianut. Kompromi bagi setiap negara pasti berbeda-beda, tergantung pada kepentingan nasional mereka. Di Amerika Serikat misalnya, kompromi bukan menyangkut pengurangan kemampuan untuk melaksanakan sea control, sea denial dan power projection, tetapi pada daftar pengadaan alutsista baru dalam perencanaan kekuatan.
Bagaimana dengan Indonesia? Kompromi ala U.S. Navy melalui peninjauan ulang terhadap daftar pengadaan alutsista baru dalam perencanaan kekuatan bukanlah suatu alternatif yang dapat ditempuh. Karena kekuatan laut negeri ini sangat membutuhkan sejumlah alutsista baru, khususnya pada kapal atas air, kapal selam dan pesawat udara.
Pertanyaannya, di mana kompromi yang mungkin dapat dilakukan? Menurut hemat saya, kompromi dapat dilakukan pada sejumlah alutsista lama yang sudah tidak ekonomis, fire power-nya diragukan dan dipandang nilai deterrence-nya sudah menurun. Kenapa alutsista lama? Sebab biaya pemeliharaan alutsista itu sudah mahal dan tidak lagi ekonomis. Kemampuan operasionalnya sudah tidak berbanding lurus dengan biaya pemeliharaan yang harus dilakukan.
Kompromi ini hanya bisa dilakukan apabila pengadaan alutsista baru mendapat dukungan penuh dari pemerintah, bukan dukungan setengah hati seperti yang terjadi saat ini. Capability-based planning akan terwujud dengan optimal apabila didukung oleh alutsista yang mutakhir. Soal kemampuan apa saja yang harus dimiliki oleh AL, sebaiknya dikaitkan dengan peran trinitas yang diembannya.

09 April 2009

Strategi Maritim Dan Capability-Based Planning

All hands,
Angkatan Laut senantiasa dituntut untuk dapat melaksanakan strategi maritim yang telah ditetapkan. Strategi maritim tidak akan pernah bisa lepas dari isu sea control, sea denial dan power projection. Merupakan keinginan sebagian besar Angkatan Laut di dunia untuk dapat melaksanakan ketiganya. Untuk bisa mewujudkan strategi tersebut, pembangunan kekuatan Angkatan Laut merupakan prasyarat mutlak.
Yang menjadi masalah yaitu terdapat keterbatasan sumber daya untuk membangun kekuatan laut. Hal ini terjadi di semua negara, termasuk di Amerika Serikat yang beberapa hari lalu Menteri Pertahanan Robert Gates mengumumkan “penyesuaian” sejumlah program pembangunan kekuatan U.S. Navy akibat krisis ekonomi global. Menyiasati keterbatasan sumber daya, lahirlah capability-based planning.
Secara sederhana, capability-based planning is planning, under uncertainty, to provide capability(ies) suitable for a wide range of modern-day challenges and circumstances, while working within an economic framework.
Dikaitkan dengan strategi maritim, pertanyaan pokoknya adalah kemampuan apa saja yang harus dibangun terkait dengan sea control, sea denial dan power projection. Apabila sumber daya terbatas, sementara di sisi lain situasi lingkungan keamanan diwarnai oleh ketidakpastian, apakah ada kemampuan yang harus dikompromikan oleh Angkatan Laut terkait dengan sea control, sea denial dan power projection? Apabila memang ada yang dikompromikan, lalu bagaimana untuk filling the gap?
Tantangan itu pula yang kini harus dihadapi oleh Indonesia dalam pembangunan kekuatan lautnya.

08 April 2009

Membedah SPLN (Bag-2)

