30 September 2010

Sistem Pertahanan Anti Rudal

All hands,
Ancaman terhadap kapal permukaan satu di antaranya bersumber dari rudal permukaan ke permukaan. Guna menghadapi ancaman tersebut, setiap kapal perang dituntut untuk mempunyai sistem pertahanan anti rudal yang andal. Sistem pertahanan anti rudal bisa berupa CIWS seperti Phalanx yang memperkuat kapal perang U.S. Navy dan sekutunya, dapat pula berupa flares.
Bagi kekuatan laut Indonesia, sistem pertahanan anti rudal permukaan masih menjadi pekerjaan rumah sebagaimana halnya sistem pertahanan anti serangan udara. Mengapa demikian? Pertama, karena belum semua kapal perang dilengkapi dengan sistem pertahanan anti rudal yang memadai, khususnya kapal-kapal kombatan. Sebab kapal jenis ini akan mempunyai tugas melindungi konvoi maupun melakukan engagement dengan lawan, sehingga sangat layak dibekali dengan sistem pertahanan diri.
Kedua, uji sistem secara berkala. Sistem pertahanan anti rudal kapal, misalnya flares, idealnya harus diuji secara berkala. Pengujian itu penting karena tanpa pernah digunakan pun, flares mempunyai batas masa pakai. Artinya, dipakai atau tidak dipakai nasib flares akan tetap sama yaitu akan "habis" dengan sendirinya.
Tentu menjadi pertanyaan bagaimana menguji flares tersebut secara rutin? Salah satu caranya adalah memindahkan perangkat flares itu dari kedudukannya di sebuah kapal perang dan kemudian memasangnya di sasaran tertentu, misalnya kapal perang yang sudah dihapus dari susunan tempur. Kemudian kapal sasaran itu diuji tembak dengan rudal permukaan dan flares diaktifkan pula. Dari situ akan bisa terlihat bagaimana kinerja flares dan bagaimana pula kinerja rudal anti kapal yang ditembakkan.
Apakah flares-nya mampu menipu anti kapal atau tidak? Kalau mampu mengecoh berarti rudal anti kapalnya perlu dipertanyakan keandalannya. Sebaliknya, bila rudal anti kapal mampu menghindari pengecohan oleh flares, berarti keandalan flares merek x yang digunakan harus dipertanyakan.

29 September 2010

Bentuk Diplomasi Pertahanan

All hands,
Diplomasi pertahanan dalam implementasinya mempunyai beragam bentuk. Setidaknya minimal ada tiga bentuk diplomasi pertahanan, yakni CBM, pembangunan kapabilitas pertahanan dan kerjasama industri pertahanan. Dari tiga bentuk itu, bagaimana dalam prakteknya di Indonesia?
Diplomasi pertahanan Indonesia melaksanakan ketiga bentuk diplomasi pertahanan tersebut, namun belum ada keseimbangan antara satu dengan lainnya. Sebagian besar kegiatan diplomasi pertahanan Indonesia tersita pada CBM, sisanya baru berturut-turut pembangunan kapabilitas pertahanan dan kerjasama industri pertahanan. Tentu menjadi pertanyaan mengapa posisinya demikian?
Situasi itu mencerminkan bahwa kebijakan pertahanan Indonesia selama ini lebih banyak berfokus pada CBM dan kurang memprioritaskan pembangunan kapabilitas maupun kerjasama industri pertahanan. Pada satu sisi kebijakan demikian bagus demi stabilitas kawasan, tetapi perlu dipertimbangkan lagi dampaknya terhadap kekuatan militer Indonesia. Eksploitasi yang terlalu besar terhadap CBM secara tidak langsung berkontribusi pada kemunduran kapabilitas pertahanan saat ini, sebab pembangunan kapabilitas pertahanan belum mendapat porsi yang seimbang dengan CBM.
Sedangkan kerjasama industri pertahanan baru akhir-akhir ini diupayakan meningkat seiring dengan semangat mengurangi ketergantungan dari Amerika Serikat. Memang sudah sepantasnya kerjasama industri pertahanan ditingkatkan sebagai implementasi dari diplomasi pertahanan. Hanya saja perlu konsistensi dalam melaksanakan kerjasama tersebut, baik teknologi, sumber daya manusia maupun dana.
Ke depan, diharapkan implementasi ketiga bentuk diplomasi pertahanan lebih proporsional dibandingkan saat ini. Proporsionalitas itu akan membantu modernisasi kekuatan pertahanan Indonesia. Sekaligus "mengambil" beberapa jatah CBM yang selama ini terbukti CBM yang dibangun masih juga jauh dari kemapanan meskipun sudah dilakukan sejak 1970-an.

28 September 2010

Kepentingan Amerika Serikat Di Laut Cina Selatan

All hands,
Sikap Amerika Serikat yang bersuara keras terhadap Laut Cina Selatan, khususnya terhadap aksi Cina, dapat dipastikan tidak lepas dari kepentingan nasional negara itu. Apa kepentingan Washington di perairan tersebut? Kepentingan negara itu setidaknya ada dua, yaitu kebebasan bernavigasi dan pembangunan kekuatan laut Cina.
Kebebasan bernavigasi merupakan hal yang tidak bisa ditawar bagi kepentingan Amerika Serikat. Tanpa kebebasan bernavigasi, proyeksi kekuatan laut Amerika Serikat tidak akan terlaksana sesuai rencana. Apabila Cina menghalangi kebebasan bernavigasi di Laut Cina Selatan, sama artinya dengan menerapkan strategi anti akses terhadap Amerika Serikat. Soal strategi anti akses selalu menjadi perhatian Washington terhadap negara manapun.
Tentang pembangunan kekuatan laut Cina, sudah menjadi rahasia umum Amerika Serikat sangat hirau dengan isu itu. Sebab pembangunan kekuatan laut Cina akan mempengaruhi keseimbangan di kawasan alias mengganggu kemapanan Angkatan Laut Amerika Serikat di kawasan. Meskipun demikian, kalau dinilai secara obyektif pembangunan kekuatan laut Cina juga akan mengancam kepentingan negara-negara lain di kawasan, termasuk Indonesia.
Pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia bersikap merespon dinamika di Laut Cina Selatan? Baik secara politik maupun operasional Angkatan Laut.

27 September 2010

Demokrasi Dan Pembangunan Kekuatan

All hands,
Secara teoritis, demokrasi akan menciptakan situasi yang kondusif bagi pembangunan kekuatan militer, termasuk kekuatan Angkatan Laut. Sebab proses pengambilan keputusan dalam pembangunan itu bersifat transparan dan melibatkan semua pihak terkait, baik eksekutif maupun parlemen dan tidak didominasi oleh militer. Dalam demokrasi, pembangunan kekuatan militer merupakan domain politik dan bukan merupakan domain militer.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan lain sebagainya telah membuktikan kebenaran teoritis tersebut. Lalu bagaimana dalam prakteknya di Indonesia? Kalau memperhatikan pengalaman sejak Indonesia mengadopsi demokrasi dalam arti sebenarnya (bukan demokrasi semu seperti Demokrasi Pancasila), tinjauan teoritis yang telah dijelaskan sebelumnya ternyata masih jauh dari kenyataan. Pembangunan kekuatan militer tidak dapat dikatakan berjalan kondusif. Justru kendala terbesar dalam pembangunan kekuatan terletak pada domain politik, baik eksekutif maupun legislatif. Sebagai contoh adalah pengadaan kapal selam yang maju mundur karena adanya beragam kepentingan di luar kepentingan nasional Indonesia.
Tentu masih banyak contoh yang terkait pembangunan kekuatan di mana ketidaklancaran justru muncul pada domain politik daripada domain militer. Untuk menjawab mengapa hal ini terjadi, terlalu sederhana kalau jawaban yang disodorkan adalah karena demokrasi Indonesia belum matang. Sebab jawaban itu lebih sekedar apologi saja dalam konteks Indonesia. Jawaban utamanya adalah banyak pihak yang merupakan aktor-aktor dalam pelaksanaan demokrasi di negeri ini belum paham dan kenal dengan kepentingan nasional.

