30 November 2009

Menengok Kembali Konsep Pangkalan Angkatan Laut Di Masa Lalu

All hands,
Kalau kita membuka kembali rencana pembangunan kekuatan Angkatan Laut negeri ini di masa lalu, para perwira Angkatan Laut di era itu telah merancang konsep penyebaran pangkalan Angkatan Laut. Salah satunya adalah eksistensi dua homebase Angkatan Laut, yaitu satu di wilayah barat dan satu di kawasan timur. Homebase di kawasan barat telah lama dibangun yaitu di Teluk Ratai, namun dengan alasan tertentu tidak digunakan oleh armada dan hanya dipakai oleh Marinir. Sedangkan homebase di wilayah timur dirancang terletak di Sorong.
Sangat disayangkan tidak ada kelanjutan antara rencana pembangunan pangkalan Angkatan Laut di masa lalu dengan masa kini. Di sisi lain, sejak lama dirasakan bahwa homebase di Surabaya sudah kurang layak lagi seiring perkembangan wilayah di sekitarnya. Begitu pula pangkalan yang terletak di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok.
Bukan rahasia lagi bahwa sekarang dibutuhkan homebase baru bagi armada Angkatan Laut. Terlebih lagi dalam tahun-tahun ke depan realisasi tiga eskader atau armada bernomor atau armada kawasan yang berada di bawah Armada RI tinggal soal waktu. Guna membangun pangkalan baru, dapat dipastikan memerlukan anggaran pembangunan yang tidak sedikit. Sementara kebutuhan anggaran bagi Angkatan Laut bukan semata soal membuat pangkalan baru, tetapi juga memodernisasi sistem senjata dan lain sebagainya.
Menghadapi situasi seperti itu, tidak ada salahnya bila konsep dua homebase yaitu satu di wilayah barat dan satu di kawasan timur yang telah dirumuskan oleh para perwira pendahulu ditengok kembali. Kalau soal ancaman bencana, sebenarnya dapat dikurangi dampaknya melalui pembangunan pangkalan yang memperhatikan mitigasi bencana. Sebagai perbandingan, Jepang yang juga merupakan negeri langganan gempa tidak menghadapi masalah berarti terkait dengan pangkalan Angkatan Lautnya. Dengan demikian, Indonesia pun bisa melaksanakan hal serupa.

29 November 2009

Penentuan Lokasi Pangkalan

All hands,
Selama ini masalah penentuan lokasi pangkalan militer diserahkan sepenuhnya kepada institusi militer. Departemen Pertahanan terkesan tidak mau turut terlibat, padahal masalah pangkalan terkait dengan strategi pertahanan. Penggelaran pangkalan harus disesuaikan dengan strategi pertahanan yang sekarang dianut.
Masalahnya adalah hingga kini belum jelas wilayah mana saja yang harus mendapat prioritas dalam penyelenggaraan pertahanan. Departemen Pertahanan nampaknya tidak memberikan arahan kepada militer negeri ini soal itu, sehingga wajar apabila militer negeri ini memberikan prioritas yang sama terhadap semua pangkalan di pelosok negeri.
Ke depan, sebaiknya Departemen Pertahanan turut terlibat dalam penentuan lokasi pangkalan bagi militer. Tidak semua aspirasi dari militer soal lokasi pangkalan baru harus disetujui. Sebab semua harus mengacu pada strategi pertahanan.
Kalau strategi pertahanan yang dianut sekarang dianggap bermasalah, artinya strategi tersebut harus diperbaiki dulu. Baru kemudian Departemen Pertahanan dapat terlibat aktif dalam penentuan pangkalan militer. Sebab pembangunan pangkalan militer selain terkait dengan strategi pertahanan, juga mempunyai relevansi dengan ketersediaan anggaran pertahanan.

28 November 2009

Masalah Daerah Latihan Tempur

All hands,
Untuk menjaga profesionalisme Angkatan Laut, pelaksanaan latihan secara berjenjang harus senantiasa dilaksanakan. Ketika jenjang latihan mencapai tahapan latihan puncak, dibutuhkan daerah latihan yang sangat luas. Dalam konteks Angkatan Laut, daerah latihan bukan saja mencakup wilayah laut, tetapi juga kawasan pantai dan daratan untuk menguji coba semua bentuk peperangan. Saat menyentuh isu kawasan pantai dan daratan, di sini mulai timbul masalah.
Hal itu terjadi karena Angkatan Laut harus bersentuhan dengan manusia, dalam hal ini sekelompok masyarakat yang terpengaruh oleh diadakannya latihan di wilayah sekitar mereka. Sekelompok masyarakat tersebut bukan semata kumpulan penduduk biasa, namun termasuk pula pemerintahan lokal. Terkadang persentuhan itu berlangsung dengan tidak mulus, bahkan memunculkan konflik seperti dalam kasus di wilayah Grati beberapa tahun silam.
Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya tidak diserahkan sepenuhnya kepada Angkatan Laut negeri ini. Departemen Pertahanan sebagai penentu kebijakan pertahanan harus terlibat dalam masalah penetapan daerah latihan tempur. Departemen ini harus melakukan assessment daerah mana saja yang layak dan pantas dijadikan daerah latihan tempur. Setelah assessment selesai, barulah menetapkannya dan menyelesaikan permasalahan administratif dengan pemerintahan lokal.
Dalam melaksanakan assessment, tentu saja Departemen Pertahanan harus mendengarkan masukan dari Angkatan Laut. Penting untuk diingat bahwa penetapan daerah latihan tempur terkait RUTR Pertahanan yang hingga kini aturan tersebut masih ditunggu bagaimana kelanjutannya. Adanya RUTR Pertahanan akan memudahkan Angkatan Laut dalam berbagai hal, termasuk mengusulkan wilayah yang sepantasnya menjadi daerah latihan tempur.

27 November 2009

Ketergantungan Senjata Pada Amerika Serikat Masih Tinggi

All hands,
Sebagai akibat diembargo oleh Amerika Serikat beberapa tahun lalu, Indonesia kini membatasi diri untuk menggunakan sistem senjata buatan negeri itu. Selain berpaling kepada Rusia dan Cina, Indonesia juga masih mengandalkan pada sistem senjata produksi Eropa Barat. Baik rudal, torpedo, radar dan sistem elektronika seperti sewaco. Terkait dengan sistem senjata keluaran pabrik-pabrik Eropa Barat, Indonesia harus melaksanakan kalkulasi dengan betul.
Alasannya tidak lain karena pada sebagian besar sistem senjata tersebut terdapat komponen-komponen buatan Uwak Sam. Artinya, pelepasan sistem senjata itu kepada Indonesia bukan saja melibatkan pemerintah di mana pabrik senjata berada, namun melibatkan pula Amerika Serikat. Indonesia harus ingat kembali kasus rencana pengadaan rudal Exocet MM-40 Block x yang sempat terhambat karena keberatan Washington.
Kondisi itu menggambarkan bahwa meskipun Angkatan Laut Indonesia mulai mengurangi ketergantungannya pada sistem senjata keluaran Uwak Sam, akan tetapi masih terdapat ketergantungan terhadap Amerika Serikat dalam bentuk komponen-komponen pada sistem senjata buatan Eropa Barat. Hal seperti ini harus diantisipasi sejak dini agar tidak merugikan di kemudian hari. Meskipun dimensi komponennya kecil, namun kehadiran komponen itu dalam sistem senjata adalah wajib. Ketiadaan komponen itu, misalnya akibat embargo akan melumpuhkan sistem senjata secara keseluruhan.

26 November 2009

Mengukur Kerjasama Militer Indonesia-Amerika Serikat

All hands,
Kerjasama militer Indonesia-Amerika Serikat selama ini mengalami pasang surut. Meskipun sejak 2005 embargo militer terhadap Indonesia sudah diangkat oleh Amerika Serikat, namun apabila diperhatikan lebih jauh akan terlihat bahwa Uwak Sam masih berhati-hati dalam menjalin kerjasama militer dengan Indonesia.
Sebagai contoh dalam bidang latihan. U.S. Pacom sebagai komando militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik sangat selektif dalam menentukan latihan militer dengan Indonesia. Sebagian besar latihan militer yang disetujui oleh U.S. Pacom adalah antar Angkatan Laut, kemudian diikuti oleh antar Angkatan Udara dan yang terendah adalah antar Angkatan Darat.
Latihan antar Angkatan Laut kedua negara cukup beragam dan intensif dalam setiap tahunnya. Selain CARAT/NEA, masih ada pula beberapa jenis latihan lainnya seperti Salvex, Reconex, Minex dan latihan tempur antar Marinir kedua negara. Dengan Angkatan Udara, terdapat pula sejumlah latihan yang dilaksanakan. Yang sangat minim justru antar Angkatan Darat, yang sejauh ini baru sebatas Garuda Shield/GPOI.
Pertanyaannya, mengapa terdapat perbedaan intensitas latihan antar matra? Itu terjadi karena kebijakan politik Amerika Serikat. Kebijakan politik bukan saja ditentukan oleh Gedung Putih, tetapi harus direstui pula oleh Capitol Hill. Bertolak dari fakta tersebut, sulit untuk dibantah adanya preferensi berbeda dari penentu kebijakan politik di Washington terhadap militer Indonesia.
Lepas dari semua itu, menjadi tantangan bagi Indonesia untuk meraih keuntungan sebanyak mungkin dari latihan-latihan yang digelar. Terlebih lagi bagi Angkatan Laut negeri ini yang intensitas latihannya jauh lebih tinggi dibandingkan matra lainnya.
Satu hal penting yang harus diperhatikan adalah bidang kerjasama antara dengan Amerika Serikat. Dengan sikap Amerika Serikat yang setengah hati terhadap Indonesia menyangkut isu kerjasama militer secara luas, Indonesia sebaiknya tidak terlalu banyak berharap. Keeratan kerjasama dalam bidang latihan misalnya belum tentu berbanding lurus dengan kerjasama untuk pengadaan sistem senjata. Dengan kata lain, dengan status Indonesia yang cuma sekedar mitra Amerika Serikat, kerjasama militer kedua negara tidak akan luas.

