31 Agustus 2009

Industri Pertahanan Dalam Negeri Harus Disubsidi

All hands,
Dalam pengembangan sistem senjata, selama 10 tahun terakhir tidak ada kemajuan signifikan menyangkut kemajuan industri pertahanan dalam negeri. Khususnya pada kemampuan produksi sistem senjata yang diawaki, seperti kapal perang dan pesawat udara. Baik secara teknologi maupun kapasitas produksi. Sebagai akibat dari reformasi, industri pertahanan cenderung kurang diperhatikan, yang bisa jadi karena ketidaksetujuan secara pemikiran dan praktek sebagian pihak yang kini berkuasa terhadap konsep industri pertahanan di masa lalu yang dikembangkan oleh seorang teknokrat terkemuka yang pernah dipunyai oleh bangsa Indonesia dan diakui oleh dunia internasional.
Contohnya tidak adanya kemajuan itu bisa dilihat dari produksi sistem senjata. Sistem senjata yang diproduksi saat ini merupakan hasil lisensi di masa lalu, seperti misalnya kapal perang jenis FPB-57 buatan PT PAL, torpedo SUT dan berbagai pesawat udara produksi PT DI. Sementara program offset dalam pengadaan sistem senjata sudah tidak dilaksanakan lagi. Tidak jalannya program offset sepertinya bukan karena ketidaksiapan industri pertahanan, namun lebih pada kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri pertahanan nasional.
Tentu kita masih ingat, pengadaan 12 F-16 A/B pada akhir 1980-an ditunjang oleh sistem offset. Dengan sistem offset, selain menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, juga merupakan sarana transfer pengetahuan dalam produksi suatu sistem senjata. Kini sistem offset sepertinya sudah dilupakan, terlebih ketika kontrak pengadaan sistem senjata jumlahnya sedikit-sedikit, tidak langsung dalam jumlah banyak.
Untuk lisensi, tidak ada program lisensi baru di Indonesia pasca reformasi. Hal ini jelas merupakan suatu kemunduran, sebab dengan program lisensi terjadi transfer of knowledge. Sementara beberapa negara lain di sekitar Indonesia kini justru makin berhasrat melaksanakan program lisensi dalam pengadaan sistem senjatanya.
Apabila negeri ini ingin mempunyai industri pertahanan yang tidak kalah dari negara lain, pemerintah harus mengacu pada kepentingan nasional dan bukan menjadi anak manis organisasi internasional seperti IMF atau sejenisnya. Artinya, industri pertahanan harus disubsidi agar maju. Sangat keliru bila subsidi dipahami hanya sebatas mengucurkan dana APBN, sebab bisa pula ditempuh cara lain yaitu harga jualnya untuk pasaran dalam negeri lebih murah daripada untuk pasaran luar negeri. Bisa pula komponen pajak impor bahan baku dan bahan pendukungnya dikurangi atau bahkan ditiadakan sama sekali. Subsidi bisa pula diberikan dalam bentuk bahwa TNI harus menggunakan sistem senjata yang diberikan, tentu saja dengan catatan kualitasnya sesuai standar internasional.
Ke depan, nampaknya kekuatan laut negeri ini akan mengadakan pembelian sejumlah PKR untuk modernisasi kekuatan. Untuk kepentingan nasional, lebih baik bila pemerintah melalui BUMN terkait membeli lisensi kelas kapal perang yang diinginkan daripada dibangun di luar negeri. Apabila dibangun di luar negeri, keuntungan yang didapat oleh Indonesia sangat terbatas, misalnya pada transfer pengetahuan tentang pemeliharaan kapal perang. Sedangkan kalau dibangun di dalam negeri, transfer pengetahuannya lebih luas.
Tidak ada alasan lisensi kapal perang tidak bisa terlaksana. Keberhasilan lisensi FPB-57 dan torpedo SUT adalah contoh bahwa lisensi bisa dibeli, asalkan ada kemauan politik. Di masa lalu, FPB-57 dan torpedo SUT berhasil dikembangkan di Indonesia karena kemauan politik pemerintah kuat dalam mendukung hal tersebut.

30 Agustus 2009

Sejarah Angkatan Laut Yang Terlewatkan

All hands,
Sejarah adalah bagian dari masa depan, bukan bagian dari masa lalu. Perlakuan kita terhadap sejarah akan menentukan masa depan kita. Kalau kita tidak mengenal sejarah kita sendiri, masa depan yang akan kita bentuk akan baseless.
Angkatan Laut negeri ini mempunyai sejarah yang panjang dan kaya. Sebagian dari sejarah itu sudah terdokumentasikan dalam publikasi resmi, namun ditengarai sebagian lainnya masih tersimpan pada para pelaku yang masih hidup atau keturunan dari para pelaku. Bisa jadi bagian dari sejarah itu tersimpan karena masalah politik di masa lalu, like and dislike dan lain sebagainya.
Salah satu hal penting yang perlu digali dalam sejarah kekuatan laut Indonesia adalah paham navalisme. Harus kita paham, paham navalisme mengalami degradasi tajam karena peralihan rezim politik di masa lalu. Dampaknya kini kita rasakan bersama, betapa pemahaman terhadap navalisme di lingkungan kekuatan laut negeri ini tidak merata. Contoh sederhana adalah pemahaman terhadap tradisi-tradisi Angkatan Laut, yang tidak semua pihak paham akan latar belakang lahirnya tradisi itu.
Paham navalisme kita saat ini terkontaminasi oleh paham kontinental yang sebenarnya bertolak belakang. Karena kontaminasi itu, disadari atau tidak seringkali kita kurang tepat menentukan haluan. Belum lagi masih kuatnya upaya dari pihak-pihak luar untuk membendung oenyebaran paham navalisme, sebab paham ini apabila direalisasikan ke alam nyata yaitu pembangunan kekuatan Angkatan Laut akan menjadikan Angkatan Laut negeri ini lebih menonjol dibandingkan matra lainnya.
Kalau mendengar cerita langsung dari generasi awal perwira lulusan IAL/Den Helder/AAL atau setidaknya membaca buku-buku memoar mereka, tergambar jelas betapa tingginya pemahaman mereka terhadap navalisme. Ada kebanggaan tersendiri bagi mereka menjadi perwira Angkatan Laut. Suatu kebanggaan yang sulit untuk dikatakan semu, sebab tidak sulit membedakan antara yang semu dan nyata.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menggali kembali sejarah paham navalisme yang sangat mewarnai kekuatan laut negeri ini hingga akhir 1960-an. Kejayaan Angkatan Laut tidak akan tercapai tanpa mengemuka atau dominannya paham navalisme. Paham itu perlu untuk dibangkitkan kembali dan ditanamkan di lingkungan kekuatan laut negeri ini. Dengan demikian, ada keseimbangan antara pembangunan kekuatan yang berupa pengadaan kapal perang dan pesawat udara baru dengan pembangunan mental setiap insan Angkatan Laut negeri ini.

29 Agustus 2009

Memahami Fungsi Kapal Induk

All hands,
Tidak semua negara di dunia mempunyai kapal induk dalam susunan tempur Angkatan Lautnya. Tercatat hanya beberapa negara yang mengoperasikan kapal yang mempunyai kemampuan proyeksi kekuatan ini, seperti Inggris, Rusia, Prancis, Italia, Thailand dan Amerika Serikat tentunya. Dengan kemampuannya untuk berlayar jauh dari negara induknya serta mempunyai kemampuan perlindungan udara yang memadai, kehadiran kapal induk secara teoritis menambah kemampuan penangkalan sekaligus daya pukul suatu Angkatan Laut.
Namun demikian, masih banyak kesalahpahaman menyangkut pulau terapung ini. Khususnya bila dikaitkan dengan kekuatan udara yang dimilikinya, berupa pesawat tempur dan beberapa jenis pesawat lainnya. Sebagian pihak menilai kapal induk tidak lebih dari sebuah pangkalan udara terapung. Fungsinya sebatas menjadi pangkalan udara terapung menggantikan peran pangkalan udara di daratan yang sudah tidak masuk dalam endurance pesawat udara.
Pemahaman demikian sangat jelas keliru. Kenapa keliru? Sebab eksistensi kapal induk bukan untuk menggantikan fungsi pangkalan udara di darat, tetapi untuk meningkatkan daya rusak dan daya jangkau Angkatan Laut. Sekaligus juga meningkatkan kemampuan penangkalan.
Angkatan Laut tidak bisa dilepaskan dari kemampuan proyeksi kekuatan. Kapal induk adalah salah satu unsur penting dalam proyeksi kekuatan, antara lain untuk melindungi kapal-kapal kawan dari serangan udara lawan. Selain itu, fungsi lain kapal induk adalah memproyeksikan kekuatan from the sea to shore. Bentuk operasi yang terkait dengan proyeksi kekuatan banyak, sebagian bisa dilaksanakan oleh kapal induk.
Dari sini jelas bahwa fungsi kapal induk tidak sebatas pengganti pangkalan udara berbasis di daratan. Kapal induk juga mempunyai kemampuan penangkalan dan daya rusak sebagai bagian dari proyeksi kekuatan. Dengan kekuatan udara yang dimilikinya, kemampuannya untuk menggelar proyeksi kekuatan for the sea to shore lebih berlipat ganda dibandingkan jenis kapal perang lainnya. Kapal jenis ini sekaligus merupakan simbol kekuatan suatu Angkatan Laut.
Apakah Indonesia layak mempunyai kapal induk? Dari aspek operasional Angkatan Laut, jawabannya tentu saja layak. Namun hal itu belum berbanding lurus dengan dukungan anggaran dari pemerintah. Mengoperasikan kapal induk tidak murah dan hal ini telah dirasakan oleh Thailand.

28 Agustus 2009

Sistem Senjata Teruji

All hands,
Penjualan sistem senjata adalah lahan bisnis yang menjanjikan keuntungan besar dan berjangka panjang. Betapa tidak, bila suatu produsen kapal perang berhasil memasarkan produknya kepada Angkatan Laut suatu negara, maka keuntungan yang diraih bukan sekedar dari transaksi pembangunan beberapa kapal perang dalam satu kelas, tetapi pula berasal dari dukungan suku cadang dan pemeliharaan selama jenis kapal perang itu dioperasikan. Sehingga wajar saja bila semua pabrikan kapal perang selalu mengiklankan produknya sebagai yang terbaik di kelasnya.
Situasi seperti ini hendaknya dipahami dengan betul oleh negara-negara konsumen, termasuk Indonesia. Jangan sampai pengadaan kapal perang baru mengulangi lagi kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu dan berujung pada kerugian operasional dan ekonomis. Kerugian operasional karena kapal perang tidak bisa dieksploitasi secara maksimal untuk kepentingan operasi, sedangkan kerugian ekonomis yakni tingginya biaya pemeliharaan sehingga mendekati atau bahkan sudah mencapai nilai non ekonomis.
Satu dari kekeliruan dalam pengadaan kapal perang di masa lalu menyangkut soal combat proven atau minimal operationally proven. Terkadang tidak semua kapal perang yang dibeli sudah mencapai operationally proven, misalnya telah digunakan oleh Angkatan Laut negara produsen. Malah ada kapal perang yang justru baru pertama kali diproduksi dan Indonesia menjadi launch customer. Kasus ini khususnya terjadi pada kapal atas air.
Menjadi launch customer pada satu sisi merupakan kebanggaan, namun pada sisi lain justru mengandung resiko. Sebab dengan status itu secara tidak langsung kita menjadi semacam kelinci percobaan. Dari kekurangan yang muncul selama menggunakan kapal itu, maka produsen akan mengadakan perbaikan di sana sini sebagai penyempurnaan. Penyempurnaan itu dimasukkan dalam pembangunan kapal perang baru sejenis yang tengah dan atau akan dibangun di galangannya.
Sebagai contoh adalah korvet kelas Sigma, yang kini oleh galangannya di Belanda tengah dikembangkan menjadi fregat kelas Sigma. Fregat ini pesanan Angkatan Laut Maroko. Dapat dipastikan, pengalaman operasional korvet ini mulai dari sea trial sampai diserahkan kepada AL kita pasti dijadikan lesson learned dalam pengembangannya menjadi fregat bagi keperluan Negeri Maghribi.
Mengingat bahwa menjadi launch customer sepertinya lebih banyak kerugian daripada keuntungannya, sebaiknya di masa depan pengadaan kapal perang berbasis pada kapal perang yang telah teruji, minimal secara operasional. Sehingga kita bisa belajar banyak dari pemakai terdahulu. Dan akan lebih baik lagi apabila negara pembuat juga menggunakan kapal perang tersebut dalam susunan tempur Angkatan Lautnya.