26 September 2010

Memposisikan Kapal Cepat

All hands,
Satuan kapal cepat merupakan satu di antara satuan kapal yang ada dalam Armada Angkatan Laut Indonesia. Eksistensi kapal cepat dalam kekuatan laut negeri telah dimulai sejak sekitar 50 tahun silam saat kapal cepat dari Rusia masuk dalam jajaran armada. Kapal cepat di Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu KCR dan KCT, di mana kedua kapal berada dalam divisi yang berbeda dalam satuan kapal cepat.
Kehadiran kapal cepat, baik KCR maupun KCT, merupakan salah satu senjata pemukul strategis. Dengan menggunakan taktik yang tepat, kapal ini dapat melumpuhkan kapal perang yang berukuran lebih besar. Hal itu apabila digunakan pada masa konflik dan perang, namun menjadi pertanyaan bagaimana mengeksploitasi kapal tersebut pada masa damai.
Selama ini terdapat beberapa pendapat yang berbeda tentang penggunaan kapal cepat pada masa damai. Pokok perbedaan pendapat terletak pada apakah kapal cepat tepat dan pantas digunakan untuk patroli rutin yang kebanyakan ancamannya adalah kapal ikan. Sebab lebih dari 90 persen operasi yang digelar di masa damai adalah operasi kamla.
Pihak yang kurang sependapat dengan penggunaan kapal cepat untuk menghadapi masalah pelanggaran hukum di laut, khususnya pencurian sumber daya laut, berpendapat bahwa pengunaan kapal itu berlebihan. Sebab ancaman yang dihadapi cuma kapal ikan yang sangat jelas tidak pantas untuk dilumpuhkan dengan rudal atau torpedo.
Sementara pendapat yang lain menyatakan bahwa penggunaan kapal jenis itu tidak masalah, meskipun rudal atau torpedonya pasti tidak akan digunakan. Justru kehadiran kapal cepat di laut diharapkan meningkatkan kemampuan penangkalan Indonesia.
Dari dua pendapat yang saling berseberangan itu, sebaiknya perlu dicari solusi pengoperasian kapal cepat di masa damai. Salah satu solusinya adalah mengeksploitasi kapal ini pada perairan sengketa dan atau di perbatasan perairan Indonesia dengan negara lain. Misalnya menghadirkan kapal itu di Laut Sulawesi, khususnya di sekitar perbatasan Indonesia dengan Negeri Tukang Klaim. Begitu pula di sekitar Selat Malaka dan Selat Singapura, yang tentunya akan memberikan nilai tersendiri daripada hanya menggelar kapal patroli jenis PC seperti yang selama ini dilakukan.
Pemilihan lokasi operasi kapal cepat hendaknya selalu disesuaikan dengan karakteristik kapal tersebut. Kapal cepat lebih cocok beroperasi pada perairan dangkal dan tidak di laut lepas dan dalam. Sebab kalau dipaksakan dioperasikan di laut dalam, maka yang mengalami kesulitan justru para pengawaknya karena besarnya ombak, sementara dimensi kapal tidak terlalu besar.

25 September 2010

Angkatan Laut Dan Geopolitik Kawasan Asia Pasifik

All hands,
Memperhatikan dinamika geopolitik kawasan Asia Pasifik saat ini, dapat dipastikan bahwa kekuatan laut Indonesia akan menghadapi tantangan yang tidak ringan ke depan. Menjadi pertanyaan, mengapa demikian? Situasi itu akan berimplikasi langsung terhadap Indonesia, sebab saat ini kecenderungan yang terjadi adalah pertarungan antara Amerika Serikat, Jepang dan India dalam satu kubu versus Cina.
Sebenarnya gejala kecenderungan ini sudah terlihat sejak 2004, namun menguat mulai 2006 hingga saat ini. Pembangunan kekuatan militer Cina yang sangat pesat menimbulkan ketidakseimbangan di kawasan. Dikatakan ketidakseimbangan karena yang akan terimbas dari dampak pembangunan itu bukan saja Amerika Serikat seperti yang selama ini dipersepsikan publik, tetapi menyentuh pula negara-negara lain di kawasan ini, termasuk Indonesia di dalamnya.
Kenapa Indonesia terkena dampaknya? Semua berawal dari sikap asertif Cina dalam mengamankan kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai negara yang mempunyai empat chokepoints akan berurusan dengan Cina bukan cuma isu SLOC, tetapi juga klaim Beijing terhadap kedaulatan Jakarta atas wilayah Kepulauan Natuna.
Pembangunan kekuatan militer India, khususnya Angkatan Laut, tidak dapat diabaikan. Namun potensi konflik antara India dengan Indonesia lebih sedikit, meskipun kepentingan India terbentang sampai di Selat Malaka. Lagi pula pendekatan yang dilakukan oleh India masih bisa "dikendalikan" oleh Amerika Serikat sebagai sekutu barunya, sehingga India tidak akan berani mengganggu stabilitas keamanan kawasan. Sementara Cina sebagai aktor kawasan cukup sulit "dikendalikan" oleh Amerika Serikat, bahkan cenderung menentang Washington.
Dinamika seperti itulah yang akan dihadapi oleh Angkatan Laut Indonesia ke depan. Lalu menjadi pertanyaan kebijakan apa yang sebaiknya harus ditempuh oleh kekuatan laut Indonesia sebagai antisipasi? Pertanyaan itu lebih tepat dijawab oleh Departemen Pertahanan sebagai penentu kebijakan pertahanan di negeri ini.
Jawaban dari departemen itu akan tepat bila jeli mencermati dinamika kawasan dan akan meleset kalau tidak awas mengikuti pertarungan geopolitik yang tengah terjadi saat ini. Jawaban yang meleset akan membuat wajah pertahanan Indonesia "tidak beraturan".

24 September 2010

Bantuan Militer Amerika Serikat Kepada Indonesia

All hands,
Indonesia dan Amerika Serikat terikat pada comprehensive partnership yang disepakati pemimpin kedua negeri, termasuk di dalamnya kemitraan dalam bidang pertahanan. Terkait dengan hal tersebut, realisasi dari kemitraan di bidang pertahanan antara lain adalah bantuan Washington kepada Jakarta yang sesuai dengan kebutuhan Jakarta. Bantuan seperti itu akan menunjukkan kesungguhan dan ketulusan Amerika Serikat kepada Indonesia dalam rangka menciptakan stabilitas kawasan.
Misalnya soal kerjasama tentang Laut Cina Selatan. Apabila Washington ingin membantu Jakarta, salah satu bentuknya adalah pengadaan sistem senjata Angkatan Laut yang mampu beroperasi di sana. Kalau yang diberikan adalah kapal patroli cepat, itu tindakan yang meningkatkan kemampuan kekuatan laut Indonesia untuk hadir di perairan itu.
Di sisi lain, Indonesia harus cermat dalam mengkaji proposal bantuan yang hendak diajukan kepada Amerika Serikat. Jangan sampai proposal bantuan dari Amerika Serikat langsung diaminkan saja tanpa pembahasan lebih lanjut, termasuk misalnya di mana sistem senjata itu akan dioperasikan. Kadang kala, kelemahan Indonesia adalah tidak mengkaji secara matang tawaran bantuan yang disodorkan oleh pihak asing, sehingga kemudian mengalami kesulitan ketika sudah dioperasionalkan.
Bantuan Amerika Serikat hendaknya berupa kemudahan mengakses teknologi sensitif yang dipunyai negeri itu. Misalnya Indonesia bisa membeli rudal jelajah Angkatan Laut yang di dalamnya mempunyai subkomponen buatan Washington, meskipun rudal itu keluaran Eropa. Bentuk bantuan bisa pula mengoptimalkan kerjasama intelijen secara rutin dan tidak lagi hanya bersifat satu arah yaitu berdasarkan kebutuhan Washington belaka.
Bantuan militer Amerika Serikat kepada Indonesia merupakan keniscayaan dalam kemitraan kedua negara. Hanya saja perlu ketulusan kerjasama kedua belah pihak. Isu ini yang perlu diperkuat oleh Washington dan Jakarta.

