30 April 2011

Fregat Dan Kemampuan Operasi Angkatan Laut

All hands,

Tak ada pihak yang dapat membantah bahwa Indonesia adalah negara besar. Dari luas wilayahnya saja sudah terlihat betapa negeri ini sangat luas. Hanya saja selama ini potensi menjadi kekuatan kawasan lebih sering diabaikan daripada digarap. Termasuk dalam urusan pembangunan kekuatan Angkatan Laut oleh pengambil kebijakan politik.

Untuk mengamankan perairan Indonesia yang sedemikian luas, dibutuhkan kapal perang yang memadai secara kualitas dan kuantitas. Pemenuhan kuantitas kapal perang memang harus dilakukan, tetapi harus diimbangi pula dengan kualitas. Bila tidak, maka perairan Indonesia yang berhadapan atau berhubungan langsung dengan laut lepas akan sangat jarang merasakan kehadiran kapal perang Angkatan Laut. Misalnya Laut Natuna dan ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan, begitu pula Laut Sulawesi, Laut Banda dan Samudera India. Di perairan itu dibutuhkan kehadiran kapal perang bertonase besar, minimal sekali korvet namun akan lebih baik bila fregat.

Kalau memperhatikan dinamika lingkungan strategis saat ini dan ke depan, nampak jelas bahwa pertarungan kepentingan aktor-aktor negara berada di beberapa perairan tersebut. Dengan demikian, untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia dibutuhkan kapal perang yang secara operasional mampu beroperasi di perairan-perairan itu. Pertanyaannya adalah apakah kebijakan dari Departemen Pertahanan dalam hal pembangunan kekuatan sudah mengarah ke sana?

Rencana pengadaan kapal fregat sudah disusun, bahkan akan dibangun di galangan perkapalan nasional. Namun konon kabarnya, ada hambatan dalam realisasi rencana itu karena ketidaksiapan galangan perkapalan nasional. Artinya dalam bentuk skenario terburuk, pembangunan kapal perang jenis fregat masih akan mengandalkan pada galangan asing.

Ke depan, pengadaan kapal perang bagi Angkatan Laut hendaknya menyeimbangkan kapal bagi kebutuhan patroli dengan kapal untuk keperluan kombatan. Untuk jenis yang terakhir sangat dibutuhkan eksistensinya dalam jumlah yang "memadai". Sebab kemampuan penangkalan kapal kombatan yang akan diperhitungkan oleh pihak lain. Kapal jenis ini, khususnya fregat, pula yang akan mampu mengamankan kepentingan nasional di perairan-perairan yang telah disebutkan sebelumnya.

Bahkan kapal fregat pula yang akan menjadi ujung tombak bagi kekuatan Indonesia ketika beroperasi di luar wilayah kedaulatan, misalnya dalam operasi perdamaian PBB. Kredibilitas kapal fregat jelas lebih tinggi daripada sekedar kapal patroli biasa. Tentu saja fregat tersebut harus dilengkapi dengan sistem senjata yang memadai, bukan sekedar menyandang status jenis fregat.

29 April 2011

Modernisasi Kekuatan Laut Singapura

All hands,

Secara teknologi, Angkatan Laut Singapura merupakan kekuatan laut termodern di kawasan Asia Tenggara saat ini. Kekuatan laut negeri yang menjadi penampung koruptor asal Indonesia ini melebihi kebutuhan sesungguhnya untuk pertahanan. Konsep demikian memang dikembangkan sedemikian rupa agar tidak ada negara lain yang menyerang negara kota ini.

Yang perlu diketahui adalah siapa dan atau apa yang menjadi otak modernisasi kekuatan Angkatan Laut Singapura? Modernisasi tersebut memang dilaksanakan oleh pemerintah Singapura sendiri, akan tetapi tidak lepas dari adopsi gagasan-gagasan pemikiran ke-Angkatan Laut-an asal negara-negara maju. Negeri ini tidak pelit pula untuk menyewa para ahli Angkatan Laut dan tenaga profesional lainnya dalam mendukung modernisasi kekuatan lautnya. Yang didatangkan bukan sekedar ahli-ahli persenjataan dan rancang bangun kapal perang, tetapi mencakup pula ahli strategi maritim.

Pendekatan demikian perlu untuk dipertimbangkan di Indonesia. Daripada berambisi untuk membangun kapal perang secara lokal tanpa didukung oleh infrastruktur perkapalan yang memadai, mengapa tidak menyewa segelintir ahli untuk memodernisasi galangan perkapalan Indonesia agar dapat mendukung pembangunan kekuatan Angkatan Laut? Kalau alergi dengan orang asing, kenapa tidak memanggil pulang para teknolog Indonesia yang kini mencari hidup di negeri orang. Dengan syarat, setelah sampai di sini mereka tidak diminta untuk "padamu negeri kami berbakti" alias dihargai sekedarnya secara materi.

Begitu pula dengan ahli strategi maritim. Gagasan mendatangkan atau menyewa ahli strategi maritim kontemporer untuk membantu cakrawala pemikiran modernisasi kekuatan Angkatan Laut Indonesia merupakan sebuah hal yang patut dipertimbangkan. Dengan catatan tidak semua ide yang dilemparkan oleh sang ahli diterima begitu saja, namun di sisi lain tak semua gagasan yang disodorkan oleh sang pakar langsung ditolak dan atau tidak direalisasikan karena paradigma berpikir yang berbeda.

