28 Februari 2010

Perencanaan Midlife Update Sistem Senjata Angkatan Laut

All hands,
Selama ini nampaknya perencanaaan midlife update sistem senjata Angkatan Laut, khususnya kapal perang belum tertata dengan baik. Tidak jarang MLU dilaksanakan ketika kondisi kapal perang ketika sudah mengalami banyak kerusakan. Akibat belum tertata dengan baik, perencanaan untuk anggarannya pun memerlukan waktu yang tidak sedikit. Akibatnya butuh waktu proses yang lama bagi suatu kapal perang untuk menjalani MLU.
Bandingkan dengan MLU yang terjadi di Angkatan Laut negara-negara lain. Pelaksanaan MLU di sana sudah direncanakan secara matang ketika kondisi kapal perang sedang dalam tingkat kesiapan yang tinggi. Tidak jarang MLU dirancang lima tahun sebelum MLU dilaksanakan. Dengan demikian, dari sisi anggaran tidak sulit untuk menentukan alokasinya.
Indonesia mempunyai sejumlah kapal perang yang saat ini kondisinya masih baik, sebab dari segi usia tergolong muda atau setidaknya di bawah 20 tahun. Seiring dengan berjalannya waktu, semenjak di sini sebaiknya telah dirancang jadwal MLU kapal-kapal tersebut. Misalnya, korvet kelas Diponegoro sebaiknya antara usia 10 sampai 15 tahun sudah menjalani MLU. Begitu pula kapal-kapal perang lainnya.
Satu hal penting lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam MLU adalah modernisasi sistem. Perlu dipertimbangkan apakah sewaco, rudal, sistem pendorong dan lain sebagainya perlu diganti dengan keluaran terbaru ataukah mempertahankan yang sudah terpasang saat ini. Melihat dari filosofi MLU, MLU biasanya mencakup pula pemutakhiran berbagai subsistem senjata yang ada di dalam suatu kapal perang.

27 Februari 2010

Belajar Dari Pengalaman Korea Selatan

All hands,
Korea Selatan merupakan salah negara berkembang di dunia yang mengembangkan industri pertahanan dan industri strategis secara konsisten dan berkesinambungan. Hasilnya kini bisa dilihat, negeri ini meskipun tidak mencapai kemandirian absolut akan tetapi sebagian besar sistem senjata bagi militernya sudah bisa dibuat di dalam negeri. Dalam pengembangan industri itu, Seoul tidak ragu-ragu untuk bekerjasama dengan negara-negara lain, karena sadar bahwa kemandirian absolut itu tidak ada.
Keberhasilan menghasilkan sistem senjata bagi kepentingan militernya bukan tanpa konsekuensi bagi Korea Selatan. Negeri ini harus mencari pasar internasional untuk mencapai skala keekonomian industri pertahanan dan industri strategisnya. Sebab meskipun negeri itu masih berstatus perang dengan Korea Utara, namun daya serap militer Negeri Ginseng tetap belum bisa mencapai skala keekonomian industri pertahanan dan industri strategis yang mereka kembangkan.
Oleh karena itu, menjadi wajar bila sejak 2004 Seoul menggadang-gadang kapal selam yang difotokopi dari Jerman untuk dijual kepada Angkatan Laut Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia diharapkan mampu memenuhi skala keekonomian produksi kapal selam tersebut. Sebab selama ini belum ada negeri lain yang memakai kapal selam fotokopi itu.
Hal serupa akan dialami pula industri pertahanan dan industri strategis Indonesia tahun-tahun ke depan. Bahkan ada yang sudah mengalaminya sejak dahulu, misalnya industri dirgantara. Pertanyaannya adalah strategi pemasaran apa yang telah dirancang untuk memenuhi skala keekonomian tersebut. Apakah cukup dipasarkan oleh para direktur perusahaan ataukah harus dipasarkan pula oleh pemimpin negeri ini?

26 Februari 2010

Intelijen Maritim Core Business Angkatan Laut

All hands,
Core business Angkatan Laut selalu terkait dengan laut, khususnya pada isu keamanan maritim maupun pertahanan maritim. Oleh karena itu, sistem senjata, organisasi, personel dan pendidikan Angkatan Laut dirancang untuk dapat mendukung terlaksananya core business tersebut. Sebab Angkatan Laut untuk mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim.
Dalam melaksanakan core business-nya, Angkatan Laut harus didukung oleh intelijen yang dapat diandalkan, memenuhi kebutuhan operasional dan tepat waktu. Informasi intelijen seperti apa yang harus diberikan untuk mendukung terlaksananya core business itu? Tidak lain dan tak bukan adalah informasi intelijen yang terkait dengan kekuatan laut negara-negara lain, kemampuan industri dan jasa maritimnya, operasi Angkatan Laut negara-negara lain dan lain sebagainya yang dipastikan tidak dapat dipisahkan dari laut dan penggunaannya. Informasi demikian oleh sebagian pihak disebut sebagai intelijen maritim.
Kalau kita pelajari laporan dinas intelijen Angkatan Laut negara-negara lain, laporan mereka pasti isinya soal Angkatan Laut suatu negara dengan segala macam kaitannya. Tidak ada dalam laporan itu informasi soal kehidupan politik negara tersebut, siapa saja aktornya, bagaimana hubungan antar aktor, bagaimana behavior mereka dalam hubungan antar bangsa, apa motivasi di balik behavior itu dan bagaimana prediksi ke depan behavior mereka dan lain sebagainya. Ranah itu bukan domain intelijen Angkatan Laut, melainkan ranah intelijen nasional seperti CIA, FSB, ASIS dan lain sebagainya.
Kalau saat ini ada pandangan bahwa kekuatan laut negeri ini belum optimal dalam melaksanakan core business-nya, apakah ketidakoptimalan itu juga karena kontribusi intelijen maritim yang juga tidak optimal? Bahkan ada pertanyaan yang lebih ekstrim, apakah intelijen maritim dijalankan atau tidak?

25 Februari 2010

Capability-Based Planning Dan Kawasan Pelibatan

All hands,
Satu hal penting dalam memahami tentang capability-based planning adalah menghubungkan antara konsep perencanaan tersebut dengan tataran empiris alias dunia nyata. Sebab konsep itu harus dipraktekkan di lapangan, bukan sekedar konsep akademis. Ketika menghubungkan keduanya, terdapat isu krusial yang harus senantiasa diperhatikan oleh para staf perencana militer.
Saat membahas tentang perencanaan kekuatan, dua pertanyaan pokok yang sering diajukan adalah how much is enough dan what capabilities do we need. Kaitan dengan capability-based planning, pertanyaan how much is enough dan what capabilities do we need baru bisa dijawab apabila perencanaan tersebut dicocokkan dengan ruang dan waktu di mana kekuatan yang akan dibangun akan digunakan nantinya. Dengan kata lain, ruang berupa kawasan geografis dan dalam kerangka waktu tertentu harus didefinisikan dengan jelas dalam capability-based planning.
Masalah ruang dan waktu itu akan terkait dengan skenario rencana perang yang akan disusun. Skenario rencana perang di antaranya akan memberikan perhatian pada masalah strategis dan operasional apa saja yang akan dihadapi oleh kekuatan kita menghadapi kekuatan (calon) lawan. Apabila dalam skenario rencana perang menyatakan atau menuntut x, maka capability-based planning harus bisa memenuhi atau mencapai x tersebut.
Bertolak dari pemahaman ini, capability-based planning mengenal ruang dan waktu dalam implementasinya di lapangan. Dengan kondisi geografis yang berbeda, maka capability yang dibutuhkan oleh kekuatan militer, termasuk Angkatan Laut juga berbeda. Kalau kita merancang dua kawasan pelibatan, maka capability-based planning untuk dua kawasan tersebut sangat mungkin tidak sama.

24 Februari 2010

Kalkulasi Jadwal Operasional Kapal Selam Lawan

All hands,
Intelijen maritim tugasnya adalah melakukan perencanaan, pelaksanaan, kemudian menganalisisnya dan selanjutnya melaksanakan diseminasi kepada pengguna yang terkait dengan Angkatan Laut dan domain maritim. Data yang dikumpulkan tak bukan dan tidak lain yaitu kekuatan Angkatan Laut lawan secara lengkap. Termasuk berapa kekuatan kapal yang tengah berada di pangkalan, berapa kapal yang tengah berada di laut, bagaimana mata rantai logistiknya, sistem komunikasi dan sandi, siapa saja para komandan kapal dan bagaimana kepribadiannya dan lain sebagainya.
Salah satu sistem senjata Angkatan Laut yang paling ditakuti adalah kapal selam. Dalam konflik, perhatian utama selalu diberikan kepada eksistensi kapal selam lawan. Di mana posisi mereka, apakah sedang beroperasi di laut atau tengah berada di pangkalan dalam rangka pemeliharaan. Kalau sedang beroperasi, di mana posisi kapal selam tersebut beberapa minggu atau bahkan hari terakhir.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menghantui Panglima Armada dan juga Komandan Gugus Tugas suatu Angkatan Laut yang kekuatannya harus menghadapi Angkatan Laut lawan yang dilengkapi dengan kapal selam. Untuk menjawab pertanyaan itu, salah satu pihak yang wajib dan harus menjawabnya adalah intelijen maritim.
Indonesia kini dikelilingi oleh setidaknya tiga negara yang mengoperasikan kapal selam. Kondisi itu dengan sendirinya menggambarkan bahwa ada kebutuhan mendesak mengenai informasi tentang operasi kapal selam negara-negara itu. Misalnya saat ini kapal selam Singapura berapa yang di pangkalan, berapa yang beroperasi di laut. Begitu juga dengan Malaysia.
Tentu menjadi tantangan untuk mengetahui hal tersebut. Namun demikian, tantangan itu sebenarnya bisa ditaklukkan kalau unsur intelijen maritim cerdas. Bukan hal sulit untuk mengetahui kondisi kapal selam lawan. Ada cara-cara konvensional yang bisa dieksploitasi untuk mengetahui hal tersebut.
Masalahnya adalah apakah cari itu terpikirkan atau tidak? Kalau terpikirkan, apakah dilaksanakan di lapangan?
Ketika satuan intelijen maritim mampu memberikan informasi kepada pengguna bahwa jumlah kapal selam lawan yang berada di pangkalan karena pemeliharaan berjumlah x dan dipastikan tidak dapat dioperasikan dalam waktu singkat, hal itu sudah membantu mengurangi beban seorang Panglima Armada dan Komandan Gugus Tugas. Sebab tugas mereka kini tinggal mencari posisi kapal selam lawan yang tengah beroperasi.