27 Agustus 2009

Sewa Sistem Senjata

All hands,
Dalam 15 tahun terakhir, program sewa alias leasing sistem senjata telah menjadi kecenderungan baru di dunia. Sebagai contoh, India pernah menyewa kapal selam Rusia selama beberapa tahun. Australia kini menyewa beberapa pesawat angkut C-17 dari Amerika Serikat untuk keperluan angkut strategisnya. Sementara Inggris tengah mempertimbangkan untuk menyewa C-130 dan atau C-17 dari Amerika Serikat bagi kepentingannya.
Tentu menjadi pertanyaan, mungkinkah pola demikian dianut oleh Indonesia, termasuk untuk Angkatan Laut? Masalah sewa menyewa sistem senjata tentu kondisinya berbeda dengan sewa menyewa untuk kepentingan komersial, misalnya perusahaan penerbangan menyewa pesawat dari perusahaan leasing. Sewa menyewa komersial pertimbangan utamanya berdasarkan kepentingan bisnis dan selama memenuhi syarat-syarat kelayakan bisnis, prosesnya tidak akan rumit.
Masalahnya berbeda dengan sewa menyewa sistem senjata. Pertimbangan utamanya adalah kepentingan politik. Berapapun uang yang disiapkan suatu negara untuk menyewa sistem senjata dari negara lain, tidak akan bermanfaat banyak apabila tidak ada kesepahaman politik. Apabila sudah tercapai kesepahaman politik, tentunya persyaratan seperti EUMA (End-Use Monitoring Agreement) harus disepakati oleh negara yang akan menyewa suatu sistem senjata.
Memperhatikan program sewa sistem senjata yang selama ini sudah berlangsung, semuanya terjadi antara negara yang satu aliran politik. India dan Rusia merupakan mitra sejak Perang Dingin berlangsung. Australia maupun Inggris sejak Perang Dunia Pertama terus menjadi sekutu Amerika Serikat. Dengan situasi seperti itu, tidak sulit bagi mereka untuk menyepakati perjanjian sewa menyewa sistem senjata.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Selama Indonesia masih membanggakan diri dengan kebijakan luar negeri bebas aktif, program sewa sistem senjata adalah sebuah ilusi besar!!! Bisa jadi realita menunjukkan bahwa program sewa sistem senjata sesuai dengan kepentingan nasional, namun tidak sesuai dengan kebijakan luar negeri bebas aktif. Terus apa yang harus dipilih, mengutamakan kepentingan nasional atau mengutamakan politik luar negeri bebas aktif?

26 Agustus 2009

Menuju Kerjasama Maritim ASEAN Yang Minimal

All hands,
Dalam kerjasama maritim ASEAN yang akan dilembagakan dalam beberapa tahun ke depan, banyak pihak pemangku kepentingan yang terlibat. Selain Angkatan Laut, kerjasama meliputkan pula instansi seperti Departemen Perhubungan, Departemen Perikanan dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas kelestarian lingkungan laut. Kalau memperhatikan dengan seksama rencana aksi kerjasama maritim ASEAN dalam Deklarasi Cha-Am Hua Hin, sebagian besar kerjasama yang akan dilaksanakan berada di luar aspek Angkatan Laut.
Untuk aspek Angkatan Laut sendiri, dengan memperhatikan hubungan dan kondisi kerjasama yang telah eksis selama ini, nampaknya kerjasama antar Angkatan Laut ASEAN dalam bingkai kerjasama maritim ASEAN akan minimal. Mengapa minimal? Jawabannya yaitu sulit untuk mencari common concern di antara negara-negara ASEAN, sebab basic interests negara-negara itu yang mengacu pada kepentingan nasional masing-masing perbedaannya terlalu jauh.
Sebagai contoh, dapat dipastikan negeri penampung uang haram dan koruptor asal Indonesia yang terletak di sebelah utara Pulau Batam akan mati-matian mengusulkan agar isu keamanan maritim di Selat Malaka menjadi common concern ASEAN. Sedangkan bagi Indonesia, masih banyak perairan lain di wilayahnya yang lebih patut diperhatikan dari kacamata kepentingan nasional daripada Selat Malaka.
Kerjasama latihan Angkatan Laut merupakan suatu keniscayaan, sebab hal itu cuma meneruskan praktek yang selama ini sudah berjalan dan berbasis pada bingkai hubungan bilateral. Namun untuk aspek operasional seperti operasi bersama, sepertinya sulit untuk dilaksanakan. Karena aspek itu akan menyentuh pada isu sensitif seperti di wilayah perairan mana operasi dilaksanakan dan siapa yang akan menjadi kodalnya.
Information sharing mungkin saja akan dilaksanakan, tetapi nampaknya tidak akan maksimal. Singapura yang selama ini telah menjadi ISC ReCAAP masih pelit berbagai informasi secara sukarela kepada negara lain, termasuk Indonesia, kecuali apabila ada kepentingannya di situ. Dengan pola seperti itu, Singapura sepertinya akan menempatkan negara lain seperti Indonesia cuma sebagai operator kepentingan nasionalnya. Soal information sharing, dapat dipastikan negeri itu tidak akan pernah mau membagi informasi tentang penyelundupan dari Indonesia ke negerinya.
Dari ulasan singkat itu berdasarkan situasi nyata di lapangan saat ini, bukanlah suatu hal yang berlebihan bila berkesimpulan bahwa kerjasama maritim ASEAN nantinya akan bersifat minimal. Sebab ASEAN bukanlah Uni Eropa, walaupun konsep ASEAN Community secara cerdas dicontek oleh para penggagasnya dari kondisi di Eropa. Saking cerdasnya para penggagas ASEAN Community, sampai lupa akan kondisi latar belakang politik, ekonomi, militer dan kultural Asia Tenggara yang sangat berbeda dengan Eropa.

25 Agustus 2009

Sinkronisasi Kebijakan Pertahanan Dengan Kebijakan Luar Negeri

All hands,
Sinkronisasi kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri merupakan hal yang tidak bisa dikompromikan apabila Indonesia ingin diperhitungkan dalam percaturan politik keamanan kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara. Karena selama ini masih terdapat banyak missing link di antara keduanya. Sehingga tidak aneh Indonesia kurang dianggap lagi di kawasan ini, sebab andalannya adalah soft power diplomacy yang sudah terbukti mandul di Laut Sulawesi.
Lalu sinkronisasi seperti apa yang harus dilakukan? Yang tidak boleh dilakukan dalam sinkronisasi adalah kebijakan pertahanan menyesuaikan dengan kebijakan luar negeri. Apabila hal itu dilakukan, yang terjadi adalah kecelakaan besar. Sebab kebijakan luar negeri Indonesia selama ini justru yang menghambat sebagian dari kemajuan kekuatan pertahanan, khususnya TNI dan berimplikasi pada sulitnya para perencana pertahanan dalam bersikap merespon dinamika keamanan kawasan.
Sebagai contoh, Departemen Luar Negeri sangat sensitif apabila mendengar latihan AL kita dengan U.S. Navy, apalagi yang menyentuh manuver lapangan seperti VBSS. Sehingga seolah-olah latihan dengan kekuatan laut adidaya itu mendekati status haram. Padahal para diplomat di Pejambon tidak tahu betapa sulitnya Indonesia untuk menampik “tawaran” Washington di lapangan. Di samping itu, toh latihan itu sebenarnya juga bermanfaat bagi peningkatan kemampuan AL kita.
Isu seperti kebebasan berlatih dengan negara mana pun, sepanjang memberikan manfaat nyata bagi kekuatan pertahanan negeri ini, begitu pula kerjasama lainnya yang lebih luas dan tidak sekedar terbatas pada soft matters, juga peningkatan peran diplomasi Angkatan Laut sehingga kita bebas menyebarkan kekuatan laut negeri ini kemana saja dan untuk apa saja sepanjang sesuai dengan kepentingan nasional merupakan hal-hal yang harus disinkronkan.
Dalam sinkronisasi itu, tidak boleh terjadi trade off. Sebab trade off akan lebih banyak merugikan kebijakan pertahanan, karena dapat dipastikan ada hal-hal yang selama ini dinilai sakral oleh Departemen Luar Negeri yang tidak akan dikorbankan. Masalahnya adalah sakral bagi instansi itu belum tentu sakral bagi Departemen Pertahanan, apalagi bagi kepentingan nasional.
Penyebaran kekuatan Angkatan Laut dilaksanakan untuk mendukung kebijakan luar negeri. Itu merupakan praktek yang sudah ratusan tahun dilaksanakan oleh Angkatan Laut negara-negara maju. Dalam konteks Indonesia juga harus demikian, dengan catatan kebijakan luar negerinya bukan seperti yang selama ini dianut. Sebab kebijakan luar negeri yang selama ini dianut dalam prakteknya menjadikan Indonesia terlalu naif dalam memandang hubungan antar negara.
Aspirasi kita untuk meningkatkan peran diplomasi Angkatan Laut akan lebih terwadahi apabila ada sinkronisasi kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri. Karena diplomasi Angkatan Laut mengandung karakteristik compel and coerce, tidak ada pilihan lain kecuali kebijakan luar negeri yang dalam prakteknya selama ini naif harus ditinjau ulang. Kebijakan luar negeri harus mengacu pada kepentingan nasional, bukan kepentingan nasional yang ditafsirkan dan atau sesuai selera segelintir pihak. Dan kepentingan nasional itu sudah jelas tercantum dalam Perpres No.7 Tahun 2008.

24 Agustus 2009

Pasokan Energi Dan Operasi Angkatan Laut

All hands,
Hubungan antara keamanan energi dengan Angkatan Laut tidak sebatas tuntutan agar Angkatan Laut mampu mengamankan pasokan energi. Lebih luas dari itu, terjaminnya keamanan energi berarti pula ketersediaan bahan bakar bagi operasional Angkatan Laut. Dengan demikian, dalam isu keamanan energi peran Angkatan Laut tidak semata mengamankan jalur pasokan energi atau SLOC, tetapi juga menjamin ketersediaan energi untuk Angkatan Laut sendiri.
Indonesia merupakan negara pengimpor minyak. Bahkan pada saat menyandang status negara pengekspor minyak, negeri ini tetap harus mendatangkan minyak yang telah diolah dari Timur Tengah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebab kemampuan kilang nasional untuk mengolah minyak mentah selama bertahun-tahun sengaja terbatas untuk menguntungkan pihak tertentu, baik di dalam negeri maupun di negeri yang terletak di sebelah utara Pulau Batam.
Ketersediaan bahan bakar bagi operasi Angkatan Laut adalah hal yang mutlak. Namun demikian, situasi nasional saat ini kurang mendukung kepada terjaminnya ketersediaan itu. Kondisi itu dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti status sebagai negara pengimpor minyak, keterbatasan kemampuan kilang nasional by design dan kurangnya dukungan dari BUMN energi yang memasok bahan bakar bagi Angkatan Laut.
Untuk hal yang terakhir terkait dengan masalah utang-piutang. Karena masalah itu, BUMN energi berani mengurangi pasokan bahan bakar bagi Angkatan Laut tanpa berpikir panjang mengenai dampaknya terhadap kepentingan nasional. Sebab BUMN itu diberi pekerjaan rumah oleh pemerintah untuk mencari untung sebanyak-banyaknya dengan cara apapun. Artinya, sikap BUMN yang demikian karena kebijakan pemerintah juga.
Dari sini tergambar bahwa keamanan energi di Indonesia belum terjamin ketersediaannya. Negeri ini tidak mempunyai cadangan energi nasional, yang ada stok bahan bakar pada tangki-tangki timbun milik BUMN tertentu. Selain itu, pemerintah belum mengarahkan Angkatan Laut untuk mengamankan pasokan energi dari luar negeri ke Indonesia. Sejauh ini Angkatan Laut baru sampai pada tahap mengamankan wilayah perairan sendiri, termasuk untuk kelancaran lalu lintas kapal-kapal tanker untuk memasok energi ke berbagai wilayah Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keamanan energi belum menjadi bagian dari kepentingan nasional yang important atau bahkan survival. Padahal di sisi lain, Angkatan Laut negeri ini tidak akan bisa melaksanakan operasi untuk mengamankan kepentingan nasional apabila tidak tersedia dan terjaminnya pasokan energi, khususnya bahan bakar minyak. Pertanyannya, sampai kapan kondisi ini akan terus begini?