28 April 2011

SLOC: Hidup Matinya Singapura

All hands,

Singapura bagaikan negara landlocked. Meskipun memiliki perairan, tetapi untuk bisa mengakses ke Selat Malaka maupun Laut Cina Selatan, negeri yang menjadi tempat favorit bagi para koruptor asal Indonesia untuk menyembunyikan harta hasil curiannya tersebut harus melewati perairan Indonesia dan Negeri Tukang Klaim terlebih dahulu. Dari sini tanpa perlu berpanjang lebar dapat ditarik kesimpulan bahwa SLOC adalah jalur hidup matinya negeri yang dulunya menjadi tempat sarang perompak itu.

Oleh karena itu, tidak heran bila Singapura membangun kekuatan laut dengan kadar yang melebihi luas perairannya. Sebab kekuatan laut itu digunakan untuk mengamankan SLOC-nya yang berada di perairan Indonesia dan Negeri Tukang Klaim. Tak aneh pula bila negara kota ini selalu lebih nyaman mengundang dan bekerjasama dengan kekuatan ekstra kawasan dalam urusan keamanan maritim dibandingkan dengan Indonesia maupun Negeri Tukang Klaim.

Indonesia senantiasa memiliki permasalahan dengan Singapura. Untuk mencari solusi permasalahan itu, Indonesia hendaknya cerdas dalam memainkan isu SLOC. Sebab SLOC adalah urusan hidup mati alias survival-nya Singapura. Jangan lagi kekeliruan "menyerahkan" Laut Natuna kepada Singapura seperti dalam DCA diulangi kembali. Sebab "penyerahan" itu berarti memperluas "wilayah perairan" Singapura sehingga bisa langsung ke Laut Cina Selatan.

Memainkan isu SLOC terhadap Singapura dapat dilakukan dengan banyak cara. Yang dibutuhkan oleh Indonesia hanya soal kecerdasan, kecerdikan dan keberanian politik. Kalau SLOC bisa dimainkan, negeri penampung koruptor itu tak akan macam-macam lagi terhadap Indonesia seperti yang selama ini terjadi dan dilestarikan.

27 April 2011

Tidak Sekedar Minimum Essential Force

All hands,

Saat ini dan ke depan pembangunan kekuatan Angkatan Laut mengacu pada minimum essential force (MEF). Pencapaian MEF akan senantiasa menjadi perhatian, sebab tolak ukur keberhasilan atau kegagalan MEF terletak di situ. Namun demikian, hendaknya perhatian besar pada pencapaian MEF tidak mengurangi perhatian pada isu lainnya yang juga penting dalam pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Apa itu?

Yang dimaksud adalah kemampuan setiap unsur yang dibangun dalam MEF. Sebagai contoh, apakah kapal perang yang dibangun dalam MEF mampu melaksanakan beberapa jenis peperangan yang sesuai dengan fungsi asasinya? Misalnya kemampuan peperangan permukaan, apakah sistem senjatanya siap? Kalau siap, berapa persen kesiapan kapal kombatan secara keseluruhan?

Isu ini muncul karena setidaknya dua hal. Pertama, paradigma pengadaan kapal perang tanpa sistem senjata yang melekat sebagaimana seharusnya. Kedua, paradigma penganggaran tahunan yang masih berdasarkan "prioritas", sehingga ada sejumlah kapal perang yang tidak dapat menjalani pemeliharaan sebagaimana mestinya karena tak adanya anggaran untuk kapal tersebut dalam satu tahun anggaran.

Artinya, program penganggaran yang selama ini dianut untuk pemeliharaan kapal perang perlu ditinjau ulang. Peninjauan ulang yang paling efektif dan sekaligus mengobati akar masalahnya adalah peningkatan alokasi anggaran pemeliharaan dalam APBN. Dengan demikian, pengalaman buruk tidak siap operasi di masa lalu di saat genting tidak terulang kembali di masa depan.

26 April 2011

Operasional Kapal Amfibi Buatan Korea Selatan

All hands,

Sejak beberapa tahun silam kapal amfibi jenis LPD buatan Korea Selatan telah diadopsi oleh Angkatan Laut Indonesia. Banyak harapan dengan perkuatan LPD maka kemampuan operasi amfibi kekuatan laut Indonesia lebih meningkat lagi dibandingkan saat harus bertumpu pada LST yang secara dimensi lebihkecil dan fungsi asasi yang berbeda. Bahkan terkadang LPD produksi Negeri Ginseng tersebut dibandingkan dengan kapal sejenis keluaran galangan kapal Uwak Sam.

Namun demikian, ada beberapa perbedaan dalam hal kemampuan operasional antara kedua LPD. Salah satunya dalam hal debarkasi basah, khususnya debarkasi kendaraan lapis baja amfibi. LPD produksi Amerika Serikat mampu melaksanakan debarkasi basah sambil tetap bermanuver, sedangkan LPD keluaran Korea Selatan tidak mampu melaksanakan debarkasi basah sambil bermanuver. LPD buatan Daewoo itu harus lego jangkar terlebih dahulu dan selanjutnya melakukan penyesuaian tangki ballast agar posisi buritannya tidak sejajar dengan haluan.