23 Februari 2010

Kebutuhan Minimal Kapal Selam

All hands,
Berapa sesungguhnya kebutuhan minimal kapal selam yang harus memperkuat Angkatan Laut negeri ini? Di masa lalu beberapa perwira senior berpendapat bahwa diperlukan minimal delapan kapal selam untuk mengawal perairan yurisdiksi negeri ini. Alasannya, terdapat delapan perairan strategis yang harus bisa diliput oleh satuan kapal selam. Pendapat itu mempunyai justifikasi dasar yang sulit untuk dibantah.
Mari kita tinjau dari perspektif lain. Konsep operasi Angkatan Laut mengenal siklus 30:30:30. Mengacu pada konsep tersebut, menurut hemat saya kebutuhan minimal kapal selam adalah enam kapal selam.
Perhitungannya, dibutuhkan dua kapal selam yang beroperasi setiap saat dengan masing-masing satu kapal selam disebarkan ke wilayah barat dan satu lagi ke wilayah timur. Pada saat yang sama, dua kapal selam yang berada di pangkalan dalam rangka pemeliharaan rutin setelah menjalani patroli selama beberapa waktu. Di waktu yang sama pula, sebaiknya tersedia dua kapal selam yang berstatus siap operasi di pangkalan yang siaga untuk dikerahkan dalam dalam kondisi kesiagaan itu sehari-harinya kegiatan yang dilaksanakan adalah latihan, latihan dan latihan.
Siklus 30:30:30 dalam satuan kapal selam itu bisa berjalan mendekati sempurna apabila dukungan logistiknya lancar. Tanpa dukungan logistik yang lancar, akan terjadi ketidakseimbangan dalam siklus itu. Dengan kata lain, kebutuhan minimal kapal selam harus didukung oleh kesiapan anggaran, sebab logistik antara lain ditentukan oleh alokasi anggaran.
Bertolak dari perhitungan bahwa kebutuhan minimal kapal selam Indonesia adalah enam, kebutuhan setengah ideal menurut hemat saya adalah 12 kapal selam. Siklusnya tetap sama, nama tiap siklus diisi oleh empat kapal selam. Kalau kekuatan laut negeri ini diperkuat oleh 12 kapal selam, bisa dibayangkan betapa besarnya daya tangkal Indonesia. Namun jangankan 12 kapal selam, tercapainya kebutuhan minimal enam kapal selam pun sudah cukup untuk membuat Angkatan Laut di sekitar Indonesia untuk pikir-pikir sebelum bertindak.

22 Februari 2010

Tidak Ada Kemandirian Absolut

All hands,
Dalam industri, suka atau tidak suka harus dibahas tentang skala keekonomian suatu produk. Industri pertahanan dan industri strategis yang bergantung pada pasar di dalam negeri tidak akan pernah mencapai skala keekonomian produknya, sebab jumlah kebutuhan militer negeri ini tidak mencapai skala keekonomian mereka. Kalau dipaksakan agar pasar di dalam negeri menyerap produk mereka, itu sama saja mereka akan menjadi beban baru bagi anggaran pertahanan Indonesia.
Harus dipahami bahwa pengadaan dari dalam negeri sifatnya rekomendasi, bukan wajib!!! Kalau wajib, kekuatan laut negeri ini akan lumpuh pelan-pelan karena industri pertahanan dan industri strategis dalam negeri tidak mampu membuat kapal perang jenis kombatan beserta segenap subsistemnya. Karena sifatnya rekomendasi, maka suka atau tidak suka bagi Angkatan Laut ketergantungan pada produk asing masih tinggi.
Lalu bagaimana agar industri pertahanan dan industri strategis bisa mencapai skala keekonomian sehingga tidak kolaps nantinya. Pilihannya adalah kembali ke strategi lama yang pernah diadopsi pada era Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie, yaitu offset dan lisensi. Dengan offset dan lisensi, ada biaya investasi yang bisa dipotong secara signifikan yaitu biaya R&D. Sebaliknya, ada teknologi yang bisa Indonesia kuasai dari program tersebut.
Selain itu, industri pertahanan dan industri strategis Indonesia harus bisa menembus pasar di luar negeri, minimal di negara-negara berkembang. Membuat suatu produk adalah satu soal, namun memasarkan produk juga harus diperhatikan dengan seksama.
Kemandirian industri pertahanan dan industri strategis dalam negeri bukan bersifat absolut. Dalam era globalisasi, tidak ada kemandirian absolut termasuk di bidang teknologi pertahanan.
Itu harus diinsyafi dengan betul. Ambisi industri pertahanan dan industri strategis untuk bisa membuat sistem senjata secara mandiri bagaikan pungguk merindukan bulan. Kalau pendahulu para teknolog sekarang yaitu B.J. Habibie saja melakukan penguasaan teknologi lewat program offset dan lisensi, mengapa para penerusnya keluar dari jalur itu. Betul bahwa di era Habibie berjaya industri dirgantara negeri ini bisa membuat pesawat angkut, tetapi subsistem di dalamnya tetap menggunakan berbagai produk luar negeri. Sebab memang mustahil suatu industri dirgantara membuat sendiri semua subsistem yang melengkapi suatu pesawat udara.
Lalu kenapa kini muncul sebagian generasi baru yang bermimpi di siang bolong soal kemandirian absolut? Apakah mereka terputus dari generasi sebelumnya? Ataukah mereka tidak pernah mempelajari sejarah industri pertahanan dan industri strategis negeri ini?

21 Februari 2010

Euforia Tidak Berdasar Industri Pertahanan Indonesia

All hands,
Karena kebijakan pemerintah yang memprioritaskan (sebagian) pengadaan sistem senjata bagi militer Indonesia dari dalam negeri, industri pertahanan dan industri strategis Indonesia mengalami euforia tidak berdasar. Mereka “menuntut” agar militer negeri ini membeli sebagian besar sistem senjata dari mereka, dengan kata lain pengadaan dari luar negeri tidak diprioritaskan lagi. Selain itu, mereka juga “menuntut” agar pengadaan sistem senjata memenuhi skala keekonomian mereka.
Dua isu ini jelas patut diwaspadai. Pertama, kita semua paham sejauh mana kemampuan industri pertahanan dan industri strategis Indonesia. Artinya, bagi Angkatan Laut khusus pengadaan dari luar negeri merupakan pilihan mutlak. Sebab kebutuhan operasional Angkatan Laut saat ini dan ke depan tidak bisa menunggu industri tersebut bisa membuat kapal perang khususnya jenis kombatan dengan beragam subsistemnya seperti rudal, radar, sonar dan lain sebagainya. “Tuntutan” agar pengadaan semua sistem senjata berasal dari industri pertahanan dan industri strategis nasional sama saja dengan melumpuhkan pelan-pelan Angkatan Laut negeri ini.
Soal skala keekonomian. Skala keekonomian berarti harus dihitung berapa investasi yang sudah ditanam oleh industri pertahanan dan industri strategis untuk menciptakan suatu produk. Dari situ bisa direka pada jumlah produk keberapa akan mencapai impas, kapan pula akan mencetak keuntungan. Masalahnya adalah karena pasar industri pertahanan dan industri strategis adalah di dalam negeri, mustahil mereka akan mencapai skala keekonomian suatu produk. Dengan demikian, seharusnya mereka mencari pasar di luar negeri dan tidak sepenuhnya bergantung pada pasar di Indonesia.
Harus diingat bahwa Indonesia saat ini bukan Amerika Serikat sekarang.
Negeri Om Sam mempunyai kekuatan militer yang tersebar di seluruh dunia, kemudian tengah menggelar dua operasi di Afghanistan dan Irak. Dari situ bisa dihitung berapa kebutuhan militer akan MRAP, M-ATV, UAV, pesawat tempur, berbagai macam senapan serbu, pistol dan lain sebagainya. Sebab dalam operasi tempur, dipastikan sudah dihitung berapa persen kemungkinan suatu sistem senjata akan rusak baik karena akibat aksi lawan maupun karena masalah teknis.
Sementara Indonesia tidak menggelar operasi semacam Amerika Serikat. Kebutuhan akan sistem senjata tidak akan memenuhi skala keekonomian industri pertahanan dan industri strategis. Bertolak dari situ, apakah industri ini akan membebani anggaran pertahanan nantinya apabila setiap tahun militer Indonesia wajib membeli dari mereka ---lepas dari butuh atau tidak--- agar skala keekonomian mereka tercapai?