All hands,
Dalam kondisi kekinian, menurut hemat saya, SPLN perlu disesuaikan kembali. Asumsi-asumsi dalam SPLN harus dimutakhirkan apabila kita ingin mempertahankan SPLN. Mempertahankan SPLN adalah salah satu pilihan, pilihan lainnya adalah merancang strategi baru yang lebih adaptable terhadap situasi sekarang. Dengan asumsi bahwa SPLN dipertahankan, maka ada beberapa asumsi dalam strategi itu yang harus dimutakhirkan.
Pertama, persepsi ancaman. Persepsi ancaman harus menyeimbangkan antara aktor negara dengan aktor non negara. Hal demikian tidak bisa ditawar lagi, sebab seiring dengan globalisasi, peran aktor negara dalam keamanan internasional kian besar. Dan perluasan peran itu seringkali bertentangan dengan kepentingan nasional aktor negara, termasuk Indonesia, khususnya pada domain maritim.
Kedua, area pelibatan. Memperhatikan dengan seksama kondisi Indonesia saat ini dan beberapa tahun ke depan, sulit rasanya untuk mewujudkan suatu pembangunan kekuatan AL yang mampu untuk beroperasi di ZEE maupun di luar ZEE. Silakan periksa Postur Pertahanan Negara 2010-2029, yang mana pengadaan kapal perang AL kita yang mampu untuk beroperasi di perairan itu sangat sedikit.
Artinya area pelibatan dalam SPLN perlu ditinjau ulang. Mungkin kemampuan tempur AL kita untuk sementara waktu dibatasi dapat beroperasi pada laut teritorial terlebih dahulu. Adapun untuk ZEE, mungkin bisa saja pada zona tertentu misalnya Laut Arafuru, Laut Sulawesi dan Laut Natuna. Tetapi untuk ZEE seperti Samudera Pasifik dan Samudera India, rasanya berat.
Ketiga, axis ancaman. Axis ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia yang terkait domain maritim tidak lagi berasal dari luar wilayah negeri ini. Tetapi ancaman itu sudah masuk ke wilayah yurisdiksi melalui lintas damai, lintas ALKI dan lintas transit. Pada saat kapal perang asing melintas, sangat mungkin mereka akan melaksanakan surgical strike.
Kondisi seperti itu harus diantisipasi sejak dini. Artinya perlu dikembangkan strategi untuk bertempur di laut teritorial ataupun di laut Nusantara, misalnya di Laut Jawa, ALKI dan lain sebagainya. Kasus USS Carl Vinson (CVN-70) di Laut Jawa Juli 2003 adalah contoh bahwa axis ancaman tidak datang dari luar wilayah Negeri Nusantara.
Begitu pula dengan ancaman dari aktor non negara. Mereka beroperasi di perairan teritorial Indonesia, misalnya di Selat Malaka yang sebagian di antaranya merupakan wilayah yurisdiksi Indonesia. Situasi itu sekali lagi membuktikan bahwa axis ancaman masa kini tidak lagi berasal dari luar wilayah Indonesia, tetapi justru dari dalam wilayah negeri ini.
Ketiga hal yang telah diuraikan, menurut hemat saya, adalah hal-hal pokok yang harus dipertimbangkan dalam pemutakhiran SPLN. Tentu masih ada aspek-aspek lain, misalnya dukungan logistik bagi AL. Apapun itu, kondisi saat ini sepertinya menuntut kita untuk memutakhirkan SPLN agar dalam menjawab lingkungan keamanan dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.

07 April 2009

Membedah SPLN (Bag-1)

All hands,
SPLN merupakan strategi yang dilahirkan tahun 1980-an, oleh sebab itu atmosfir strategi tersebut tidak lepas dari kondisi pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Situasi dunia waktu itu didominasi oleh pertarungan antara Blok Barat versus Blok Timur. Indonesia pun tidak dapat melepaskan diri dari atmosfir demikian.
Dalam SPLN, dikenal beberapa medan pertahanan, dengan yang terjauh berada di luar ZEE. Kemudian masuk ke ZEE, laut teritorial dan lain sebagainya. Untuk mewujudkan strategi tersebut, dalam pembangunan kekuatan dilaksanakan pengadaan sejumlah kapal atas air dan kapal selam yang mampu ocean going.
Tidak ada yang keliru dari hal tersebut. Justru saat itu ada konsistensi antara strategi dengan perencanaan kekuatan. Hal demikian yang saat ini sepertinya justru hilang di negeri Nusantara.
Sekarang kita sudah berada di akhir dekade pertama abad ke-21. Atmosfir lingkungan strategis sudah berubah banyak dibandingkan tahun 1980-an. Pertarungan saat ini tidak lagi didominasi oleh aktor negara yang mempunyai senjata nuklir, tetapi lebih pada aktor negara versus non negara. Terorisme maritim, perompakan, pembajakan di laut adalah beberapa isu yang mewarnai atmosfir lingkungan keamanan sekarang.
Pada sisi lain, Indonesia sepertinya lebih miskin dibandingkan pada 1980-an kalau ditinjau dari sisi pembangunan kekuatan AL. Sekarang tidak mudah membeli kapal perang baru, sebab keuangan negara sedang menjalani diet. Begitu pula tekanan dari negara tertentu agar AL Negeri Nusantara tidak mempunyai sistem senjata baru yang lebih mematikan.
Dalam kondisi demikian, bagaimana dengan SPLN? Masih relevankah asumsi-asumsi dalam SPLN? Perlukah dilakukan penyesuaian sejumlah asumsi dalam strategi itu agar sesuai dengan situasi kekinian?