Kondisi demikian bisa jadi merugikan ketika di lapangan dalam kondisi nyata, sebab kapal itu pasti memerlukan waktu untuk kembali ke kondisi awal untuk selanjutnya bermanuver. Khususnya ketika terjadi perubahan situasi taktis di lapangan yang membutuhkan manuver kapal LPD dengan cepat. Dengan kata lain, keharusan lego jangkar dalam debarkasi basah menempatkan LPD buatan Seoul bagaikan sitting duck. Situasi taktis demikian perlu diantipasi sejak dini.

25 April 2011

Menanti Kogabwilhan

All hands, Dalam Peraturan Presiden No.10 Tahun 2010 tentang Organisasi TNI, pada salah satu pasal diatur tentang Kogabwilhan. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana implementasi tentang Kogabwilhan tersebut ke depan. Apakah akan merupakan organisasi kerangka ataukah suatu organisasi layaknya Kowilhan di masa lalu? Lalu apakah Kogabwilhan akan dipimpin oleh seorang panglima definitif yang tidak merangkap jabatan lainnya ataukah dipimpin oleh panglima daerah matra tertentu?

Gagasan Kogabwilhan sudah lama muncul, setidaknya sejak 1999 ketika organisasi TNI melakukan penyesuaian menyikapi perubahan politik yang terjadi. Kini secara hukum organisasi itu sudah ada ketentuannya, tinggal bagaimana realisasinya.

Pembentukan Kogabwilhan ke depan hendaknya diikuti atau dibarengi dengan penataan kotama binops TNI. Sebab selama ini jumlah kotama binops antar matra masih ada kesenjangan. Misalnya, apakah jumlah Armada RI cukup hanya dua atau ditambah satu menjadi tiga sesuai dengan aspirasi Angkatan Laut negeri ini sejak beberapa tahun silam? Begitu pula dengan kotama binops kekuatan udara.

Pekerjaan rumah lainnya adalah pemberesan pekerjaan rumah pembangunan kekuatan, khususnya Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sebab Kogabwilhan sesuai dengan karakteristik Indonesia memerlukan pasokan kapal perang dan pesawat udara yang lebih memadai daripada kekuatan yang tersedia saat ini. Tanpa itu, Kogabwilhan hanya akan menjadi organisasi yang "kosong melompong" karena tak didukung oleh sistem senjata matra yang memadai, khususnya ketika tuntutan beroperasi di dua wilayah kontinjensi harus dipenuhi.

Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan adanya Kogabwilhan bisa mengurangi atau bahkan memutus rantai komando yang terlalu panjang seperti selama ini?

24 April 2011

Merancang Gelar Unsur Operasi Yang Efektif

All hands,

Gelar operasi Angkatan Laut di negeri ini merupakan suatu tantangan tersendiri mengingat luasnya wilayah laut yang harus dironda dan jumlah unsur kapal perang dan pesawat udara yang belum memadai. Ditambah lagi dengan karakteristik perairan Indonesia yang berbeda-beda di setiap wilayah. Misalnya di Laut Natuna yang kini semakin menjadi perhatian seiring dengan bangkitnya kekuatan laut Cina.

Gelar operasi di Laut Natuna dewasa ini melibatkan berbagai jenis kapal perang. Masalahnya adalah kondisi alam di sana sepanjang tahun tidak selalu bersahabat, di mana antara bulan Januari-Maret selalu dilanda oleh gelombang tinggi. Sehingga kekuatan yang bisa digelar di perairan itu hanya kapal jenis tertentu saja.

Oleh karena itu, ke depan nampaknya perlu dirancang suatu gelar unsur operasi yang sesuai dengan tantangan yang ada. Di Laut Natuna yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan yang sekaligus merupakan ZEE Indonesia, perlu dihadirkan kapal perang yang minimal jenis korvet kelas FTH dan atau DPN. Akan lebih baik bila jenis fregat yang digelar di perairan tersebut. Sebab selain terkait dengan kemampuan beroperasi di laut dengan sea state yang lumayan besar, pula terkait dengan upaya menimbulkan dampak penangkalan.

Tentu saja nilainya berbeda ketika menggelar unsur kapal korvet non FTH dan atau DPN dan fregat dengan menggelar unsur kapal lainnya. Sebab kekuatan laut yang dihadapi di sana adalah kekuatan laut kawasan. Operasi Angkatan Laut di Laut Natuna tentu saja bukan sekedar untuk menindak pelanggaran hukum oleh aktor-aktor non negara seperti nelayan, penyelundup dan lain sebagainya, tetapi juga untuk menegakkan kedaulatan menghadapi aktor negara. Pesan politik dari menggelar kapal kombatan di Laut Natuna akan berbeda dengan menggelar kapal patroli.

23 April 2011

Cina Akan Terus Terikat Dengan SLOC Indonesia

All hands,

Ketergantungan Cina terhadap Selat Malaka memunculkan istilah Dilema Selat Malaka. Untuk mengurangi ketergantungan kepada Selat Malaka yang berada di bawah kendali Amerika Serikat, Beijing sejak akhir 1990-an telah menggagas perlunya transportasi minyak dan gas dari Asia Barat Daya ke wilayahnya menggunakan pipa. Gagasan demikian karena selain terkena Dilema Selat Malaka, Beijing terjuga terkena Dilema Selat Hormuz. Mungkinkah Cina bisa mengalihkan transportasi minyak dan gas dari Asia Barat Daya via pipa?