20 Februari 2010

Merancang Strategi Angkatan Laut Di Tengah Ketidakpastian

All hands,
Dalam merancang strategi, salah satu kondisi yang harus dihadapi adalah ketidakpastian. Begitu pula dalam merancang strategi Angkatan Laut untuk suatu jangka waktu tertentu. Ketidakpastian yang dihadapi bukan semata faktor eksternal seperti perkembangan lingkungan strategis, akan tetapi menyentuh pula faktor internal berupa kebijakan politik pemerintah, preferensi masyarakat dan situasi ekonomi. Kondisi itu dihadapi oleh mayoritas Angkatan Laut di dunia.
Indonesia yang luas wilayah perairannya menduduki dua pertiga kawasan Asia Tenggara dihadapkan pula pada ketidakpastian. Dari perspektif domain maritim, ketidakpastian itu cukup banyak semisal hubungan antar negara, dinamika dan kecenderungan keamanan kawasan, kinerja perekonomian global, kawasan dan nasional, pembangunan kekuatan Angkatan Laut kawasan dan lain sebagainya. Jelas merupakan tantangan yang tidak mudah untuk merancang suatu strategi Angkatan Laut yang diharapkan dapat bekerja guna mengamankan kepentingan nasional.
Kalau kita mau jujur, Indonesia belum mempunyai strategi Angkatan Laut yang sesuai dengan dinamika kondisi lingkungan keamanan saat ini. Boleh saja ada pendapat bahwa SPLN adalah strategi Angkatan Laut, namun apabila dipelajari lebih dalam strategi itu berangkat dari asumsi yang sesuai dengan era ketika strategi tersebut dicetuskan. SPLN selalu berasumsi bahwa serangan berasal dari luar wilayah kedaulatan.
Memasuki dekade kedua abad ke-21, tantangan keamanan pada domain maritim akan terus berkembang. Ketidakpastian masih akan terus mewarnai dunia dan kawasan. Di tengah ketidakpastian itu, Indonesia dituntut untuk merancang strategi Angkatan Laut yang mutakhir.

19 Februari 2010

Indonesia Butuh Goldwater-Nichols Act

All hands,
Kini kekuatan militer Amerika Serikat merupakan kekuatan gabungan alias joint forces dalam arti sebenarnya. Untuk menciptakan kekuatan itu, Negeri Abang Sam membutuhkan waktu yang panjang. Sebab sejak 1947 dengan berlakunya National Security Act yang menjadi dasar pembentukan Department of Defense, memerlukan waktu hampir 40 tahun untuk memaksa keempat Angkatan (dengan pengecualian U.S. Coast Guard) untuk benar-benar menjadi kekuatan gabungan dalam makna sesungguhnya.
Instrumen pemaksaannya adalah The Goldwater-Nichols Department of Defense Reorganization Act (Public Law 99-433) pada 1986. Berdasarkan undang-undang itu, dilakukan berbagai restrukturisasi dan validasi dalam organisasi Departemen Pertahanan, termasuk di dalamnya berbagai komando wilayah dunia beserta satuan tempur yang ada di dalamnya. Sebelum The Goldwater-Nichols Act berlaku, selalu terjadi tarik menarik antara tiap Angkatan dalam masalah pembinaan dan penggunaan sistem senjata, sementara Menteri Pertahanan tidak mempunyai kekuasaan yang besar untuk memaksa militer menjadi suatu joint forces.
Setelah berlakunya undang-undang tersebut, militer Amerika Serikat harus tunduk sepenuhnya pada kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan, termasuk soal restrukturisasi organisasi-organisasi pertahanan. Tidak heran bila di masa Donald Rumsfeld menjadi Menteri Pertahanan untuk kedua kalinya, dengan gampang dia menetapkan peraturan yang mencopot penyebutan Commander in Chief pada para panglima Unified Command yang telah dipakai selama puluhan tahun. Penyebutan CINC kini hanya boleh dipakai oleh POTUS.
Apabila ditarik dalam kasus Indonesia saat ini, tidak diragukan lagi bahwa negeri ini membutuhkan suatu Goldwater-Nichols Act ala Indonesia. Tujuannya adalah untuk restrukturisasi organisasi Departemen Pertahanan dan TNI. Selain restruktrisasi pada Departemen Pertahanan, TNI harus ditempatkan langsung di bawah Menteri Pertahanan. Eksistensi organisasi pertahanan yang ada saat ini harus dikaji kembali, apakah semuanya relevan dengan kebutuhan kini dan ke depan.
Hanya dengan cara demikian Indonesia bisa menciptakan kekuatan pertahanan yang benar-benar joint forces dan sekaligus relevan untuk merespon dinamika lingkungan keamanan yang terus berubah. Suka atau tidak suka, dibutuhkan kekuatan pemaksa yaitu penggunaan instrumen politik oleh pemerintah dan DPR dalam rangka menata kembali organisasi pertahanan Indonesia.

18 Februari 2010

Tantangan Perencanaan Gabungan Di Indonesia

All hands,
Salah satu tantangan dalam perencanaan gabungan di Indonesia adalah penentuan persepsi ancaman. Penentuan persepsi ancaman akan menentukan struktur kekuatan masing-masing matra Angkatan. Kini ketika Departemen Pertahanan menetapkan kebijakan minimum essential force, salah satu tantangan terbesar adalah soal perencanaan.
Pertanyaan utamanya adalah struktur kekuatan militer Indonesia dirancang untuk menghadapi kontinjensi apa saja? Kontinjensi di sini cakupannya dibatasi pada ancaman yang terkait dengan penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi ancaman fisik. Bentuknya bisa serangan terbatas dari negara lain, pelanggaran wilayah, konflik internal, namun tidak termasuk soal penanggulangan bencana. Sebab ketika dibentuk, organisasi militer dirancang sebagai organisasi tempur untuk mengamankan kepentingan nasional, bukan organisasi penanggulangan bencana seperti palang merah atau pemadam kebakaran.
Amerika Serikat setidaknya sampai sebelum terbitnya 2010 QDR masih menganut pendekatan dua wilayah kontinjensi sekaligus. Dengan demikian, sebagian sumber daya pertahanan diarahkan ke sana. Tidak boleh ada matra militer yang mempunyai persepsi ancaman berbeda, termasuk persepsi terhadap dua wilayah kontinjensi.
Masalah ini rumit ketika akan dipraktekkan di Indonesia saat ini. Mengapa demikian? Meskipun sudah didengungkan soal Tri Matra Terpadu, namun dalam prakteknya aspirasi masing-masing matra militer nampaknya belum sepenuhnya mengarah ke situ.
Sebagai contoh, dalam minimum essential force apakah ada matra militer yang dengan sukarela menyesuaikan diri dengan skenario matra militer lainnya. Bila Angkatan Laut mempunyai skenario pelibatan di wilayah x berdasarkan perkembangan lingkungan strategis dan intelligence assessment, apakah pihak lain akan mempunyai persepsi yang sama.
Kesamaan persepsi apabila terjadi akan menimbulkan berbagai konsekuensi. Misalnya, ada pihak yang dalam pelibatan di wilayah x perannya tidak terlalu menonjol karena memang ruang operasinya di dominasi oleh perairan dan udara. Dengan demikian, banyak konsekuensi dari ruang operasi yang demikian. Contoh sederhana, siapa yang akan menjadi orang nomor satu dan orang nomor dua dalam operasi di sana?
Adanya kebijakan minimum essential force pada satu sisi bagus-bagus saja. Namun pada sisi lain, kebijakan itu harus diikuti dengan perancangan perencanaan operasi gabungan yang komprehensif. Bila tidak, yang terjadi nantinya bukan operasi gabungan, tetapi operasi masing-masing matra militer dalam waktu bersamaan.

17 Februari 2010

Ekspor Kapal Perang Cina

All hands,
Selama ini perhatian lebih banyak diberikan terhadap pembangunan Angkatan Laut Cina yang disinyalir berambisi menjadi blue water navy. Namun tidak banyak pihak memberikan perhatian yang proporsional terhadap industri maritim Cina sebagai tulang punggung dari pembangunan kekuatan laut negeri itu. Sebenarnya seberapa maju kemajuan industri tersebut dalam mendukung Angkatan Lautnya serta sejauh mana sistem senjata yang dihasilkan diekspor ke pasar internasional?
Peran industri maritim Cina dalam rangka mendukung pembangunan kekuatan laut Cina tidak diragukan lagi. Meskipun untuk kapal kombatan jenis tertentu masih mengandalkan pada pasokan dari Rusia seperti kapal perusak kelas Sovremenny, namun untuk kapal selam dan sejumlah kapal atas air sudah dipasok dari galangan kapal Cina sendiri. Bahkan galangan kapal negeri itu tengah berambisi membangun kapal induk dengan menerapkan reverse engineering dari dua kapal induk eks Rusia.
Selama ini kapal perang hasil industri maritim Cina digunakan sendiri oleh Angkatan Laut Cina. Hanya sedikit saja yang diekspor, seperti kepada Angkatan Laut Thailand yakni fregat berpeluru kendali kelas Jianghu IV. Selain Thailand, Bangladesh yang di masa lalu dikenal sebagai Pakistan Timur juga merupakan konsumen kapal perang buatan Cina.
Dalam terkini seiring dengan pencapaian kemajuan teknologi dalam industri maritim Cina, Negeri Tirai Bambu mulai berupaya meluaskan pasarannya kepada negara-negara lain yang selama ini Angkatan Lautnya menggunakan kapal perang buatan Barat. Misalnya penjualan empat fregat F-22P kepada Angkatan Laut Pakistan. Fregat ini sebenarnya termasuk dalam kelas Jianghu seperti yang dioperasikan oleh Angkatan Laut Thailand dan Bangladesh, namun telah dilakukan sejumlah modernisasi.
Kalau dilihat dari sejarahnya, kapal fregat kelas Jianghu beserta varian ekspornya merupakan reverse engineering dari fregat kelas Riga buatan Uni Soviet. Fregat kelas Riga di masa lalu pernah memperkuat kekuatan laut Indonesia. Pertanyaannya sekarang, seberapa jauh keandalan dan kualitas kapal perang buatan Cina sehingga negeri itu kini makin berani menjualnya ke pasar internasional?
Kalau melihat pengalaman sejumlah kecil negara yang telah mengoperasikan kapal perang buatan Negeri Tirai Bambu, kapal perang tersebut dari segi harga memang jauh lebih murah daripada buatan Barat yang sejenis. Namun kualitas produksi masih harus dipertanyakan, begitu pula dengan layanan purna jual. Masih membutuhkan waktu bagi Cina untuk menghasilkan kapal perang yang kualitasnya setara dengan Barat.
Satu hal yang harus diperhatikan yaitu kapal perang itu dibangun untuk mampu melaksanakan filosofi dan doktrin perang yang dianut oleh Angkatan Laut Cina. Sementara negara-negara lain mayoritas menganut filosofi dan doktrin perang yang diadopsi dari Barat. Memadukan dua filosofi dan doktrin yang berbeda bukan pekerjaan mudah bagi setiap Angkatan Laut.