06 April 2009

Pengendalian Choke Points

All hands,
Pengendalian laut merupakan salah satu isu sentral dalam strategi maritim. Tidak ada ahli strategi maritim yang tidak memberikan perhatian khusus dan mendalam terhadap isu pengendalian laut. Seiring dengan kemajuan teknologi, pengendalian laut masa kini jauh lebih sulit dibandingkan satu abad silam. Sebab ancaman serangan rudal jarak jauh, ranjau, torpedo maupun pesawat udara yang berbasis di daratan merupakan sejumlah ancaman nyata terhadap pihak yang melaksanakan pengendalian laut.
Dalam konteks Indonesia, secara alamiah negeri ini mempunyai sejumlah wilayah perairan yang ideal untuk melaksanakan pengendalian laut. Salah satunya adalah choke points, yang mana Indonesia mempunyai empat dari sembilan choke points internasional. Yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Ombai-Wetar.
Dari dulu ada keinginan kuat dari Indonesia untuk bisa mengendalikan keempat choke points, dalam arti mengawasi secara terus menerus siapa saja yang lewat di situ, baik pada permukaan air maupun bawah permukaan air. Namun sampai sekarang keinginan itu lebih banyak belum dapat direalisasikan karena bermacam alasan.
Semestinya Indonesia harus kembali berupaya untuk mewujudkan pengendalian choke points. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan keterpaduan semua pihak yang terkait. AL kita adalah salah satu pihak, namun tetap memerlukan dukungan pihak lain. Misalnya dari pemerintah soal pengadaan alat deteksi bawah air, pembangunan radar pengamatan maritim, instalasi situs rudal anti kapal di darat dan lain sebagainya.
Pengendalian choke points memang berpotensi melahirkan kegerahan pihak lain seperti Australia dan Amerika Serikat. Namun hal itu sebaiknya tidak terlalu diperhatikan, toh apa yang kita laksanakan bukan suatu tindakan ofensif, melainkan defensif. Indonesia mengendalikan choke points-nya untuk mengamankan kepentingan nasionalnya.

05 April 2009

Memperhatikan Masalah Force Protection

All hands,
Masalah force protection bagi banyak Angkatan Laut di dunia merupakan isu krusial sejak 10 tahun terakhir. Force protection terkait dengan perlindungan kekuatan sendiri terhadap kemungkinan serangan lawan dalam berbagai bentuk. Bagi banyak Angkatan Laut, force protection kaitannya dengan perlindungan terhadap kapal perang dan aset lainnya dari beragam serangan, baik dari aktor negara maupun non negara.
U.S. Navy mempunyai beberapa pengalaman menyangkut isu force protection. Serangan terhadap USS Cole di perairan Yaman pada 6 Oktober 2001 yang merenggut jiwa 17 pelaut adalah salah satu pengalaman menyakitkan soal itu. Gugus Tugas U.S. Navy juga pernah diserang di pelabuhan Aqaba beberapa tahun lalu, yang mana serangan menggunakan sejumlah mortir dengan sasaran kapal perang yang sedang merapat.
Isu force protection juga berlaku saat tengah berlayar di laut, termasuk saat melaksanakan VBSS. Dalam prosedur yang berlaku di Angkatan Laut negara-negara Barat, VBSS dilaksanakan dengan mengirimkan boarding party ke kapal yang dicurigai, tentu saja setelah sasaran dipastikan berhenti di tengah laut. Angkatan Laut negara-negara Barat tidak mau mengambil resiko dengan merapatkan kapal perangnya dengan kapal yang hendak diperiksa.
Rancang bangun kapal perang masa kini juga sangat memperhatikan force protection. Bentuknya bukan saja memperkuat lapisan baja pada kapal perang, termasuk pada bagian-bagian vital, tetapi juga dengan menambah sejumlah pos tempur yang berisikan senjata bela diri. Apabila ada sasaran tak dikenal yang mendekat ke kapal perang dengan kecepatan tinggi, senjata itu akan digunakan untuk membela diri.
Bagaimana dengan Indonesia? Salah satu masukan yang diberikan oleh beberapa Angkatan Laut asing kepada AL kita menyangkut isu force protection adalah soal prosedur penghentian dan pemeriksaan kapal di laut. Prosedur henrik selama ini selalu memerintahkan kapal yang dicurigai agar merapat ke kapal perang kita yang akan melakukan pemeriksaan. Bisa pula kapal perang kita yang akan merapat ke kapal yang dicurigai.
Prosedur demikian menurut masukan mereka sangat rawan dalam hal force protection. Apabila kapal yang diperiksa membawa bahan peledak, bisa saja kasusnya mirip seperti kasus USS Cole. Yang mana kapal yang akan kita periksa meledakkan diri dan sudah pasti akan menimbulkan kerugian jiwa dan material pada kapal perang kita.
Masukan demikian, menurut hemat saya, perlu dikaji dan dipertimbangkan dengan seksama. Mungkin ada baiknya bila prosedur henrik di laut dikaji ulang agar mampu memberikan force protection yang maksimum terhadap kapal perang kita beserta para pengawaknya.