Jawabannya mungkin, tetapi dampaknya tidak signifikan. Sebab daya muat kapal tanker plus biaya operasional kapal tanker masih jauh lebih murah daripada menggunakan pipa minyak dan gas sebagai alat transportasi. Kapasitas muat pipa jelas lebih kecil daripada satu kapal ULCC atau VLLC, begitu pula biaya operasional transportasi minyak dan gas tersebut. Kecuali pengambilan keputusan di Cina lebih mengedepankan aspek politik dan mengorbankan perhitungan aspek ekonomis.

Bisa saja Beijing menghindari Selat Malaka, tetapi tidak mudah bagi Cina untuk menghindari Selat Sunda dan Selat Lombok. Itu pun dengan catatan bahwa biaya berlayar via kedua selat terakhir lebih mahal dibandingkan menggunakan Selat Malaka. Tetapi di sisi lain harus diperhatikan pula bahwa kapal tanker tipe ULCC tidak bisa melintas di Selat Malaka.

Cina memang memiliki aspirasi untuk membangun terusan di Semenanjung Kra, Thailand. Namun untuk mewujudkan gagasan itu tidak mudah, sebab Cina harus berhadapan dengan kelicikan Singapura. Karena Singapura nantinya akan menjadi korban pertama apabila ada terusan di Semenanjung Kra. Sebagai negara yang hidup matinya dari jasa pelabuhan, Negeri Penampung Koruptor asal Indonesia itu akan berusaha secara maksimal untuk menggagalkan pembangunan terusan di Semenanjung Kra atau minimal mengkooptasi proyek terusan itu.

Situasi ini menggambarkan betapa SLOC Indonesia masih merupakan kebutuhan strategis Cina. Tak mustahil suatu saat nanti Beijing akan menyebarkan kekuatan lautnya di sekitar SLOC Indonesia untuk petantang-petenteng. Skenario demikian hendaknya diantisipasi sejak dini oleh Indonesia pada aspek operasional dan tidak semata mengandalkan skenario diplomatik yang polanya "itu-itu saja".

22 April 2011

Mempelajari Sejarah Di Wilayah Sendiri

All hands,

Harus diakui bahwa Indonesia mempunyai rujukan yang kurang sekali terkait dengan pertempur laut, karena sejarah bangsa ini tidak memiliki pengalaman pertempuran laut yang banyak. Pertempuran laut yang sangat sering diungkap adalah di Laut Aru, itu pun dalam posisi pertempuran asimetris dari sisi kekuatan. Memang sejarah kekuatan laut Indonesia belum pernah mempunyai pengalaman pertempuran laut besar sebagaimana teori maupun pengalaman bangsa-bangsa lain.

Akan tetapi, di perairan Indonesia bukan berarti tidak pernah terjadi pertempuran laut yang dahsyat dan mempengaruhi sejarah dunia dan sejarah Indonesia sendiri. Pertempuran Laut Jawa pada Februari 1942 merupakan sejarah pertempuran laut yang hendaknya menjadi salah satu sumber atau inspirasi dalam merancang strategi maritim di Indonesia. Walaupun Indonesia bukan menjadi negara pihak dalam pertempuran itu, tetapi peristiwa pertempuran yang terjadi di Laut Jawa tersebut patut untuk dicermati, khususnya dari aspek strategi dan operasi.

Selama ini pertempuran Laut Jawa sudah sering dikaji dan dipelajari, setidaknya pada pendidikan penjenjangan tingkat Sesko. Akan lebih baik lagi bila hal itu juga dipelajari di luar itu. Sebab pertempuran Laut Jawa sesungguhnya memberikan banyak pelajaran bagi Indonesia, khususnya tentang bagaimana bertempur di halaman dalam Indonesia. Posisi Laut Jawa yang menjadi benteng Pulau Jawa sebagai pusat Indonesia sangat strategis, sehingga kemenangan dan kekalahan di perairan tersebut akan menentukan pula nasib Pulau Jawa dan republik ini.

Potensi terjadinya konflik dengan Angkatan Laut negara lain di Laut Jawa tak dapat ditutupi. Sebab selalu ada kapal perang asing yang melaksanakan lintas damai di sana. Masalahnya adalah tak ada jaminan bahwa lintas damai yang dilakukan berada dalam makna yang sebenarnya. Di sinilah potensi konflik dengan Indonesia, sehingga kekuatan laut Indonesia harus selalu siap dengan skenario terburuk.

Harap diingat bahwa Laut Jawa merupakan perlintasan tradisional kapal perang asing dari barat ke timur dan sebaliknya. Karena itu pula maka Washington dan Canberra hingga kini masih bersikeras menuntut ditetapkannya ALKI Timur-Barat. Ada atau tidak ada ALKI jalur itu, Laut Jawa tetap saja berpotensi menjadi wadah konflik antara kekuatan laut Indonesia dengan kekuatan laut asing yang melintas apabila pihak yang terakhir dinilai "sudah melanggar batas".