16 Februari 2010

Kekuatan Cadangan Angkatan Laut

All hands,
Hingga saat ini kekuatan laut Indonesia tidak mempunyai kekuatan cadangan. Sesuai dengan perkembangan situasi lingkungan keamanan dan juga dalam rangka mewujudkan amanat Undang-undang No.3 Tahun 2002, ke depan Angkatan Laut negeri ini harus mempunyai kekuatan cadangan. Pertanyaannya, seperti apakah konsep kekuatan cadangan itu sebaiknya?
Model kekuatan cadangan Angkatan Laut di Amerika Serikat, Australia dan beberapa negara Eropa adalah melaksanakan rekrutmen dan pembinaan secara khusus terhadap kekuatan cadangan. Terdapat satuan kerja dalam organisasi Angkatan Laut yang tugasnya membina kekuatan cadangan. Kini di negara-negara tersebut, kekuatan cadangan bukan lagi the last resort, namun telah menjelma menjadi operational reserve. Dengan menyandang status demikian, kekuatan cadangan Angkatan Laut secara periodik beroperasi bersama-sama dengan kekuatan reguler.
Dalam operasi tersebut, kekuatan cadangan tidak dibatasi pada bidang-bidang yang tergolong dukungan operasi, tetapi masuk pula pada bidang operasi itu sendiri. Misalnya berdinas di kapal perang pada departemen operasi, navigasi dan lain sebagainya. Artinya tidak ada perbedaan antara kekuatan cadangan dengan kekuatan reguler dalam prakteknya.
Indonesia masih menghadapi masalah keterbatasan anggaran untuk membangun dan membina kekuatan reguler. Oleh karena itu, konsep kekuatan cadangan Angkatan Laut negeri ini sebaiknya tidak mengadopsi model yang digunakan di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Lalu konsep seperti apa yang sebaiknya digunakan di Indonesia?
Menurut hemat saya, konsepnya adalah menggunakan kekuatan pihak ketiga sebagai kekuatan cadangan Angkatan Laut. Pihak ketiga itu tidak lain dan tak bukan adalah Coast Guard yang cikal bakalnya adalah KPLP. Seperti diketahui, pembentukan Indonesia Coast Guard sedang dalam proses. Sementara sejarah terbentuknya KPLP tidak lepas dari keinginan di masa lalu agar kekuatan itu bisa menjadi kekuatan cadangan Angkatan Laut.
Tidak aneh bila kini semua senapan mesin yang berada dalam penguasaan KPLP masih terdaftar di Angkatan Laut, karena memang dulunya senjata itu dipinjamkan. Selain itu, dulu banyak personel Angkatan Laut yang diperbantukan ke KPLP untuk memperkuat organisasi tersebut. Dengan menjadikan KPLP/Indonesia Coast Guard sebagai kekuatan cadangan Angkatan Laut, ada keuntungan yang bisa dipetik oleh Angkatan Laut itu sendiri.
Yaitu dalam aspek pembinaan, Angkatan Laut tidak akan mengeluarkan anggaran besar untuk membinanya. Sebab Angkatan Laut bisa membina Indonesia Coast Guard lewat anggaran lembaga itu sendiri. Yang penting adalah Angkatan Laut menyediakan perangkat lunak pembinaan kekuatan cadangan itu. Artinya ada standar kompetensi yang jelas pembinaan Indonesia Coast Guard oleh Angkatan Laut dalam rangka kekuatan cadangan di laut.
Di samping aspek pembinaan, terdapat beberapa keuntungan lainnya yang dapat diraih Angkatan Laut. Misalnya memperkuat kembali ikatan sejarah antara Angkatan Laut dengan Indonesia Coast Guard. Juga eksistensi Coast Guard dapat membantu meringankan Angkatan Laut dalam melaksanakan tugas pokoknya mengamankan kepentingan nasional yang terkait domain maritim.

15 Februari 2010

Kebijakan Look West India Dan Konsekuensinya

All hands,
Sejak awal 2000-an, India berupaya menyeimbangkan Kebijakan Look West dengan Kebijakan Look East. Sebab sebelumnya fokus New Delhi lebih banyak pada Look West daripada Look East. Karena kawasan Samudera India yang menjadi areas of primary interest membentang pula dari wilayah timur India sampai Selat Malaka, maka lahirlah Kebijakan Look East.
Tentu menjadi pertanyaan, mengapa di masa lalu New Delhi lebih berfokus pada Kebijakan Look West? Jawabannya karena di wilayah Arab terdapat beberapa kepentingan India, seperti pasokan minyak bumi bagi keamanan energi, keamanan SLOC, terorisme dan yang tak kalah penting adalah bertebarannya warga negara India di negara-negara Arab untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Lalu apa konsekuensi dari Kebijakan Look West? Salah satunya India harus membangun Angkatan Lautnya sebagai salah satu instrumen untuk mengamankan kebijakan itu. Konsekuensi itu ditanggung dengan senang hati oleh siapapun yang memerintah di India, sehingga wajar bila sekarang kekuatan laut India menjadi kekuatan laut kawasan.
Operasi-operasi Angkatan Laut India sebagian difokuskan pada perairan sekitar Laut Arab, Teluk Persia, Laut Arab, perairan Samudera India pantai timur Afrika dan tak luput pula Selat Bab El Mandeb. Apabila sekarang India menyebarkan kapal perangnya ke perairan-perairan itu, itu hal yang tidak perlu dipandang aneh.
Beroperasi jauh dari wilayah negaranya bagi kapal perang berarti dihadapkan pada masalah dukungan logistik. Guna mengatasi masalah itu, New Delhi menjalin kerjasama dengan beberapa negara Arab seperti Oman untuk mendukung pelaksanan bekal ulang.
Satu hal yang penting untuk dicermati dari penyebaran kapal perang India ke perairan-perairan di sekitar wilayah Arab adalah untuk melindungi diaspora India yang bermukim di beberapa negara Arab. Jadi penyebaran itu tidak semata-mata demi melindungi kepentingan yang bersifat politik dan ekonomi semata, tetapi mencakup pula melindungi para warga negara India yang mencari nafkah di sana.
Ketika suasana politik keamanan di Lebanon bergejolak pada Juli 2006 akibat Perang Hizbullah-Israel, India mengirimkan kapal perangnya dalam rangka NOE Ops. Dengan demikian, berbagai kapal perang India yang berpatroli di perairan internasional di sekitar kawasan Arab sewaktu-waktu bisa digunakan untuk melindungi warga negaranya yang tengah terancam keselamatan fisik dan hartanya.
Terkait dengan Indonesia, di manakah areas of primary interest negeri ini? Apakah betul Asia Tenggara? Kalau betul Asia Tenggara, mengapa Angkatan Laut negeri ini tidak dibangun untuk mampu beroperasi di kawasan Asia Tenggara? Di samping kepentingan yang bersifat politik dan ekonomi, ada pula ribuan warga negara Indonesia yang mencari nafkah di beberapa negara Asia Tenggara yang harus dilindungi pula oleh Angkatan Laut.
Bahkan kalau berpikir lebih maju, Angkatan Laut negeri ini harus dibangun untuk mampu beroperasi hingga ke Asia Timur. Selain kepentingan ekonomi, di sana terdapat ribuan pula pemegang paspor Indonesia yang mencari nafkah. Sesuai dengan pembukaan konstitusi negeri ini, mereka harus pula dilindungi dalam bentuk fisik maupun non fisik.
Angkatan Laut dengan karakteristiknya mempunyai kemampuan untuk melindungi secara fisik diaspora Indonesia yang bertebaran di beberapa negara Asia Tenggara dan Asia Timur. Masalah kuncinya adalah apakah pemerintah mempunyai keinginan politik untuk melaksanakan amanat konstitusi tersebut secara nyata di lapangan dan bukan terbatas pada pidato-pidato saja? Kalau memiliki keinginan, salah satu bentuknya adalah membangun Angkatan Laut Indonesia dengan sepenuh hati.