23 September 2010

Kendala Operasional Radar

All hands,
Kini di sepanjang Selat Malaka telah beroperasi jaringan radar pengamatan maritim. Kondisi ini jelas menguntungkan bagi Indonesia maupun keamanan kawasan, karena akan lebih meningkatkan kepercayaan pengguna perairan tersebut terhadap Indonesia sebagai negara pantai. Namun demikian, perlu dicermati pula tantangan dalam pengoperasian jaringan radar tersebut.
Dari sejumlah tantangan, satu di antaranya adalah lama waktu radar untuk beroperasi dalam satu hari. Idealnya pengoperasian radar berlangsung 24 jam setiap harinya. Tetapi dalam prakteknya di Indonesia, dengan merunut pada pengalaman pengoperasian radar pertahanan udara milik Kohanudnas, kendala biaya menghalangi pengoperasian sepanjang hari. Hal seperti itu (akan) dihadapi pula oleh jaringan radar pengamatan maritim di Selat Malaka.
Tidak beroperasinya radar selama 24 memberikan keuntungan dan kerugian. Keuntungannya adalah menghemat anggaran bahan bakar, selain memperpanjang usia komponen radar. Kerugiannya adalah tidak bisa mengawasi sektor pengamatan selama 24 jam, yang apabila terjadi sesuatu terkait keamanan maritim akan menjadi "kecelakaan besar".
Salah satu solusi mengatasi masalah ini adalah meningkatkan anggaran untuk operasional dan pemeliharaan radar dalam APBN. Peningkatan ini tidak terhindarkan sebagai konsekuensi dari dibangunnya jaringan radar itu dan akan terus bertambah hingga beberapa tahun mendatang di perairan Indonesia lainnya. Meskipun jam operasional radar dihemat, namun akan tiba masanya komponen-komponen dalam radar harus diganti dan hal itu berkonsekuensi pada anggaran.

22 September 2010

Agenda Nasional Regionalisme Angkatan Laut

All hands,
Regionalisme yang menguat pasca Perang Dingin juga menyentuh pada aspek Angkatan Laut. Kini regionalisme Angkatan Laut kian menguat di kawasan Asia Pasifik. Bentuknya bisa dilihat pada kerjasama Angkatan Laut secara regional, misalnya CARAT, RIMPAC, WPNS, IONS dan lain sebagainya. Menguatnya regionalisme Angkatan Laut antara lain didorong adanya kebutuhan bersama antar Angkatan Laut di kawasan untuk bekerjasama menghadapi tantangan dan ancaman yang jauh lebih kompleks dibandingkan di masa Perang Dingin.
Indonesia tidak dapat menghindarkan diri dengan regionalisme, termasuk pula regionalisme Angkatan Laut. Secara politik, Indonesia adalah penganjur terdepan dalam regionalisme di kawaan Asia Pasifik, terlebih lagi di Asia Tenggara. Peran Indonesia yang sangat signifikan dalam ASEAN merupakan bukti dari hal tersebut. Rencana pembentukan ASEAN Security Community (ASC) pada 2015 juga karena dorongan kuat dari Jakarta, meskipun ada ibukota tertentu di Asia Tenggara yang sebenarnya enggan dengan ide tersebut.
Dalam ASC, secara eksplisit tercantum pula soal regionalisme Angkatan Laut. Pertanyaannya, seberapa siap kekuatan laut Indonesia menghadapi regionalisme tersebut? Sebab regionalisme Angkatan Laut hendaknya diisi dengan sejumlah terobosan baru dan tidak berkutat pada materi kerjasama yang "itu-itu saja". Untuk menjawab tantangan regionalisme Angkatan Laut, pekerjaan rumah pertama bagi pemerintah adalah memberikan panduan kepada Angkatan Laut untuk menyikapi regionalisme itu.
Panduannya bisa berbentuk Strategi Keamanan Maritim Nasional yang nanti pelaksanaannya secara teknis akan dijabarkan oleh Angkatan Laut. Apabila dokumen itu ada, akan sangat membantu kekuatan laut Indonesia untuk memainkan peran konstruktif dalam regionalisme Angkatan Laut di Asia Tenggara.

21 September 2010

Memastikan Kesiapan Operasional

All hands,
Dalam aspek operasional Angkatan Laut, salah satu hal yang harus selalu dicermati adalah kesiapan operasional Angkatan Laut di sekitar. Sejauh mana kesiapan operasional Angkatan Laut negara X, Y dan Z bulan ini? Meskipun negara X mempunyai sekian kapal kombatan dalam armadanya, tetapi dapat dipastikan tidak semua kapal itu siap operasional. Sebagian dari kapal tersebut harus menjalani fase pemeliharaan rutin. Berapa lama pemeliharaannya, tergantung pada kesiapan suku cadang, tingkat kerusakan yang dihadapi, kinerja galangan kapal dan lain sebagainya.
Hal-hal seperti itu secara teoritis harus didalami. Untuk mendalaminya, dibutuhkan tenaga khusus yang mempunyai spesialisasi soal tersebut pada satu sisi dan memiliki jam terbang yang tinggi dalam bidang itu di sisi lain. Sebenarnya dari aspek teoritis masalah ini merupakan tugas pokok intelijen maritim Angkatan Laut. Namun dalam prakteknya tidak mudah karena berbagai hal.
Apabila kita mengetahui tingkat kesiapan operasional Angkatan Laut di sekitar Indonesia, hal itu dapat membantu menyusun rencana gelar kekuatan di laut. Misalnya di perairan M dibutuhkan kehadiran unsur kapal perang, maka dapat ditarik dari perairan O yang menurut analisis tidak rawan karena tingkat kehadiran kapal perang negara tertentu sedang menurun karena hal teknis.
Soal ini sepertinya masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Singapura dan Australia sudah mempunyai personel yang spesialis dalam "mengintip" kesiapan kapal perang Angkatan Laut di sekitarnya.

20 September 2010

Pertahanan Udara Pangkalan Angkatan Laut

All hands,
Pangkalan Angkatan Laut berisikan berbagai aset utama Angkatan Laut yang bernilai strategis dan sekaligus nilainya sekitar Rp. 100 trilyun, bahkan sangat mungkin lebih, apabila diterjemahkan dalam denominasi. Khususnya pada pangkalan induk seperti di Surabaya menjadi pusat kekuatan utama Angkatan Laut Indonesia. Oleh sebab itu, pengamanannya jelas merupakan salah satu prioritas utama. Sebab apabila aset tersebut rusak, baik bangunan maupun sistem senjata, menimbulkan kerugian besar terhadap negeri ini.
Satu di antara pekerjaan rumah dalam mengamankan aset tersebut adalah soal pertahanan udara pangkalan. Seiring dengan makin majunya pesawat udara, baik berawak maupun tanpa awak, tantangan terhadap pertahanan udara pangkalan Angkatan Laut semakin kompleks. Guna menghadapi kompleksitas tersebut, dibutuhkan pembaruan sistem pertahanan udara pada pangkalan Angkatan Laut.
Sebagai contoh, perlu dikaji dengan matang apakah Angkatan Laut perlu mempunyai radar pertahanan udara sendiri untuk menjaga perimeter pangkalannya? Begitu pula dengan senjata anti pesawat, perlu dikaji secara seksama penggunaan rudal darat ke permukaan jarak pendek untuk pertahanan pangkalan. Rudal yang dimaksud hendaknya bukan sebatas hanud titik, tetapi mencakup pula hanud area. Artinya, sasaran yang sedang terbang di atas Laut Jawa misalnya, harus dapat dilumpuhkan dengan sistem senjata itu, bukan lagi sasaran yang sudah sampai di atas Pulau Madura atau telah masuk di sekitar APBS.
Harus diakui, selama ini perencanaan pertahanan pangkalan militer di Indonesia belum terpadu. Belum ada link langsung antara Kohanudnas dengan sejumlah pangkalan utama militer, khususnya milik Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Gelar pertahanan udara pangkalan belum mandiri, sebab target sasaran sangat tergantung masukan dari Kohanudnas yang mengoperasikan radar hanud. Lalu bagaimana pangkalan Angkatan Laut di Ujung misalnya, memperoleh informasi soal Lasa X yang melintas dan atau menuju Surabaya sebagai contoh. Padahal informasi itu menjadi bahan awal untuk menyiagakan kekuatan hanud pangkalan, seandainya Lasa X itu memang terbang dan melintas di atas pangkalan. Apalagi bila sasaran yang tidak diketahui identitasnya tersebut melakukan tindakan pengeboman atau bentuk tindakan provokasi lainnya.