23 Agustus 2009

Teknologi Dan Tantangan Operasional Angkatan Laut

All hands,
Seiring dengan kemajuan teknologi, penggunaan sistem senjata baru dalam operasional Angkatan Laut merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Termasuk di dalamnya menyangkut kemampuan pengamatan dan pengintaian, melalui penggunaan UAV dan UUV. Dengan adopsi teknologi itu, selain memberikan kemudahan bagi Angkatan Laut dalam melaksanakan misi yang dibebankan, juga mengurangi biaya operasional dan sekaligus kemungkinan terjadinya kerugian personel.
UAV khususnya kini bukan sebatas sebagai sarana penginderaan, tetapi telah menjadi senjata pembunuh yang mematikan dan tentu saja biaya operasionalnya lebih murah daripada penggunaan platform yang diawaki. Dalam konteks operasional Angkatan Laut di dunia, secara umum penggunaan UAV dan UUV lebih banyak untuk kepentingan penginderaan, walaupun telah ada beberapa UUV yang mempunyai kemampuan menyerang.
Meskipun sampai saat ini belum ada preseden penggunaan UAV untuk melumpuhkan kapal perang lawan, namun bukan tidak mungkin hal itu akan terjadi beberapa tahun ke depan. UAV yang selama ini digunakan untuk menghancurkan sasaran di darat dapat dipastikan akan bergeser ke domain maritim untuk melumpuhkan kapal perang lawan. Kondisi ini tentu menjadi tantangan yang sangat besar bagi Angkatan Laut di mana pun. Begitu pula dengan UUV, sangat mungkin akan dipersenjatai dengan rudal atau senjata lainnya yang lebih mematikan.
Sebab berbeda dengan pesawat udara maupun kapal atas air yang mampu dideteksi kehadirannya dari jarak puluhan mil, UAV maupun UUV sangat sulit untuk dideteksi. UAV mempunyai RCS yang kecil sehingga sulit dibedakan dengan obyek lainnya yang berukuran sejenis. Sementara UUV mungkin sulit dideteksi oleh sonar, sebagaimana sulitnya mendeteksi keberadaan kapal selam. Mungkin tinggal bagaimana tingkat gemerisik UUV dibandingkan dengan kapal selam yang membuka peluang sonar untuk mendeteksinya.
Bagi Indonesia, perkembangan teknologi demikian merupakan tantangan sekaligus peluang. Tantangan yaitu bagaimana unsur operasional Angkatan Laut yakni kapal perang bisa mengurangi kemungkinan resiko diserang oleh wahana tak berawak. Peluang yakni bagaimana mengadopsi UAV maupun UUV untuk kepentingan operasional, minimal kemampuan penginderaan kapal perang melalui maritime domain awareness meningkat dibandingkan kondisi saat ini.

22 Agustus 2009

Tantangan Masa Kini Dan Pembangunan Kekuatan Ke Depan

All hands,
Dalam pembangunan kekuatan Angkatan Laut, seringkali terjadi perdebatan tajam di antara pihak-pihak terkait pembangunan kekuatan ke depan dengan tantangan yang dihadapi saat ini. Sebagai contoh, apabila tantangan yang kini tengah dihadapi oleh Angkatan Laut bersifat low intensity conflict, apakah pembangunan kekuatan ke depan akan berfokus ke tantangan tersebut ataukah tetap mengembangkan kemampuan untuk menghadapi high intensity conflict? Kemampuan menghadapi high intensity conflict merupakan kemampuan tradisional Angkatan Laut di mana pun.
Mengapa terjadi perdebatan demikian? Jawabannya sederhana yaitu adanya uncertainties pada lingkungan keamanan masa depan. Seperti diketahui, melaksanakan prediksi terhadap dinamika lingkungan keamanan untuk lima tahun ke depan bukan suatu hal yang mudah, apalagi di atas lagi.
Sebagai contoh, dampak dari serangan seperti pada 11 September 2001 tidak pernah diprediksikan sebelumnya. Akibat dari serangan itu, kebijakan pertahanan Amerika Serikat berubah drastis, termasuk pula menyangkut pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Strategi keamanan maritim Amerika Serikat berubah drastis pula, dengan lebih memfokuskan pada operasi di wilayah littoral untuk menghadapi low intensity conflict.
Masalahnya adalah apakah kesibukan Angkatan Laut saat ini menghadapi low intensity conflict harus atau dapat menjadikan hal itu sebagai template bagi pembangunan kekuatan ke depan? Di sinilah titik utama perdebatan yang terjadi.
Pembangunan kekuatan merupakan suatu proses yang berjangka waktu menengah, antara lima sampai 15 tahun. Panjangnya proses itu selain karena anggarannya yang sebagian bersifat tahun jamak, juga disebabkan ada jangka waktu antara proses pembangunan kapal perang hingga penyerahannya kepada Angkatan Laut.
Dalam jangka waktu yang terentang tersebut, dapat dipastikan lingkungan keamanan akan selalu bersifat dinamis. Pertanyaan yang sulit dijawab adalah seberapa dinamis kondisi itu dibandingkan dengan saat proses penyusunan dokumen rencana pembangunan kekuatan dilaksanakan. Meskipun dalam proses pembangunan kekuatan dimungkinkan terjadinya revisi program, akan tetapi hal itu tetap harus dibayar dengan waktu yang hilang sebelum suatu Angkatan Laut mempunyai kapal perang yang sesuai dengan kebutuhan mutakhir akibat dinamika lingkungan keamanan.
Apakah pembangunan Angkatan Laut harus memprioritaskan kemampuan menghadapi low intensity conflict ataukah tetap memperkuat kemampuan high intensity conflict? Sebagian pihak berpendapat sebaiknya ditempuh trade-off soal dua kemampuan itu. Sebagian lainnya berpendapat bahwa pembangunan kekuatan Angkatan Laut harus memfokuskan diri pada kemampuan high intensity conflict, sebab di situlah kemampuan tradisional Angkatan Laut yang tidak akan lekang oleh waktu.
Menurut hemat saya, seberapa sibuk pun suatu Angkatan Laut saat ini dengan low intensity conflict, pembangunan kekuatan Angkatan Laut ke depan harus tetap difokuskan pada high intensity conflict. Soal kapan kemampuan menghadapi high intensity conflict digunakan memang sulit untuk diprediksi, tetapi ketika kemampuan itu dibutuhkan maka Angkatan Laut harus sudah siap.
Kemampuan high intensity conflict harus tetap diprioritaskan dalam pembangunan Angkatan Laut sebagai Angkatan Laut adalah simbol kekuatan dan pengaruh suatu bangsa. Bagaimana mungkin bisa melaksanakan diplomasi Angkatan Laut yang credible apabila kemampuan high intensity conflict-nya rendah? Bagaimana bisa mempengaruhi course of action di darat bila yang menonjol adalah kemampuan low intensity conflict?
Royal Navy alias Angkatan Laut Inggris merupakan contoh menarik terjadinya perdebatan soal pembangunan kemampuan seperti apa yang harus dirancang ke depan. Perdebatan terjadi antara Royal Navy versus Kementerian Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Inggris Raya.
Indonesia bisa menjadikan kasus tersebut sebagai suatu pelajaran. Sebab hal seperti itu nampaknya juga terjadi di Indonesia, yang pokok persoalannya serupa yaitu apakah berfokus pada kemampuan low intensity conflict ataukah high intensity conflict?

21 Agustus 2009

Komitmen Terhadap Pembangunan Angkatan Laut Indonesia

All hands,
Kegiatan Angkatan Laut seperti fleet review merupakan wadah untuk memamerkan kredibilitas kekuatan suatu Angkatan Laut. Kredibilitas itulah yang dipamerkan oleh sejumlah Angkatan Laut negara-negara asing yang mengirimkan kapal perangnya untuk berpartisipasi dalam Indonesia Fleet Review 2009 beberapa hari lalu. Pesan dari negara-negara itu sangat jelas, yakni “lihatlah kekuatan Angkatan Laut kami”.
Sehingga tidak aneh apabila kapal perang yang diutus untuk mengikuti fleet review sebagian besar merupakan kapal kombatan atas air yang menyandang teknologi mutakhir. Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan kredibilitas Angkatan Laut mereka kepada negara-negara lain, baik kepada negara tuan rumah maupun sesama peserta fleet review.
Pesan tentang kredibilitas Angkatan Laut negara-negara itu diperkuat pula oleh pesan politik berupa kehadiran para Kepala Staf Angkatan Lautnya. Kehadiran para Kepala Staf itu tidak dapat semata-mata memenuhi undangan dari sejawat mereka di Indonesia, tetapi mempunyai makna politik pula. Makna politiknya yaitu menyampaikan pesan politik tentang niat dan kemampuan mereka dalam rangka menjamin stabilitas kawasan melalui kerjasama antar Angkatan Laut.
Indonesia dengan segala keterbatasannya berupaya punya menampilkan kredibilitas Angkatan Lautnya dalam kegiatan itu. Lebih dari itu, secara politik Indonesia juga mengajukan inisiatif memperkuat kerjasama antar Angkatan Laut guna menjamin stabilitas kawasan, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Semua itu dilakukan di tengah masih dipertanyakannya kemauan politik dari pengambil kebijakan untuk bersungguh-sungguh memperkuat kekuatan laut negeri ini.
Namun demikian, upaya Angkatan Laut negeri ini untuk menampilkan kredibilitasnya menurut hemat saya kurang tercapai. Sebab ada tradisi dalam kegiatan fleet review yang tidak dipenuhi oleh kegiatan di Indonesia, yaitu tidak dihadiri oleh pejabat tertinggi di negeri ini. Dalam tradisi fleet review di negara mana pun di dunia, salah satu rangkaian acaranya adalah inspeksi terhadap kapal perang yang ikut dalam kegiatan itu dan yang melaksanakan inspeksi adalah petinggi tertinggi di negeri itu.
Kekurangan yang sangat fatal dalam fleet review beberapa hari lalu itu menimbulkan pertanyaan, yakni apakah hal itu mencerminkan kurangnya komitmen pengambil kebijakan tertinggi memperkuat Angkatan Laut negeri ini? Silakan ambil jawaban sendiri…

20 Agustus 2009

Eksploitasi Peran Diplomasi Angkatan Laut

All hands,
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Angkatan Laut merupakan simbol kekuatan dan pengaruh suatu bangsa. Posisi ini tidak bisa digantikan oleh kekuatan militer lainnya, sebab sangat terkait dengan karakteristik fundamental dari lingkungan maritim. Lingkungan maritim adalah domain di mana Angkatan Laut beroperasi, baik on the sea maupun from the sea.
Sebagai simbol kekuatan dan pengaruh suatu bangsa, dapat dipastikan dalam operasinya Angkatan Laut senantiasa bersentuhan dengan pihak asing, khususnya dengan Angkatan Laut asing. Berinteraksi di laut dengan Angkatan Laut asing merupakan hal keseharian bagi Angkatan Laut mana pun. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang unik bila Angkatan Laut di seluruh dunia mempunyai peran diplomasi yang tidak dimiliki oleh matra militer lainnya.
Terkait dengan simbol kekuatan dan pengaruh suatu bangsa, menjadi tantangan bagi Indonesia bagaimana mengeksploitasi diplomasi Angkatan Laut. Diplomasi Angkatan Laut mempunyai “sopan santun” tersendiri yang berbeda dengan “sopan santun” diplomasi yang dilakukan oleh para diplomat Departemen Luar Negeri. Sehingga untuk melaksanakan diplomasi Angkatan Laut, kapal perang yang akan melaksanakan misi itu pun diseleksi.
Sebab tidak semua kapal perang cocok dan pantas untuk melaksanakan diplomasi. Diplomasi Angkatan Laut hanya cocok dilaksanakan oleh kapal perang kombatan, mempunyai persenjataan lengkap, menganut teknologi Angkatan Laut mutakhir dan berukuran besar. Akan lebih lengkap lagi apabila kapal perang kombatan itu merupakan produksi nasional, bukan produksi asing.
Mengapa demikian? Semua itu karena kapal perang Angkatan Laut adalah simbol kekuatan dan pengaruh suatu bangsa. Kapal perang Angkatan Laut juga merupakan prestise negara. Pelecehan terhadap kapal perang sama artinya dengan pelecehan terhadap negara pemilik kapal perang itu.
Apabila Indonesia sebagai bangsa ingin mengeksploitasi peran diplomasi Angkatan Laut, ada beberapa pekerjaan rumah yang menunggu. Pertama, kesamaan persepsi soal diplomasi Angkatan Laut. Diplomasi Angkatan Laut hendaknya tidak dibatasi sebatas kunjungan muhibah dan latihan bersama dengan Angkatan Laut negara lain, tetapi termasuk pula tindakan intimidasi terhadap negara lain.
Dengan kata lain, diplomasi Angkatan Laut bukan sekedar menyentuh hal-hal yang lunak, tetapi harus pula menyentuh hal-hal yang keras. Sebab hal-hal yang keras juga merupakan bagian dari kepentingan nasional Indonesia. Dan pihak yang selama ini merasa dirinya sebagai aktor utama diplomasi Indonesia hendaknya “dapat memahami” apabila diplomasi Angkatan Laut menyentuh hal-hal yang keras. Bukan sebaliknya “menyesalkan” karena menilai akan merusak citra Indonesia di dunia internasional.
Kedua, sebaiknya ada ketentuan internal di lingkungan Departemen Pertahanan dan AL kita tentang jenis kapal perang yang boleh melaksanakan peran diplomasi. Tidak semua kapal perang cocok dan pantas untuk melaksanakan peran tersebut, apalagi bila sudah menyentuh hal-hal yang keras. Sebab kapal perang Angkatan Laut adalah simbol kekuatan Indonesia.
Tentu suatu diplomasi Angkatan Laut tidak akan mencapai tujuan yang telah ditetapkan apabila unsur kapal perang yang dikerahkan tidak meyakinkan, baik dari segi dimensi maupun kemampuan sistem senjata.
Dari butir kedua tergambar adanya pekerjaan rumah bagi pengambil kebijakan pertahanan bahwa modernisasi kekuatan Angkatan Laut, khususnya unsur kapal kombatan bersifat mendesak. Sekali lagi, upaya untuk mewujudkan Angkatan Laut sebagai simbol kekuatan dan pengaruh bangsa memerlukan sikap politik yang jelas dari pemerintah. Tanpa itu, no guts no glory!!!