04 April 2009

Strategi Maritim Indonesia

All hands,
Pemikiran strategi maritim Indonesia sangat dipengaruhi oleh pemikiran yang berasal dari Barat. Pemikiran Jullian Corbet dan Geoffrey Till merupakan dua contoh pemikiran strategi maritim yang banyak dijadikan rujukan di Indonesia. Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah strategi maritim Indonesia otomatis dipengaruhi oleh kedua pemikir?
Berdiskusi tentang strategi maritim Indonesia, sepanjang pemahaman saya, negeri ini belum mempunyai strategi maritim. Yang dimiliki sejauh ini baru sebatas Strategi Angkatan Laut, yaitu SPLN. Walaupun seringkali strategi maritim masa kini identik dengan strategi Angkatan Laut, namun di Indonesia belum berlaku demikian.
Beberapa tahun ke belakang memang pernah AL kita mengajukan gagasan SPMI, akan tetapi ide tersebut belum disetujui oleh Mabes TNI. Dengan demikian, SPLN masih berlaku hingga sekarang.
Mendalami pemikiran-pemikiran yang ada dalam SPMI, nampaknya dipengaruhi oleh beberapa pemikiran seperti Till, Wayne Hughes dan beberapa ahli strategi kontemporer yang menekuni soal medium power navy. Artinya tidak ada satu pemikir tertentu yang dijadikan sebagai “kiblat” dalam diskursus tentang strategi maritim di negeri Nusantara. Hal ini yang membedakan dengan Jepang misalnya, seperti pernah dibahas sebelumnya.
Yang sebaiknya dipahami dan disepakati bersama, meskipun secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, akan tetapi hendaknya kita berambisi menciptakan mazhab baru dalam pemikiran strategi maritim. Maksudnya, janganlah mengembangkan teori sendiri yang belum teruji kebenarannya dan janganlah meninggalkan sama sekali teori strategi maritim yang berasal dari luar negeri, khususnya Barat.
Sebab teori-teori itu sudah teruji dalam sejarah. Sementara kalaupun Indonesia menciptakan teori, landasan sejarahnya lemah. Sebab harus jujur kita akui bahwa Indonesia belum mempunyai pengalaman memadai dalam soal strategi maritim. Strategi maritim salah satu sumbernya adalah pengalaman sejarah.

03 April 2009

Style of Government

All hands,
Menurut Geoffrey Till, anatomi kekuatan maritim terdiri dari sources dan element. Sumber dari kekuatan laut yaitu (i) a maritime community, (ii) resources, (iii) styles of government dan (iv) geography. Adapun elemennya mencakup (i) merchant shipping, (ii) bases dan (iii) the fighting instrument. Yang dimaksud dengan the fighting instrument adalah Angkatan Laut.
Kalau kita bandingkan dengan kondisi Indonesia kini, yang tidak dipunyai oleh negeri kepulauan ini ada dua, yaitu style of government dan maritime community. Harus kita akui bahwa karakter pemerintahan di Indonesia pasca 1965 boleh dikatakan sangat kurang perhatiannya terhadap domain maritim. Begitu pula karakter masyarakat Indonesia yang memandang laut sebagai halaman belakang.
Akibat style of government yang demikian, Indonesia belum menjadi pemain maritim yang diperhitungkan dunia internasional. Armada pelayaran niaga Indonesia belum berjaya bahkan di negeri sendiri. Malah pelayaran di Indonesia dikendalikan oleh Singapura melalui kaki tangan mereka di sini.
Begitu pula dengan AL kita. Kita punya keinginan menjayakan AL, tetapi style of government tidak mendukung ke arah itu. Alasan klasik yang dipakai adalah keterbatasan anggaran. Dalih itu tidak masuk akal, karena semua negara menghadapi keterbatasan anggaran. Di balik semua itu, yang pasti tidak ada guts untuk menjayakan Indonesia di bidang maritim.
Sampai kapal style of government negeri ini akan terus begitu?