21 April 2011

Memelihara Fasilitas Pangkalan

All hands,

Fasilitas pangkalan Angkatan Laut dirancang untuk mendukung operasi Angkatan Laut, khususnya kapal perang. Hal itu karena fungsi utama pangkalan Angkatan Laut adalah untuk dukungan operasi, bukan lainnya. Dewasa ini, penyediaan fasilitas pangkalan maupun pemeliharaan fasilitas pangkalan masih menjadi tantangan bagi Angkatan Laut negeri ini.

Sudah menjadi pengetahuan bahwa mayoritas pangkalan Angkatan Laut yang tersebar di berbagai penjuru negeri belum mampu sepenuhnya memenuhi 4R. Misalnya saja ada pangkalan Angkatan Laut yang tak mempunyai dermaga sendiri dan ini banyak jumlahnya. Ada pula pangkalan Angkatan Laut yang fasilitasnya nyaris memenuhi 4R, tetapi jumlahnya sangat amat sedikit. Kondisi tersebut baru ditinjau dari aspek penyediaan fasilitas, belum lagi ketika menyentuh aspek pemeliharaan fasilitas.

Pemeliharaan fasilitas pangkalan merupakan tantangan pula, khususnya bagi pangkalan Angkatan Laut yang nyaris memenuhi 4R. Fasilitas pangkalan yang kelihatannya item kecil tetapi bernilai penting kadangkala nyaris luput dari perhatian. Misalnya dukungan air tawar dari dermaga ke kapal perang, dukungan listrik aliran darat, dukungan BBM, perlengkapan-perlengkapan terkait fasilitas sandar dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini terkesan kecil dan remeh, tetapi dampaknya besar bagi dukungan terhadap kapal perang.

Setiap fasilitas yang dibangun pasti memiliki usia masa pakai. Situasi demikian perlu dipahami bersama, sehingga pemeliharaan rutin maupun penggantian fasilitas lama dengan fasilitas baru yang jauh lebih baik seharusnya bisa diprogramkan dengan baik dalam penyusunan anggaran. Jangan sampai fokus anggaran hanya pada pengadaan sistem senjata baru dengan melupakan soal pemeliharaan sistem senjata maupun fasilitas-fasilitas pangkalan.

20 April 2011

Tantangan Modernisasi Kekuatan Angkatan Laut

All hands,

Modernisasi kekuatan Angkatan Laut merupakan sebuah kecenderungan yang terus berlangsung di kawasan Asia Pasifik. Modernisasi adalah jawaban terhadap tantangan dan dinamika lingkungan strategis yang berkembang, pula jawaban terhadap kemajuan teknologi sistem senjata Angkatan Laut. Namun untuk melaksanakan modernisasi, jelas bukan hal yang mudah sebab sejumlah tantangan menghadang di depan.

Pertama, paradigma berpikir. Modernisasi kekuatan Angkatan Laut akan menjadi arus utama apabila paradigma berpikir nasional pro kepada Angkatan Laut. Secara internal, setiap Angkatan Laut dituntut untuk mampu menjadikan paradigma modernisasi sebagai arus utama dalam pemikiran internal Angkatan Laut. Hal ini penting sebelum menularkan paradigma ini kepada lingkungan di luar Angkatan Laut, khususnya pada pengambil keputusan nasional.

Kedua, kondisi politik. Banyak Angkatan Laut di kawasan diuntungkan dengan kondisi politik ---baik internal maupun eksternal--- yang menguntungkannya dalam rangka modernisasi kekuatan. Tetapi tetap saja ada Angkatan Laut yang tidak diuntungkan dengan kondisi politik untuk melaksanakan modernisasi kekuatan. Hal yang terakhir inilah yang membuat modernisasi kekuatan Angkatan Laut penuh dengan tantangan, sebab kondisi politik akan berpengaruh terhadap penyediaan anggaran bagi modernisasi dimaksud.

Ketiga, dukungan negara sekutu dan sahabat. Pemegang teknologi Angkatan Laut di dunia hanya beberapa gelintir saja dan mayoritas adalah negara-negara maju. Oleh karena itu, modernisasi kekuatan Angkatan Laut suatu negara secara umum membutuhkan dukungan dari negara sekutu dan sahabat. Dukungan itu bisa berupa dukungan politik, dapat pula berbentuk dukungan teknologi.

Dari ketiga parameter itu, bagaimana dengan kondisi modernisasi kekuatan laut Indonesia? Mana saja yang sudah terpenuhi? Mana pula yang belum terpenuhi?

Ketiga,

19 April 2011

Poros Selat Makassar

All hands,

Mengacu pada catatan sejarah, poros Selat Makassar adalah salah satu perairan strategis di Indonesia. Jepang ketika menyerbu Hindia Belanda lewat Operasi Gurita masuk lewat pintu utara Selat Makassar. Kekuatan laut Sekutu bertempur melawan invasi kekuatan laut Jepang di perairan ini. Kini poros utara Selat Makassar juga menjadi wilayah konflik antara Indonesia dan Negeri Tukang Klaim.