19 September 2010

Mobilisasi Sebagai Sarana Diplomasi

All hands,
Kekuatan militer merupakan instrumen tidak terpisahkan dalam diplomasi antar bangsa. Salah satu cara untuk melaksanakan diplomasi yang menggunakan ancaman (penggunaan) kekuatan adalah melalui mobilisasi, selain tentunya penyebaran kekuatan Angkatan Laut. Mobilisasi di masa lalu sangat favorit dalam hubungan antar bangsa, misalnya menjelang pecahnya Perang Dunia Pertama dan Kedua, di mana mobilisasi oleh suatu negara Eropa akan segera direspon dengan langkah serupa oleh negara lainnya. Kini mobilisasi sudah jarang dilaksanakan, antara lain karena kekuatan cadangan tidak lagi bersifat sebagai the last resort. Misalnya dalam kasus menjelang Perang Afghanistan dan Irak, tidak ada mobilisasi umum di Amerika Serikat. Yang ada adalah dipanggilnya para anggota kekuatan cadangan untuk bersiap melaksanakan misi tempur utama (major combatant mission).
Di kawasan Asia Tenggara, negeri penampung koruptor pernah beberapa kali melakukan mobilisasi. Di antaranya ketika Indonesia dan Negeri Tukang Klaim melaksanakan manuver lapangan di Johor sebagai bagian dari latihan gabungan kedua negara di akhir 1990-an. Negeri penampung koruptor yang curiga latihan itu sebagai kedok belaka untuk menyerbu wilayahnya segera melaksanakan mobilisasi. Pesan diplomatik dari mobilisasi itu jelas, yaitu negeri penampung koruptor siap melawan agresi terhadapnya.
Indonesia termasuk negeri yang sangat jarang melakukan mobilisasi kekuatan militernya. Bisa jadi hal itu karena tidak ada ancaman segera. Dapat pula karena tidak tersedia kekuatan yang perlu dimobilisasi. Seperti diketahui, negeri ini tidak memiliki kekuatan cadangan.
Karena sangat jarang menggelar mobilisasi, maka mobilisasi Angkatan Laut pun sangat jarang dilakukan. Seandainya suatu ketika ada mobilisasi kekuatan Angkatan Laut, hal tersebut merupakan tantangan besar bagi kekuatan negeri ini. Sebab Angkatan Laut dituntut menyiapkan kapal perang yang siap layar dan siap tempur di tengah anggaran pemeliharaan yang jauh memadai. Kecuali bila menjelang mobilisasi diberikan crash budget, sehingga tujuan dari mobilisasi dapat tercapai.

18 September 2010

Tingkat Kesiapan Operasional Kapal Perang

All hands,
Selama ini setidaknya ada dua kendala yang melingkupi tingkat kesiapan operasional kapal perang negeri ini. Pertama yaitu ketersediaan anggaran pemeliharaan, sedangkan kedua yakni usia alutsista yang sudah melewati ambang batas ekonomis. Akibat dua hal tersebut, tingkat kesiapan operasional nyaris berkutat pada persentase tertentu saja. Upaya-upaya untuk mendongkrak tingkat kesiapan operasional bukan tidak ada, tetapi masalahnya upaya itu terkesan seperti menggarami laut.
Lalu bagaimana untuk keluar dari masalah yang bagaikan lingkaran setan tersebut? Solusinya sebenarnya mudah dikonsepkan, tetapi sulit dalam realisasi. Yaitu meningkatkan alokasi anggaran pemeliharaan dan menghapus kapal perang yang umurnya sudah melampaui ambang batas ekonomis. Solusi pertama senantiasa terkendala urusan politik, yakni saat bagi-bagi alokasi anggaran di DPR. Sampai saat ini, sulit untuk mengharapkan peningkatan drastis anggaran Angkatan Laut, termasuk uang pemeliharaan alutsista di dalamnya.
Sedangkan solusi kedua yaitu penghapusan kapal perang yang sudah tidak ekonomis juga bukan hal yang mudah. Kendala utamanya adalah paradigma, di mana paradigma "kuantitas" masih lebih dominan daripada paradigma "kualitas". Terhadap paradigma itu, masalah utamanya adalah tidak ada perbandingan lurus antara kuantitas dengan kualitas.
Secara teoritis, penambahan kapal perang baru harus diikuti dengan penghapusan kapal perang lama yang sejenis. Namun hal itu nampaknya masih sulit diterapkan ketika paradigma "kuantitas" masih lebih dominan. Pada akhirnya, lingkaran setan tersebut tidak bisa dipecahkan.

17 September 2010

Doktrin Weinberger dan Angkatan Laut

All hands,
Doktrin Weinberger lahir dengan latar belakang banyaknya keterlibatan militer Amerika Serikat dalam perang di luar negeri, khususnya pasca Perang Dunia Kedua. Keterlibatan militer tersebut tidak selamanya menempatkan Amerika Serikat sebagai pemenang, bahkan sebaliknya Amerika Serikat lebih banya kalah dalam perang-perang itu. Kekalahan Angkatan Bersenjata Uwak Sam menimbulkan protes dan debat di dalam negeri Amerika Serikat. Situasi demikian yang melatarbelakangi lahirnya Doktrin Weinberger pada 28 November 1984.
Dinamakan Doktrin Weinberger karena yang mencetuskannya adalah Casper Weinberger, Menteri Pertahanan Amerika Serikat di era administrasi Ronald Reagan. Doktrin itu mempunyai enam kriteria untuk memutuskan keterlibatan militer Amerika Serikat dalam perang di luar negeri. Keenam kriteria itu adalah keterlibatan kepentingan vital Amerika Serikat, komitmen untuk meraih kemenangan, tujuan politik dan militer yang didefinisikan dengan jelas, penilaian ulang secara terus menerus terhadap rasio pasukan/tujuan dan biaya, keharusan memobilisasi opini masyarakat oleh pemerintah Amerika Serikat dan intervensi/perang sebagai the last resort.
Sampai saat ini, Doktrin Weinberger masih digunakan di Amerika Serikat. Meskipun demikian, dalam prakteknya tidak semua kriteria dalam Doktrin Weinberger dipenuhi oleh para pengambilan keputusan di Washington sebelum memutuskan keterlibatan militer negeri itu. Misalnya kriteria yang terakhir, di mana sejak invasi ke Panama 1989 sampai dengan penyerbuan ke Irak 2003 selalu tidak terpenuhi.
Dalam kaitannya dengan Angkatan Laut, kekuatan laut Amerika Serikat selalu menjadi andalan utama dalam intervensi atau perang yang dilaksanakan. Tidak ada intervensi atau perang yang dilancarkan oleh Amerika Serikat tanpa keterlibatan Angkatan Laut. Hal itu dapat terjadi karena situasi politik di dalam negeri yang sangat mendukung eksistensi Angkatan Laut dalam mengamankan kepentingan nasional Amerika Serikat dengan cara apapun, termasuk intervensi militer di dalamnya.