25 November 2009

Mengukur Indonesia Dari Kacamata Asing

All hands,
Para petinggi Indonesia seringkali membanggakan bahwa Indonesia bernilai strategis di mata dunia internasional. Terlebih lagi ketika Indonesia berhasil masuk menjadi anggota G-20. Pertanyaannya, benarkah pandangan demikian dilihat dari kacamata asing?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, salah satu tolak ukurnya adalah penilaian pihak asing terhadap Indonesia dari sudut pandang keamanan global. Misalnya pandangan Panglima U.S. Pacom yang disampaikan dalam acara hearing di depan House's Armed Service Committee. Atau pandangan pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat terhadap keamanan kawasan Asia Pasifik.
Dari semua pandangan itu, berapa kali Indonesia disebut secara khusus dalam pandang-pandangan mereka. Sepanjang yang pernah saya pelajari, seringkali penyebutan Indonesia disandingkan bersama negara-negara lain. Penyebutan Indonesia secara tunggal alias berdiri sendiri biasanya jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan Cina, India, Jepang atau bahkan Singapura.
Apa artinya semua itu? Jawabannya singkat, yaitu Indonesia belum bernilai strategis di mata dunia internasional, khususnya negara maju dalam urusan keamanan internasional. Mungkin muncul pertanyaan, mengapa demikian? Salah satu jawabannya tidak lain dan tidak bukan karena Indonesia tidak mengeksploitasi posisi geopolitiknya secara optimal.

24 November 2009

Kebijakan Off-The-Shelf Purchase Dan Offset

All hands,
Dalam pengadaan sistem senjata, setidaknya ada tiga kebijakan yang dianut oleh banyak negara. Yakni off-the-shelf, offset dan indigenous development. Sebagian negara berkembang kini mulai mencoba menyeimbangkan antara off-the-shelf dengan offset, bahkan ada pula yang sudah merambah menuju indigenous development. Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami kemunduran dalam kebijakan pengadaan sistem senjata dibandingkan di masa lalu.
Dahulu Indonesia sempat menganut pendekatan ganda yaitu off-the shelf dan offset. Pendekatan off-the-self bisa dilihat dari pembelian sejumlah kapal selam, korvet dan fregat dari Eropa selama era 1980-an. Adapun pendekatan offset contohnya adalah saat Indonesia membeli sejumlah kapal FPB-57, yang mana kapal tersebut dibuat berdasarkan lisensi dari Jerman.
Setelah era itu berganti seiring dengan bergantinya pemerintahan, kebijakan pengadaan sistem senjata nyaris off-the-shelf semua. Kalau pun ada offset, baru pada beberapa kapal LPD. Itu pun prosesnya tidak lancar yang disebabkan oleh ketidaksiapan industri perkapalan nasional.
Kalau pemerintah berkepentingan dengan kemajuan industri pertahanan dalam negeri, maka kebijakan off-the-shelf harus dibatasi dengan sejumlah catatan. Catatan yang dimaksud adalah kesiapan industri pertahanan nasional untuk melaksanakan offset, baik dari segi finansial, keahlian maupun infrastruktur. Selain itu, pemerintah harus bisa menjamin kelanjutan pesanan dari industri tersebut. Jangan lagi kasus seperti FPB-57 kembali terulang.
Untuk bisa menyeimbangkan antara off-the-shelf dan offset, Indonesia harus bisa menghitung dulu kemampuannya. Dalam soal kapal perang, masalah klasik yang dihadapi oleh banyak negara berkembang ketika menyentuh soal offset adalah pada sistem pendorong dan elektronika. Sebagai latar belakang, Cina yang dikenal suka mencontek produk negara lain melalui proses reverse engineering masih saja kesulitan dalam dua hal tersebut.
Kalau soal platform tidak terlalu sulit untuk menguasai teknologinya. Namun menyangkut sistem pendorong dan elektronika, negara-negara maju sangat enggan melaksanakan offset khususnya untuk yang berspesifikasi militer. Untuk klasifikasi sipil, bisa dengan mudah ditemui di pasaran, namun tentunya tidak akan cocok bahwa kepentingan militer.
Sekali lagi, kasus FPB-57 menunjukkan kebenaran akan hal tersebut. Teknologi kapal perang itu yang dikuasai oleh Indonesia adalah soal platform, tetapi tidak untuk sistem pendorong dan elektronika. Untuk dua sistem terakhir, nampaknya harus berupaya sendiri menguasainya melalui proses trial and error dalam R&D.
Kembali ke kebijakan off-the-shelf dan offset, Departemen Pertahanan harus merumuskannya secara jelas. Agar tidak hanya berkutat pada slogan transfer of technology yang bagi sebagian pihak dianggap sebagai tidak realistis. Tidak realistis karena teknologi berada dalam bingkai politik suatu negara.

23 November 2009

Angkatan Laut Dan Karakter Pemerintah

All hands,
Maju mundurnya suatu Angkatan Laut ditentukan oleh beragam faktor, baik internal maupun eksternal. Mengacu pada Geoffrey Till, salah satu penentu maju mundurnya Angkatan Laut adalah karakter pemerintah. Peran karakter ini sangat vital, sebab akan menjadi salah satu parameter suatu Angkatan Laut.
Ketika kita mengadakan tinjauan terhadap pencapaian yang telah dicapai oleh kekuatan laut Indonesia dalam jangka 5 tahun terakhir, khususnya menyangkut pengadaan sistem senjata baru dalam rangka pengadaan alutsista, akan ditemukan fakta bahwa kita nyaris tidak mengalami kemajuan. Bahkan ada pendapat yang lebih ekstrem, yakni kita mengalami kemunduran, dalam hal sistem senjata.
Pertanyaannya, mengapa terjadi kemunduran? Apakah hal itu terjadi sebatas masalah-masalah teknis alokasi anggaran di Departemen Keuangan sehingga pengadaan sistem senjata baru tidak terwujud? Apakah hal itu terjadi disebabkan ketidaksamaan persepsi antara Angkatan Laut dengan pihak-pihak lain yang terkait pengadaan sistem senjata? Ataukah ada faktor-faktor lainnya yang tidak kasat mata?
Menurut hemat saya, situasi ini terjadi karena karakter pemerintah. Karakter itu kurang berpihak pada penguatan dan peningkatan kemampuan Angkatan Laut. Karakter itu kurang memandang penting eksistensi dan manfaat Angkatan Laut dalam konteks kepentingan nasional. Karakter itu memandang Angkatan Laut sebagai kekuatan ofensif dalam arti negatif.
Seorang bangsawan Inggris pernah berucap bahwa membutuhkan waktu 300 tahun untuk membangun tradisi maritim. Tradisi maritim bangsa Indonesia sudah terkikis sejak era kolonial dan makin dikikis ketika negeri ini merdeka. Mungkin hanya sekitar 15-20 tahun negeri ini mempunyai pemerintahan dengan karakter maritim, yang hasilnya adalah kejayaan armada Angkatan Laut dan armada niaga Indonesia di wilayahnya sendiri dan kawasan Asia Tenggara. Ketika Indonesia mulai menginjak usia 21 tahun merdeka hingga kini, pembangunan karakter maritim kembali dipinggirkan jauh-jauh.
Sekarang menjadi pertanyaan kapan muncul generasi bangsa ini yang lahir dengan karakter maritim? Apakah 30 tahun lagi? 50 tahun lagi? Atau harus menunggu 300 tahun dari sekarang seperti disinyalir oleh Lord Torrington?
Kelahiran generasi bangsa dengan karakter maritim merupakan suatu awal kebangkitan kejayaan bangsa ini. Kejayaan Angkatan Laut negeri ini mustahil tercipta hanya berbekal semangat, moral dan kerja keras putra-putri bangsa yang mengawaki organisasi Angkatan Laut. Sebaliknya, kejayaan itu harus didukung oleh karakter pemerintah yang berwawasan maritim.

22 November 2009

Kebijakan Ekonomi Tidak Berpihak Pada Kepentingan Pertahanan

All hands,
Sangat sulit untuk membantah bahwa kebijakan ekonomi Indonesia saat ini tidak berpihak kepada kepentingan pertahanan. Kebijakan ekonomi negeri ini yang dimotori oleh birokrat dan akademisi yang pintas dan cerdas minus kesadaran terhadap kepentingan nasional lebih banyak bertolak belakang dengan kepentingan pertahanan. Untuk contoh ketidakberpihakan, bahkan bertolak belakang bukan saja pada isu seperti pengadaan sistem senjata, tetapi juga pada isu-isu lain yang terkait secara tidak langsung dengan pertahanan.
Misalnya adalah pemberian kebebasan kepada pihak asing untuk mengendalikan ekonomi Indonesia melalui penguasaan saham tanpa pembatasan signifikan terhadap lembaga keuangan dan perbankan nasional. Tidak heran bila kini banyak bank swasta yang tuannya berada di Kuala Lumpur dan Singapura. Bahkan mungkin suatu saat nanti bank sentral Indonesia pun akan mempunyai tuan di luar wilayah yurisdiksi Indonesia.
Kita sangat paham bahwa Amerika Serikat pun yang dicap sebagai negara liberal ternyata tidak memberikan peluang sedikit pun akan penguasaan asing terhadap aset-aset ekonomi vital mereka. Bahkan ketika Cina hendak menguasai salah satu perusahaan minyak Amerika Serikat yaitu Unocal beberapa tahun silam, Kongres Amerika Serikat langsung memveto. Kalau di Indonesia, Pertamina yang sudah dikerdilkan pun konon kabarnya sempat hendak dijual oleh pihak tertentu dan apabila hal itu terjadi, parlemen Indonesia dipastikan dengan mudahnya akan menyetujui kebijakan tersebut.
Pertanyaannya, mengapa semua ini terjadi? Apakah semata-mata desakan asing? Sepertinya tidak, hal ini bukan semata desakan asing seperti IMF, Bank Dunia dan para sekutunya. Hal ini terjadi karakter kepemimpinan nasional, khususnya pasca reformasi, tidak lagi memandang penting kepentingan nasional. Semua masalah dilihat secara sektoral, sehingga terjadilah peristiwa semacam penguasaan mayoritas oleh pemegang modal asing terhadap perbankan nasional tanpa menghiraukan keterkaitannya dengan kepentingan nasional bangsa ini.
Sekarang mari kita berpikir ke depan. Apa yang akan terjadi dengan ekonomi Indonesia apabila timbul konflik dengan Negeri Tukang Klaim atas masalah di Laut Sulawesi? Ekonomi nasional negeri ini dipastikan bergejolak karena sebagian perbankan nasional Indonesia dikuasai oleh para tuan di Kuala Lumpur.
Pertanyaannya, kalau ekonomi bergejolak apakah lantas pemimpin nasional akan mendahulukan bagaimana menstabilkan ekonomi ataukah tetap mendahulukan mengamankan kepentingan nasional di Laut Sulawesi? Dengan kata lain, apakah pemimpin nasional negeri ini akan mengutamakan kepentingan ekonomi di atas kepentingan pertahanan, dalam hal ini keutuhan wilayah Indonesia? Menghadapi skenario seperti itu dibutuhkan keteguhan sikap, bukan mencari peluang win-win solution.
Bagaimana pula bila terjadi konflik dengan Singapura? Apakah pengambil keputusan di negeri ini lebih mendahulukan menstabilitasi ekonomi yang bergejolak atas nama kesejahteraan daripada mendahulukan integritas wilayah negara? Ada saatnya frase yang mendahulukan kepentingan kesejahteraan harus ditaruh ke belakang dan pilihan itu hanya bisa diambil oleh pihak yang mengerti betul dengan martabat dan wibawa bangsa.