19 Agustus 2009

Realisasi Angkatan Laut Sebagai Simbol Kekuatan Bangsa

All hands,
Bagaimana realisasi Angkatan Laut sebagai kekuatan bangsa? Caranya mudah dan gampang sepanjang ada kemauan politik. Yaitu melengkapi Angkatan Laut dengan sistem senjata yang modern dan diawaki oleh sumber daya manusia yang andal. Apa arti melengkapi Angkatan Laut dengan sistem senjata yang modern?
Pertanyaan itu harus diawali terlebih dahulu dari perspektif geopolitik. Indonesia sebagai bangsa hidup di wilayah yang strategis dalam percaturan geopolitik kawasan. Siapapun aktor di kawasan pasti membutuhkan Indonesia. Geopolitik Indonesia menandaskan bahwa bangsa ini dua pertiga luas wilayahnya merupakan perairan dan menjadi perlintasan kepentingan bangsa-bangsa lain.
Dari situ tergambar bahwa ada pertemuan kepentingan nasional Indonesia dengan kepentingan nasional bangsa-bangsa lain. Pertemuan kepentingan itu bisa berupa kerjasama, dapat pula berwujud konflik. Untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia, dibutuhkan Angkatan Laut yang modern dan diawaki oleh sumber daya manusia yang andal.
Susunan tempur Angkatan Laut harus ditata sedemikian rupa dengan pendekatan gun and butter, bukan pendekatan gun or butter. Sebab Angkatan Laut adalah simbol kekuatan dan sekaligus juga pengaruh bangsa Indonesia. Susunan tempur yang seperti apa?
Yakni susunan tempur yang mana kapal kombatannya dilengkapi dengan sistem senjata modern. Dan kapal kombatan itu, baik korvet maupun fregat harus menjadi kekuatan utama sekaligus simbol Angkatan Laut. Jangan sampai simbol kekuatan Angkatan Laut negeri ini justru kapal-kapal patroli seperti FPB atau PC. Kehadiran kapal patroli tetap dibutuhkan oleh Angkatan Laut, namun tidak dapat dijadikan sebagai simbol kekuatan.
Alasannya sederhana, yaitu sangat tidak pantas bila negeri dengan perairan yang Samudera India sampai Samudera Pasifik kekuatan utama Angkatan Lautnya adalah kapal patroli. Beda halnya kalau Indonesia hanya sebuah negeri yang luasnya hanya seluas wilayah Jakarta.
Kapal kombatan sebagai simbol kekuatan Angkatan Laut tidak mesti jumlahnya harus lebih banyak daripada kapal patroli. Yang diutamakan adalah kualitas kapal kombatan pada satu sisi dan pada saat kapan dan di mana kapal kombatan harus dieksploitasi kehadirannya demi mengamankan kepentingan nasional. Soal “saat kapan dan di mana” merupakan hal krusial dalam mengeksploitasi kekuatan Angkatan Laut sebagai simbol bangsa.
Sebagai contoh, patroli di Laut Natuna dan sekitar Laut Cina Selatan sudah sepantasnya menggunakan kapal kombatan. Selain kondisi lautnya menuntut demikian, di sana juga banyak berlayar kapal perang asing. Begitu pula misalnya di Samudera India, perbatasan Indonesia-Singapura dan beberapa perairan lain. Khusus perbatasan Indonesia-Singapura, kehadiran kapal kombatan tetapi diperlukan guna mem-back-up kapal-kapal patroli.
Apabila pemerintah mempunyai keinginan politik merealisasikan Angkatan Laut sebagai simbol kekuatan bangsa, pekerjaan rumah jangka pendek adalah memodernisasi kekuatan kapal kombatan, baik kapal atas air maupun kapal selam. Hal ini bersifat mendesak agar jangan sampai simbol kekuatan Angkatan Laut negeri ini justru terletak pada kapal patroli.

18 Agustus 2009

Angkatan Laut Sebagai Simbol Kekuatan Dan Pengaruh

All hand,
Dengan karakteristik Angkatan Laut yang berbeda dengan angkatan lainnya, eksploitasi Angkatan Laut untuk mengamankan kepentingan nasional mempunyai lebih banyak pilihan. Angkatan Laut dapat menyebarkan kekuatannya ke wilayah perairan di sekitar negara sasaran tanpa harus takut menimbulkan keributan politik. Dengan kemampuan hovering di perairan internasional dalam waktu yang lama, kekuatan Angkatan Laut dapat mempengaruhi course of action yang terjadi di daratan. Kekuatan Angkatan Laut juga dapat memasuki perairan teritorial negara lain dengan berlindung di balik rezim lintas damai yang dapat dimanfaatkan untuk mengirimkan pesan politik kepada negara yang wilayah perairannya dilintasi.
Oleh karena itu, dari dahulu sampai sekarang dan dapat dipastikan di masa depan Angkatan Laut senantiasa akan selalu menjadi simbol kekuatan dan pengaruh suatu negara. Hal itulah yang dipraktekkan oleh Inggris, kemudian dicoba pula oleh Jerman di era Perang Dunia Pertama dan Kedua dan kini dilanjutkan oleh Amerika Serikat. Kekuatan Angkatan Laut, dalam hal ini kapal perang merupakan extended territory dari suatu negara. Menganggu dan mengancam sebuah atau suatu gugus tugas kapal perang sama artinya dengan mengganggu dan mengancam negara pemilik gugus tugas itu.
Di masa lalu simbol kekuatan dan pengaruh Indonesia di kawasan Asia Tenggara ditunjukkan melalui kekuatan Angkatan Laut. Setidaknya hal itu terjadi sampai awal 1990-an, meskipun puncaknya terjadi pada masa awal 1960-an. Setiap sikap politik Indonesia di kawasan didukung pula oleh pameran bendera kekuatan laut Indonesia. Misalnya, dukungan Indonesia terhadap penyelenggaraan KTT ASEAN 1987 di Manila, Filipina yang ditunjukkan dengan pengiriman kapal perang untuk mengamankan kegiatan itu.
Angkatan Laut sebagai simbol kekuatan dan pengaruh Indonesia di kawasan dipraktekkan pula dalam hubungan dengan negara-negara lainnya di sekitar Indonesia. Apabila kekuatan laut Indonesia melintas di perairan dekat Singapura, tak ayal sebagian kekuatan laut negeri penampung koruptor itu dikerahkan untuk mengawasi kapal perang Indonesia yang melintas.
Sayang kini sepertinya para pengambil kebijakan di Indonesia sudah tidak paham mengenai Angkatan Laut sebagai simbol kekuatan dan pengaruh. Di sisi lain, tidak ada kekuatan militer lain di Indonesia yang dapat menggantikan peran Angkatan Laut itu, sebab itu suatu hal yang unik. Angkatan Laut dapat berperan sebagai simbol kekuatan dan pengaruh karena karakteristiknya yang tidak dimiliki oleh angkatan lainnya. Seberapa banyak pun kekuatan darat dan udara Indonesia, sampai kapan pun tidak akan mampu berperan sebagai simbol kekuatan dan pengaruh Indonesia di kawasan.
Peran itu hanya bisa dilaksanakan oleh Angkatan Laut. Pertanyaannya, apakah pengambil keputusan negeri ini masih akan lebih percaya pada keampuhan soft power daripada Angkatan Laut? Memperkuat kekuatan laut Indonesia memang membutuhkan biaya, tetapi biaya yang dikeluarkan niscaya akan sebanding dengan hasil yang akan didapatkan.

17 Agustus 2009

Eksploitasi Kehadiran Di Laut

All hands,
Tidak ada yang bisa membantah bahwa kehadiran di laut alias naval presence merupakan salah satu bagian fundamental dari kekuatan laut. Kehadiran di laut oleh masing-masing Angkatan Laut diterjemahkan dalam beragam bentuk, tergantung pada kepentingan nasional tiap negara. Sebagai contoh, U.S. Navy menganut forward presence dengan menyebarkan kekuatannya jauh dari wilayah Amerika Serikat. Tujuannya agar apabila terjadi perang atau konflik yang melibatkan U.S. Navy, lokasinya terjadi jauh di luar wilayah negaranya.
Tidak banyak negara di dunia yang Angkatan Lautnya menganut forward presence. Sebab hal itu terkait erat dengan kemampuan operasional masing-masing Angkatan Laut, selain tentunya kebijakan politik luar negeri yang dianut oleh tiap negara tersebut. Indonesia sebagaimana mayoritas negara lain di dunia, Angkatan Lautnya tidak menganut konsep forward presence. Yang dianut adalah naval presence di perairan yurisdiksinya sendiri.
Meskipun demikian, sesungguhnya terdapat tantangan untuk bagaimana memaksimalkan kehadiran di laut itu. Memaksimalkan kehadiran di laut bukan saja dalam intensitas dan kuantitas kapal perang, tetapi mencakup pula bagaimana kehadiran itu bisa mempengaruhi perkembangan situasi di darat dan atau bisa merespon krisis.
Sebagai contoh, bagaimana intensitas kehadiran kapal perang di sekitar Papua bisa mempengaruhi course of action di wilayah itu dan sekitarnya. Course of action di sana bukan semata terbatas pada wilayah Papua, tetapi pula course of action di Australia. Selama ini harus jujur kita akui bahwa kehadiran kapal perang Indonesia di perairan Papua belum banyak berkontribusi terhadap course of action di sana.
Begitu pula dalam merespon krisis, sudah sepantasnya bila Angkatan Laut melalui kapal perangnya menjadi pihak pertama yang merespon krisis. Misalnya terjadi masalah keamanan di Papua yang berpotensi mengundang intervensi kekuatan militer asing. Bisa pula terjadi bencana alam di wilayah tertentu yang terletak sampai 200 km dari pantai.
Untuk bisa mengeksploitasi kehadiran di laut, dibutuhkan pembenahan dari hulu yaitu aspek kebijakan pemerintah hingga ke hilir yaitu aspek operasional Angkatan Laut. Di wilayah hilir misalnya apakah perlu mengaktifkan kembali Kompi Marinir Apung dalam satu kompi, kini mungkin bisa satu batalyon.
Dengan tersedianya kapal LPD dengan fasilitas lebih lengkap dan lebih besar daripada LST yang di masa lalu menjadi platform dari Kimar Apung, berarti ada modalitas untuk mewujudkan hal tersebut. Tinggal pengaturan hal-hal yang bersifat teknis.
Aspek operasional berikutnya adalah soal Guspurla. Perlu perbedaan yang nyata di lapangan dalam melaksanakan tugas pokok antara Guspurla dengan Guskamla. Selain itu, perlu dikaji agar operasi Guspurla hendaknya berjalan sepanjang tahun sebagaimana layaknya operasi kamla. Dalam mengeksploitasi kehadiran di laut, peran Guspurla berpeluang untuk “ditajamkan’.
Masih banyak aspek operasional lainnya yang perlu dibenahi apabila Indonesia mau mengeksloitasi kehadiran di laut. Terkait dengan hal tersebut, pembenahan harus mencakup pula unsur logistik. Jangan sampai unsur logistik belum mampu sepenuhnya mendukung kesiapan unsur operasional. Untuk membahas kesiapan unsur logistik tentu saja ceritanya panjang dan memerlukan sesi tersendiri. Kata kuncinya adalah unsur logistik harus mampu mendukung unsur operasional.
Kebijakan pemerintah merupakan penentu pula apabila kehadiran laut ingin dieksploitasi lebih lanjut. Salah satu aspek kritis dari kebijakan pemerintah adalah dukungan anggaran. Baik untuk operasi maupun pemeliharaan. Namun lepas dari semua itu, kata kuncinya adalah kemauan politik. Berapa pun jumlah total APBN per tahun, berapa digit pun pertumbuhan ekonomi per tahun, namun apabila tidak ada keberpihakan terhadap kekuatan pertahanan, termasuk Angkatan Laut, maka semua itu tidak ada artinya.
No guts no glory!!!