16 September 2010

Pembangunan Angkatan Laut Berkelanjutan

All hands,
Kata kunci dalam pembangunan kekuatan Angkatan Laut di manapun di dunia adalah political will. Sangat keliru bila berpendapat bahwa kata kuncinya adalah anggaran. Sebab kalau memahami dengan betul teori force planning, dari awal sudah ditekankan bahwa sumber daya senantiasa terbatas. Satu di antara unsur dari sumber daya adalah anggaran.
Kalau kata kuncinya adalah anggaran, maka tidak ada Angkatan Laut di dunia yang berjaya. Tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya, keterbatasan anggaran ternyata tidak dapat menghalangi munculnya Angkatan Laut yang berjaya, semisal Inggris, Amerika Serikat maupun beberapa negara Asia Pasifik. Pertanyaannya, mengapa mereka bisa melahirkan Angkatan Laut kelas dunia di tengah keterbatasan anggaran?
Menurut hemat saya, salah satu penyebabnya adalah karena adanya pembangunan kekuatan Angkatan Laut yang berkelanjutan. Perencanaan pembangunan kekuatan berjangka 20-25 tahun ke depan, lengkap dengan proyeksi anggaran. Dalam perencanaan itu, sudah dihitung dengan cermat semua skenario terburuk, termasuk apabila terjadi pemotongan anggaran akibat krisis ekonomi. Dengan demikian, bentangan capaian terendah hingga tertinggi dari pembangunan kekuatan sudah diprediksi dengan menggunakan ilmu pasti yang dapat diuji secara akademis.
Ketika pembangunan kekuatan sudah memasuki tahun ke-15, mereka sudah menyusun kembali rencana pembangunan kekuatan setelah tahun ke-25 berakhir. Polanya sama dengan pola yang dipakai sebelumnya, yaitu prediksi berbagai hal seperti ancaman, kecenderungan ke depan, perkembangan ekonomi dan lain sebagainya. Dengan demikian, tidak pernah terjadi keterputusan dalam pembangunan kekuatan. Sehingga sulit mengharapkan misalnya armada heli anti kapal selam pensiun tanpa adanya pesawat pengganti yang segera masuk jajaran Angkatan Laut menjelang heli lama dihapus.
Pembangunan kekuatan Angkatan Laut berkelanjutan telah mempunyai sejumlah preseden. Dengan demikian, apabila Indonesia hendak mengadopsinya tidak akan sulit sebab bisa membandingkan pengalaman beberapa Angkatan Laut sekaligus. Yang sulit diadopsi di Indonesia sebenarnya bukan pola berkelanjutan itu, tetapi political will pemerintah. Datang dan perginya suatu pemerintahan di Indonesia tidak selalu didukung oleh kesamaan political will untuk mendukung pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Yang bermimpi dan berhasrat tentang kejayaan Angkatan Laut negeri ini baru sebatas warga Angkatan Laut dan sebagian anak bangsa, tetapi nampaknya tidak atau belum bagi partai politik dan para penghuninya.

15 September 2010

Pola Pengadaan Senjata Korea Selatan

All hands,
Korea Selatan menganut empat pola pengadaan sistem senjata dalam rangka pembangunan kekuatan. Keempat pola itu mencakup litbang dalam negeri, co-production atau produksi via transfer teknologi, produksi lewat lisensi dan pembelian langsung dari luar negeri. Dari empat pola tersebut, jelas terlihat bahwa pola yang terkait dengan kemampuan industri pertahanan nasional lebih dominan. Dominasi itu bukan saja terlihat dalam konsep, tetapi nampak pula dalam pelaksanaan. Jumlah alutsista yang dibeli dalam suatu periode pembangunan kekuatan nyaris berimbang antara pembelian langsung dari luar negeri dengan pengadaan dari dalam negeri.
Pencapaian Seoul tersebut antara lain dipengaruhi oleh industri pertahanan mereka yang jelas dan konsisten. Misalnya, dukungan pemerintah yang sepenuh hati dalam pengucuran dana litbang. Begitu pula dengan kinerja industri pertahanan yang mengutamakan kualitas dan kepuasaan konsumen, tidak sekedar kuantitas belaka. Juga dukungan kebijakan luar negeri terhadap pengembangan industri pertahanan lokal.
Di Indonesia, hal-hal seperti itu masih menjadi pekerjaan rumah yang entah kapan baru akan terselesaikan. Pengembangan industri pertahanan belum mempunyai peta jalan, begitu pula dengan benang merah antara industri pertahanan di masa lalu dengan di saat sekarang, budaya industri yang belum mapan dan lain sebagainya.
Dalam konteks Angkatan Laut, ke depan sebaiknya pola lisensi atau co-production sebaiknya ditingkatkan daripada kondisi saat ini. Dengan catatan bahwa produk yang dihasilkan bukan sekedar asal jadi, tetapi mempunyai kualitas sebagaimana buatan aslinya di negeri yang jauh di sana.

14 September 2010

RMA Ala Korea Selatan

All hands,
Industri pertahanan Korea Selatan merupakan salah satu industri pertahanan terkemuka untuk tingkat Asia Pasifik, meskipun untuk produk-produk tertentu buatan Negeri Ginseng itu belum setara dengan keluaran Eropa. Dalam hal pertahanan, tidak dapat dipungkiri bahwa Seoul banyak mengadopsi konsep yang berlaku di Washington, sebab Washington adalah "wali" bagi Seoul. Namun terkait dengan RMA, ternyata Seoul tidak menjiplak penuh dari Washington, melainkan sebagian di antaranya mengembangkan sendiri sesuai dengan kebutuhan.
RMA yang berlangsung di negeri yang hingga kini masih berada dalam kondisi perang dengan saudaranya di utara ditunjang oleh basis industri pertahanan yang kuat. Kuatnya industri pertahanan salah satu negeri jagoan sepak bola Asia ini tidak lepas dari dukungan lembaga-lembaga riset. Indonesia kini mulai mengadopsi produk industri pertahanan Korea Selatan, khususnya produk yang sudah terbukti keandalannya.
Sejarah RMA Korea Selatan ternyata berbeda dengan negara-negara lain. RMA di negeri eks jajahan Jepang ini berawal dari keinginan untuk melepaskan diri dari "sang wali" soal C4ISR. Sebelumnya C4ISR Seoul tergantung "sang wali" karena komando dan kendali militer Korea Selatan hingga 2012 berada pada Commander, U.S. Force Korea. Praktis RMA di jajaran militer Korea Selatan baru dimulai pada akhir 1990-an, ketika militer negeri itu membutuhkan C4ISR tersendiri dalam rangka mengembangkan network-centric warfare. C4ISR tersebut kebutuhan setiap matra militer berbeda-beda, namun tetap dapat terkoneksi dalam satu jarinngan.
Untuk memenuhi kebutuhan C4ISR, selain didukung pasokannya oleh industri pertahanan nasional, juga didukung oleh suplai dari luar negeri. Pilihan untuk mengandalkan suplai dari luar negeri tidak sebab pemerintah Korea Selatan sadar bahwa belum semua kebutuhan militernya dapat didukung oleh industri pertahanan lokal. Hingga sekarang, pembangunan C4ISR masih tetap menjadi salah satu prioritas utama di negeri itu.
Apabila pengalaman RMA Korea Selatan dibandingkan dengan pengalaman India dan Cina, dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap negeri mempunyai pintu masuk masing-masing dalam adopsi RMA. Pintu masuk yang berbeda itu berdasarkan kebutuhan masing-masing. Pertanyaannya, Indonesia akan mengadopsi RMA lewat pintu mana?

13 September 2010

Tidak Ada Imunitas Di Laut

All hands,
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa tingkat pelanggaran kedaulatan dan hukum di laut cukup tinggi. Entah itu yang dilakukan oleh kapal perang asing ataupun dilaksanakan oleh kapal ikan luar negeri. Tidak heran bila kapal perang Indonesia sering bertindak keras terhadap pelanggaran tersebut, mulai dari menanyakan tujuan kapal perang asing hingga mengusir dan membayangi atau menembak kapal ikan luar negeri, bahkan terkadang sampai tenggelam. Semua tindakan itu dilakukan oleh Angkatan Laut untuk menjaga kedaulatan dan martabat negeri ini.
Bahwa setelah tindakan-tindakan demikian biasanya diikuti oleh meluncurnya nota diplomatik dari negara asing yang merasa dirugikan oleh tindakan tegas kapal perang Indonesia kepada Departemen Luar Negeri di Pejambon, itu hal yang biasa. Dalam setahun setidaknya ada puluhan kali nota diplomatik dari beberapa negara tertentu yang ditujukan kepada Indonesia yang isinya memprotes tindakan keras kapal perang Indonesia terhadap kapal perang atau kapal ikan mereka.
Protes-protes seperti itu tentu saja harus dilayani secara proporsional dan mengutamakan kepentingan nasional pada domain diplomatik. Jangan sampai tindakan keras yang dilakukan oleh kapal perang Angkatan Laut Indonesia malah disalahpahami oleh pihak tertentu (di luar Angkatan Laut), misalnya dengan alasan takut mengganggu hubungan baik dengan negara-negara tertentu.
Harus dipahami bersama bahwa hubungan baik dengan negara-negara tertentu memang harus didasarkan pada asas resiprokal. Namun bukan berarti salah satu asas resiprokal itu adalah memberikan lisensi dan imunitas kepada kapal perang dan atau kapal ikan negara-negara itu untuk melanggar kedaulatan dan hukum di laut wilayah Indonesia. Sangat keliru kalau ada satu negara tertentu memberikan utang yang tidak sedikit kepada Indonesia, lalu balas budi dari Indonesia adalah menutup mata atas pelanggaran kedaulatan dan hukum yang dilakukan oleh kapal perang dan atau kapal ikannya di perairan yurisdiksi Indonesia.
Jika selama ini kapal perang Indonesia bisa bersikap tegas terhadap kapal perang negara adidaya yang melintas tanpa mengabaikan peraturan internasional di tengah keterbatasan kemampuan Angkatan Laut negeri ini, mengapa kita harus "mengubah sikap" terhadap kapal perang dari negara yang bukan adidaya? Penting untuk dicamkan bahwa dalam mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim, tidak boleh ada standar ganda.