21 November 2009

Perlu Kesatuan Sikap Menyangkut Kerjasama Maritim ASEAN

All hands,
Indonesia sudah terikat kontrak dengan ASEAN untuk berpartisipasi dalam ASEAN Political Security Community. Salah satu bagian dalam kontrak tersebut adalah dalam isu kerjasama keamanan maritim. Disepakati bahwa dalam jangka 2009-2015, ASEAN akan membentuk ASEAN Maritime Forum sebagai wadah untuk membahas kerjasama maritim antar negara-negara anggota. Dengan terikat kontrak seperti ini, berarti Indonesia harus siap melaksanakan kerjasama itu.
Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali meraih keuntungan sebesar-besarnya dari kerjasama maritim ASEAN. Untuk mencapai ke situasi tersebut, perlu ada roadmap nasional. Roadmap itu bisa diwujudkan apabila ada kesatuan sikap antar semua pemangku kepentingan maritim di Indonesia.
Dapat dipastikan untuk mewujudkan kesatuan sikap tersebut akan menemui jalan berliku. Karena kesatuan sikap hanya dapat dicapai apabila semua pemangku kepentingan bekerja berdasarkan kepentingan nasional, bukan kepentingan sektoral. Kasus penanganan imigran gelap yang melintas perairan Australia menuju Indonesia menunjukkan bahwa kepentingan sektoral lebih mengemuka daripada kepentingan nasional. Tidak aneh bila ada selentingan kurang sedap terhadap instansi tertentu yang terlihat “sangat antusias” memenuhi keinginan Australia.
Pembentukan Forum Maritim ASEAN sudah di depan mata. Artinya sifat “sangat antusias” yang berbasiskan kepentingan sektoral harus segera dihapus dari Indonesia. Melestarikan sifat tersebut juga merupakan sebuah pilihan dengan konsekuensi merugikan kepentingan nasional.

20 November 2009

Pembangunan Angkatan Laut Di Kawasan Asia Tenggara Ke Depan

All hands,
Indonesia harus senantiasa memperhatikan dengan seksama dinamika pembangunan Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Sebab pembangunan tersebut akan berdampak langsung terhadap kepentingan nasional Indonesia. Sebaliknya, pembangunan itu tidak boleh dianggap remeh dan sebagai modernisasi belaka yang tidak akan digunakan untuk menghadapi Indonesia dengan alasan negara-negara Asia Tenggara sudah terikat dengan ASEAN. Penting untuk dipahami bahwa dalam realita ASEAN adalah forum buat para diplomat belaka, sementara bagi para perwira militer forum ASEAN lebih sebagai courtesy semata sebab merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun pun bahwa rasa saling curiga antar militer negara-negara ASEAN masih cukup tinggi.
Terdapat dua kekuatan laut di dalam ASEAN yang pembangunannya harus senantiasa diperhatikan oleh Indonesia. Yaitu Negeri Penampung Koruptor dan Uang Haram asal Indonesia dan Negeri Eksportir Teroris bin Negeri Tukang Klaim alias Negeri Pembunuh WNI, dua negara anggota FPDA dan sekaligus keduanya saling bermusuhan satu sama lain dalam isu-isu tertentu. Alasan untuk memperhatikan pembangunan Angkatan Laut kedua negara sebab keduanya mempunyai beberapa masalah vital dengan Indonesia.
Tidak perlu diuraikan panjang lebar soal pembangunan kekuatan laut kedua negara. Yang mesti diperhatikan adalah akan digunakan di mana dan untuk tujuan apa kekuatan laut yang dibangun itu. Negeri Penampung Koruptor dan Uang Haram asal Indonesia dipastikan akan melancarkan pre-emptive strike apabila kepentingan nasionalnya yang berkategori survival dipersepsikan terancam. Untuk pre-emptive strike, negeri itu selain mempunyai pesawat tempur F-15 dan F-16 yang berpangkalan di dalam negeri dan menumpang di negeri orang, memiliki pula kapal selam.
Sedangkan Negeri Eksportir Teroris bin Negeri Tukang Klaim alias Negeri Pembunuh WNI garis hidupnya sebagian berada di perairan yurisdiksi Indonesia, yakni di Laut Natuna. Yang ditakutkan oleh negeri itu adalah kemampuan Indonesia memotong garis hidup tersebut yang berakibat terputusnya wilayah semenanjung dengan kawasan Kalimantan bagian utara.
Berangkat dari latar belakang demikian, sampai kapan Indonesia terus menunda modernisasi kekuatan lautnya? Sampai rakyat sejahtera? Lalu apa saja definisi parameter bahwa rakyat dapat dikatakan sejahtera?
Dan kapan pastinya rakyat negeri ini dapat dikategorikan sejahtera? Kalau definisi rakyat sejahtera bersifat never ending goal, berarti Angkatan Laut negeri ini selamanya tidak pernah akan dibangun. Padahal konstitusi Indonesia mengamanatkan adanya kemampuan untuk mengamankan segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia, bukan sekedar memajukan kesejahteraan umum.

19 November 2009

Menyeimbangkan Tugas Nasional Dan Internasional

All hands,
Dalam lingkungan strategis yang sudah berubah, tuntutan terhadap Angkatan Laut di dunia juga banyak berubah. Dahulu fokus Angkatan Laut lebih banyak pada melindungi kedaulatan dan integritas wilayah negara. Pasca Perang Dingin, Angkatan Laut dituntut untuk meluaskan perhatiannya di luar isu melindungi kedaulatan dan integritas wilayah negara tersebut. Angkatan Laut sekarang banyak berfokus pada isu-isu yang terkait dengan stabilitas keamanan dunia dan kawasan.
Kini banyak Angkatan Laut yang beroperasi jauh dari wilayah negaranya. Wilayah perairan dunia yang menjadi fokus operasi Angkatan Laut multinasional adalah di Samudera India di sekitar Afrika, Laut Arab, Laut Merah, Teluk Aden, perairan sekitar Somalia dan Laut Mediterania. Operasi-operasi yang digelar di perairan tersebut ditujukan untuk menghadapi isu-isu keamanan maritim yang dipandang akan mengancam stabilitas keamanan.
Di wilayah Laut Mediterania, selain operasi yang digelar oleh NATO untuk menghadapi ancaman terorisme maritim, ada pula operasi maritim yang digelar oleh PBB untuk melaksanakan resolusi Dewan Keamanan. Singkatnya, operasi maritim multinasional untuk menjaga stabilitas keamanan global dan kawasan merupakan salah satu arus utama di dunia sekarang dan ke depan.
Indonesia sebagai warga kawasan dan dunia mengemban pula tanggung jawab untuk menjaga stabilitas keamanan. Terkait dengan Angkatan Laut, perlu dipikirkan agar Angkatan Laut negeri ini ke depan dapat menyeimbangkan antara tugas melindungi kedaulatan dan integritas wilayah dengan tugas-tugas internasional. Pengiriman gugus tugas Angkatan Laut ke Lebanon untuk terlibat dalam operasi perdamaian maritim PBB adalah sebuah langkah maju dan hendaknya tidak berhenti di situ saja.
Perlu dikaji lebih lanjut bagaimana peluang partisipasi Indonesia untuk operasi di perairan dunia lainnya. Soal payungnya apakah di bawah PBB, kekuatan multinasional atau berdiri sendiri, itu bisa didiskusikan lebih lanjut. Substansinya adalah Indonesia sudah sepantasnya meningkatkan partisipasi Angkatan Lautnya dalam operasi-operasi internasional.
Salah satu kekurangan yang harus diakui menyangkut Angkatan Laut Indonesia sekarang adalah minimnya pengalaman interoperability multinasional. Untuk meningkatkan diri dari posisi tersebut, satu-satunya pilihan yang tersedia adalah berpartisipasi lebih aktif dalam beragam operasi multinasional untuk menjaga stabilitas keamanan maritim dunia dan kawasan.
Hal itu harus didukung pula oleh pemerintah Indonesia sebagai pemegang saham terbesar atas Angkatan Laut. Bentuk dukungannya adalah modernisasi kekuatan laut, khususnya pengadaan kapal kombatan atas air dan kapal selam serta pesawat udara. Bukan sekedar janji-janji tanpa realisasi.