16 Agustus 2009

Proliferasi Teknologi Angkatan Laut

All hands,
Filosofi utama yang membedakan Angkatan Laut dengan Angkatan Darat soal pengawakan sistem senjata. Sistem senjata Angkatan Laut diawaki oleh manusia, sementara Angkatan Darat menganut filosofi manusia yang dipersenjatai. Perbedaan filosofi ini membuat banyak perbedaan doktrin, strategi, operational art dan taktik antara kedua matra militer tersebut.
Kemajuan sistem senjata Angkatan Laut sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Teknologi Angkatan Laut secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu platform alias bangunan kapal, propulsi alias sistem pendorong dan sewaco alias combat management system yang di dalamnya tercakup pula senjata. Karena sensitifnya teknologi Angkatan Laut tersebut, merupakan hal yang lumrah apabila negara-negara yang menguasai ketiga sub teknologi Angkatan Laut begitu selektif dalam menjual sistem senjata ke negara-negara lain.
Indonesia termasuk negara yang terkena pembatasan teknologi tersebut. Sebagai contoh, negara-negara Barat tidak mengizinkan penjualan radar pengamat dan radar kendali penembakan dengan jangkauan efektif sampai 300 km. Sebaliknya Rusia tidak menutup pintu apabila Indonesia ingin membeli rudal berbasis di kapal perang dengan daya jelajah 300 km, seperti rudal Yakhont ataupun rudal yang bisa diluncurkan dari kapal selam.
Dari situ tergambar bahwa negara-negara yang menguasai teknologi Angkatan Laut sebenarnya telah “menakar” sampai sejauh mana sistem senjata kekuatan laut Indonesia boleh dipersenjatai dengan teknologi mereka. Amerika Serikat misalnya untuk sistem senjata rudal anti kapal permukaan maksimal memberikan rudal Harpoon kepada Indonesia, sedangkan untuk rudal yang diluncurkan dari kapal selam negara itu dipastikan akan menolak permintaan Indonesia. Sementara negara-negara Uni Eropa maksimal memberikan torpedo SUT kepada kekuatan laut Negeri Nusantara.
Bukan berarti kedua sistem senjata tidak bagus, namun harus diperhitungkan pula sistem lainnya yang terkait. Seperti bagaimana kemampuan radar pengamatan dan radar kendali penembakan yang diterbitkan lisensi untuk dijual kepada Indonesia. Bagaimana pula kemampuan sonar yang boleh dilepaskan untuk AL kita. Belum lagi sistem komunikasi di kapal perang, yang dapat dipastikan dibatasi pula teknologinya.
Berangkat dari kondisi itu, tantangan buat Indonesia adalah bagaimana membangun Angkatan Laut yang mempunyai daya rusak yang diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh negara-negara pemilik teknologi Angkatan Laut. Meskipun ada pembatasan-pembatasan, bukan berarti peluang untuk membangun kekuatan laut yang memiliki daya rusak tidak tersedia. Masih tersedia ruang tersebut, asalkan Indonesia pandai melihat peluang dan sekaligus cerdas merancang suatu arsitektur sistem senjata Angkatan Laut yang mengawinkan teknologi Angkatan Laut yang berbeda-beda.

15 Agustus 2009

Peperangan Littoral Angkatan Laut

All hands,
Operasi Angkatan Laut masa kini salah satu bentuknya adalah forward presence atau operationg forward kalau mengacu pada dokumen U.S. Navy pada tahun 1990-an. Dengan forward presence, diharapkan kekuatan Angkatan Laut mampu mempengaruhi arah peristiwa di darat.
Operating forward artinya beroperasi di kawasan littoral atau dekat daratan. Kawasan littoral itu kemudian dibagi dalam dua segmen battlespace, yaitu seaward dan landward. Seaward terbentang dari laut terbuka hingga ke pantai yang harus dapat dikendalikan Angkatan Laut untuk mendukung operasi di daratan. Adapun landward yaitu wilayah daratan yang masih dapat didukung dan dipertahankan langsung dari laut oleh kekuatan laut yang beroperasi.
Luasan landward pada dasarnya tidak terbatas, tergantung daya jangkau sistem senjata Angkatan Laut. Sebagai contoh, sebagai operasi tempur di Afghanistan pada 2001 dilaksanakan oleh unsur-unsur kapal perang U.S. Navy yang berada di Laut Arab. Jarak bukan suatu masalah dalam mengendalikan suatu wilayah selama teknologi sistem senjata yang mendukungnya tersedia.
Bagi negeri seperti Indonesia yang terbuka dari laut, merupakan tantangan tersendiri untuk menggelar littoral warfare. Mengembangkan strategi littoral warfare merupakan kebutuhan bagi Indonesia, sebab strategi itu bisa digunakan apabila ada konflik, baik menghadapi aktor negara maupun non negara. Sebagai contoh, harus dipikirkan sejak dini bagi operasi Angkatan Laut menghadapi konflik bersenjata di dalam negeri tidak semata berupa penyekatan.
Sudah sepantasnya bila kapal perang Angkatan Laut dapat pula memberikan pukulan terhadap kekuatan lawan di daratan. Misalnya melalui naval gunfire support alias BTK. Bisa pula lewat peperangan elektronika, karena terbukti dalam kasus di Timor Timur, Aceh dan Ambon aktor-aktor non negara menggunakan jaringan komunikasi layaknya kekuatan militer.
Selama suatu wilayah daratan masih dapat dijangkau oleh sistem senjata Angkatan Laut, maka sudah sepantasnya bila Angkatan Laut dapat berperan dan atau diberi peran di sana. Dengan demikian, kapabilitas dan karakteristik Angkatan Laut dapat dieksploitasi semaksimal mungkin dalam konflik apapun sepanjang konflik itu terjadi di wilayah littoral. Kurang pantas bila Angkatan Laut hanya diberi perang untuk melaksanakan penyekatan dan atau blokade.
Untuk menuju ke arah itu, diperlukan pembenahan internal pada Angkatan Laut. Baik dari perangkat lunak maupun perangkat keras. Termasuk pula soal sumber daya manusia.

14 Agustus 2009

Membantu Untuk Tidak Kuat

All hands,
Geopolitik kawasan menempatkan Indonesia pada posisi yang strategis, sehingga tidak aneh bila banyak negara lain yang ingin Indonesia berada di bawah pengaruhnya. Termasuk pula dalam bidang pertahanan, yang mana negara-negara besar berupaya merangkul Indonesia. Salah satu bentuk rangkulan adalah dalam bidang kerjasama pertahanan, termasuk di dalamnya penjualan sistem senjata.
Ketika kini sebagian dari matra militer Indonesia mulai menggunakan sistem senjata buatan Rusia dan Cina guna mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat, Negeri Uwak Sam mulai merayu matra tertentu untuk menggunakan sistem senjata mereka. Agar rayuannya mudah diterima, maka sistem senjata itu ditawarkan dengan harga diskon. Harga diskon terjadi karena sistem senjata yang ditawarkan merupakan hasil penghapusan dari susunan tempur militer Amerika Serikat.
Tawaran itu sebenarnya sah saja, akan tetapi harus dilihat dampak politik dan operasionalnya. Dampak politik bisa saja berupa tuntutan di balik layar agar Indonesia menjaga jarak dengan Rusia dan Cina. Artinya, Indonesia jangan membeli lagi sistem senjata dari kedua negara itu. Dampaknya operasionalnya akan terasa mulai lima tahun ke depan, yaitu tingginya biaya pemeliharaan, selain suku cadang yang terbatas.
Tingginya biaya pemeliharaan menjadi alasan mengapa sistem senjata itu dihapus dari susunan tempur militer Amerika Serikat. Setelah dihitung secara cermat, biaya pemeliharaannya sudah tidak ekonomis lagi. Itulah alasan utama mengapa sistem senjata itu dihapus di Amerika Serikat.
Soal suku cadang, sebagian dari sistem senjata yang ditawarkan suku cadangnya mulai terbatas. Sementara sistem senjata itu minimal akan digunakan oleh militer Indonesia setidaknya sampai 25 tahun mendatang. Tidak ada jaminan bahwa suku cadang akan terus diproduksi sampai kurun waktu itu.
Menghadapi tawaran itu, yang harus dikedepankan adalah analisis biaya terhadap sistem senjata. Bukan melihat harga diskon yang ditawarkan. Analisis biaya itu harus dihitung untuk jangka panjang. Apakah betul hasil analisis biaya dari sistem senjata yang dibeli dengan harga diskon lebih murah untuk jangka panjang dibandingkan dengan analisis biaya untuk sistem senjata jenis yang sama yang merupakan brand new dari pabrikan.
Melihat secara sepintas tawaran dari Amerika Serikat, nampak jelas tawaran itu diberikan untuk tidak membuat kuat militer Indonesia. Sekarang tinggal kembali kepada pengambil keputusan di Departemen Pertahanan, apakah akan mengedepankan perhitungan analisis biaya yang rasional ataukah mengedepankan harga diskon terhadap tawaran itu. Juga apakah mengedepankan harga diskon tetapi berdampak negatif terhadap kekuatan matra militer Indonesia lainnya yang telah dan akan menggunakan sistem senjata buatan Rusia dan Cina.

13 Agustus 2009

Kekuatan Militer Yang Tidak Berguna

All hands,
Apakah ada kekuatan militer yang tidak berguna? Ternyata ada, setidaknya menurut Laksamana Jay L. Johnson. Menurut mantan CNO ini, a military force that cannot win is worthless, in war and peace.
Dalam masa damai, kemenangan yang dimaksud yaitu tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam operasi-operasi non tempur. Misalnya Angkatan Laut mampu melaksanakan penangkalan sehingga mempengaruhi cara bertindak (calon) lawan, mampu mengamankan perairan dari berbagai ancaman dan tantangan dan lain sebagainya.
Untuk dapat menciptakan kekuatan militer yang dapat mencapai kemenangan, baik di masa damai maupun perang, memerlukan jalan yang panjang. Persyaratan pertama dan utama adalah rasa memiliki terhadap militer oleh semua komponen bangsa, khususnya pihak eksekutif dan legislatif. Selama rasa memilikinya kurang, sebaiknya tidak berharap kekuatan militer tersebut dapat mencapai kemenangan. Sebab untuk mencapai kemenangan, dibutuhkan biaya atau investasi yang tidak sedikit.
Bila saat ini kita melihat dan atau menilai kekuatan militer negara-negara di sekitar Indonesia sepertinya lebih siap untuk mencapai kemenangan, itu karena para pengambil keputusan di sana tidak bersikap setengah hati terhadap militer. Militer tidak hanya dituntut untuk bisa mencapai kemenangan sebagai bagian dari pengamanan kepentingan nasional, tetapi juga dibekali dengan dana investasi yang tidak sedikit agar bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana menjaga agar jangan sampai kekuatan militernya tergolong dalam kategori a worthless military force. Sebab bila kita mau jujur dan introspeksi, kemampuan kekuatan militer negeri ini untuk menghadapi ancaman konvensional saja diragukan. Maksudnya diragukan untuk mencapai kemenangan. Apalagi untuk menghadapi secara simultan dua atau tidak ancaman, kategorinya bukan diragukan lagi akan tetapi sudah berubah menjadi tidak mampu.
Bagaimana mencegah agar tidak masuk dalam kategori a worthless military force? Yang utama adalah dukungan anggaran. Dengan catatan bahwa anggaran mengikuti kebutuhan, bukan kebutuhan mengikuti anggaran. Negeri ini butuh militer yang profesional. Guna menuju ke arah itu, diperlukan modernisasi kekuatan. Dibutuhkan pula intensitas latihan yang tinggi dalam satu tahun. Diperlukan juga dana yang tidak sedikit untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia.
Bagaimana agar anggaran bisa mengikuti kebutuhan? Caranya adalah mengubah paradigma berpikir dalam pembangunan kekuatan. Ikutilah paradigma pembangunan kekuatan yang berlaku universal, bukan paradigma berpikir sesat ala Indonesia yang selama ini membodohi kita.