12 September 2010

Satu Kawasan Berbeda Pesan

All hands,
Setiap tahun, frekuensi kunjungan kapal perang Amerika Serikat ke Indonesia cukup tinggi. Entah itu untuk kegiatan CARAT, kegiatan kemanusiaan seperti Pacific Partnership atau jenis kegiatan lainnya. Kalau dihitung, frekuensi kunjungan tersebut cukup tinggi. Lalu apa arti dari tingginya kunjungan itu?
Ada yang berpendapat hal itu mencerminkan tingkat hubungan antara Angkatan Laut Amerika Serikat dengan Angkatan Laut Indonesia. Namun ada pula pendapat, tingginya kunjungan tersebut merupakan sinyal dari Amerika Serikat untuk mengingatkan Indonesia bahwa Angkatan Laut Amerika Serikat adalah kekuatan utama di kawasan Asia Pasifik. Singkat, pesan Washington adalah "dont tread on me".
Sebenarnya di kawasan ini bukan Indonesia saja yang setiap tahun selalu mendapat kunjungan kapal perang Broer Sam secara rutin dengan frekuensi tinggi. Namun masalahnya, pesan yang disampaikan berbeda. Pesan yang disampai di Singapura, Bangkok, Manila dan Canberra berbeda dengan pesan yang disampaikan di Jakarta.
Kenapa berbeda? Sebab di empat ibukota nasional tersebut pesannya adalah Broer Sam siap melindungi mereka dari ancaman keamanan apapun. Pesan demikian karena mereka adalah sekutu dan kawan Washington. Adapun Jakarta baru sebatas mitra saja yang siap "ditendang" kapan saja bila tidak diperlukan lagi oleh Gedung Putih.

11 September 2010

Kecenderungan Fast Attack Craft Di Asia Tenggara

All hands,
Dalam satu dekade terdapat dua arus yang berbeda di lingkungan Angkatan Laut Asia Tenggara menyangkut fast attack craft (FAC). Arus pertama dianut oleh Negeri Tukang Klaim dan negeri penampung koruptor dan uang haram dari Indonesia. Kedua negeri yang dulunya satu itu sejak akhir 1990-an beralih dari pemakaian kapal jenis FAC ke kapal jenis korvet dan atau fregat. Contohnya adalah negeri penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia, di mana armada FAC-nya digantikan oleh fregat kelas Formidable. Dengan kata lain, kedua negeri yang pernah diganyang oleh Indonesia pada 1960-an kini lebih banyak menggunakan kapal korvet dan fregat serta mulai mengurangi penggunaan kapal FAC dalam susunan tempurnya.
Alasan kedua negara FPDA tersebut adalah dimensi kapal korvet dan fregat yang lebih besar, sehingga mampu menyandang sistem senjata lebih banyak. Sedangkan alasan yang tidak disebutkan adalah mereka ingin meningkatkan status Angkatan Lautnya menjadi kekuatan laut yang mampu diproyeksikan di kawasan.
Arus kedua adalah Angkatan Laut yang memperbanyak atau setidaknya memperkuat eksistensi FAC dalam susunan tempurnya. Di Asia Tenggara negara yang menganut demikian adalah Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Angkatan Laut negeri ini telah meningkatkan kemampuan beberapa kapal patrolinya menjadi FAC dan akan terus berlangsung hingga beberapa tahun ke depan. Alasan di balik itu adalah meningkatkan daya pukul kapal perangnya, sebab FAC sangat berpotensi dieksploitasi pada beberapa perairan strategis yang tergolong focal points. Berbeda dengan dua negara Asia Tenggara lainnya, perairan Indonesia mempunyai beberapa focal points yang cocok bagi pengoperasian FAC.
Dari fenomena tersebut terlihat bahwa penggunaan FAC di kawasan Asia Tenggara sangat ditentukan oleh strategi yang dianut oleh masing-masing Angkatan Laut. Peningkatan kemampuan FAC Indonesia bukan berarti kekuatan laut negeri ini meninggalkan kapal kombatan jenis fregat atau korvet, tetapi lebih untuk mengisi kepentingan taktis operasional. Adapun kecenderungan dua negeri yang pernah diganyang oleh Presiden Soekarno pada 1960-an tidak lepas dari ambisi regional dan perlunya menunjukkan otot Angkatan Lautnya di kawasan Asia Tenggara.

10 September 2010

Bantuan Militer Australia Kepada Negara Di Sekitarnya

All hands,
Dalam pembangunan kekuatan Angkatan Laut, tidak dapat dipungkiri bantuan Australia kepada Indonesia. Setidaknya itu terjadi di masa lalu ketika Indonesia berupaya keluar dari masa-masa sulit. Secara material, bentuk bantuan itu antara lain adalah pesawat patroli maritim N-22/24 Nomad yang kini sebagian sudah menjadi monumen di beberapa tempat dan kapal PC kelas Attack yang sekarang beroperasi di wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya. Bagi Indonesia yang saat itu tengah kesulitan, bantuan itu dinilai sangat berarti untuk membangun kembali kemampuan-kemampuan Angkatan Laut.
Akan tetapi apabila ditelusuri lebih jauh, bantuan itu tidak meningkatkan kemampuan strategis Indonesia di kawasan. Sebab kemampuan pesawat udara dan kapal PC tersebut terbatas, hanya sekedar untuk patroli dengan jangka waktu tertentu saja. Sementara Nomad diberikan kepada Indonesia untuk kepentingan patroli maritim, negeri yang sering dilanda kebakaran semak tersebut melenggang dengan P-3 Orion dalam menggelar patroli maritim.
Kalau diteliti lebih jauh, semua negara tetangga Australia yang tidak berkulit putih selalu dikasih bantuan material militer ---termasuk Angkatan Laut--- yang "ecek-ecek". Lihatlah beberapa negara Pasifik Selatan yang pengembangan Angkatan Lautnya sangat tergantung dari kemurahan hati Canberra. Oleh Canberra, mereka hanya diperbolehkan membeli kapal PC dan itupun kapalnya harus buatan galangan Australia. Kasusnya adalah PC kelas Pasifik yang "didonasikan" oleh Canberra kepada "negeri-negeri vassalnya" di Pasifik Selatan.

09 September 2010

Angkatan Laut Sebagai Etalase Prestise Bangsa

All hands,
Dalam diplomasi, dikenal istilah kebijakan prestise alias the policy of prestige. Kebijakan itu menurut Hans Morgenthau mempunyai dua kemungkinan tujuan utama. Pertama sebagai prestise itu sendiri. Kedua, prestise dalam rangka mendukung kebijakan status quo atau imperialisme. Lepas dari apapun tujuan kebijakan prestise tersebut, Angkatan Laut sebagai salah satu instrumen diplomasi perlu dibangun dengan serius. Sebab tujuan kebijakan prestise tidak tercapai apabila Angkatan Laut tidak dibangun dengan serius oleh pengambil kebijakan politik.
Disadari atau tidak, kebijakan prestise masih berlaku hingga kini. Lihatlah pameran kekuatan yang dilakukan oleh beberapa Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara, baik Angkatan Laut regional maupun kekuatan ekstra kawasan. Indonesia pun hingga kini terus menjadi sasaran kebijakan prestise beberapa negara yang mempunyai hasrat dan ambisi regional.
Pertanyaannya, sebagai bangsa yang juga memiliki hasrat dan ambisi regional, apakah bangsa ini akan terus membiarkan dirinya menjadi sasaran kampanye kebijakan prestise negara-negara di sekitarnya? Kebijakan prestise harus didukung oleh Angkatan Laut dengan sistem senjata yang modern dan baru. Lima atau 10 kapal perang baru Indonesia jenis fregat akan lebih disegani oleh negara-negara lain daripada gabungan semua batalyon infanteri Angkatan Darat yang dipunyai negeri ini.
Kebijakan prestise hanya bisa ditempuh oleh Indonesia apabila para pengambil keputusan politik sudah kaya akan geographical awareness. Dengan kekayaan itu, mereka akan lebih dihormati pula oleh rakyat yang mendudukkan mereka di eksekutif dan legislatif.