Dari sisi selatan, alur Selat Lombok bersambung dengan pintu selatan Selat Makassar. Selat Lombok merupakan salah satu pintu hidup matinya Australia. Sejarah membuktikan bahwa dalam Perang Dunia Kedua, negeri penindas Aborigin itu banyak bertempur di wilayah Indonesia Timur, termasuk Selat Makassar. Hal demikian tidak lepas dari doktrin Canberra yang sebagaimana halnya Washington, ingin menjauhkan wilayah perang dari wilayahnya sendiri.

Bagi Indonesia, tidak dapat dibantah pula nilai strategi Selat Makassar. Perairan itu bukan saja merupakan salah satu ALKI, tetapi juga penghubung antara kawasan Indonesia Barat dengan Indonesia Timur. Selat Makassar merupakan salah satu pintu pendekat pula untuk menuju ke Laut Jawa. Dengan situasi seperti itu, strategi maritim dan pembangunan kekuatan Angkatan Laut ke depan sudah sepantasnya tidak mengabaikan nilai strategis Selat Makassar.

18 April 2011

Penyeimbangan Anggaran Pengadaan Dan Pemeliharaan

All hands,

Dalam penyusunan anggaran pertahanan, salah satu tantangan bagi Angkatan Laut negeri ini adalah menyeimbangkan antara anggaran bagi keperluan pengadaan sistem senjata dengan anggaran untuk kebutuhan pemeliharaan sistem senjata. Penyeimbangan di sini bukan berarti besaran antara keduanya harus sama, tetapi lebih pada disparitas kedua anggaran tidak terlalu lebar.

Selama ini, karena banyaknya sistem senjata yang telah melampaui usia ekonomis, maka alokasi anggaran lebih banyak pada pengadaan sistem senjata baru. Tetapi alokasi anggaran untuk pemeliharaan sistem senjata yang ada (termasuk yang baru dibeli) belum menjadi fokus tersendiri. Akibatnya, ada sistem senjata yang usianya belum lima tahun tetapi mulai mengalami masalah yang sama dengan sistem senjata yang umurnya sudah di atas 20 tahun karena kurangnya anggaran pemeliharaan. Sebab selama ini ada persepsi yang salah pada penentu anggaran bahwa sistem senjata baru tidak memerlukan biaya pemeliharaan.

Pola berpikir seperti ini belum terlambat untuk diubah. Apabila tidak diubah, maka sistem senjata yang baru dibeli usia efektifnya mungkin hanya lima tahun saja. Setelah itu sistem senjata tersebut akan menjadi beban. Pendeknya masa efektivitas itu karena soal ketersediaan dukungan anggaran. Tentu suatu kerugian besar apabila sistem senjata yang usianya baru lima tahun tetapi sudah mulai "sakit-sakitan" karena kurangnya anggaran pemeliharaan.

17 April 2011

Memposisikan Kapal Cepat

All hands,

Sejak menjelang akhir 2010 kedua Armada RI telah mempunyai Satuan Kapal Cepat dalam jajarannya. Seperti diketahui, sebelumnya satuan itu cuma eksis di salah satu armada saja. Eksistensi Satuan Kapal Cepat hendaknya tidak melupakan fungsi asasi jenis kapal tersebut, sebab kapal itu dirancang untuk melaksanakan misi tertentu saja.

Sesuai dengan namanya, ciri-ciri kapal cepat antara lain dimensi platform yang berada di bawah korvet, kecepatan jelajah rata-rata di atas 25 knot, membutuhkan sedikit pengawakan dan dipersenjatai dengan senjata strategis seperti rudal dan atau torpedo. Bertolak dari ciri-ciri tersebut, kapal jenis ini hanya dapat dieksploitasi pada perairan tertentu saja, yakni perairan yang semi terbuka.

Terkait dengan hal tersebut, eksploitasi kapal cepat hendaknya tidak diarahkan pada perairan terbuka, misalnya perairan di Laut Natuna dan sekitarnya. Sebaliknya, kapal jenis tersebut sangat cocok untuk digunakan di perairan sekitar Selat Malaka, Selat Singapura, Selat Riau dan sekitarnya. Tantangannya adalah bagaimana melengkapi sistem senjata kapal cepat yang berpangkalan di Tanjung Uban dengan senjata yang lebih mematikan. Apabila tantangan itu bisa dilalui, akan memberikan dampak bagi pihak lain yang letaknya berada di sekitar Tanjung Uban, sebab selama ini kapal yang berpangkalan di situ sekedar kapal patroli belaka.

16 April 2011

Ancaman Torpedo

All hands,

Salah satu sistem senjata Angkatan Laut yang cukup mematikan adalah torpedo, baik yang diluncurkan dari kapal permukaan maupun kapal selam. Kasus tenggelamnya ROKS Chon An (PC-772) pada 26 Maret 2010 merupakan salah satu bukti mutakhir terhadap keandalan torpedo. Setahun setelah kasus ROKS Chon An berlalu, isu ancaman torpedo masih menjadi topik penting di sejumlah Angkatan Laut dunia.

Dewasa ini ---jauh sebelum tragedi di Laut Kuning itu terjadi--- telah terdapat sejumlah sistem untuk menangkal torpedo. Misalnya AN/SLQ-25 Nixie yang dari sistem penamaannya saja sudah dapat ditebak buatan negara mana. AN/SLQ-25 Nixie telah diujicoba untuk menghadapi serangan torpedo secara simultan pada Maret dan April 2006. Sistem lainnya adalah SLAT yang merupakan kolaborasi antara Prancis dan Italia. Adapun Angkatan Laut Australia telah melengkapi empat fregat kelas Adelaide dengan sistem pertahanan torpedo Sea Defender Mk 1.