14 Februari 2010

Tujuan Keamanan Nasional Dan Penyebaran Armada Angkatan Laut

All hands,
Penyebaran Armada Angkatan Laut didasarkan pada kepentingan nasional yang dijelaskan secara detail dalam dokumen berjudul strategi keamanan nasional. Dalam strategi tersebut, dapat dipastikan terdapat tujuan keamanan nasional. Tujuan keamanan nasional tersebut menjadi panduan bagi penyebaran kekuatan Armada Angkatan Laut.
Banyak negara sudah mempraktekkan hal ini sejak lama. Masalahnya bagi Indonesia, negeri ini tidak mempunyai strategi keamanan nasional. Yang ada adalah strategi pertahanan ---lepas bahwa strategi itu juga masih kontroversial---, yang mana cakupan strategi tersebut jauh lebih sempit daripada strategi keamanan nasional. Sebab strategi pertahanan merupakan salah satu turunan dari strategi keamanan nasional, yang mana strategi pertahanan akan dijabarkan lagi menjadi strategi militer nasional.
Karena tidak mempunyai strategi keamanan nasional, maka penyebaran Armada Angkatan Laut di Indonesia menjadi “membingungkan”. “Membingungkan” dalam arti Angkatan Laut dipaksa untuk menerjemahkan sendiri kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim. Penerjemahan dan pemahaman Angkatan Laut yang demikian belum tertentu dipahami oleh pihak yang lebih, dalam hal ini pemerintah.
Bahkan tidak berlebihan untuk berpendapat bahwa selama ini pemerintah tidak terlalu hirau dengan penyebaran kekuatan Armada Angkatan Laut. Baru ketika muncul masih mendesak dengan negara-negara lain dan terkait dengan Angkatan Laut, baru kemudian pemerintah untuk sementara waktu hirau. Lihat saja kasus di Laut Sulawesi sebagai salah satu preseden.
Dengan kata lain, penyebaran Armada Angkatan Laut diserahkan sepenuhnya pemerintah kepada militer, dalam hal ini Mabes TNI dan Mabes Angkatan Laut. Padahal penyebaran itu ditujukan untuk penangkalan, selain bagi penindakan. Ketika memasuki wilayah penangkalan dan penindakan, semestinya ada arahan jelas dari pemerintah. Arahan itu bukan berupa alasan lisan yang sifatnya temporer dan kasuistis, tetapi arahan tertulis yang berbentuk strategi keamanan nasional.

13 Februari 2010

Strategi Penyebaran Armada Angkatan Laut

All hands,
Strategi penyebaran Armada Angkatan Laut setiap negara mengacu pada kepentingan nasional masing-masing. Strategi penyebaran tersebut seringkali berubah sesuai dengan kebutuhan. Tidak ada jangka waktu yang pasti kapan suatu strategi penyebaran armada akan berubah. Bisa saja dalam waktu 20 tahun strategi itu tetap sama, namun dapat pula dalam jangka waktu 5 tahun strategi penyebaran itu berganti.
Setidaknya ada tiga penyebab mengapa strategi penyebaran Armada Angkatan Laut berubah. Pertama, lingkungan eksternal dan ancaman. Kedua, lingkungan internal dan strategic outlook. Ketiga, perubahan teknologi Angkatan Laut dan teknologi lainnya yang terkait.
Dikaitkan dengan Indonesia, perlu dikaji secara matang apakah strategi penyebaran Armada Angkatan Laut yang dianut sekarang masih relevan dengan faktor internal dan eksternal, begitu pula dengan kemajuan teknologi Angkatan Laut. Kalau diperhatikan secara seksama, strategi penyebaran yang dianut saat ini setidaknya sudah diadopsi sejak 1980-an. Nampaknya tidak ada perubahan berarti alias signifikan dalam strategi itu, meskipun kini situasi dan lingkungan yang dihadapi sudah berubah.
Tahun 1980-an yang masih dicekam oleh masa Perang Dingin, ancaman dan tantangan terhadap Indonesia kurang begitu jelas. Kini ancaman dan tantangan itu sangat jelas, sebab bisa diidentifikasi aktor mana yang dikategorikan mengancam. Terlebih lagi teknologi yang tersedia untuk mendukung kehadiran kapal perang di laut sudah jauh meningkat dibandingkan hampir 30 tahun silam.
Belum lagi ketika menyinggung faktor internal Angkatan Laut, seperti ketersediaan unsur kapal perang dan pesawat udara. Akibat dari kurangnya keberpihakan pemerintah, kini ketersediaan unsur kapal perang dan pesawat udara yang dapat disebarkan menurun dibandingkan era 1980-an.
Dengan demikian, dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada strategi penyebaran yang dianut saat ini. Penting untuk dipahami bahwa penyesuaian tidak selalu identik dengan perubahan total. Melalui penyesuaian strategi penyebaran, diharapkan ancaman dan tantangan yang kini berkembang dapat dihadapi jauh lebih baik daripada menggunakan pendekatan lama.

12 Februari 2010

Visi Armada Angkatan Laut

All hands,
Armada Angkatan Laut setiap negara mempunyai visi yang nyaris sama. Visi tersebut dapat dipastikan berkaitan dengan kepentingan nasional yang harus diamankan. Visi Armada Angkatan Laut tiap negara bisa jadi lebih dari satu. Namun visi nomor satu tidak lain dan tak bukan adalah siap untuk menang dalam pertempuran laut.
Untuk mewujudkan visi nomor satu tersebut bukan pekerjaan mudah. Sebab dalam pembangunan dan pembinaan kekuatan, Armada Angkatan Laut terkait pula dengan pihak-pihak lain di luar. Misalnya Departemen Pertahanan, Markas Besar Angkatan Laut dan lain sebagainya. Sebagai contoh, penambahan kekuatan kapal perang di armada akan sangat terkait dengan Departemen Pertahanan dan Markas Besar Angkatan Laut.
Begitu pula dengan pembinaan kekuatan, seperti dukungan anggaran bagi penyiapan logistik armada seperti suku cadang mesin, suku cadang sistem senjata dan lain-lain. Belum lagi pembinaan personel yang merupakan tulang punggung vital dalam suatu armada. Tanpa personel yang mempunyai kualifikasi tinggi sesuai dengan sistem senjata yang diawaki, sulit guna merealisasikan Armada Angkatan Laut yang disegani kawan dan lawan. Dengan demikian, mewujudkan suatu Armada Angkatan Laut yang siap untuk menang dalma pertempuran laut bukan semudah membalik telapak tangan.
Demikian pula dinamika yang terjadi dalam Armada RI. Pembangunan dan pembinaan kekuatan merupakan tugas dan tanggung jawab yang tidak mudah bagi Armada RI yang wilayah tanggung jawabnya meliputi dua pertiga kawasan Asia Tenggara. Salah satu tantangan yang kini terus dihadapi adalah masalah pembinaan kualifikasi personel pengawak kapal perang dihadapkan pada tuntutan tugas operasional yang terus menerus.
Akibat tuntutan tugas operasional yang berkelanjutan, seringkali pembinaan kualifikasi personel tidak berjalan sebagaimana mestinya. Artinya, siklus latihan dengan operasi tidak berjalan berimbang karena tingginya kebutuhan operasi. Masalah ini sebenarnya klasik, namun masih dihadapi oleh sebagian unsur Armada RI. Menghadapi masalah ini, perlu dicari terobosan mendasar agar tidak terjadi lagi perbedaan kualitas hasil pembinaan antara satu armada kawasan dengan armada kawasan lainnya. Sehingga visi armada yaitu siap untuk menang dalam pertempuran laut dapat diwujudkan.

11 Februari 2010

Bom Waktu Bernama R&D

All hands,
Kebijakan pemerintah yang mendorong penggunaan produk hasil industri pertahanan dan industri strategis dalam negeri oleh militer melahirkan sejumlah tantangan. Satu di antara tantangan tersebut yang selama ini jarang dibahas adalah masalah R&D di bidang pertahanan, termasuk di antara R&D yang terkait Angkatan Laut. Masalah R&D merupakan hal mendasar dalam pengembangan suatu industri di negara manapun.
Sebab R&D adalah basis fundamental bagi berkembangnya suatu produk industri, termasuk industri pertahanan dan industri strategis. Industri seperti PT PAL, PT DI, PT LEN dan lain sebagainya mustahil akan mengalami kemajuan tanpa didukung oleh R&D. Dengan demikian, sesungguhnya ada bom waktu dari kebijakan pemerintah saat ini yang mendorong penggunaan hasil industri pertahanan dan industri strategis untuk digunakan oleh militer, termasuk Angkatan Laut. Bom waktu itu adalah sejauh mana R&D akan mendorong inovasi dan pengembangan produk-produk lanjutan di masa depan.
Sebagai contoh, sudahkah beberapa jenis kapal perang buatan PT PAL menjalani uji teknis di laut yang lengkap. Bukan saja soal menghadapi tingginya ombak laut berdasarkan sea state, tetapi juga uji coba seperti uji melewati medan ranjau, uji ribut gelombang elektromagnetik, uji kemagnetan dan lain sebagainya. Hal itu penting karena kapal yang digunakan nantinya akan menjalani berbagai penugasan operasi dengan beragam tantangan operasional yang dihadapi.
Kembali ke isu R&D, R&D akan mendukung pengembangan produk. Tanpa itu, produk yang dibuat akan seperti berjalan di tempat. Terkait dengan hal tersebut, R&D tidak cukup hanya dilakukan oleh pabrikan, tetapi juga oleh lembaga-lembaga riset.
Pertanyaannya, seberapa banyak lembaga riset di Indonesia yang melaksanakan R&D untuk mendukung pengembangan produk industri pertahanan dan industri strategis. Apakah ada kerjasama R&D antara industri dengan lembaga riset, sehingga apa yang dilaksanakan oleh institusi penelitian selaras dengan kebutuhan aktual industri pertahanan dan industri strategis. Kalau mengacu pada industri serupa di negara-negara maju, R&D adalah tulang punggung mereka.