08 September 2010

Diplomasi Koersif Angkatan Laut

All hands,
Angkatan Laut Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman melaksanakan diplomasi koersif, antara lain pada masa Perang India-Pakistan 1965. Guna mengimplementasikan dukungan Jakarta terhadap Islamabad dalam perang melawan New Delhi, Indonesia mengirimkan gugus -tugas kapal perang Angkatan Lautnya ke perairan Pakistan Timur untuk men-deter aksi Angkatan Laut India. Dalam gugus tugas itu terdapat pula unsur kapal selam.
Seiring dengan perubahan kebijakan luar negeri Indonesia, selanjutnya kekuatan laut Indonesia nyaris tidak pernah lagi melakukan diplomasi koersif. Padahal diplomasi koersif tetap dibutuhkan, baik untuk kondisi saat ini maupun situasi di masa depan. Misalnya, Indonesia dapat menyebarkan kapal perangnya ke salah satu negara ASEAN yang tengah bergolak untuk mencerminkan dukungan kepada salah satu pihak yang bertikai, misalnya dukungan kepada pemerintahan yang sah di negara itu. Sebagai pemain utama di ASEAN, Indonesia sudah seharusnya tidak mengharamkan diplomasi koersif hanya demi citra yang sebenarnya sekedar ilusi saja.
Dalam konteks ASEAN ke depan, peran diplomasi koersif Angkatan Laut sangat dibutuhkan ketika negara-negara ASEAN sepakat menciptakan ASEAN Security Community (ASC). Misalnya ada suatu negara ASEAN yang terancam secara fisik oleh kekuatan lain, termasuk konflik internal dalam negeri, di situ terdapat peluang diplomasi koersif Angkatan Laut Indonesia harus dieksploitasi. Harus diingat bahwa dengan berlakunya ASC maka ASEAN harus melakukan setting the norm kembali. Prinsip non intervensi yang sejak 1967 dipegang oleh ASEAN harus ditinjau kembali relevansinya ketika ASEAN sepakat menuju pada ASC.
Diplomasi koersif Angkatan Laut bisa dilaksanakan apabila Indonesia mempunyai kekuatan laut yang memadai dan dibangun dengan dukungan penuh pemerintah.

07 September 2010

Perlakuan Terhadap Laporan Kekuatan Militer Cina

All hands,
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kini laporan tentang kekuatan militer Cina yang setiap tahun disampaikan oleh Pentagon kepada Capitol Hill tidak dapat diakses oleh publik secara bebas. Kalau hingga 2009 laporan yang disusun oleh para analis Pentagon dengan mudah dapati diakses via situs Departemen Pertahanan Amerika Serikat, kini keadaannya telah berubah. Laporan itu kini hanya dapat diakses secara terbatas oleh "pihak-pihak yang berkepentingan".
Perubahan kebijakan tersebut nampaknya karena Washington tidak ingin Beijing untuk bisa pula mengaksesnya. Seperti diketahui, dalam satu tahun terakhir hubungan antara kedua ibukota kurang baik, antara lain karena insiden USNS Impeccable (T-AGOS-23) dan komentar Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dalam pertemuan ARF di Hanoi Juli 2010 soal penyelesaian masalah Laut Cina Selatan. Oleh sebab itu, sekarang Washington nampaknya menutup akses publik (termasuk publik internasional) terhadap laporan tersebut.
Laporan tahunan tentang kekuatan militer Cina sebenarnya juga bermanfaat bagi Indonesia. Sebab laporan itu bisa menjadi salah satu rujukan dalam mengamati pembangunan kekuatan militer Negeri Tirai Sensor Internet tersebut. Jakarta mempunyai kepentingan dengan laporan itu terkait dengan makin asertifnya Beijing di Laut Cina Selatan, bahkan mengklaim pula wilayah ZEE Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna.

06 September 2010

Melindungi SLOC Indonesia

All hands,
SLOC Indonesia dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu SLOC yang berada di luar wilayah kedaulatan dan SLOC yang terletak di dalam wilayah kedaulatan. Kedua bagian SLOC tersebut harus dilindungi secara politik dan militer, yang mana perlindungan militer merupakan tugas pokok Angkatan Laut negeri ini. Namun berdasarkan kondisi kekinian, perlu ada penyusunan prioritas dalam perlindungan SLOC, di mana SLOC yang berada di wilayah kedaulatan wajib diutamakan. Sebab SLOC di dalam negeri merupakan urusan hidup mati republik ini sebagai negara kepulauan.
Dalam urusan realisasi perlindungan SLOC itu, hendaknya selalu menjadi tugas pokok Angkatan Laut. Artinya, pembangunan kekuatan dalam kondisi apapun minimal harus mampu menciptakan kekuatan Angkatan Laut yang mampu melindungi SLOC tersebut. Termasuk pula dengan MEF, harus diarahkan ke sini salah satu kemampuannya. Dengan satu harapan bahwa di masa depan kekuatan laut Indonesia mampu melindungi pula SLOC yang berada di luar wilayah kedaulatan.
Pertanyaannya, apakah para pengambil keputusan di negeri ini paham soal perlindungan SLOC? Entah itu tetangganya Taman Ria Senayan, bulakan sapi lanang (kata orang Tegal) alias Lapangan Banteng maupun penghuni istana di seberang eks Lapangan Koningsplein? Sebab merekalah yang mengatur besaran anggaran bagi pembangunan kekuatan Angkatan Laut.

05 September 2010

Integrasi Sistem PKR

All hands,
Integrasi sistem dalam PKR yang akan dibangun oleh galangan perkapalan nasional dengan asistensi teknis galangan asal Eropa merupakan isu krusial pula. Sebab dalam integrasi sistem harus mampu menyatukan semua subsistem senjata yang ada dalam satu CMS. Dengan demikian, dibutuhkan keahlian khusus guna bisa melaksanakan integrasi tersebut. Biaya integrasi sistem pun tidak murah, nilainya mendekati harga bangunan kapal itu sendiri.
Oleh karena itu, integrasi sistem harus dilaksanakan oleh ahlinya tanpa memandang bendera kebangsaan. Tidak bisa diterima alasan bahwa karena kapal perang yang diproduksi adalah untuk Indonesia, maka pekerjaan integrasi sistem dipaksakan dilakukan oleh galangan perkapalan Indonesia. Karena galangan perkapalan Indonesia selama ini belum khatam soal integrasi sistem, sebagaimana bisa dilihat dalam pengembangan kapal FPB 57.
Jika integrasi sistem dipaksakan tanpa melihat kemampuan dan kompetensi, maka Angkatan Laut selaku konsumen akan menjadi korban. Mimpi Angkatan Laut yang ingin mempunyai kapal fregat kenyataannya mendapat kapal OPV karena kegagalan integrasi sistem. Pesannya adalah dalam soal integrasi sistem harus mengingat kembali slogan kampanye penguasa Jakarta sekarang, yaitu "Serahkan Pada Ahlinya".