12 Agustus 2009

Satu Kawasan Berbeda Kepentingan

All hands,
Satu kawasan namun berbeda kepentingan adalah cermin nyata ASEAN. Suatu kenyataan yang dicoba untuk disamarkan oleh para diplomat ASEAN dengan menggambarkan bahwa ASEAN adalah komunitas yang harmonis. Karena ilusi harmonis itu pula, para diplomat ASEAN merancang mimpi besar berjudul ASEAN Community, yang salah satu bagiannya adalah ASEAN Political-Security Community. Padahal konsep mimpi itu dijiplak dari pengalaman bangsa-bangsa di Eropa yang realitanya memiliki perjalanan sejarah yang berbeda dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara.
Satu kawasan namun berbeda kepentingan tercermin dalam isu keamanan maritim. Semua negara anggota ASEAN sepakat untuk mengembangkan kerjasama maritim, di antaranya untuk menangani isu-isu keamanan non tradisional. Tapi apabila diteliti lebih jauh, apa saja isu keamanan non tradisional pada domain maritim yang menjadi kepentingan masing-masing negara, akan terkuak bahwa betapa negara-negara ASEAN memang berbeda kepentingan.
Sebagai contoh, Negeri Tukang Klaim mengajak IMO dan IMB untuk terlibat dalam keamanan maritim kawasan. Negeri Tukang Klaim sekaligus negara eksportir teroris ini juga berupaya memasukkan masalah imigran ilegal dalam agenda kerjasama maritim ASEAN.
Kepentingan negeri Tukang Klaim dan sekaligus negara pengekspor teroris ini berbeda dengan Indonesia. Indonesia dalam isu keamanan maritim mempunyai kepentingan di antaranya soal pencurian ikan dan pembalakan kayu secara ilegal. Dua kepentingan Indonesia ini tidak sejalan dengan kepentingan Negeri Tukang Klaim.
Begitu pula dengan Singapura. Negeri penampung uang haram dan para koruptor ini dalam bidang kerjasama maritim ASEAN sangat menggebu-gebu mengajak semua negara, termasuk aktor ekstra kawasan untuk memerangi perompakan dan pembajakan. Namun begitu diajak oleh Indonesia untuk mengembangkan pula kerjasama anti penyelundupan, nafsu negeri penampung koruptor ini langsung turun ke titik terendah.
Itu baru sebagian kecil contoh kasus yang menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN menganut prinsip satu kawasan namun berbeda kepentingan. Masih banyak contoh lain pada bidang-bidang di luar keamanan maritim yang menunjukkan ketidaksepakatan negara-negara ASEAN. Kalau sudah begini, sebaiknya Indonesia tidak perlu sibuk mencari atau mengidentifikasi kepentingan nasional yang sama untuk menjadi modal kerjasama dalam seminar keamanan maritim kawasan di Manado pada 18 Agustus 2009 mendatang. Sebab mencari kesamaan kepentingan nasional dari masing-masing bangsa merupakan sebuah pekerjaan sia-sia.

11 Agustus 2009

Dukungan Logistik Angkatan Laut

All hands,
Peran logistik dalam mendukung operasi Angkatan Laut tidak diragukan lagi. Tanpa dukungan logistik, tujuan operasi Angkatan Laut tidak akan tercapai. Sejarah telah membuktikan betapa kritisnya dukungan logistik untuk mendukung operasi-operasi Angkatan Laut.
Dengan ruang operasi yang luas dan jauh, penyiapan dukungan logistik Angkatan Laut bukan suatu hal yang mudah. Sebab unsur-unsur logistik harus hadir di titik-titik atau di wilayah-wilayah di sekitar kawasan operasi Angkatan Laut. Kehadiran unsur logistik kadang kala tidak mudah, khususnya pada unsur logistik yang berbasis di darat.
Oleh karena itu, negara-negara yang memproyeksikan kekuatan lautnya kini tidak sepenuhnya bergantung pada unsur dukungan logistik yang berbasis di darat alias bergantung pada pangkalan Angkatan Laut. Mereka mengurangi ketergantungan itu melalui prepositioning, yang mana pada kapal bantu dimuat hampir semua jenis bekal. Seperti amunisi, bahan bakar dan pelumas, suku cadang kapal dan lain sebagainya. Prepositioning dapat diterjemahkan secara bebas sebagai logistik apung.
Dengan prepositioning, satu atau beberapa kapal bantu disebarkan pada wilayah tertentu yang menjadi kawasan operasi Angkatan Laut. Kapal ini yang dikenal sebagai prepositioning ships berlayar terpisah dari kapal-kapal perang yang akan didukung bekalnya. Jadi prepositioning ships tidak termasuk dalam gugus tugas kapal perang.
Apabila kapal perang dalam gugus tugas membutuhkan dukungan bekal ulang, maka tinggal diatur pada koordinat berapa akan bertemu dengan prepositioning ships untuk melaksanakan RAS alias underway replenishment. Cara ini selain menghemat waktu, juga menghemat biaya operasional karena kapal perang yang tergabung dalam gugus tugas tidak perlu lagi merapat ke pangkalan Angkatan Laut di darat untuk keperluan bekal ulang.
Pertanyaannya, mungkinkah prepositioning ships diterapkan di Indonesia? Jawabannya sangat mungkin. Sebab wilayah operasi Angkatan Laut kita sangat luas, sementara belum semua pangkalan Angkatan Laut dapat memberikan dukungan bekal ulang sesuai kebutuhan kapal perang. Sekarang tinggal bagaimana merumuskannya secara detail soal prepositioning ships ini.

10 Agustus 2009

Presence and Deterrence

All hands,
Presence and deterrence merupakan bagian tidak terpisahkan dari strategi maritim Amerika Serikat. Dengan adanya (naval) presence, diharapkan mampu memberikan deterrence sehingga dapat mencegah perang. Begitulah asumsi yang dikembangkan oleh para penyusun strategi di U.S. Navy.
Karena U.S. Navy merupakan Angkatan Laut dengan kemampuan proyeksi kekuatan global, maka presence dilaksanakan di perairan internasional yang jauh dari CONUS. Sebab prinsip pertahanan yang dianut oleh Amerika Serikat adalah membawa perang sejauh mungkin dari CONUS. Bukan sesuatu yang berlebihan untuk mengatakan bahwa pemerintahan di Gedung Putih ---siapapun yang berkuasa di sana--- tidak akan ragu mengorbankan sekian prajurit, pelaut, marinir dan airman asalkan perang terjadi di bagian lain dari dunia.
Berdiskusi tentang presence and deterrence, memang tidak ada hubungan keduanya akan selalu berbanding lurus. Naval presence belum tentu akan menghasilkan deterrence. Yakni apabila kekuatan yang dihadirkan kredibilitas dan kapabilitasnya diragukan. Dengan kata lain, naval presence tidak mencapai tujuan untuk menimbulkan deterrence. Naval presence yang demikian sebatas hanya mencapai tujuan untuk menunjukkan bahwa kekuatan laut suatu negara memang eksis.
Bagi kita di Indonesia, tantangan yang dihadapi oleh AL kita adalah bagaimana naval presence tidak saja ditujukan untuk menunjukkan kekuatan laut negeri ini, tetapi mampu pula menimbulkan deterrence. Artinya, ada kredibilitas dan kapabilitas yang harus ditunjukkan agar deterrent effect bekerja.
Bagaimana mewujudkan kredibilitas dan kapabilitas itu? Ketika sudah sampai pada pertanyaan ini, maka terkuaklah sejumlah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh AL kita dan pemangku kepentingan AL. Siapa pemangku kepentingan itu? Tidak lain adalah pemerintah yang dipilih oleh rakyat.

09 Agustus 2009

Indonesia Dan Deklarasi Cha-Am Hua Hin

All hands,
Dalam KTT ASEAN di Thailand Maret 2009 lalu, negara-negara anggota menyepakati Cha-Am Hua Hin Declaration on the Roadmap for an ASEAN Community (2009-2015). Salah satu bagian dari deklarasi itu adalah The ASEAN Political Security Community Blue Print, yang mana agenda kerjasama maritim ASEAN termasuk di dalamnya. Apa saja kesepakatan dalam bidang maritim yang disepakati oleh negara-negara ASEAN?
Fondasi utama kerjasama itu adalah (to) Promote ASEAN Maritime Cooperation, yang terdiri atas (i) Establish the ASEAN Maritime Forum, (ii) Apply a comprehensive approach that focuses on safety of navigation and security concern in the region that are of common concerns to the ASEAN Community, (iii) Stock take maritime issues and identify maritime cooperation among ASEAN member states dan (iv) Promote cooperation in maritime safety and search and rescue (SAR) through activities such as information sharing, technological cooperation and exchange of visits of authorities concerned.
Kalau kita perhatikan dengan seksama, agenda ini sedikit berbeda dengan agenda serupa dalam Vientiane Action Programme (2004-2010). Misalnya tidak ada agenda joint surveillance mechanism. Akan tetapi lepas dari itu muncul pertanyaan, yaitu seberapa banyak keuntungan yang dapat diambil oleh Indonesia dari kerjasama itu?
Hal ini merupakan masalah krusial, karena Indonesia belum mempunyai ocean policy, begitu pula dengan strategi maritim. Dua hal tersebut merupakan fondasi bagi suatu negara dalam menjalin kerjasama maritim dengan negara-negara lain. Pertanyaannya kemudian, mungkinkah Indonesia dalam waktu singkat bisa merumuskan dua hal fundamental tersebut?
Selama bangsa ini, khususnya pengambil kebijakan masih memandang laut sebagai lahan untuk mencari uang bagi kepentingan sempit, bukan lahan untuk mencapai dan mengamankan kepentingan nasional, sepertinya kita cukup skeptis dalam waktu singkat negeri ini akan mempunyai ocean policy dan strategi maritim. Artinya Indonesia sebagai negara dengan perairan terluas di Asia Tenggara akan menjadi pecundang nomor satu di ASEAN dalam bidang kerjasama maritim.

08 Agustus 2009

Melindungi Kekuatan Maritim Indonesia

All hands,
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengambil kebijakan Indonesia sekarang adalah melindungi (preserving) kekuatan maritim Indonesia. Mengapa harus dilindungi? Ada beberapa alasan akan hal tersebut.
Pertama, kepentingan nasional Indonesia sebagian terkait dengan domain maritim, sebab dua pertiga wilayah ini berupa perairan. Artinya mempunyai kekuatan maritim merupakan suatu hal yang mutlak dipunyai oleh Indonesia sebagai instrumen untuk mengamankan kepentingan nasional.
Kedua, stabilitas keamanan kawasan. Kawasan perairan Indonesia adalah bagian terbesar dari perairan kawasan Asia Tenggara dan menentukan pula stabilitas keamanan kawasan. Untuk mengamankan stabilitas kawasan, Indonesia harus mempunyai instrumen dan instrumen itu suka atau tidak suka, tidak lain dan tidak bukan adalah Angkatan Laut.
Ketiga, masa depan kekuatan maritim Indonesia. Kekuatan maritim Indonesia tengah mengalami kemunduran sebagai akibat dari kebijakan pemerintah di masa lalu dan di masa kini. Merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menjamin masa depan kekuatan tersebut apabila Indonesia ingin tetap dianggap eksis di kawasan. Apabila tidak ada langkah signifikan, kekuatan maritim Indonesia cepat atau lambat akan “punah”.
Kekuatan maritim yang dimaksud di sini mencakup kekuatan Angkatan Laut dan pelayaran niaga. Untuk pelayaran niaga, pemerintahan saat ini telah menebus dosa pemerintahan di masa lalu melalui terbitnya Inpres No.5 Tahun 2005 tentang Cabotage. Sejak terbitnya Inpres itu, jumlah kapal niaga yang berbendera Merah Putih terus meningkat, sehingga diharapkan pada 2010 semua pelayaran di dalam negeri hanya boleh dilayari oleh kapal berbendera Merah Putih, bukan Merah Putih dengan Bulan Sabit dan Bintang atau bendera lainnya.
Yang masih menjadi masalah adalah kekuatan Angkatan Laut. Tidak perlu bercerita banyak soal ini, sebab dalam lima tahun terakhir tidak ada pembangunan kekuatan laut yang signifikan. Kalaupun terdapat sejumlah kapal perang baru masuk dalam susunan tempur, itu merupakan realisasi dari kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Melindungi kekuatan maritim, khususnya Angkatan Laut merupakan amanat konstitusi yang tidak bisa ditawar!!! Dan tidak bisa pula diubah tafsirnya!!! Tidak bisa pula ditawar pelaksanaannya dengan alasan keterbatasan anggaran!!!
Pertanyaannya, apakah amanat itu akan dilaksanakan atau tidak? Ataukah kita perlu bersabar menunggu harapan beberapa tahun lagi dari sekarang?