18 November 2009

Membangun Maritime Domain Awarenes Butuh Dukungan Politik

All hands,
Sebagai negara yang luas perairannya jauh lebih besar daripada daratan, merupakan suatu keharusan bagi Indonesia untuk membangun maritime domain awareness. Maritime domain awareness secara singkat dapat didefinisikan sebagai pengetahuan tentang apa yang tengah berlangsung di laut dalam suatu kawasan perairan yang dapat berdampak terhadap keamanan, ekonomi dan lain sebagainya. Misalnya di perairan Kepulauan Seribu, kita harus tahu kapal saja yang tengah berlayar atau sedang lego, apa muatannya, berapa krunya, dari mana pelabuhan asal dan kemana pelabuhan tujuannya, apa saja anjungan minyak yang ada di sekitar sana, milik perusahaan apa saja, berapa karyawan yang ada di anjungan minyak, kapal nelayan apa saja yang tengah beraktivitas dan lain sebagainya.
Itu baru contoh di satu perairan dalam lingkup “kecil”. Belum lagi di perairan yang luas, misalnya di Selat Malaka yang membentang dari Aceh sampai Kepulauan Riau, di ALKI dan perairan lainnya.
Untuk membangun kemampuan demikian, dibutuhkan dukungan politik dari pemerintah. Tanpa dukungan politik, maritime domain awareness tidak akan terwujud. Sebab maritime domain awareness merupakan sebuah sistem nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan maritim yang terkait.
Salah satu prasyarat utama untuk membangun maritime domain awareness adalah adanya strategi maritim. Suatu hal yang sangat memalukan bahwa negeri dengan sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut justru tidak mempunyai strategi maritim. Hal itu antara lain karena laut selama ini diabaikan oleh pemerintah alias pemerintah tidak memiliki preferensi terhadap laut.
Dalam prakteknya, ada upaya dari beberapa instansi yang memang domainnya di laut untuk mulai membangun kemampuan maritime domain awareness. Khususnya oleh Angkatan Laut negeri ini dan Departemen Perhubungan. Namun upaya ke arah tersebut kurang didukung oleh pemerintah, antara lain dari aspek pendanaan.
Sebab untuk membangun maritime domain awareness, bukan sekedar menyiapkan dana bagi pembangunan infrastruktur seperti stasiun radar pengamatan pantai. Tetapi dibutuhkan pula dukungan berkelanjutan dari aspek anggaran untuk mendukung aspek operasional. Kini masalah itu menjadi salah satu kendala nyata di lapangan, meskipun di wilayah tertentu telah berdiri serangkaian stasiun radar pengamatan pantai.

17 November 2009

Sinkronisasi Kebijakan Pertahanan Dan Kebijakan BUMN

All hands,
Sebagai korban dari kebijakan embargo senjata oleh negara-negara maju, Indonesia kini berupaya mengurangi ketergantungan senjatanya dari asing. Salah satu bentuknya adalah mendorong industri pertahanan dalam negeri untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan senjata militer negeri ini. Upaya tersebut mulai berjalan, namun kadangkala masih ada hambatan-hambatan teknis berupa kekurangsiapan industri pertahanan itu sendiri.
Industri pertahanan dalam negeri yang utama semuanya berstatus BUMN. Menghadapi kondisi demikian, ke depan hendaknya ada sinkronisasi antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan BUMN. Sinkronisasi seperti apa yang dimaksud?
Seperti diketahui, rencana pembangunan kekuatan pertahanan telah dijabarkan rinci dalam bentuk Renstra jangka menengah yang berlangsung tiap lima tahun. Dalam renstra tersebut sudah dijabarkan dengan rinci kebutuhan material apa saja yang dibutuhkan oleh militer Indonesia yang akan dibeli. Dari kebutuhan itu, bisa diidentifikasi senjata apa yang bisa dipenuhi oleh industri pertahanan dalam negeri dan mana pula yang hanya bisa didukung oleh pabrikan asing.
Bertolak dari situ, Kementerian BUMN dapat memerintahkan industri pertahanan dalam negeri dapat mempersiapkan diri. Baik persiapan kapasitas produksi, sumber daya manusia, pendanaan, kerjasama dengan industri sejenis di luar negeri, koordinasi dengan vendor dan lain sebagainya. Dengan demikian, daya dukung dan daya kompetisi industri pertahanan dalam negeri dapat meningkat.
Sehingga tidak terjadi lagi pelanggaran kontrak seperti penyerahan kapal perang yang tidak sesuai jadwal, kesulitan bahan baku, datangnya sebagian sistem senjata dalam kapal perang yang masih harus dipasok oleh industri asing yang tidak tepat waktu dan lain sebagainya. Singkatnya, Kementerian BUMN dan BUMN industri pertahanan harus tahu apa kebutuhan Departemen Pertahanan dalam lima tahun sampai sepuluh tahun ke depan soal pengadaan senjata.

16 November 2009

Akibat Kebijakan Tanpa Kajian Matang

All hands,
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa sekitar 2020 akibat tercipta masalah besar dalam organisasi militer Indonesia. Masalah itu terkait dengan pembinaan personel, yakni macet total pada kenaikan pangkat dan jabatan perwira, khususnya perwira menengah. Dapat dipastikan pada waktu itu lebih dari seribu Ltk (gabungan dari ketiga Angkatan) yang tidak bisa promosi menjadi Kolonel, sebab jabatan itu sudah penuh. Sebagai dampaknya, ribuan Mayor tidak dapat dipromosikan menjadi Ltk.
Mengapa situasi itu akan terjadi? Tidak lain karena kebijakan perpanjangan usia pensiun bagi perwira dari 55 tahun menjadi 58 tahun. Perpanjangan yang berlaku umum tersebut, tanpa persyaratan tertentu yang ketat mengakibatkan terjadinya penumpukan personel pada jenjang kepangkatan Kolonel. Dari sini jelas bahwa kebijakan perpanjangan usia pensiun dilakukan tanpa kajian yang matang dan parlemen pun langsung saja setuju.
Lalu bagaimana solusi agar 2020 tidak terjadi macet total pada tingkat perwira menengah. Solusinya ada beberapa, seperti penambahan organisasi baru, penetapan aturan kenaikan pangkat yang jauh lebih ketat dan pemberian pensiun dini melalui golden shake hands.
Penambahan organisasi baru dapat mengurangi tingkat kemacetan, tetapi harus dibayar dengan harga yang tidak sedikit. Suka atau tidak suka, akan ada besaran anggaran pertahanan yang diserap untuk membiayai organisasi baru tersebut. Padahal di sisi lain pemerintah masih cukup berat hati untuk memenuhi kebutuhan minimal anggaran pertahanan negeri ini.
Pilihan kedua bisa saja diterapkan, dengan catatan mulai dari jenjang kepangkatan perwira terendah. Sebagai perbandingan, di negara-negara lain tidak semua perwira yang mulai berkarir dengan pangkat Letnan Dua atau setara, baik dari sumber akademi maupun sumber lainnya, akan mencapai jenjang kepangkatan Kolonel. Sebab sistem penilaian dalam kenaikan pangkat dan jabatan mereka sangat ketat.
Dari situ akan terlihat siapa perwira yang layak untuk melanjutkan karir militernya, siapa pula yang harus berpikir ulang. Kalangan yang terakhir ini seringkali memutuskan untuk menempuh pensiun dini dari militer ketika jenjang kepangkatannya baru mencapai Kapten atau Mayor dan kemudian terjun ke karir di dunia sipil. Pola seperti ini bisa ditempuh apabila para perwira telah dibekali dengan ilmu-ilmu non militer yang memadai, seperti ilmu manajemen bisnis, teknik dan lain sebagainya.
Adapun program pensiun dini bisa pula ditempuh apabila disediakan dana kompensasi yang memadai, yang di dunia swasta dikenal sebagai golden shake hands. Program ini dapat pula ditempuh oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertahanan apabila didukung dengan ketersediaan dana kompensasi dari APBN. Tentu harus ditetapkan syarat untuk program pensiun dini, misalnya MDP 10-20 tahun dengan sejumlah persyaratan ketat bersifat teknis.
Mengapa bersifat teknis? Agar jangan sampai nanti terjadi kekosongan personel yang eligible untuk tiap jabatan yang tersedia. Khususnya pada pos-pos yang kritis, baik di kapal perang maupun pendirian darat. Untuk mengidentifikasi berapa kebutuhan minimal pos-pos kritis tersebut, dibutuhkan kajian yang mendalam.
Masalah utama yang dihadapi dalam bidang personel di militer Indonesia adalah soal pendekatan mengisi organisasi. Organisasi militer masih diperlakukan sebagai labour intensive alias padat karya. Kebijakan perpanjangan usia pensiun adalah cermin dari pendekatan tersebut. Sudah saatnya dibutuhkan kajian yang komprehensif dan benar soal berapa sebenarnya kebutuhan nyata personel militer negeri ini, agar militer bukan lagi menjadi lahan bagi para pencari kerja yang tidak sanggup bersaing di dunia sipil.

15 November 2009

Daya Pukul Dan Interoperability Angkatan Laut

All hands,
Dalam beberapa tahun terakhir dan hingga tahun-tahun mendatang, daya pukul Angkatan Laut Indonesia sebagian akan mulai bertumpu pada sejumlah senjata buatan Rusia dan Cina. Jenis senjata berupa rudal jenis Yakhont, C-802 dan C-705 mulai mengisi geladak kapal atas air Indonesia menggantikan rudal-rudal buatan Amerika Serikat dan Eropa seperti Harpoon dan Exocet. Namun bukan berarti rudal buatan Eropa tidak akan dipakai lagi sebagai senjata pada kapal kombatan, sebab rudal Exocet MM-40 dipilih untuk memperkuat kapal korvet buatan Belanda.
Adanya keragaman rudal anti kapal pada kapal perang Indonesia pada satu sisi mengurangi ketergantungan teknologi rudal pada satu blok tertentu. Akan tetapi pada sisi lain, keragaman tersebut melahirkan implikasi pula pada aspek operasional. Satu di antaranya adalah dituntutnya interoperability pada beragam subsistem yang mendukung rudal tersebut. Sebab sebagian dari subsistem itu menggunakan standar NATO yang tentu saja berbeda dengan standar Rusia maupun Cina.
Misalnya, bagaimana menata interoperability antara perangkat penginderaan yang buatan Barat dengan perangkat radar kendali penembakan yang berbasiskan teknologi Rusia dan Cina. Masih terdapat sejumlah pertanyaan lain yang bersifat teknis yang menyangkut interoperability sistem yang berbeda tersebut yang harus bisa dijawab dan dikuasai. Sehingga rudal-rudal dengan daya rusak yang tidak kalah dari senjata sejenis keluaran Barat benar-benar dapat dieksploitasi semaksimal mungkin dalam operasionalnya.
Untuk menguji interoperability tersebut, dapat dilaksanakan pada latihan-latihan rutin yang digelar. Memang biaya latihan itu tidak murah, terlebih lagi ketika harus menembakkan rudal secara live. Namun semua itu tidak dapat dihindari, karena tanpa uji coba penembakan rudal secara live, ada pengetahuan yang belum terisi mengenai sistem senjata yang diawaki.
Meskipun kita sudah dibekali dengan data-data dari pabrikan tentang karakteristik rudal yang dioperasikan, akan lebih baik bila tidak sebatas percaya pada data itu. Perlu dilaksanakan uji coba penembakan rudal secara live untuk melihat langsung karakteristik senjata itu. Hasil uji coba itu dapat menjadi bekal dalam meningkatkan daya pukul kapal perang Angkatan Laut negeri ini.