10 Februari 2010

Cermat Memilih Heli Anti Kapal Selam

All hands,
Untuk menghadapi ancaman kapal selam lawan, senjata paling ampuh yang harus dimiliki oleh setiap Angkatan Laut adalah kapal selam itu sendiri. Namun demikian, harus diinsyafi bahwa dalam peperangan anti kapal selam, peran dari kapal atas air dan heli anti kapal selam tidak dapat diabaikan begitu saja. Apabila kapal selam-kapal atas air-heli anti kapal selam dapat dieksploitasi secara optimal, maka keluarannya akan sangat positif dalam peningkatan kemampuan peperangan anti kapal selam Angkatan Laut.
Kekuatan laut Indonesia berencana dalam tahun-tahun ke depan untuk melaksanakan akuisisi heli AKS. Akuisisi itu sangat wajar, karena praktis Angkatan Laut negeri ini praktis tidak lagi mempunyai heli AKS dalam susunan tempurnya sejak heli Wasp asal Inggris dipensiunkan pada dekade 1990-an. Terkait dengan hal itu, dibutuhkan kecermatan dalam memilih heli AKS yang nantinya akan memperkuat Angkatan Laut Negeri Nusantara.
Secara garis besar, ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan soal akuisisi heli AKS. Pertama, populasi di dunia. Heli AKS yang akan dibeli hendaknya merupakan jenis heli yang populasinya banyak di dunia dan masa produksinya masih akan lama. Masalah populasi dan masa produksi akan terkait dengan dukungan logistik di masa depan, sebab heli itu minimal akan memperkuat Angkatan Laut hingga 25 tahun terhitung sejak diserahkan dari produsen kepada konsumen.
Kedua, combat proven. Akan lebih baik bila menjatuhkan pilihan pada heli AKS yang sudah combat proven. Alasannya tidak lain dan tak bukan yaitu keandalan heli itu dalam medan yang sesungguhnya sudah teruji. Tak sulit untuk mencari heli AKS yang sudah combat proven di pasaran walaupun jumlahnya sedikit, dengan sekaligus tetap memperhatikan soal populasi dan masa produksi.
Ketiga, sistem senjatanya lengkap. Sistem senjata yang melengkapi heli AKS bukan sebatas torpedo seperti pada heli Wasp, tetapi harus dilengkapi pula dengan instrumen seperti MAD dan dipping sonar. Dua instrumen itu sangat penting dalam peperangan kapal selam, sebab tanpa itu pengoperasian torpedo akan sepenuhnya bergantung pada masukan data dari unsur lainnya. Dengan adanya MAD dan dipping sonar, awak heli AKS dapat beroperasi secara mandiri tanpa harus tergantung pada data yang ditransmisikan dari kapal atas air.
Masih ada beberapa hal yang tidak dibahas di sini. Namun setidaknya tiga hal yang telah diungkapkan di sini dapat menjadi modal dasar untuk mengembangkan kemampuan peperangan anti kapal selam secara paripurna. Perlu diingat bahwa Singapura telah membeli heli S-70B Seahawk yang onboard kapal fregat kelas Formidable. Tidak sulit dipahami bahwa pengadaan itu antara lain untuk menetralisasi kemampuan peperangan kapal selam Indonesia yang menurut pandangan mereka akan lebih membahayakan apabila pemerintahan di Jakarta memenuhi aspirasi Angkatan Lautnya untuk pengadaan kapal selam baru.

09 Februari 2010

Lanjutan Pengadaan Kapal Selam

All hands,
Mengacu pada Renstra 2010-2014, kekuatan laut Indonesia direncanakan akan mengadakan kapal selam baru. Program ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari renstra sebelumnya yang gagal karena tidak adanya kemauan politik pemerintah yang kuat. Setidaknya ada pertanyaan menarik, yaitu kapan pembelian kapal selam tersebut akan ditandatangi kontraknya dan kelas apa yang dipilih?
Mengenai waktu penandatanganan kontrak tergantung pada hasil perundingan antara calon konsumen dengan pabrikan dan tentu saja ketersediaan anggaran dari pemerintah Indonesia yang dialokasikan bagi pembelian kapal selam tersebut. Adapun tentang kelas kapal selam yang dipilih dipastikan lebih maju daripada kapal selam yang sekarang dioperasikan oleh Angkatan Laut. Jenis kapal selam yang dipilih merupakan loncatan teknologi dan secara teknis mampu menyaingi kapal selam milik negara pelindung koruptor asal Indonesia maupun Negeri Tukang Klaim. Namun hampir dapat dipastikan tidak akan terjadi “penyesuaian teknologi” dalam urusan pemeliharaan kapal selam tersebut, sebab ada benang merah dengan kapal selam yang kini memperkuat satuan kapal selam Indonesia.
Masalah yang krusial dalam pengadaan kapal selam terbaru adalah anggaran. Sebab harga kapal selam itu tidak murah, namun sebenarnya seimbang dengan teknologi yang disandangnya. Dengan demikian, harus ada penyesuaian anggaran pengadaan kapal selam dan para pejabat di Lapangan Banteng diharapkan tidak pelit mengucurkan kebutuhan dana tersebut sebagaimana mereka dengan senang hati mengucurkan uang untuk menyelamatkan satu bank kecil di republik ini.

08 Februari 2010

Memelihara Kemampuan Peperangan Kapal Selam

All hands,
Kemampuan peperangan kapal selam merupakan suatu kemampuan yang harus dipunyai dan dipelihara oleh setiap Angkatan Laut. Salah satu tantangan terkini yang dihadapi oleh kekuatan laut Indonesia adalah memelihara kemampuan peperangan kapal selam yang telah dimilikinya sejak 1959. Menjadi tantangan sebab kebijakan pemerintah sekarang kurang berpihak kepada unsur kapal selam, khususnya menyangkut pengadaan kapal selam baru.
Meskipun pengadaan kapal selam baru sudah masuk dalam kebijakan minimum essential force, akan tetapi belum jelas pada renstra kapan hal itu akan direalisasikan. Melihat kondisi 2004-2009 dan empat tahun ke depan, skenario paling optimis untuk pengadaan kapal selam baru adalah setelah 2014. Artinya pada Renstra 2015-2019.
Bertolak dari situ, kini menjadi tantangan besar bagi Angkatan Laut guna memelihara kemampuan peperangan kapal selamnya. Sebab kemampuan itu harus dipelihara di tengah kondisi sistem senjata yang sudah tidak muda lagi meskipun telah dimodernisasi. Sebab modernisasi yang dilakukan pun didukung dengan anggaran setengah hati oleh pemerintah. Andaikan modernisasi kapal selam pertama didukung dengan anggaran sepenuh hati, tentu dapat dipastikan kemampuannya akan lebih bagus daripada kondisi saat ini.
Memelihara kemampuan peperangan kapal selam tidak lain adalah dengan latihan dan latihan. Kita tidak bisa mengandalkan pertukaran ilmu taktik peperangan kapal selam kepada negara-negara lain melalui wadah kursus dan sebagainya, karena ilmu ini penyebarannya dibatasi. Untuk bisa melaksanakan latihan secara optimal dan berkelanjutan agar semua pengawak kapal selam senantiasa terasah keterampilan dan kemampuannya, dibutuhkan kesiapan kapal selam yang tinggi. Hal inilah yang menjadi tantangan, sebab kesiapan itu berarti kesiapan semua sistem yang terdapat dalam kapal selam.
Sementara pada sisi lain, kapal selam harus selalu menjalani pemeliharaan rutin secara terjadwal. Dengan keterbatasan ketersediaan kapal selam, dituntut adanya penyeimbangan antara fase operasi, latihan dan pemeliharaan. Sungguh suatu tantangan yang tidak mudah dihadapi oleh Satuan Kapal Selam.
Hal-hal seperti ini dapat dipastikan tidak masuk dalam pemikiran pengambil keputusan di tingkat atas, sehingga pengambilan keputusan dilaksanakan tidak mengacu pada kondisi nyata di lapangan. Namun apabila suatu saat muncul kontinjensi, yang dituntut adalah kesiapan armada kapal selam. Sungguh suatu ironi.