07 Agustus 2009

Kepentingan Nasional Tidak Dikotomis

All hands,
Pemahaman bangsa Indonesia terhadap kepentingan nasionalnya masih memprihatinkan. Masih banyak pihak di tingkat pengambilan keputusan yang tidak paham apa yang dimaksud dengan kepentingan nasional. Sehingga kebijakan yang diambil pun seringkali tidak mengacu pada kepentingan nasional tersebut. Kalaupun mengacu pada kepentingan nasional, hanya terbatas pada kepentingan nasional yang parsial.
Akibatnya dunia pertahanan negeri ini seringkali menjadi korban. Penganaktirian terhadap dunia pertahanan dikarenakan pemahaman yang parsial terhadap kepentingan nasional. Padahal apabila mengacu pada Lloyd, kepentingan nasional terdiri dari survival, important, marginal dan peripheral.
Survival terkait dengan hidup matinya suatu bangsa. Berarti aspek keamanan nasional ---yang mana pertahanan adalah salah satu bagian di dalamnya--- adalah urusan hidup mati, sehingga tidak boleh dinomorduakan. Apabila kita perhatikan konstitusi berbagai bangsa di dunia, mempertahankan bangsa dan keutuhan wilayah selalu menempati urutan teratas.
Tentang important, di situ salah satunya adalah aspek kesejahteraan bangsa. Kesejahteraan adalah kepentingan nasional setiap bangsa. Dengan sejahtera, salah satu tujuan mendirikan negara tercapai. Namun harus diingat, sejahtera adalah salah satu tujuan negara, bukan satu-satunya tujuan bernegara.
Tanpa perlu membahas kepentingan nasional pada lini marginal dan peripheral, sudah jelas tergambar bahwa dua urutan teratas dalam kepentingan nasional suatu bangsa sebenarnya tidak bersifat dikotomis. Kepentingan nasional tidak mengenal gun or butter, tetapi hanya mengenal gun and butter.
Tetapi mengapa di Indonesia kepentingan nasional mengenal gun or butter? Itu karena pengambil kebijakan tidak memahami dengan betul kepentingan nasional dan bagaimana mengimplementasikannya. Slogan “Mempertahankan NKRI” hanya sebatas slogan politik minus niat melaksanakannya secara maksimal. Dalam praktek, upaya mempertahankan republik ini belum maksimal.
Merupakan praktek yang lazim bila memprioritaskan kepentingan nasional yang important dengan mengerahkan segala sumber daya yang tersedia, namun pada saat saat yang sama menomorduakan kepentingan nasional yang survival. Salah satu sumber daya nasional adalah APBN. Mari kita periksa struktur APBN, berapa persen sumber daya di dalamnya yang digunakan untuk kepentingan nasional survival, important, marginal dan peripheral. Dapat dipastikan lebih dari 98 persen pembiayaan APBN diarahkan bagi kepentingan nasional yang important, sisanya dibagi untuk tiga klasifikasi kepentingan nasional lainnya.
Kondisi kekuatan pertahanan Indonesia sebagai sarana untuk mengamankan kepentingan nasional survival sudah mendekati peralihan dari lampu kuning ke lampu merah. Tetapi sumber daya nasional yang dikerahkan agar kekuatan itu bisa kembali ke posisi lampu hijau masih sangat sedikit. Struktur pembiayaan APBN masih menganut pendekatan gun or butter.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana solusi dari semua ini? Solusi murah yang tersedia adalah pengambil kebijakan mengubah kebijakannya dengan mengacu pada tingkatan kepentingan nasional. Sedangkan solusi yang mahal adalah wajib militer selama lima tahun bagi calon setiap aparatur pemerintah, khususnya di lembaga yang mengatur APBN, agar tahu bagaimana kondisi ril kekuatan pertahanan negeri ini. Sebab manusia biasanya lebih punya empati dan keberpihakan setelah mengalami sendiri suatu pengalaman yang ‘tidak enak’.

06 Agustus 2009

Menegaskan Peran Kekuatan Laut Indonesia Di Kawasan

All hands,
Dalam stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara, kekuatan laut Indonesia sesungguhnya memainkan peran yang signifikan. Sebab kunci stabilitas keamanan kawasan adalah keamanan maritim di perairan Indonesia. Stabilitas kawasan tercipta karena peran kekuatan laut Indonesia bersama kekuatan laut lainnya, termasuk kekuatan laut ekstra kawasan.
Masalahnya adalah seringkali peran itu kurang dirasakan bergema pada aspek politik, meskipun manfaatnya dirasakan pada aspek operasional. Bahkan terkesan Indonesia kurang berinisiatif dalam keamanan maritim kawasan. Sebagai contoh, setelah inisiatif patroli pengamanan Selat Malaka pada Juli 2004, belum ada inisiatif Indonesia berikutnya terhadap isu keamanan maritim kawasan.
Mungkin terdapat beberapa penyebab mengenai hal itu. Pertama, ketidaksamaan persepsi antara aktor kebijakan luar negeri dengan aktor operasional. Kedua, kurangnya dukungan pembangunan kekuatan dari pengambil kebijakan pertahanan terhadap aktor operasional. Ketiga, aktor operasional masih terus disibukkan dengan sejumlah agenda internal yang nyaris sulit mencari bagian akhirnya.
Akibatnya, inisiatif keamanan maritim kawasan dari Indonesia tidak intensif dan segencar negara-negara lain di wilayah ini yang luas perairannya jauh lebih sempit daripada Indonesia. Suatu inisiatif keamanan maritim harus didukung oleh persepsi yang sama antar pihak-pihak terkait di dalam negeri. Sulit untuk dihindari kesan bahwa masih ada perbedaan persepsi antara aktor kebijakan luar negeri dengan aktor operasional selama ini. Sebagai contoh, soal isu pengembangan kerjasama Angkatan Laut secara luas.
Masalah kurangnya dukungan dari pengambil kebijakan pertahanan terhadap aktor operasional juga berpengaruh pada upaya menggagas suatu inisiatif. Sebab suka atau tidak suka, suatu inisiatif untuk mengoperasionalkannya harus didukung oleh kesiapan sistem senjata yang memadai, termasuk di dalamnya infrastruktur Angkatan Laut. Merupakan suatu hal yang aneh bila inisiatif yang diajukan justru tidak bisa dilaksanakan oleh negara pengusul karena keterbatasan sistem senjata Angkatan Lautnya.
Mengenai sejumlah agenda internal aktor operasional, pada dasarnya sangat terkait dengan penyebab sebelumnya. Karena pembangunan kekuatan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, aktor operasional disibukkan dengan agenda-agenda agar bagaimana sistem senjata lama bisa tetap operasional. Ketidaksiapan sistem senjata juga berpengaruh pada pembinaan personel, misalnya intensitas operasi dan latihan. Masih banyak hal-hal lain yang terkait agenda internal yang merupakan dampak dari faktor eksternal.
Tantangannya adalah sejumlah penyebab itu bisa diselesaikan secara tuntas, sehingga aktor operasional akan lebih banyak outward looking. Dengan outward looking, terdapat kesempatan untuk memikirkan dengan matang inisiatif seperti apa yang sebaiknya digagas oleh Indonesia untuk stabilitas keamanan kawasan. Tentu saja inisiatif itu harus mengacu pada kepentingan nasional Indonesia.

05 Agustus 2009

Alternatif Pengembangan Armada Angkatan Laut

All hands,
Di negara-negara yang sadar betul bahwa eksistensi Angkatan Laut mereka adalah untuk mengamankan kepentingan nasional, banyak pihak yang turut memikirkan pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Sehingga muncul beberapa alternatif pembangunan kekuatan sebagai pembanding terhadap alternatif yang disusun oleh Departemen Pertahanan bersama Angkatan Laut. Lepas apakah alternatif itu kemudian diterima atau tidak oleh pengambil kebijakan pertahanan, alternatif itu memberikan sudut pandang lain dalam pembangunan kekuatan laut, khususnya armada negara-negara yang bersangkutan.
Alternatif pembangunan armada pasti berangkat dari strategi dan juga situasi apa yang tengah dan akan dihadapi oleh Angkatan Laut dalam sekian tahun ke depan. Pemikiran strategis itu tidak akan terlepas dari kepentingan nasional bangsa tersebut. Suatu pemikiran tentang pembangunan kekuatan Angkatan Laut tanpa bertitik tolak dari strategi adalah suatu kesalahan pola pikir yang sangat ceroboh.
Kesalahan pola pikir yang sangat ceroboh itu terjadi pula di Indonesia, yakni segelintir selebritis pertahanan yang merasa paling tahu soal Angkatan Laut, padahal tidak mempunyai jejak rekam di Angkatan Laut itu sendiri. Tidak aneh bila kemudian muncul pemikiran-pemikiran yang aneh, di awang-awang dan tidak berdasar dilihat dari perspektif navalism, sebab tidak paham apa sebenarnya Angkatan Laut.
Di Amerika Serikat, terdapat empat alternatif pembangunan armada di luar alternatif yang dirancang oleh Departemen Pertahanan dan Angkatan Laut. Keempat alternatif itu ada yang berasal dari Kongres, ada pula dari lembaga penelitian di bawah payung Departemen Pertahanan, ada pula pemikiran dari lembaga pemikir swasta.
Dari keempat alternatif itu, perbedaan signifikan terdapat pada jumlah dan jenis kapal perang yang harus dimiliki oleh U.S. Navy. Mengapa berbeda? Karena pendekatan yang dipakai untuk melaksanakan strategi maritim yang telah ditetapkan berbeda.
Misalnya ada yang mengusulkan The tri-modal fleet option, yang terdiri atas Power Projection Fleet, Expeditionary Fleet dan Littoral Superiority Fleet. Ada pula yang menganut balanced fleet approach, ada juga yang menganut pendekatan network-centric warfare dan lain sebagainya.
Penting untuk diketahui bahwa semua pendekatan itu sudah memperhitungkan proyeksi anggaran bagi U.S. Navy hingga beberapa tahun ke depan. Mereka bisa memproyeksikan anggaran bagi Angkatan Lautnya sebab pemerintahan di sana, siapapun yang berkuasa di Gedung Putih, dipastikan mempunyai komitmen terhadap Angkatan Laut. Begitu pula dengan para wakil rakyat di Capitol Hill, yang mana biasanya sebagian dari mereka pernah berdinas di U.S. Navy, baik menjadi pengawak kapal perang maupun menjadi naval aviator.
Adanya beberapa alternatif kekuatan armada Angkatan Laut memberikan pilihan bagi pemerintah maupun legislatif dalam membangun kekuatan laut ke depan. Setiap alternatif dipastikan mempunyai alasan-alasan sendiri mengapa jumlah kekuatannya demikian. Adanya alternatif juga membantu Angkatan Laut dalam melaksanakan assessment terhadap tugas pokok mereka.
Dan yang tidak kalah penting, Angkatan Laut mempunyai banyak pendukung di publik bagi kepentingan politik. Kepentingan politik yang dimaksud dalam arti kepentingan untuk membangun Angkatan Laut, bukan kepentingan memperebutkan kekuasaan.
Kondisi demikian sepertinya masih mimpi di Indonesia. Yang terjadi di negeri kepulauan ini justru seringkali suara-suara sebagian pihak untuk mengebiri Angkatan Laut. Tidak heran bila tidak terlaksananya rencana pengadaan AL kita disikapi biasa-biasa saja oleh banyak pihak, seolah-olah itu tidak ada urgensinya dikaitkan dengan kepentingan nasional bangsa ini. Kepentingan nasional bangsa ini bukan cuma menjadi makmur seperti yang dipahami oleh pengambil kebijakan politik, tetapi juga harus aman dan bermartabat.