14 November 2009

Kendala Meningkatkan Kesiapan Sistem Senjata Angkatan Laut

All hands,
Sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada Angkatan Laut negeri ini, tingkat kesiapan sistem senjata kekuatan laut Indonesia kini jauh dari yang diharapkan. Sementara tantangan dan ancaman terhadap kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim terus meningkat. Focal points yang menjadi perhatian Angkatan Laut bukan cuma satu atau dua perairan, tetapi lebih banyak daripada itu.
Pada sisi lain, realisasi pengadaan sistem senjata baru Angkatan Laut masih tidak jelas. Kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada Angkatan Laut lagi-lagi menjadi penyebab ketidakjelasan tersebut. Secara resmi memang tercantum sistem senjata apa yang saja yang hendak dibeli oleh Angkatan Laut hingga beberapa tahun ke depan yang dicantum dalam renstra, namun catatan pelaksanaan Renstra 2005-2009 menunjukkan bahwa aspirasi itu sebatas di atas kertas.
Dihadapkan pada kondisi demikian, tidak ada pilihan lain bagi Angkatan Laut kecuali berupaya meningkatkan tingkat kesiapan sistem senjata yang ada saat ini dalam susunan tempurnya. Namun upaya untuk mencapai ini pun tidak mudah, sebab beberapa kendala menghadang.
Pertama, alokasi anggaran. Sudah menjadi kebiasaan pemerintah dari dulu bahwa dalam alokasi anggaran untuk pemeliharaan sistem senjata, tidak semua sistem senjata yang ada dalam susunan tempur disediakan dana pemeliharaannya setiap tahun. Kebijakan seperti itu sangat jelas mempengaruhi tingkat kesiapan sistem senjata.
Kedua, rentang waktu antara pemesanan suku cadang dengan distribusi suku cadang. Dapat dipastikan ada rentang waktu antara waktu pemesanan suku cadang dengan distribusi suku cadang tersebut kepada pemesanan. Ditambah lagi dengan pemasangan suku cadang tersebut ke dalam sistem senjata. Adanya rentang waktu demikian dipastikan mempengaruhi pada tingkat kesiapan sistem senjata, sebab pemeliharaan menjadi lebih lama. Tidak heran bila ada sistem senjata yang pemeliharaannya memakan waktu hampir setahun, yang semestinya bisa dipersingkat menjadi sekitar 3-6 bulan.
Ketiga, kelangkaan suku cadang. Kelangkaan suku cadang terjadi pada sistem senjata generasi lama yang kini sudah tidak diproduksi lagi. Entah itu kapal perang maupun pesawat udara. Situasi ini dihadapi oleh Indonesia akibat dari kegemaran pemerintah yang terus menunda modernisasi kekuatan Angkatan Laut dengan alasan keterbatasan anggaran.
Tentu saja masih ada sejumlah kendala lainnya dalam rangka meningkatkan tingkat kesiapan sistem senjata. Untuk memecahkan kendala tersebut, salah satu cara yang ampuh dan ekonomis adalah segera mengakhiri status gemar menunda modernisasi kekuatan Angkatan Laut. Artinya dalam jangka waktu 2010-2014 harus ada modernisasi signifikan pada sistem senjata Angkatan Laut, khususnya untuk kapal kombatan.

13 November 2009

Sikap Jelas Dalam Pengadaan Sistem Senjata Angkatan Laut

All hands,
Selama beberapa tahun terakhir, pengadaan sistem senjata Angkatan Laut mengalami hambatan yang luar biasa. Hambatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti berlikunya alokasi anggaran, hambatan birokratis dan juga tekanan dari kekuatan luar yang tidak suka melihat Angkatan Laut Indonesia maju dan berkembang. Namun perlu pula diperhatikan bahwa ada faktor lain yang juga berpengaruh terhadap pengadaan tersebut.
Faktor yang dimaksud adalah sikap yang jelas dan tegas dari pemimpin nasional. Apabila selama ini proses pengadaan sistem senjata Angkatan Laut terhambat, satu faktor penting penyebab menyangkut soal sikap tersebut. Tanpa itu, rencana pembangunan kekuatan Angkatan Laut akan jalan di tempat dan kekuatan laut Indonesia makin menjadi pecundang di kawasan Asia Tenggara.
Di masa lalu, dengan segala kekurangannya, pemimpin nasional berani mengambil sikap jelas dan tegas menyangkut pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Hasilnya antara lain masuknya 39 kapal perang eks Jerman Timur, meskipun mendapat penentangan keras di dalam negeri. Lepas bahwa setelah itu Indonesia harus menginvestasikan sejumlah besar dana untuk memperbaiki kapal perang tersebut, namun sekarang kapal perang itu menjadi salah satu tumpuan Angkatan Laut untuk mengamankan kepentingan nasional.
Karena sikap tegas pula, Indonesia mendapatkan kapal selam dari Jerman Barat pada awal 1980-an. Begitu pula dengan sejumlah kapal atas air jenis fregat dan korvet. Dan hasil pengadaan itu hingga sekarang masih menjadi tulang punggung kekuatan laut Indonesia.
Situasi dunia sekarang memang sudah berubah jauh. Perang Dingin sudah lewat, dunia tidak lagi bipolar tetapi multipolar. Amerika Serikat memang masih mempunyai kekuatan militer terkuat di muka bumi, namun kekuatan politik dan ekonominya sudah diimbangi oleh negara-negara lain. Dalam soal pengadaan alutsista, pilihan bagi Indonesia terbuka lebar dibandingkan di masa Perang Dingin.
Ketika pasar terbuka lebar, berarti ada pihak-pihak yang bersaing menawarkan yang terbaik dari sistem senjata mereka bagi Angkatan Laut negeri ini. Tinggal bagaimana Indonesia menyikapi tawaran tersebut disesuaikan dengan kebutuhan operasional Angkatan Laut di lapangan diiringi pertimbangan politik yang komprehensif. Sehingga kasus seperti embargo senjata tidak terulang kembali di masa depan.
Tekanan politik dari negara tertentu ketika Indonesia memperkuat Angkatan Lautnya dengan sistem senjata tertentu tidak bisa dihindari. Menghadapi tekanan tersebut, dibutuhkan keteguhan sikap dalam konteks kepentingan nasional. Angkatan Laut adalah instrumen untuk mengamankan kepentingan nasional. Tanpa keteguhan sikap dan keberpihakan terhadap Angkatan Laut, sulit bagi Angkatan Laut Indonesia untuk maju.

12 November 2009

Kerjasama Logistik Angkatan Laut

All hands,
Kekuatan laut Indonesia sejak lama telah menjalin kerjasama dengan Angkatan Laut lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Kerjasama itu secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam bentuk kerjasama operasi dan latihan dan kerjasama pendidikan. Namun demikian, masih ada bagian lain dalam kerjasama Angkatan Laut yang selama ini belum digarap, seperti kerjasama logistik.
Kerjasama logistik Angkatan Laut bentuknya luas, seperti kerjasama pemeliharaan kapal perang, kerjasama dukungan logistik bagi kapal perang, pertukaran munisi dan lain sebagainya. Tentu menjadi pertanyaan mengapa kerjasama logistik dengan Angkatan Laut lain di kawasan Asia Tenggara terkesan ketinggalan dibandingkan kerjasama di bidang operasi dan latihan.
Nampaknya terdapat beberapa penyebab mengapa hal demikian terjadi? Pertama, bisa jadi karena belum adanya rasa saling percaya yang kuat. Sebagai contoh, kapal perang negeri pelindung dan penampung koruptor asal Indonesia bila bersandar di pelabuhan Indonesia tidak pernah mau menggunakan fasilitas dukungan BBM maupun air tawar dari fasilitas Angkatan Laut Indonesia. Sebaliknya mereka memesan sendiri pasokan logistik dari agen mereka di sini.
Kondisi itu mungkin karena mereka kurang percaya dengan tingkat kemurnian dan sterilisasi logistik dari Indonesia. Kasus ini mirip dengan keengganan pesawat komersial berjadwal yang enggan mengisi bahan bakar di bandara di Indonesia, dengan alasan ragu terhadap kualitas bahan bakar yang dipasok. Dari penyebab pertama ini jelas kaitannya merembet keluar dari domain Angkatan Laut, yaitu pemasok dan produsen bahan bakar Indonesia.
Kedua, mungkin saja karena masing-masing Angkatan Laut berupaya menjaga bagian-bagian sensitif dalam sistem senjatanya dari telisikan pihak asing. Bentuk yang kedua ini dapat terjadi apabila kapal perang satu negara Asia Tenggara dipelihara di fasilitas galangan kapal milik negara Asia Tenggara lainnya. Meskipun resiko serupa juga terjadi apabila kapal dipelihara di galangan kapal asing di luar kawasan ini, tetapi nampaknya sensitivitas akan telisikan negara tetangga lebih tinggi daripada hal serupa yang dilakukan oleh negara yang letaknya berada di luar kawasan ini.
Ketiga, belum ada niat dari negara-negara Asia Tenggara untuk menjalin kerjasama logistik. Hal itu sangat mungkin berangkat dari rasa saling tidak percaya yang masih terpendam, meskipun sejak lama upaya CBM telah dilaksanakan. Sebagian negara di kawasan ini lebih merasa nyaman melakukan kerjasama logistik dengan kekuatan laut ekstra kawasan.
Dari kondisi nyata saat ini, benang merahnya adalah belum kukuhnya CBM di antara negara-negara Asia Tenggara. Termasuk di dalamnya naval confidence building measures.

11 November 2009

Mengulangi Pengalaman Era 1966-1979?