Dalam konteks Indonesia, dalam rangka meningkatkan profesionalisme Angkatan Laut maka isu ancaman torpedo perlu diperhatikan dengan seksama. Kawasan perairan bagian barat yang meskipun "dangkal" tetap ideal bagi kinerja torpedo seandainya muncul konflik dengan negara lain. Singkatnya, kekuatan laut Indonesia memerlukan sistem senjata anti torpedo.

Sistem senjata anti torpedo perlu mendapat perhatian secara seksama, sebab jangan sampai kesibukan dalam meningkatkan profesionalisme dalam penggunaan torpedo malah secara tidak langsung mengurangi perhatian terhadap sistem anti torpedo, khususnya pada kapal permukaan. Belum terlambat untuk memulai fokus pada sistem anti torpedo tanpa mengabaikan sistem lainnya.

15 April 2011

Pendekatan Ala Amerika Serikat Versus Indonesia

All hands,

Organisasi pertahanan dan militer senantiasa menghadapi urusan klasik yaitu ketersediaan anggaran. Kondisi itu dihadapi baik oleh negara maju maupun negara berkembang. Untuk merespon situasi demikian, pendekatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan yang ditempuh oleh Indonesia dapat dijadikan perbandingan.

Anggaran pertahanan Amerika Serikat yang ratusan ribu trilyun dollar dirasakan tidak cukup untuk mengamankan kepentingan Amerika Serikat di seluruh dunia. Hal itu karena militer Om Sam tengah menghadapi kampanye militer di Afghanistan yang menguras dana besar dan sebelumnya baru saja menyelesaikan misi di Irak. Untuk menghadapi tekanan anggaran, Menteri Pertahanan Robert Gates menempuh pendekatan "tangan besi". Korbannya bukan saja jumlah alutsista pengadaan baru yang dipotong dari rencana awal, tetapi juga organisasi pertahanan dan militer Amerika Serikat.

Misalnya, U.S. Joint Forces Command pada Januari 2011 silam telah disetujui oleh Presiden Barack Obama untuk dihapuskan. Sebagian kemampuan JFCOM dialihkan pada organisasi lain yang telah eksis untuk mengembannya. Diharapkan dengan penghapusan JFCOM maka beban anggaran bagi organisasi itu bisa dialihkan bagi modernisasi kekuatan maupun membiayai operasi yang tengah berjalan di berbagai belahan dunia.

Indonesia sejak lama telah mengalami isu keterbatasan anggaran. Bedanya, keterbatasan anggaran itu mempengaruhi modernisasi kekuatan, sehingga sebagian sistem senjata yang memperkuat kekuatan pertahanan Indonesia merupakan sistem senjata yang sudah layak dimuseumkan. Untuk mensiasati hal itu, pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berupaya menaikkan anggaran pertahanan.

Pendekatan demikian patut dihargai karena merupakan salah satu solusi yang tepat. Akan demikian solusi itu diikuti dengan kebijakan lain yang justru kontraproduktif dengan kebijakan peningkatan anggaran pertahanan. Kebijakan kontraproduktif yang dimaksud adalah memperbesar organisasi Mabes TNI. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembesaran organisasi itu untuk menampung kelebihan personel yang ada, khususnya pada strata perwira. Lihat saja di Peraturan Presiden No.1o Tahun 2010 yang mensyahkan beberapa organisasi baru di lingkungan Mabes TNI.

Organisasi baru berarti memerlukan anggaran baru, yang selain digunakan untuk menjalankan roda organisasi, dimanfaatkan pula bagi pemberian tunjangan jabatan bagi personel yang mengawakinya. Dengan adanya berbagai organisasi baru tersebut, timbul beberapa pertanyaan. Seperti apakah pembentukan organisasi baru benar tidak menyedot anggaran? Berikutnya, apakah Mabes TNI kini tidak menyimpang dari maksud awal pembentukannya yaitu sebagai organisasi pengguna kekuatan? Urusan pembinaan kekuatan adalah tanggungjawab matra.

Dari contoh kasus di Indonesia dan Amerika Serikat, tergambar ada dua pendekatan berbeda menyikapi keterbatasan anggaran di organisasi pertahanan dan militer.

14 April 2011

Sistem Penganggaran Yang Keliru

All hands,

Selama ini tanpa banyak disadari banyak hal yang keliru dalam sistem penganggaran di militer Indonesia. Kekuatan laut Indonesia merupakan salah satu korban dari sistem penganggaran yang salah itu dan telah berlangsung selama puluhan tahun. Apa yang dimaksud dengan sistem penganggaran yang keliru tersebut?

Pembagian anggaran bagi ketiga matra militer Indonesia didasarkan pada rasio personel, bukan pada rasio alutsista. Kalau memakai rasio alutsista, Angkatan Laut (dan Angkatan Udara) akan mendapatkan anggaran yang jauh lebih besar daripada Angkatan Darat. Sebab pemeliharaan alutsista kedua matra ribuan persen lebih mahal daripada pemeliharaan alutsista kekuatan darat.