04 Agustus 2009

Konstruksi Pertahanan Hasil Reformasi

All hands,
Reformasi politik berimbas pula pada kekuatan pertahanan Indonesia. Pada satu sisi, hasil dari reformasi itu memang bagus. Yakni kekuatan pertahanan, khususnya TNI tidak lagi mengurus hal-hal yang bukan tugas pokoknya. Sehingga tak ada lagi pameo “Semua tugas terlaksana, kecuali tugas pokok”.
Namun kemauan TNI mengikuti arahan politik untuk kembali ke fungsi utamanya tidak diimbangi oleh aktor-aktor bangsa lainnya. Kalau kita bandingkan antara kondisi kekuatan TNI saat ini dengan 1998, nyaris tidak berbeda. Tidak ada penambahan fire power TNI yang signifikan selama 11 tahun belakangan. Betul bahwa ada sejumlah sistem senjata baru, tetapi itu lebih untuk menggantikan sistem senjata lama yang terpaksa dipensiunkan karena sangat amat sekali sering bermasalah. Kalau tidak terpaksa, sistem senjata lama itu tidak akan dipensiunkan meskipun perhitungan ekonomis mengatakan bahwa pemeliharaannya sudah tidak ekonomis lagi dan menjadi beban bagi anggaran.
Meskipun katanya sudah reformasi, sampai sekarang pun TNI dipaksa untuk mengandalkan kemampuannya pada sistem senjata lama. Contohnya adalah kebijakan minimum essential force. Karena anggaran yang dialokasi bagi kepentingan pertahanan tidak berbeda dengan masa sebelum reformasi. Dalam arti anggaran pertahanan bukan prioritas utama, meskipun secara besaran kini menempati nomor dua dalam APBN.
Kenaikan anggaran pun ---dalam kasus tertentu--- harus didahului oleh pengorbanan jiwa sekian puluh atau ratus prajurit. Mungkin kalau mereka tidak “berkorban”, tahun 2010 pun anggaran pertahanan bisa lebih kecil daripada yang telah ditetapkan.
Lalu apa arti dari semua itu? Pengambil kebijakan masih menganut paradigma gun or butter. Paradigma itu masih dianut meskipun ada kasus klaim wilayah di Laut Sulawesi, begitu pula kapal perang asing melanggar ketentuan-ketentuan tentang lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut kepulauan.
Sehingga tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa reformasi tidak memberikan keuntungan bagi kekuatan pertahanan, dalam arti aspek profesionalisme. Apa artinya kembali ke fungsi utama tetapi tidak didukung oleh kemauan politik dari pengambil kebijakan? Apakah bisa menjadi kekuatan pertahanan yang profesional bila kebijakan politik tidak berpihak pada modernisasi kekuatan?
Untuk menjadi kekuatan profesional, butuh sistem senjata yang baru sebab taktik dan strategi akan lebih andal dilaksanakan bila sistem senjatanya memadai dan sesuai dengan fungsi asasinya. Selain itu, butuh intensitas latihan yang tinggi bagi personel pengawak. Bagaimana pengambil kebijakan politik bisa mengharapkan AL kita menjadi kekuatan profesional bila anggaran untuk latihan sangat terbatas?
Suka atau tidak suka, latihan bagi AL adalah di laut menggunakan kapal perang. Semakin tinggi intensitas latihan antar unsur kapal perang di laut, semakin tinggi kesempatan untuk meningkatkan keterampilan di bidang taktik dan strategi. Untuk latihan, butuh dukungan BBM, munisi, uang layar dan lain sebagainya.
Kondisi pertahanan Indonesia sekarang yang seperti ini adalah hasil dari reformasi. Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab? Dan mau dibawa kemana kekuatan pertahanan negeri ini?

03 Agustus 2009

Perlukah Perencanaan Strategis?

All hands,
Dalam pembangunan kekuatan militer, disusun suatu rencana untuk jangka waktu tertentu mengenai apa saja yang akan diprioritaskan dalam pembangunan tersebut. Kegiatan ini biasanya dikenal sebagai perencanaan strategis, dilakukan dari tingkat matra militer hingga ke Departemen Pertahanan. Penyusunan perencanaan strategis mempertimbangkan banyak aspek sebagai masukan, seperti kondisi lingkungan keamanan, susunan tempur saat ini, kekuatan dan kemampuan sumber daya manusia yang dipunyai, perkembangan teknologi dan sebagainya.
Hasil dari semua itu akan berujung pada program-program pembangunan kekuatan. Dari program selanjutnya akan berkonsekuensi pada lahirnya kebutuhan anggaran guna melaksanakan pembangunan kekuatan. Begitulah dinamika dalam perencanaan strategis apabila dijelaskan secara singkat.
Menyusun perencanaan strategis bukan suatu hal yang mudah. Dibutuhkan sumber daya yang tidak sedikit, begitu pula waktu yang tidak sedikit juga. Sumber daya dalam menyusun perencanaan strategis bukan semata sumber daya manusia yang terlibat, tetapi juga sumber daya lainnya.
Berdasarkan pengalaman, menyusun satu dokumen yang terkait dengan perencanaan strategis saja tidak mudah. Selain memeras tenaga dan pikiran, kegiatan itu membutuhkan proses dan waktu yang lama. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya dokumen yang terkait perencanaan strategis disetujui dan mengikat pihak-pihak terkait. Lalu apa yang terjadi selanjutnya?
Seringkali perencanaan strategis yang disusun sekedar jadi dokumen formalitas. Pelaksanaannya tidak jelas meskipun sudah disetujui oleh pemerintah.
Hal itulah yang terjadi dengan berbagai perencanaan strategis yang ada saat ini dalam pembangunan kekuatan militer negeri ini. Mereka sekedar jadi produk formalitas tanpa ditindaklanjuti oleh pihak yang mempunyai kewenangan politik. Dengan kata lain, ---maaf--- sekedar hiasan belaka. Rencana membeli sejumlah kapal perang dan pesawat udara sekedar indah untuk dibaca, namun dipastikan nihil realisasi.
Pertanyaannya, masih perlukah Indonesia mempunyai perencanaan strategis pembangunan kekuatan militer?

02 Agustus 2009

Atas Nama Kemakmuran

All hands,
Dewasa ini mayoritas pemerintahan di dunia menganut paradigma gun and butter, kecuali pemerintahan di Indonesia. Mengapa mereka menganut paradigma gun and butter dan meninggalkan paradigma gun or butter? Jawabannya sederhana, sebab mereka sadar bahwa kepentingan nasional mereka tidak bisa menerima dikotomi gun and butter.
Kepentingan nasional bangsa-bangsa itu selain menekankan pada kemakmuran bagi bangsa mereka, juga menekankan bahwa mereka perlu keamanan untuk mencapai dan mengamankan kemakmuran itu. Bagi mereka, mustahil mencapai kemakmuran dengan menempatkan kekuatan militer mereka sebagai anak tiri di negeri sendiri. Apalagi dalam dunia yang kini saling interdepensi keamanan, yang mana ancaman dan tantangan keamanan bisa berimplikasi langsung terhadap upaya mencapai dan mengamankan kemakmuran mereka.
Atas nama kemakmuran ---lepas mayoritas dari kita tidak setuju---, Amerika Serikat membangun kekuatan militer dan kemudian menginvasi Afghanistan dan Irak. Berdasarkan alasan yang sama sebagian negara-negara NATO mendukung tindakan melanggar hukum internasional tersebut. Atas nama kemakmuran pula, Jepang, Korea Selatan dan Singapura mengirimkan kekuatan lautnya ke perairan Teluk Persia, Laut Arab dan Samudera India guna berpartisipasi dalam perang terhadap terorisme.
Kita semua paham bahwa minyak menjadi alasan utama mengapa Amerika Serikat menginvasi dua negeri Muslim itu. Eksistensi senjata pemusnah massal dan dukungan terhadap kelompok teroris Al Qaidah hanyalah alasan penyamar. Di balik semua itu terdapat minyak bumi yang merupakan salah satu sarana untuk mencapai dan mengamankan kemakmuran bagi mereka.
Apapun kondisi yang terjadi, pembangunan kekuatan militer guna menjamin kepentingan bangsa-bangsa itu terus dilaksanakan. Karena mereka merasa nyaman dengan mempunyai militer yang kuat, bukan sekedar kehidupan yang makmur. Sebab mereka sadar, untuk mencapai kemakmuran tanpa didukung oleh kekuatan militer yang memadai merupakan suatu kemustahilan.
Di Indonesia, atas nama kemakmuran maka kekuatan militer dinomorduakan dalam pengembangannya. Atas nama kemakmuran, dinamika lingkungan keamanan yang sebagian di antaranya memunculkan ancaman dan tantangan terhadap kepentingan nasional Indonesia diabaikan. Contoh jelasnya adalah kasus Laut Sulawesi, yang mana sejak 2005 sampai sekarang tidak ada pembangunan kekuatan laut yang signifikan dari pemerintah.
Artinya, atas nama kemakmuran sebagian dari kepentingan nasional sepertinya tidak ragu untuk dikorbankan. Dan paradigma atas nama kemakmuran sudah berlangsung lama dan terus berlangsung hingga kini di Indonesia? Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia sudah makmur?
Ketika terjadi krisis ekonomi 1997, atas nama kemakmuran uang sekitar Rp.400 trilyun tidak ragu dicurahkan bagi kepentingan ekonomi. Lalu apa hasilnya? Malah membuat negeri ini bangkrut dan terpuruk di dunia.
Anehnya, mengeluarkan dana Rp.10-20 trilyun bagi pembangunan kekuatan Angkatan Laut saja ---untuk pengadaan kapal selam, kapal atas air dan sistem pendukungnya--- susahnya minta ampun. Kenapa sulit? Sekali lagi alasannya atas nama kemakmuran.

01 Agustus 2009

Vitalnya Sea Denial

All hands,
Sea denial merupakan satu dari tiga elemen utama kekuatan laut. Setiap bangsa yang mempunyai Angkatan Laut harus mempunyai kemampuan melaksanakan sea denial, kecuali kalau Angkatan Lautnya tidak dirancang untuk mengamankan kepentingan nasional. Sea denial adalah salah satu cara mengamankan kepentingan nasional.
Pada dasarnya semua sistem senjata yang terkait dengan Angkatan Laut dapat dieksploitasi untuk kepentingan sea denial, termasuk pesawat udara dan anti permukaan yang berpangkalan di pantai. Namun dibandingkan sistem senjata tersebut, sistem senjata yang paling ditakuti dalam sea denial adalah kapal selam.
Ketika Rusia ekonominya terpuruk pada tahun 1990-an setelah bubarnya Uni Soviet, negeri itu masih memprioritaskan pembangunan kemampuan sea denial bagi Angkatan Lautnya. Hasilnya adalah masuknya sejumlah kapal selam nuklir SSGN kelas Oscar II. Kelas ini didesain untuk mampu merusak kapal induk Amerika Serikat dan menghancurkan setelah dari kapal pengawal kapal induk tersebut dalam waktu yang sama.
Sejak 1990-an sampai sekarang, aksi kapal Oscar II membayang-bayangi battle group kapal induk Amerika Serikat di Samudera Pasifik terus berlangsung. Tanpa diketahui oleh publik, setiap kapal induk Om Sam yang berpatroli di Samudera Pasifik senantiasa dibayang-bayangi oleh kapal selam Oscar II. Salah satu aksi membayang-bayangi yang dramatis dilakukan oleh kapal selam Kursk, salah satu dari (saat itu) enam kelas Oscar II yang memperkuat Armada Pasifik Rusia, yang mampu menembus perimeter pertahanan kapal induk Amerika Serikat tanpa mampu dideteksi oleh kapal pengawal.
Di kawasan Asia Pasifik, nilai strategis kapal selam sebagai senjata bagi sea denial semakin disadari oleh banyak negara. Tidak heran bila sekarang negara-negara yang dulunya tidak pernah mengoperasikan kapal selam, kini justru berlomba-lomba membeli kapal selam.
Tujuannya cuma satu yaitu mengamankan kepentingan nasional melalui sea denial. Dengan mempunyai kapal selam, mereka berpikir tentang pukulan balik kepada lawan. Asumsinya, bila mereka kalah pada peperangan kapal atas air, masih ada peluang untuk membalas lewat peperangan bawah air.
Pola berpikir demikian dari dulu dianut oleh Rusia. Itulah penjelasan mengapa dahulu Laksamana Armada Uni Soviet S.G. Gorshkov memberikan perhatian khusus pada kemampuan sea denial lewat pengembangan armada kapal selam secara drastis. Harus kita akui, pemikiran Gorshkov kini diadopsi pula oleh negara-negara di sekitar Indonesia. Meskipun mereka belum mengembangkan armada kapal selam secara drastis seperti halnya Uni Soviet di masa silam.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia terjadi keterputusan dalam pemikiran strategis antara Angkatan Lautnya dengan pengambil kebijakan politik. Pengambil kebijakan politik lebih berpikir soal uang daripada pentingnya memelihara dan membangun sea denial. Itulah ironi di negeri yang mengaku dirinya negara kepulauan.
Penting untuk diketahui bahwa para pengambil keputusan politik di negara-negara lain pola pikirnya sudah mencapai pada gun and butter. Sementara di Indonesia masih gun or butter.