All hands,
Suatu hal yang kontradiktif tengah terjadi di kawasan Asia Tenggara dalam hal pembangunan kekuatan laut. Indonesia yang hingga awal 1990-an mempunyai Angkatan Laut yang sangat diperhitungkan di wilayah ini, kini tengah mengalami kemunduran secara teratur dan sepertinya akan terus berlanjut hingga waktu yang belum bisa ditentukan. Sebaliknya, Angkatan Laut di kawasan yang sampai awal 1990-an tidak ada “apa-apanya” dibandingkan dengan kekuatan laut Indonesia sekarang justru terus membangun kekuatannya dan menempatkan Indonesia pada posisi yang semakin tidak diperhitungkan.
Merupakan suatu pertanyaan mengapa hal demikian terjadi. Kalau ada pihak yang mengaitkannya dengan anggaran, berarti pihak tersebut tidak paham dengan Angkatan Laut. Jawaban cerdasnya tidak lain dan tidak bukan adalah kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak melihat arti penting laut. Dan cara pandang demikian masih dianut hingga detik ini. Kalau soal contoh, silakan lihat berapa persen kesuksesan program pengembangan material matra laut pada Renstra Angkatan Laut 2005-2009.
Dengan kondisi seperti ini, nampaknya dalam kurun waktu 10 tahun dari sekarang Angkatan Laut Negeri Nusantara akan kembali mengulangi pengalaman sejarah pada masa 1966-1979. Pada masa itu, kekuatan laut Indonesia nyaris lumpuh karena menurunnya kualitas hubungan diplomatik dengan Uni Soviet sebagai pemasok utama sistem senjata Angkatan Laut.
Di masa 10 tahun ke depan, situasi demikian nampaknya akan terulang lagi namun dengan penyebab yang berbeda. Penyebabnya kali ini adalah ketidakberpihakan pemerintahan-pemerintahan hasil pilihan rakyat melalui proses yang demokratis terhadap pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Akibatnya, upaya mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim akan dilakukan seminimum mungkin. Mungkin upaya yang paling keras cuma protes lewat jalur diplomatik tanpa diiringi kemampuan Angkatan Laut untuk menindak di lapangan.
Situasi terburuk seperti itu bisa dihindari apabila pemerintahan Indonesia periode 2009-2014 mengambil kebijakan yang berbeda dengan pemerintahan periode 2004-2009. Namun apakah hal demikian akan terjadi?
Bila harapan demikian tidak terwujud, satu-satunya harapan adalah pada pemerintahan 2014-2019 yang dipastikan berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Bila tidak juga berpihak kepada Angkatan Laut, upaya untuk mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan laut mungkin hanya semata-mata mengandalkan doa saja. Sebagai umat yang beriman, kita tentu percaya terhadap kekuatan doa. Namun keyakinan kita juga mengajarkan bahwa setiap doa harus diiringi dengan usaha.

10 November 2009

Saling Ketergantungan Antara Pertamina-Angkatan Laut

All hands,
Ketika membahas soal hubungan antara Pertamina selaku BUMN migas dengan militer negeri ini, khususnya Angkatan Laut maka yang pasti mengedepan adalah soal utang BBM Angkatan Laut kepada BUMN tersebut. Dalam situasi ini, Pertamina sebagai BUMN merasa di atas angin. Tidak heran bila BUMN ini berani mengurangi pasokan BBM bagi Angkatan Laut, sehingga mempengaruhi rencana operasi Angkatan Laut secara keseluruhan untuk hadir di laut.
Kondisi ini menggelitik pertanyaan, apakah betul hanya Angkatan Laut saja yang tergantung pada pasokan BUMN migas ini. Apakah Pertamina tidak mempunyai ketergantungan kepada Angkatan Laut? Boleh saja ada pihak yang berpendapat bahwa BUMN ini tidak punya ketergantungan terhadap Angkatan Laut, akan tetapi pendapat saya berbeda.
Berbicara tentang BBM bukan semata soal produksi, tetapi mencakup pula masalah distribusi. Seberapa besar pun kapasitas produksi BBM kilang Pertamina, tidak akan ada artinya tanpa didukung oleh distribusi. Ketika menyinggung soal rantai distribusi, di situlah titik ketergantungan BUMN yang di masa lalu pernah dihinggapi kasus korupsi yang menghebohkan ini terhadap Angkatan Laut.
Sebab suka atau tidak suka, distribusi BBM sebagian mengandalkan pada jalur laut. Jalur distribusi tersebut terbentang dari unit pengolahan/kilang minyak menuju ke terminal back loading, terminal transit dan depot-depot BBM. Terdapat delapan unit pengolahan/kilang minyak Pertamina di Indonesia, yaitu Pangkalan Brandan, Dumai, Sungai Pakning, Balongan, Cilacap, Cepu, Balikpapan dan Kasim. Sedangkan terminal transit ada lima yakni Teluk Kabung, Tanjung Gurem, Kalbut, Manggis dan Wayame.
Bila selama ini jalur distribusi Pertamina di dalam negeri lewat laut tidak mengalami gangguan, apakah hal itu tercipta tanpa kontribusi Angkatan Laut? Apakah ada kekuatan yang di dalam negeri yang bisa mengandalkan jalur distribusi minyak lewat laut selain Angkatan Laut? Mungkin saja perusahaan migas ini “mengundang” pihak yang tidak berkompeten di laut namun berupaya diri untuk memproklamasikan diri sebagai Coast Guard Indonesia, tetapi bagaimana pun “undangan” itu tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan. Tidak ada pilihan lain untuk mengamankan perairan yurisdiksi Indonesia, termasuk jalur distribusi Pertamina kecuali berpaling kepada Angkatan Laut.
Putusnya jalur distribusi BBM di negeri ini implikasinya bukan soal kerugian bisnis Pertamina, tetapi kelangsungan logistik nasional. Soal perusahaan ini mau untung atau rugi, Angkatan Laut tidak punya urusan. Tetapi ketika sudah menyentuh logistik nasional yang berarti hajat hidup bangsa ini, tidak ada pilihan bagi Angkatan Laut kecuali harus turun tangan lewat penggunaan kekuatan laut.
Bertolak dari ilustrasi singkat ini, pesannya adalah agar Pertamina sebagai BUMN dan para penentu kebijakan soal BUMN berpikir dalam konteks kepentingan nasional. Bukan semata bingkai sektoral yaitu untung rugi perusahaan. Soal kecil seperti utang sebenarnya bisa diatur apabila pihak yang berada di atas Pertamina mau berpikir lebih bijak dalam bingkai kepentingan nasional.

09 November 2009

Amerika Serikat Tidak Tulus Membantu Indonesia

All hands,
Ketika berbicara tentang isu keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang sangat vokal dan aktif. Termasuk di antaranya sangat vokal mengkritik dan menekan Indonesia sebagai negara dengan perairan terluas di kawasan ini. Namun ketika Indonesia mengakui adanya kekurangan dalam penanganan keamanan maritim di wilayah yurisdiksinya dan selanjutnya mempertanyakan bantuan apa yang akan diberikan oleh Uwak Sam, Washington lalu mundur dengan teratur.
Kejadian seperti ini sudah seringkali berulang. Bukan satu atau dua kali, hanya saja memang masyarakat awam tidak mengetahuinya. Masalah ini pun sangat jarang diungkap di media massa, mungkin karena para wartawan nenek moyangnya adalah seorang pelaut.
Memang ada fakta tidak terbantahkan oleh siapapun bahwa Gedung Putih atas persetujuan Capitol Hill memberikan bantuan lewat Project 1206 dan 1207. Itu pun wilayah pemasangan radarnya sudah ditentukan oleh para pejabat di Pentagon, bukan atas dasar usulan dari Cilangkap, dalam hal ini Angkatan Laut. Akan tetapi ada fakta lain yang sekali lagi tidak digali oleh media massa Indonesia. Fakta itu adalah bantuan kapal dari militer Amerika Serikat kepada pihak yang selalu mencoba menerapkan rezim hukum darat di laut.
Singkatnya radar diberikan kepada Angkatan Laut, namun kapal diberikan kepada instansi darat yang memaksakan diri ke laut. Apa arti dari semua itu? Di dalam Angkatan Laut, kita mengenal empat komponen yang tidak terpisahkan satu sama lain dalam suatu sistem senjata. Keempat komponen mencakup sensing, mobility, fire power dan C4I.
Angkatan Laut negeri ini diberikan kemampuan sensing oleh Washington. Namun kemampuan mobility dan fire power justru diberikan kepada instansi yang tidak berwenang dalam penegakan keamanan di laut. Kalau Pentagon ingin membantu Indonesia, mengapa bantuan mobility dan fire power tidak diberikan sekaligus satu paket kepada Angkatan Laut?
Dari situ dapat disimpulkan bahwa Amerika Serikat tidak tulus dalam bekerja sama dengan Indonesia, khususnya menyangkut maritime security capacity building. Negeri yang kehidupan politiknya sangat dipengaruhi oleh lobi Yahudi tersebut hanya bisa mengkritisi Indonesia secara tajam dan vokal, tetapi tidak mau membantu secara tulus ketika dimintai bantuan. Ada apa di balik semua ini?