07 Februari 2010

Mengaktifkan Kembali Bom Waktu Bernama The Defense Cooperation Agreement

All hands,
Hanya beberapa jam setelah ditandatangani di Bali pada 27 April 2007, The Defense Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dan Singapura langsung menimbulkan kontroversi politik yang besar. Tidak sedikit kritik tajam ditujukan kepada pemerintahan negeri ini yang dituding rela menukarkan wilayah demi mendapatkan para koruptor yang dibeli perlindungan oleh Singapura. Karena kritik yang tajam dan bertub-tubi tersebut, akhirnya the implementing agreement dari DCA tidak dapat disetujui oleh kedua belah pihak. Tanpa the implementing agreement, perjanjian itu tidak bisa dilaksanakan di lapangan.
Berdasarkan perkembangan terakhir, terdapat indikasi kuat bahwa masalah DCA yang tertunda akan kembali dibahas oleh kedua negara. Perkembangan demikian konon karena pendekatan pada tingkat pemerintah ke pemerintah ---khususnya antar pejabat Departemen Pertahanan kedua negara---, untuk kembali mengaktifkan perjanjian kerjasama pertahanan kedua negara yang sudah hampir tiga tahun mati suri.
Masalahnya adalah apakah keuntungan atau kerugian yang akan dipetik Indonesia dari pengaktifan kembali DCA itu? Bila negeri pelindung para koruptor itu tetap saja menuntut pelaksanaan DCA sesuai dengan perjanjian yang ditandatangai hampir 3 tahun silam ---dipastikan Singapura akan tetap menuntut Indonesia memberinya dua wilayah di Laut Natuna beserta ruang udaranya---, apakah Indonesia masih akan tetap memberikan itu?
Dahulu perjanjian itu tidak bisa dilaksanakan karena soal dua wilayah tersebut. Kalau kini Indonesia mau mengalah, dipastikan kontroversi politiknya akan sangat besar. Ataukah Singapura mau mengurangi tuntutannya?
Kalau DCA hendak dibahas kembali, pembahasan harus dimulai dari titik nol. Sebab DCA yang ditandatangani di Istana Tampak Siring jelas-jelas merugikan kepentingan nasional Indonesia. Tidak sulit untuk mengindentifikasi titik-titik yang merugikan tersebut. Silakan saja masukkan koordinat dalam DCA dan plot dalam peta laut wilayah Natuna dan sekitarnya. Dari situ bisa dilihat berapa luas wilayah negeri ini yang digadaikan kepada negeri penampung para koruptor tersebut.
Bertolak dari situ pula, bisa diperkirakan berapa kerugian ekonomis yang timbul dari DCA akibat pesawat udara yang dari dan menuju Pulau Natuna Besar harus divert dari jalur yang seharusnya. Dapat diprediksi pula berapa kerugian para nelayan yang tidak dapat mencari nafkah karena perairan teritorial Indonesia dikapling dan ditutup oleh negeri penampung koruptor demi latihan Angkatan Laut mereka.
Pertanyaannya, pantaskah DCA dilanjutkan?

06 Februari 2010

Isu Strategi Anti Akses Dalam 2010 Quadrennial Defense Review

All hands,
Selama ini sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Amerika Serikat sangat hirau dengan kemampuan negara-negara lain, khususnya negara-negara berkembang dalam mengeksploitasi senjata anti akses. Hirauan itu dalam kesempatan terakhir diperkuat dalam 2010 QDR, khususnya terkait dengan kemampuan militer Uwak Sam. Isu itu secara khusus dibahas dalam Bab II berjudul Rebalancing The Force pada sub bab Deter and Defeat Aggression in Anti-Acces Environments.
Dalam sub bab tersebut, Washington tidak ragu untuk menunjuk hidung Pyongyang, Teheran dan Beijing sebagai pihak yang dinilai intensitas mengembangkan strategi anti akses. Sebagai dampak dari pengembangan strategi anti akses oleh negara-negara non kulit putih tersebut, Broer Sam merasa sekarang militernya yang berada di sekitar ketiga negara itu tidak lagi dapat menikmati “keamanan” yang dulu mereka nikmati dalam jangka waktu lama.
Untuk menghadapi ancaman tersebut, kemampuan yang akan ditingkatkan hingga 2015 meliputi kemampuan serangan jarak jauh, eksploitasi keunggulan operasi kapal selam, meningkatkan ketahanan infrastruktur pangkalan dan kekuatan militer Amerika Serikat yang disebarkan di luar negeri, menjamin akses terhadap ruang angkasa dan penggunaan aset-aset ruang angkasa, memperkuat kemampuan ISR, mengalami sistem sensor dan pelibatan dan memperkuat kehadiran dan responsivitas kekuatan militer Uwak Sam yang berada di luar negeri.
Kemampuan yang ditingkatkan tersebut pada dasarnya berada pada domain taktis, operasi dan strategis. Tentu saja belum cukup bila tidak diikuti pula oleh kebijakan pada domain politik. Berangkat dari situ, pada Bab V yang mengambil judul Reforming How We Do Business, terdapat sub bab yang bertajuk Reforming The U.S. Export Control System. Dalam sub bab itu salah satu kebijakan administrasi Barack Obama adalah melaksanakan reformasi pada pengendalian ekspor senjata beserta teknologinya.
Reformasi itu selain dilakukan secara internal di dalam pemerintahan dan legislatif Broer Sam, juga akan mengajak partisipasi negara-negara lain. Misalnya penggunaan instrumen Dewan Keamanan PBB dan lembaga-lembaga multinasional lainnya.
Di antara sistem senjata yang tergolong sebagai senjata anti akses adalah rudal jelajah anti kapal, kapal selam dan ranjau maju. Secara kebetulan atau tidak, sistem senjata itu dibutuhkan oleh kekuatan laut Indonesia dalam rangka mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim. Kalau dinilai, sebagian dari sistem senjata anti akses itu telah, tengah dan akan akan memperkuat Angkatan Laut Indonesia. Artinya, Indonesia mesti tetap waspada dengan kebijakan anti akses Amerika Serikat seperti tercantum dalam 2010 QDR.
Sebab Washington sadar bahwa mungkin saja suatu saat senjata yang dimiliki oleh Angkatan Laut Indonesia itu akan digunakan untuk menghadapi kepentingannya. Terlebih lagi dalam catatan tahunan departemen yang dipimpin oleh eks Ibu Negara Hillary Rodham Clinton, Indonesia selalu masuk dalam daftar negara yang “kurang ramah” terhadap kebebasan bernavigasi yang dianut oleh Amerika Serikat.

05 Februari 2010

2010 Quadrennial Defense Review Dan Konstelasi Geopolitik Asia Pasifik

All hands,
Dengan diluncurkannya 2010 QDR, menjadi salah satu pertanyaan yaitu apakah konstelasi geopolitik Asia Pasifik yang tersirat dan tersirat dalam dokumen itu akan berubah dari kondisi saat ini. Setelah mempelajari dengan cermat 2010 QDR, dapat dipastikan Amerika Serikat tidak akan mengubah konstelasi geopolitik yang sudah mapan dan eksis saat ini di kawasan Asia Pasifik. Militer Broer Sam akan tetap hadir di kawasan Asia Pasifik yang digolongkan sebagai salah satu key region baginya.
Untuk menghadapi siapa kehadiran itu? Jawabannya singkat yaitu deter and defeat aggression. Siapa pihak yang diperkirakan akan melakukan agresi? Tidak sulit untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, silakan saja perhatikan negara-negara mana di kawasan yang selama ini mendapat perhatian khusus dari Washington terkait pengembangan kekuatan militer.
Dalam 2010 QDR telah ditegaskan bahwa kepentingan Amerika Serikat yang utama adalah security, prosperity, broad respect for universal values, and an international order that promotes cooperative action. Memperhatikan urutan kepentingan itu, sampai kapan pun keamanan akan menempati posisi teratas dari kepentingan nasional Broer Sam. Begitu pula di kawasan Asia Pasifik, kepentingan keamanan tetap akan terus mengalahkan kepentingan kesejahteraan.
Kalau memperhatikan dengan seksama, negara-negara kawan yang memperoleh perhatian khusus dalam 2010 QDR di kawasan Asia Pasifik adalah Jepang, Korea Selatan dan Singapura. India adalah negara di kawasan Samudera India yang juga diperhatikan secara khusus. Diperhatikan secara khusus di sini maksudnya adalah penyebutannya berulang beberapa kali.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia hanya disebut satu kali dalam 2010 QDR. Negeri ini tidak perlu berkecil hati, sebab itulah salah satu hasil pelaksanaan secara konsisten dan lintas generasi dari kebijakan politik luar negeri yang dirancang untuk digunakan pada masa Perang Dingin.

04 Februari 2010

Strategi 1-4-2-1 Dalam 2010 Quadrennial Defense Review

All hands,
Pertanyaan mengenai bagaimana nasib Strategi 1-4-2-1 yang hampir 10 tahun terakhir dianut oleh Amerika Serikat terjawab sudah dengan terbitnya 2010 QDR. Masalahnya bukan di angka 1 yaitu defending the homeland, tetapi di angka 4-2-1. Kenapa di tiga angka sekaligus? Sebab ketiganya saling berantai bagaikan reaksi kimia.
Menurut 2010 QDR, yaitu dalam Bab II bertajuk Rebalancing The Force, dinyatakan bahwa “it is no longer appropriate to speak of “major regional conflicts” as the sole or even the primary template for sizing, shaping, and evaluating U.S. forces. Rather, U.S. forces must be prepared to conduct a wide variety of missions under a range of different circumstances. Ensuring flexibility of the whole force does not require each part of the force to do everything equally well. Not all challenges pose the same degree of threat to national interests, rely on U.S. military capabilities equally, or have the same chance of occurence”.
Bertolak dari pandangan tersebut, 2010 QDR menilai tiga kombinasi skenario yang terkait dengan pelibatan militer Amerika Serikat di berbagai kawasan dunia. Skenario itu pertama adalah a major stabilization operation, deterring and defeating a highly capable regional aggressor, and extending support to civil authorities in response to a catastrophic event in the United States. Skenario kedua yaitu deterring and defeating two regional aggressor while maintaining a heightened alert posture for U.S. forces in and around the United States. Skenario ketiga ialah a major stabilization operation, a long-duration deterrence in a separate theater, a medium-sized counterinsurgency mission, and extended support to civil authorities in the United States.
Lalu apa arti dari semua itu? Jawabannya tak lain adalah Amerika Serikat tetap mempertahankan kemampuan militernya untuk beroperasi dalam waktu yang sama secara simultan di luar CONUS maupun di CONUS. Hanya saja, Strategi 1-4-2-1 mengalami penyesuaian, sebab kini para perencana pertahanan di Pentagon tidak lagi menempatkan major regional conflict sebagai takaran dalam membangun postur kekuatan militer. Hal itu disebabkan konflik di masa kini dan masa depan akan semakin cair bentuknya dan tidak dapat didekati dengan pendekatan lama yang masih dipengaruhi oleh situasi era Perang Dingin.