04 September 2010

Kesalahan Berpikir Diplomat Dunhill

All hands,
Merupakan suatu kesalahan yang sangat fatal ketika diplomat Dunhill menempatkan perdamaian sebagai ends dari kepentingan nasional. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ends adalah integritas wilayah dan kedaulatan. Dengan cara apapun, ends tersebut harus dicapai, entah menggunakan kekuatan kinetik alias perang ataupun memakai ajang diplomasi. Perdamaian hanyalah salah satu means untuk mencapai ends.
Pemahaman seperti ini hendaknya dipahami oleh diplomat Dunhill. Kalau sampai diplomat Dunhill menjadikan perdamaian sebagai ends, celakalah republik ini!!! Kita tinggal menghitung waktu wilayah republik ini digadaikan satu demi satu demi mencapai perdamaian yang merupakan ends dari diplomat Dunhill.
Lebih celaka lagi, pemikiran sesat dan menyesatkan ala diplomat Dunhill itu kini sudah merasuk pada tingkat pengambil keputusan di negeri ini. Pengambil keputusan kini telah menempatkan perdamaian sebagai ends dan bukan lagi hanya sekedar means. Lalu apa arti dari semua ini? Diplomat Dunhill dan para pengambil keputusan secara tidak sadar telah mengkhianati konstitusi. Amanat konstitusi yang paling pertama dan utama "melindungi segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia". Bukan "menciptakan perdamaian dunia yang abadi", yang dalam konstitusi hanya urutan keempat.
Dari amanat konstitusi apabila dicermati sudah sangat jelas, terang dan gambang bahwa ends republik ini adalah melindungi integritas wilayah. Diplomasi harus bekerja untuk mencapai ends tersebut, bukan menciptakan ends sendiri yang mengada-ada dan tidak sesuai konstitusi. Mengacu pada amanat konstitusi, maka diplomasi harus ditempatkan sebagai salah satu means untuk mencapai terlindunginya integritas wilayah republik ini.

03 September 2010

Kepentingan Nasional Versi Diplomat Dunhill Versus Versi Perpres No.41/2010

All hands,
Suatu hal yang sangat memalukan terjadi beberapa hari lewat ketika diplomat Dunhill menulis dengan yakinnya di sebuah media massa bahwa kepentingan nasional tertinggi Indonesia adalah perdamaian!!! Jelas pendapat tersebut amat sangat keliru dan tidak berdasar, namun sekaligus menunjukkan pemahaman diplomat Dunhill soal kepentingan nasional sedemikian dangkalnya. Bisa jadi karena mereka tidak pernah mau mengikuti pendidikan di Lemhannas, dengan alasan ada pembuangan waktu dan materi apabila mengikuti pendidikan tersebut dibandingkan penempatan di pos-pos Dunhill.
Amat sangat keliru ketika menyatakan kepentingan nasional tertinggi Indonesia adalah perdamaian!!! Kepentingan nasional tertinggi Indonesia yang tertinggi adalah keutuhan wilayah RI. Kalau tidak percaya silakan periksa Peraturan Presiden No.41 Tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Di peraturan itu dinyatakan bahwa kepentingan nasional strata mutlak adalah menjaga kelangsungan NKRI yang berupa integritas teritorial, kedaulatan nasional dan keselamatan bangsa Indonesia. Perpres itu meskipun cakupannya adalah bidang pertahanan tetapi pada dasarnya mengikat semua komponen bangsa.
Kalau kepentingan nasional tertinggi adalah perdamaian, berarti bangsa ini sedikit demi sedikit akan menyerahkan wilayahnya kepada Negeri Tukang Klaim demi terciptanya perdamaian kedua negara. Amat sangat jelas logika ala diplomat Dunhill seperti itu sangat tidak bisa diterima, bahkan haram untuk diterima. Sebab lalu untuk apa negeri ini eksis kalau hanya untuk dihibahkan kepada pihak lain yang bernafsu demi terciptanya perdamaian.

02 September 2010

Tidak Mampu Kenali Kekuatan Sendiri

All hands,
Dalam konflik Indonesia dengan negeri yang congkak, pongah dan bodoh yakni Negeri Tukang Klaim sangat disayangkan bahwa pengambil keputusan di Indonesia hanya bisa mengidentifikasi kelemahan diri sendiri, namun tidak mampu mengenali kekuatan sendiri. Akibatnya diplomasi yang dimunculkan sepenuhnya bernuansa diplomasi Dunhill alias mencari aman di comfort zone. Sangat wajar bila banyak kalangan di negeri ini yang berang dengan langkah-langkah diplomat Dunhill yang tidak tegas dalam mengamankan kepentingan nasional.
Pertanyaannya, apa kekuatan Indonesia yang dapat dijadikan posisi tawar menghadapi negeri yang harus mengorbankan seorang perempuan hanya agar Angkatan Lautnya bisa mempunyai kapal selam? Jawabannya banyak, seperti kerjasama militer yang dapat dihentikan, ketergantungan Negeri Tukang Klaim terhadap suku cadang pesawat CN-235 buatan Bandung, penghentian operasi SPBU Petronas, menghentikan jatah kursi bagi mahasiswa Negeri Tukang Klaim di perguruan tinggi Indonesia, bahkan melarang operasi maskapai Negeri Tukang Klaim beserta cabangnya di Indonesia (Indonesia AirAsia adalah cabang dari perusahaan penerbangan Negeri Tukang Klaim) dan lain sebagainya. Belum lagi di sektor keuangan dan perkebunan, yang berpotensi untuk ditutup meskipun resikonya lebih besar.
Kalau bisnis Negeri Tukang Klaim seperti SPBU Petronas ditutup paksa oleh Indonesia, negeri ini tidak akan mengalami krisis BBM. Toh lebih dari 98 persen SBPU milik Pertamina dan SPBU asing hanya boleh berdiri di kota-kota besar tertentu saja. Maskapai Negeri Tukang Klaim beserta cabangnya di Indonesia dilarang beroperasi juga tidak akan berdampak signifikan terhadap terhadap penerbangan Indonesia, sebab maskapai Indonesia mampu untuk melayani penerbangan domestik dan internasional secara mandiri tanpa harus dibantu oleh Negeri Tukang Klaim.
Yang perlu diwaspadai adalah di bidang ekonomi, khususnya perbankan dan telekomunikasi. Karena kebijakan di masa lalu oleh partai nasional yang tidak berwajah nasionalis maka perbankan Indonesia kini sebagian dikuasai oleh pemodal asal Negeri Tukang Klaim. Kondisi ini perlu dicermati ke depan, karena akan melemahkan instrumen ekonomi Indonesia.
Untuk menghadapi Negeri Tukang Klaim, ada beberapa kartu truf yang bisa dimainkan dengan dampak minimal terhadap ekonomi Indonesia. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa asumsi diplomat Dunhill bahwa Indonesia tersandera oleh TKI sehingga tidak berani tegas adalah asumsi yang keliru dan tidak berdasar. Kata kunci tinggal satu, yakni apakah ada kemauan untuk bersikap tegas terhadap Negeri Tukang Klaim? Percuma mempunyai kemampuan namun tak diimbangi oleh kemauan politik.

01 September 2010

Tidak Ada Persaudaraan Dengan Negeri Tukang Klaim

All hands,
Penyelesaian masalah antara Indonesia dengan tetangganya yang congkak dan pongah serta bodoh yaitu Negeri Tukang Klaim harus didasarkan pada kepentingan nasional Indonesia. Kepentingan nasional Indonesia di antaranya menyangkut keutuhan wilayah dan martabat bangsa. Tidak ada rumusan lain yang dapat digunakan guna menyelesaikan konflik tersebut, kecuali kepentingan nasional. Pendapat bahwa penyelesaian masalah dengan negeri bodoh itu menggunakan dasar persaudaraan adalah lahir dari pihak yang tidak paham kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut ilmu geopolitik, setiap bangsa ingin meluaskan ruangnya, baik ruang pengaruh maupun ruang kedaulatan. Aspirasi untuk meluaskan ruang ini tidak mengenal persaudaraan seperti yang didengungkan oleh Negeri Tukang Klaim untuk memperdaya sebagian pihak di Indonesia. Jadi sangat keliru kalau landasan untuk menyelesaikan masalah dengan negeri yang congkak, pongah serta bodoh itu berdasarkan persaudaraan. Sebab tindakan Negeri Tukang Klaim terhadap Indonesia tidak mencerminkan persaudaraan, lalu mengapa Indonesia harus menggunakan basis persaudaraan untuk mencari solusi konflik?
Indonesia sebenarnya memiliki banyak kartu truf untuk menghadapi kepongahan dan kecongkakan Negeri Tukang Klaim. Sayangnya, para pengambil keputusan di Jakarta lebih mengenal kelemahannya daripada kekuatannya. Kondisi ini sangat jelas bertentangan dengan ajaran Sun Tzu yang selama ini diajarkan di Indonesia, khususnya militer.