02 April 2009

Pemikiran Strategi Maritim Jepang (Bag-2)

All hands,
Setelah kalah dalam Perang Dunia Kedua, Jepang diduduki oleh Amerika Serikat. IJN dibubarkan oleh Jenderal MacArthur tak lama setelah Jepang menandatangani pernyataan The Instrument of Surrender di atas USS Missouri (BB-63) pada 2 September 1945. Sebelum penandantangan itu, Amerika Serikat telah memerintahkan IJN untuk membersihkan semua ranjau yang ditebar di sepanjang pantai Jepang.
Pada 1948, Jepang diizinkan oleh Amerika Serikat untuk membentuk Maritime Safety Agency, yang merupakan cikal bakal dari JMSDF. Ketika Perang Korea meletus pada 1950, armada penyapu ranjau Jepang turut terlibat di bawah komando Amerika Serikat. Tugas mereka adalah membersihkan ranjau di perairan Korea untuk membuka jalan bagi manuver U.S. Navy.
Setelah Perjanjian San Francisco 1952, pada 1954 dibentuk JMSDF. Salah satu hal menarik yang terkait dengan pembentukan JMSDF adalah pemikiran strategi maritim yang mempengaruhinya. Karena dibentuk di bawah pengaruh Amerika Serikat, pemikiran strategi maritim Jepang mulai saat itu sangat dipengaruhi oleh Amerika Serikat. Mereka membuang jauh-jauh pemikiran Mahan, bahkan terkesan mereka tak mau mengakui pemikiran itu pernah mempengaruhi strategi maritim mereka di suatu masa.
Sebaliknya, mereka menganggap bahwa Bapak JMSDF adalah Laksamana Arleigh Burk. Mengapa demikian? Sebab sang Laksamana-lah yang mengawasi JMSDF saat itu. Burk menekankan bahwa tugas pokok JMSDF (saat itu) ada tiga, yaitu AKS, perlindungan SLOC dan membela diri dari invasi langsung dari laut. Sampai sekarang, jejak pemikiran strategi pemikiran Jepang masih terkait dengan tiga tugas pokok tersebut, meskipun sudah mengalami diversifikasi. Misalnya soal AKS yang kini sudah mengalami perluasan pada peperangan lain, seiring dengan tuntutan Amerika Serikat agar Jepang mampu mempertahankan diri sendiri dan tak terlalu tergantung padanya.

01 April 2009

Pemikiran Strategi Maritim Jepang (Bag-1)

All hands,
Pemikiran strategi maritim Jepang di era modern dapat dibagi dalam dua era. Era pertama terbentang dari masa awal abad ke-20 hingga Perang Dunia Kedua. Periode kedua terhitung pasca Perang Dunia Kedua sampai saat ini. Kedua era itu mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari segi pemikiran strategis, tetapi tidak signifikan bila ditinjau dari aspek kekuatan.
Pemikiran strategi maritim Jepang era pertama sangat dipengaruhi oleh pemikiran Alfred Thayer Mahan. Pemikiran Mahan diterjemahkan dalam literatur berbahasa Jepang dan dipelajari secara mendalam di Naval Staff College. Bahkan Laksamana Gombei Yamamoto pada 1902 pernah menawarkan langsung kepada Mahan agar mengajar di lembaga pendidikan tersebut.
Kuatnya pengaruh pemikiran Mahan dalam Imperial Japanese Navy (IJN) pula yang secara langsung atau tidak langsung menentukan kemenangan Armada Jepang atas Armada Rusia di Battle of Tsushima pada 1905. Para ahli strategi maritim Jepang di masa itu menerima secara bulat pemikiran Mahan tentang mutlaknya dominant seapower.
Ada satu hal penting yang harus diketahui tentang pemikiran strategi maritim Jepang di masa itu. Para ahli strategi maritim Negeri Matahari Terbit lebih suka memfokuskan diri pada aspek taktis dan operasional daripada masalah naval warfare secara luas. Naval warfare bagi mereka lebih suka dipelajari berdasarkan pengalaman tempur daripada teori abstrak seapower.
Oleh karena itu, tidak heran bila para ahli strategi maritim Negeri Matahari Terbit setuju dengan ungkapan Mahan bahwa, “command of the seas as the projection of naval power abroad and thus the means to national greatness”. Dari situ kemudian muncul doktrin riko o sake, umi o susumu, yang artinya avoiding the continent and advancing on the seas.
Kemana arahnya? Ke selatan alias Asia Tenggara. Doktrin tersebut, bersama kebijakan politik Jepang saat itu, yang kemudian berkontribusi terhadap pecahnya Perang Dunia Kedua di Asia Pasifik.