03 Februari 2010

Fokus 2010 Quadrennial Defense Review

All hands,
Berbagai pertanyaan tentang apa perbedaan antara 2010 QDR dengan 2006 QDR akhirnya terjawab satu persatu setelah mempelajari 2010 QDR dan membandingkannya dengan 2006 QDR. Hal yang paling fundamental adalah soal pada bidang kebijakan pertahanan, yang pada akhirnya mempengaruhi hal-hal selanjut yang diulas dalam QDR. Menurut 2010 QDR, terdapat empat tujuan prioritas Departemen Pertahanan Amerika Serikat, yaitu prevail in today’s war, prevent and deter conflict, prepare to defeat adversaries and succeed in a wide range of contingencies, and preserve and enhance the All-Volunteer Force.
Bertolak dari empat prioritas itu, kemampuan militer Amerika Serikat menurut 2010 QDR adalah defend the United States and support civil authorities at home, succeed in counterinsurgency, stability, and counterterrorism operations, build the security capacity of partner states, deter and defeat aggression in anti-acces environment, prevent proliferation and counter weapons of mass destructions, and operate effectively in cyberspace.
Sebagai perbandingan, pada 2006 QDR, kemampuan militer Uwak Sam adalah defeating terrorist network, defending the homeland in depth, shaping the choices of countries at strategic crossroads, and preventing hostile states and non-state actors from acquiring or using WMD.
Empat tujuan prioritas yang muncul dalam 2010 QDR adalah substansi dari 2010 QDR. Keempat fokus itu terdapat dalam Bab I berjudul Defense Strategy. Sementara dalam 2006 QDR, Bab I bertajuk Fighting The Long War. Dari perbedaan tersebut sudah terlihat nyata perbedaan dalam pelaksanaan kebijakan antara administrasi Obama dengan pemerintahan Bush, Jr. Meskipun kepentingan nasional Amerika Serikat tetap tidak berubah siapa pun presidennya, tetapi cara pencapaiannya yang berbeda tiap administrasi.
Ada satu hal menarik yang bisa menjawab mengapa fokus dalam 2010 QDR berbeda dengan 2006 QDR. 2006 QDR didahului oleh penerbitan The National Defense Strategy, sedangkan sampai satu tahun Barack Obama memimpin Gedung Putih dan dibantu oleh holdover Robert M. Gates, administrasinya belum lagi menerbitkan The National Defense Strategy yang sesuai dengan nafas pemerintahannya.
Mendalami 2010 QDR, laporan itu tidak lagi diwarnai dengan semangat koboi Wild West seperti dalam QDR terdahulu. Kata-kata seperti terorisme tidak mendominasi lagi pembahasan seperti di era Bush, Jr dan Donald Rumsfeld, meskipun kebijakan Obama masih tetap menggelar perang terhadap Taliban dan Al Qaida. Tidak aneh apabila bab pertama dalam 2010 QDR yang dibahas adalah strategi pertahanan, bukan cerita soal petualangan ala koboi yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat.
Begitu pula semangat ingin mendikte negara lain, nafasnya tidak sekuat dalam 2006 QDR. Yang ada adalah semangat merangkul negara-negara lain agar seide dengan Amerika Serikat. Tentu saja Amerika Serikat masih akan tetap menjadi leader, tetapi bukan dengan mengedepankan either with us or with the enemy.

02 Februari 2010

2010 Quadrennial Defense Review Telah Terbit

All hands,
Setelah disusun setahun lamanya seiring dengan naiknya Barack Obama ke tampuk kepemimpinan di Gedung Putih, pada 1 Februari 2010 2010 Quadrennial Defense Review diterbitkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Peluncuran itu ditandai dengan penyerahan laporan itu kepada Kongres sesuai dengan amanat undang-undang yang berlaku di negeri Broer Sam. Tentu saja menjadi pertanyaan, apa yang membedakan antara 2010 QDR dengan 2006 QDR. Untuk menjawab pertanyaan itu, dibutuhkan jeda waktu sebab harus dipelajari dan dibandingkan terlebih dahulu secara detail antara kedua QDR.
Yang pasti, kedua QDR lahir di era pemerintahan yang berbeda dengan penekanan misi militer yang berbeda pula meskipun dalam beberapa hal masih kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Kalau dalam 2006 QDR fokus misi militer Uwak Sam lebih banyak di Irak, kini administrasi Barack Obama mulai mengurangi kehadiran militer Amerika Serikat di negeri seribu satu malam dan mengalihkan sebagian besar sumber daya dalam rangka surge di Afghanistan.
Memperhatikan secara sepintas tentang daftar isinya, 2010 QDR memuat satu bab khusus yang tidak ada dalam 2006 QDR. Yaitu Taking Care of Our People yang membahas soal bagaimana menangani para prajurit, pelaut, airmen dan marinir yang terluka dalam operasi, begitu pula bagaimana menangani keluarga yang ditinggal oleh anggota keluarga mereka yang disebarkan ke luar negeri. Tentu saja dalam bab itu dibahas pula soal manajemen personel yang juga dimuat dalam 2006 QDR.
Hal lainnya yang juga berbeda adalah soal strategi dan pembangunan kekuatan. Dalam 2006 QDR terdapat bab berjudul Operationalizing The Strategy dan Reorienting Capabilities and Forces. Sedangkan dalam 2010 QDR, kedua bab itu digabungkan menjadi satu menjadi Rebalancing The Force. Bila dalam 2006 QDR aroma RMA sangat kuat karena Menteri Pertahanan (saat itu) Donald Rumsfeld seorang penyokong kuat RMA dan transformasi pertahanan sebagaimana tercermin dalam bab berjudul Reorienting Capabilities and Forces, dalam 2010 QDR aroma RMA tidak terlalu mendominasi. Meskipun demikian, RMA tetap saja berlanjut dalam organisasi pertahanan Broer Sam.
Dapat dipastikan masih banyak hal baru yang mencerminkan kebijakan administrasi Obama dalam 2010 QDR. Untuk menjelaskan tentang hal tersebut, perlu mempelajari lebih lanjut dokumen tersebut secara rinci.

01 Februari 2010

Eksploitasi Angkatan Laut Dalam Kasus Iran

All hands,
Sejak Revolusi Islam Iran pada 1979 yang meruntuhkan rezim pro Washington di Teheran, hubungan Iran-Amerika Serikat langsung berada pada posisi saling berhadapan. Terlebih lagi ketika terjadi penyanderaan terhadap para diplomat Amerika Serikat di Teheran yang berlangsung 444 hari dan sekaligus membuat Presiden Jimmy Carter yang tengah berusaha mencari legitimasi untuk periode kedua administrasinya dikalahkan pesaingnya yakni Gubernur California Ronald Reagan. Meskipun begitu, nama keduanya diabadikan pada kapal perang Amerika Serikat jenis kapal selam dan kapal induk.
Dari 1979 sampai saat ini, Amerika Serikat senantiasa mengeksploitasi Angkatan Laut untuk melakukan penangkalan terhadap Iran. Tentu kita masih ingat kasus USS Vincennes (CG-49) yang menembak jatuh Airbus A-300 Iran Air Flight 655 pada 3 Juli 1988. Begitu pula sejumlah kasus di mana kapal perang Amerika Serikat menenggelamkan kapal cepat Iran.
Kini Iran tetap dipandang sebagai ancaman terhadap kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah. Terlebih ketika Negeri Mullah mengembangkan program nuklir yang dicurigai oleh Washington dan sekutunya. Menghadapi kemungkinan terburuk, Amerika Serikat tetap menomorsatukan eksploitasi kekuatan Angkatan Lautnya.
Israel merupakan sekutu utama dan abadi Amerika Serikat, bahkan melebihi NATO sekalipun. Sebagaimana induk semangnya, Negeri Zionis itu pun ketar-ketir dengan program pengembangan nuklir Iran. Meskipun Teheran telah dijatuhi beragam sanksi menggunakan tangan Dewan Keamanan PBB, tidak ada tanda-tanda Iran akan mengabaikan program nuklirnya.
Sejak beberapa tahun terakhir, Tel Aviv sangat gatal ingin menyerang fasilitas nuklir Iran. Hanya saja sejauh ini niat tersebut masih bisa dikendalikan oleh Washington. Yang menarik adalah pola serangan seperti apa yang akan digunakan oleh Israel terhadap fasilitas nuklir Iran?
Selama ini lebih banyak pihak berspekulasinya bahwa polanya akan sama dengan saat Israel menggempur reaktor nuklir Osirak kebanggaan Saadam Hussein pada 7 Juni 1981. Tanpa banyak diketahui oleh banyak pihak, Israel tengah mempersiapkan skenario menggempur reaktor nuklir Iran melalui peluncuran rudal jelajah dari kapal selam kelas Dolphin. Dalam tahun 2009, setidaknya kapal selam yang dibuat di galangan HDW berdasarkan kelas U-209 dua kali melaksanakan pelayaran ke Laut Merah via Terusan Suez.
Berangkat dari kasus Iran sejak 1979 sampai saat ini, pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut senantiasa mengeksploitasi Angkatan Laut untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal itu hendaknya menjadi pelajaran pula bagi Indonesia, bahwa Angkatan Laut negeri ini menyediakan banyak kemampuan untuk dieksploitasi bagi kepentingan nasional.