08 November 2009

Interoperability Angkatan Laut Dengan Kekuatan Darat

All hands,
Wilayah interoperability antara Angkatan Laut dengan Angkatan Darat cukup luas, tidak terbatas operasi di darat yang mana Angkatan Laut memberikan dukungan operasional kepada Angkatan Darat. Interoperability kedua matra meliputi pula di laut, seperti pergeseran pasukan dan logistik. Dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, pergeseran pasukan dan logistik Angkatan Darat tidak dapat mengandalkan pada kapal-kapal LCT milik Angkatan Darat (dikenal sebagai kapal ADRI).
Sebaliknya, pergeseran tersebut lebih banyak mengandalkan pada Angkatan Laut. Sebab selain daya muat kapal perang Angkatan Laut lebih besar, selain juga Angkatan Laut mempunyai tugas terkait dengan lintas laut militer. Sebagai contoh, dalam konflik di Aceh beberapa tahun lalu kapal-kapal perang Angkatan Laut, baik dari Armada RI maupun Kolinlamil merupakan kuda beban bagi pergeseran ribuan pasukan dan logistik Angkatan Darat.
Terkait dengan hal itu, interoperability antar kedua matra harus sejak awal dirancang khususnya saat menyusun perencanaan kekuatan. Misalnya, Angkatan Darat harus memperhitungkan dengan cermat antara opsreq kendaraan lapis baja yang dibutuhkannya dengan kapasitas kapal angkut Angkatan Laut. Jangan sampai kekuatan lapis baja Angkatan Darat tidak dapat digeser menggunakan kapal perang Angkatan Laut karena dimensinya yang melebihi kapasitas kapal perang itu.
Begitu pula dalam soal latihan gabungan kedua matra. Perlu diuji coba dalam latihan gabungan Angkatan Laut-Angkatan Darat tentang bagaimana melaksanakan operasi penggeseran pasukan dan logistik yang melibatkan kapal perang Angkatan Laut dengan kapal ADRI dalam satu konvoi. Sepengetahuan saya, latihan seperti ini belum pernah dilaksanakan.
Meskipun kapal ADRI hanyalah kapal angkut biasa dan tidak berstatus kapal perang sebagaimana halnya kapal Angkatan Laut, akan tetapi perlu diuji interoperability antar keduanya. Sebab bukan tidak mungkin suatu saat nanti keduanya akan beroperasi secara bersama di bawah komando Angkatan Laut. Bukankah Angkatan Laut masih mengemban kewenangan membina armada angkutan laut nasional, yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilaksanakan oleh Kolinlamil.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Angkatan Darat mempunyai sejumlah kapal angkut jenis LCT karena kebutuhan taktis untuk pergeseran pasukan dan logistik belaka. Bahkan di masa lalu pun Angkatan Udara Indonesia juga mempunyai kapal serupa. Kehadiran kapal tersebut bukan ancaman terhadap eksistensi Angkatan Laut, sebab kapal itu tidak digolongkan kapal perang. Dengan demikian, kapal itu tidak mempunyai kewenangan-kewenangan seperti halnya yang melekat pada kapal perang Angkatan Laut.
Yang penting untuk diperhatikan ke depan adalah bagaimana interoperability antara kapal ADRI dengan kapal perang Angkatan Laut. Angkatan Laut adalah pembina kekuatan maritim nasional, termasuk armada angkutan laut di dalamnya. Sehingga bukan suatu hal yang berlebihan bila interoperability tersebut mendapat perhatian khusus.

07 November 2009

Konsep Binkuat Gunkuat Ke Depan

All hands,
Konsep binkuat gunkuat yang saat ini berlaku perlu untuk ditinjau kembali. Kenapa demikian? Tidak lain dan tidak bukan karena sistem politik saat ini tidak sesuai lagi dengan sistem politik konsep tersebut dicetuskan.
Dalam sistem di masa lalu, ABRI adalah kekuatan politik utama di Indonesia. Dengan demikian, dalam soal deployment and employment ABRI bisa menentukan sendiri. Kini TNI bukan lagi kekuatan politik Indonesia, meskipun masih mempunyai pengaruh politik. Dalam era demokrasi seperti yang dianut oleh Indonesia sekarang, deployment and employment kekuatan militer berada di bawah otoritas sipil yakni Departemen Pertahanan.
Dikaitkan dengan konsep binkuat gunkuat, gunkuat ke depan harus dialihkan dari Mabes TNI kepada Departemen Pertahanan. Sebab gunkuat merupakan instrumen politik dan TNI tidak memiliki kewenangan soal itu. Hanya Menteri Pertahanan atas nama Presiden yang dapat melaksanakan deployment and employment kekuatan militer. Sedangkan binkuat tetap seperti sekarang, sebab itu memang kewenangan para kepala staf Angkatan.
Penataan kembali konsep binkuat gunkuat harus berada dalam bingkai penataan institusi pertahanan secara umum. Terkait dengan gunkuat, harus dikaitkan pula dengan reorganisasi dan atau validasi Mabes TNI. Seperti sudah menjadi pemahaman umum, terdapat kesamaan pandangan bahwa ke depan Mabes TNI harus bertransformasi menjadi markas gabungan saja dengan organisasi yang ramping dan berada di dalam atau di bawah Departemen Pertahanan.

06 November 2009

Masih Berlakukah Konsep Binkuat Gunkuat?

All hands,
Pelaksanaan konsep binkuat gunkuat di lingkungan militer negeri ini sekarang berada di persimpangan jalan. Mengapa demikian? Sebab ada kecenderungan yang terus berulang yang mana aktor gunkuat kini bertindak pula selaku aktor binkuat. Akibatnya terjadi duplikasi Rencana Kerja antara aktor binkuat dengan gunkuat.
Tentu menjadi pertanyaan mengapa aktor gunkuat kini sangat bernafsu pula menjadi aktor binkuat? Kemungkinannya tak lain karena “kelebihan” anggaran pada pos pembinaan. Bisnis utama aktor gunkuat adalah pada operasi, sehingga seharusnya anggaran pos operasi harus lebih banyak. Sebaliknya, anggaran pada pos pembinaan seharusnya seminim mungkin.
Sebab masalah pembinaan merupakan tanggung jawab dan wewenang dari aktor binkuat. Entah mengapa dalam beberapa tahun terakhir ini pos pembinaan pada anggaran aktor gunkuat jumlahnya besar. Akibatnya, terjadi redundansi dengan aktor binkuat.
Apa yang terjadi selanjutnya? Aktor gunkuat “mengintip” Rencana Kerja aktor binkuat, khususnya yang terkait pengadaan sistem senjata. Sehingga kemudian dalam Rencana Kerja aktor gunkuat keluarkan pengadaan seperti radar kapal perang, meriam kapal perang dan lain sebagainya?
Entah kapal perang yang mana, sebab aktor gunkuat tidak mempunyai kapal perang. Satu-satunya kesatuan tempur yang ada langsung di bawah aktor gunkuat adalah satuan yang bertanggung jawab terhadap keamanan kepala negara dan keluarganya serta satuan pertahanan udara. Sudah pasti kedua satuan tidak membutuhkan kapal perang beserta sistemnya.
Pertanyaannya, sampai kapan Departemen Pertahanan akan membiarkan pelanggaran ini? Tidak alasan Departemen Pertahanan untuk takut terhadap aktor gunkuat, sebab anggaran aktor gunkuat harus lewat pintu tunggal yaitu Departemen Pertahanan itu sendiri. Kalau aktor gunkuat “macam-macam”, tinggal tekan saja lewat pintu anggaran. Dan harus diingat bahwa Departemen Pertahanan mempunyai otoritas politik terhadap kebijakan pertahanan, suatu otoritas yang tidak dimiliki oleh aktor gunkuat.
Kalau ada ketakutan, dapat dipastikan terkait soal pembinaan personel militer di Departemen Pertahanan yang masih berada di tangan aktor gunkuat. Namun apabila ketakutan mengalahkan penegakan aturan main, akan menimbulkan kontraproduktif pada penggunaan anggaran.

05 November 2009

Pendekatan Dalam Opsi Penggantian Kapal Perang

All hands,
Penggantian sejumlah kapal perang dalam susunan tempur armada laut Indonesia bersifat mendesak. Banyak alasan untuk itu yang tidak perlu diuraikan di sini secara rinci. Yang menjadi pertanyaan, pendekatan apa yang digunakan dalam pergantian tersebut? Apakah one-on-one ataukah two/three/four- on-one?
Pendekatan pertama berarti setiap satu kapal perang yang dihapus digantikan oleh satu kapal perang baru yang sejenis. Sedangkan pendekatan kedua berarti dua/tiga/empat kapal perang yang dihapus digantikan oleh satu kapal perang baru. Kedua pendekatan ini merupakan pilihan-pilihan di tengah ketidakberpihakan pemerintah negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan terhadap Angkatan Lautnya sendiri.
Menurut hemat saya, pendekatan pertama dapat diterapkan untuk kapal kombatan, baik kapal atas air maupun kapal selam. Sedangkan pendekatan kedua bisa dilaksanakan pada kapal non kombatan, khususnya kapal angkut. Pendekatan pertama dapat diterapkan karena kapal kombatan Indonesia ke depan seharusnya tidak boleh lebih sedikit daripada yang ada saat ini, sebab harus diingat bahwa wilayah tanggung jawab Angkatan Laut negeri ini sangat luas.
Untuk pendekatan kedua, bisa diterapkan dengan catatan bahwa kapal pengganti mempunyai kapasitas angkut yang lebih besar daripada kapal angkut yang digantikan. Misalnya tiga LST digantikan oleh satu LPD. Memang fungsi asasinya keduanya berbeda, namun LPD masih tetap dapat melaksanakan operasi amfibi meskipun tidak dapat melakukan beaching.
Dalam kondisi yang tidak menguntungkan bagi Angkatan Laut negeri ini sekarang, sudah sepantasnya kita mencari solusi yang tidak mengurangi kemampuan Angkatan Laut dari kondisi saat ini. Bahkan sudah sepantasnya bila kekuatan laut Indonesia lebih maju daripada kondisi sebelumnya. Bila kita ngene-ngene ae, artinya tidak ada perubahan.
Kata kuncinya adalah masih tersedia peluang untuk kembali memperkuat Angkatan Laut di tengah atmosfir ketidakberpihakan pemerintah terhadap pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Tinggal peluang itu mau dimanfaatkan atau tidak?

04 November 2009

Kerjasama Keamanan Maritim Berdasarkan Prinsip Kesetaraan

All hands,
Kerjasama antara negara harus didasarkan pada prinsip kesetaraan. Prinsip tersebut bukan saja harus tertulis di atas kertas, tetapi harus dan wajib pula dipraktekkan di lapangan. Artinya dalam kerjasama yang melibatkan dua pihak atau lebih, tidak ada pihak yang dalam kerjasama bertindak laksana tuan dan pihak lain berlaku bagaikan jongos.
Akan tetapi sangat disayangkan bahwa belum semua pihak di Indonesia paham dan berpegang teguh terhadap prinsip tersebut. Paham dan berpegang teguh terhadap prinsip itu terkait dengan martabat dan wibawa bangsa Indonesia di dunia internasional. Masih ada saja pihak tertentu yang secara sadar atau tidak sadar meletakkan diri pada posisi inferior ketika menjalin kerjasama dengan pihak asing, termasuk pula dalam isu keamanan maritim.
Sehingga tidak aneh bila di laut kita menemukan adanya pihak yang beroperasi secara intensif di perairan tertentu yang selama ini tidak digolongkan sebagai focal point oleh pihak yang lebih berkompeten, khususnya Angkatan Laut. Ketika ditelusuri lebih jauh mengapa pihak itu beroperasi secara intensif di perairan non focal point tanpa alasan dasar yang kuat, ternyata jawabannya tak lain dan tidak bukan adalah karena pesanan sponsor pihak asing.
Adapun kepatuhan kepada pesanan pihak asing tidak lain dan tidak bukan karena disebabkan oleh pemberian bantuan dana. Dengan kata lain, operasi di laut oleh pihak tertentu itu dilaksanakan berdasarkan penyakit yang diderita oleh birokrasi Indonesia, yaitu pendekatan proyek. Demi pendekatan proyek, prinsip kesetaraan antar negara dengan sadar dipinggirkan.
Hal seperti itu merupakan kecelakaan nasional bagi bangsa Indonesia. Namun tidak banyak pihak yang peduli dengan masalah seperti ini. Tak lain karena bangsa ini pada dasarnya memang tidak peduli dengan laut, kecuali bila ada uang yang menjanjikan di sana.

03 November 2009

Antara Proliferation Security Initiative Dan Illegal Immigrant

All hands,
Pada 27-30 Oktober 2009 Negeri Penampung Koruptor dan Uang Haram asal Indonesia menjadi tuan rumah Exercise Deep Sabre II. Latihan yang diikut oleh 19 negara itu merupakan latihan terhadap Proliferation Security Initiative (PSI). Sebelumnya pada 2005 di negeri latihan yang sama dengan sandi Exercise Deep Sabre.
Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Pasifik yang bersikap kontra PSI. Alasannya, selain bertentangan dengan kedaulatan negara pantai dalam soal pencegatan di laut, PSI juga bertentangan dengan hukum laut internasional. UNCLOS 1982 mengenal adanya tiga rezim lintas dan negara pantai tidak diperbolehkan melakukan pencegatan terhadap kapal yang melintas. Sikap teguh menolak PSI dipegang oleh Indonesia hingga detik ini.
Namun bertolak belakang dari itu adalah sikap Indonesia dalam illegal immigrant yang tengah berlayar menuju Australia. Indonesia tanpa ragu-ragu melanggar hukum internasional dengan menangkap kapal yang berisi para illegal immigrant asal Srilanka ketika melintas di Selat Sunda yang merupakan bagian dari ALKI I. Tindakan itu dilakukan untuk menyenangkan hati Australia yang kini menganut kebijakan Indonesia’s Solution dalam soal pengungsi menuju Australia. Inti dari kebijakan itu adalah menjadi Indonesia sebagai dumping ground bagi pengungsi yang bertujuan ke negeri yang didirikan oleh para kriminal tersebut.
Dari situ tampak bahwa kebijakan Indonesia terhadap hukum laut internasional sebenarnya berstandar ganda. Indonesia akan bersikeras mematuhi UNCLOS 1982 saat tidak setuju dengan kebijakan negara lain. Sebaliknya, Indonesia dengan mudahnya melecehkan hukum laut internasional yang selama ini dijunjung tinggi olehnya demi menyenangkan negara lain yang sebenarnya di masa lalu lebih banyak merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Bertolak dari preseden ini, sangat mungkin Indonesia di masa depan akan kembali menganut standar ganda dalam penerapan UNCLOS 1982. Artinya kebijakan politik Indonesia, dalam hal ini kebijakan luar negeri menganut pragmatisme. Jikalau demikian, mengapa kita tidak pragmatis pula dalam soal PSI? Daripada bersikap hipokrit dari isu tersebut dengan alasan hukum laut internasional yang sangat nyata dilanggar oleh Indonesia dalam isu lain, lebih baik bergabung saja dengan PSI.

02 November 2009

Standar Ganda Terhadap Hukum Laut Internasional

All hands,
Pemahaman terhadap hukum laut di negeri ini belum sesuai tingkat yang diharapkan. Selama ini ada kesan kuat bahwa yang harus paham terhadap hukum laut hanyalah Angkatan Laut yang lahan “bisnis”-nya memang di laut. Adapun pihak-pihak lain tidak peduli soal itu, bahkan ada pihak yang bersikeras menerapkan asas hukum darat di laut yang tentu saja bertentangan dengan hukum internasional.
Karena ketidakpahaman itu, terjadilah kasus di mana kapal non kapal perang diberi kewenangan untuk menindak pelanggaran hukum di zona ekonomi eksklusif. Hal itu menandakan bahwa pembuat peraturan itu dan penganjur pembuat peraturan tersebut tidak paham dengah hukum laut. Terjadi pula kasus yang mana otoritas sipil memerintahkan Angkatan Laut mencegat kapal sipil yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan tanpa alasan yang kuat. Padahal dalam hukum laut internasional sudah diatur bahwa kapal apapun yang melintas, termasuk menggunakan rezim alur laut kepulauan, tidak boleh dicegat kecuali dengan alasan tertentu yang harus kuat.
Kalau ada pihak yang paham hukum, kasus-kasus seperti itu bisa dipermasalahkan. Kalau soal PSI Indonesia bersikeras tidak mau terlibat mencegat kapal yang melintas di perairan Indonesia karena bertentangan dengan hukum laut internasional, sikap serupa seolah dilupakan ketika menyentuh kasus sekelompok manusia yang melintas perairan Indonesia dengan tujuan negara lain. Ada apa dengan semua ini?
Meskipun hukum adalah produk politik, tidak berarti ada alasan untuk bersikap standar ganda. Apalagi standar ganda tersebut bukan untuk kepentingan nasional Indonesia, tetapi untuk menyenangkan hati negara lain. Kalau mengambil sikap standar ganda atas nama kepentingan nasional, masih bisa dipahami. Akan tetapi sulit dipahami apabila sikap itu ditempuh demi menyenangkan hati pihak lain.
Pertanyaannya, sampai kapan Indonesia akan terus berstandar ganda terhadap hukum laut internasional yang selama ini sangat dijunjung olehnya? Sungguh memalukan Indonesia bersikap demikian, padahal Indonesia selama ini konsisten mengkritisi negara lain yang menerapkan standar ganda dalam beberapa isu internasional.

01 November 2009

Memperkuat Identitas Dan Karakter Angkatan Laut

All hands,
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Angkatan Laut negeri ini adalah memperkuat identitas dan karakter sebagai suatu Angkatan Laut. Tentu saja timbul pertanyaan, mengapa harus diperkuat? Jawabannya karena lingkungan di mana Angkatan Laut hidup kurang kondusif bagi kemajuan Angkatan Laut, bahkan cenderung selalu berupaya mengebiri dan menghapus identitas dan karakter ke-Angkatan Laut-an. Contoh sederhana, mengapa pendidikan pembentukan perwira ---baik sumber akademi maupun PK --- harus dilakukan di lembaga pendidikan Angkatan Darat.
Mengapa Angkatan Laut tidak dipercaya untuk membentuk sendiri calon perwiranya? Apakah masih meragukan loyalitas Angkatan Laut kepada bangsa dan negara ini? Juga meragukan loyalitas Angkatan Laut kepada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit? Apakah Trisila Angkatan Laut diragukan juga?
Ketika sumber pembentukan perwira Angkatan Laut “terkontaminasi” oleh doktrin-doktrin yang tidak selaras dengan jiwa dan semangat navalism, cukup sulit untuk menciptakan perwira yang beridentitas dan berkarakter Angkatan Laut. Kenapa? Tidak lain karena ketika mereka dibentuk, otak para calon perwira yang di masa depan akan menjalankan roda organisasi Angkatan Laut sudah diindoktrinasi oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat navalism.
Apabila kita semua menginginkan mempunyai Angkatan Laut yang kuat dan membanggakan, salah satu aspek yang harus dibenahi adalah personel. Sudah seharusnya setiap personel Angkatan Laut, apalagi perwira harus mempunyai identitas dan karakter Angkatan Laut. Itulah yang membedakannya dengan perwira angkatan lainnya. Yang membedakan bukan sekedar PDU dan PDH, tetapi juga harus identitas dan karakter.
Menghadapi kondisi saat ini, salah satu cara paling mendasar untuk membangun identitas dan karakter Angkatan Laut adalah pada pendidikan pembentukan. Bahwa identitas dan karakter tersebut harus terus diasah ketika mereka sudah berkarir di Angkatan Laut, memang betul dan hal itu relatif tidak sesulit saat membentuk mereka. Sebab dalam karir, setiap perwira harus menempuh sejumlah pendidikan penjenjangan di Angkatan Laut. Yang menjadi masalah adalah bagaimana membersihkan “kontaminasi” saat pendidikan pembentukan.
Selain itu, penting untuk dipahami bahwa identitas dan karakter Angkatan Laut dapat dipertahankan dan dipertajam apabila dukungan sistem senjata Angkatan Laut juga memadai. Ketika masuk ke sini, mau tidak mau akan berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam membangun Angkatan Laut negeri ini. Sudah pasti bukan hal yang membanggakan bila para awak kapal perang sudah tidak berlayar lebih dari enam bulan hanya karena dukungan pemeliharaan yang tidak lancar dari pemerintah. Bukan pula hal yang membanggakan apabila personel Angkatan Laut yang harusnya beroperasi di laut lebih banyak berada di darat karena kapal perangnya tidak siap beroperasi.
Situasi demikian dapat dipastikan akan mempengaruhi moral para pelaut. Kondisi ini pernah terjadi pada akhir 1960-an, ketika pemerintah tidak sanggup memperbaiki kapal perang eks Uni Soviet dan mengambil kebijakan menghapus kapal perang itu dari jajaran armada. Apa yang terjadi pada 1960-an akan berulang dalam jangka 10 tahun dari sekarang apabila kebijakan pemerintah terhadap pembangunan kekuatan Angkatan Laut masih “begini-begini saja”.
Singkatnya, upaya untuk memperkuat identitas dan karakter Angkatan Laut tidak mudah. Selain faktor internal, pengaruh faktor eksternal Angkatan Laut jauh lebih besar. Dan faktor eksternal tersebut terkait dengan politik, dalam hal ini kebijakan pemerintah. Sehingga dari situ timbul pertanyaan, apakah memang pemerintah tidak berniat mempunyai Angkatan Laut yang kuat dan mampu mengamankan kepentingan nasional?