Namun yang terjadi dan dipraktekkan di dunia nyata adalah sebaliknya, Angkatan Darat yang jumlah personelnya lebih banyak mendapatkan anggaran yang berkali-kali lipat daripada dua matra lainnya. Lihat saja besaran APBN untuk renumerasi beberapa waktu lalu, di mana gabungan anggaran renumerasi bagi kekuatan laut dan udara bahkan hanya mencapai ratusan milyar rupiah. Sementara besaran renumerasi kekuatan darat nilainya lebih dari Rp.1 trilyun.

Dengan kondisi begini, sulit mengharapkan kemajuan dalam kekuatan militer Indonesia. Sebab tuntutan tugas yang besar tidak diimbangi dengan anggaran yang proporsional bagi kekuatan laut dan udara. Untuk mengakhiri sistem penganggaran yang keliru ini, dibutuhkan kemauan politik dari pemerintah yang harus dimulai dari Departemen Pertahanan. Pertanyaannya, pantaskah berharap kepada Departemen Pertahanan?

13 April 2011

Memberdayakan Skuadron Helikopter Angkatan Laut

All hands,

Sejarah kelahiran skudron helikopter Angkatan Laut tidak lepas dari tuntutan kebutuhan operasional Angkatan Laut untuk melaksanakan tugas pokoknya. Skuadron 400 dibentuk untuk mendukung satuan kapal permukaan dalam melaksanakan peperangan anti kapal selam. Helikopter pertama yang memperkuat skuadron ini adalah pesawat sayap putar buatan Uni Soviet, yang entah kenapa kemudian tidak dilengkapi dengan peralatan anti kapal selam. Padahal para kru helikopter itu telah dilatih di Uni Soviet untuk mengoperasikan berbagai peralatan peperangan anti kapal selam.

Seiring dengan berjalannya waktu, kemampuan skuadron helikopter mengalami penurunan dalam bisnis peperangan anti kapal selam. Penyebabnya tak lain karena tak tersedianya berbagai peralatan peperangan anti kapal selam di helikopter, seperti dipping sonar dan lain sebagainya. Skuadron ini sempat bangkit dalam bisnis utamanya yaitu peperangan anti kapal selam ketika sejumlah heli Wasp produksi Inggris memperkuat kekuatan udara Angkatan Laut Indonesia saat Jakarta membeli fregat kelas Van Speijk dari Den Haag. Tetapi pada akhir 1990-an helikopter itu kemudian harus dipensiunkan karena pertimbangan teknis sehingga kemampuan skuadron helikopter kembali menurun terkait dengan bisnis utamanya.

Kini helikopter kekuatan udara Angkatan Laut praktis berfungsi sebagai satuan angkut saja sambil menunggu realisasi pengadaan helikopter anti kapal selam sebagaimana diatur dalam Renstra Angkatan Laut. Meskipun demikian, sebenarnya tetap ada cara untuk memberdayakan kekuatan helikopter Angkatan Laut dalam rangka mempersiapkan satuan ini kembali ke bisnis utamanya sebagai satuan anti kapal selam. Misalnya dengan meningkatkan intensitas skuadron ini dalam patroli maritim, dengan catatan harus dilengkapi peralatan optis. Sehingga kekuatan helikopter Angkatan Laut tidak semata berkutat dalam angkutan udara.

12 April 2011

Gunboat Diplomacy Masih Relevan

All hands,

Beberapa waktu lalu seorang diplomat Dunhill dengan percaya diri menyatakan bahwa gunboat diplomacy sudah tidak relevan lagi. Hal itu menandakan bahwa sang diplomat Dunhill tidak melihat ke dunia nyata dan hanya berada di menara gading. Tidak susah sebenarnya untuk melihat praktek gunboat diplomacy saat ini. Contohnya terang benderang di depan mata, yaitu apa yang dipraktekkan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat di dunia dan kawasan Asia Pasifik.

Apa yang dilaksanakan oleh kekuatan laut Washington dengan menyebarkan kapal perang dengan sasaran yang spesifik guna mendukung diplomasi yang dilakukan oleh Departemen Luar Negerinya merupakan contoh nyata gunboat diplomacy. Soal gunboat diplomacy saat ini akar masalahnya bukan soal relevan atau tidak relevan lagi, tetapi apakah ada kemauan untuk melaksanakan jenis diplomasi itu atau tidak.

Kalau ada kemauan, pasti ada jalan untuk menggelar gunboat diplomacy. Dalam konteks Indonesia, menyiapkan kapal perang yang layak dan memenuhi syarat untuk melaksanakan gunboat diplomacy sebenarnya tidak sulit, asalkan ada kemauan politik. Harap dibedakan antara gunboat diplomacy dengan naval diplomacy, sebab keduanya serupa tapi tak sama. Gunboat diplomacy mengandung unsur suasi, sedangkan naval diplomacy minus unsur suasi.

Kalau memperhatikan dengan seksama gelar kekuatan laut beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, sebagian dari gelar itu berada dalam kerangka gunboat diplomacy. Sangat disayangkan bila para diplomat Dunhill tidak bisa menbaca pola demikian. Akibatnya, kebijakan diplomasi yang dihasilkan pun naif, di awang-awang dan tidak membumi.

11 April 2011

Nasib DOC Laut Cina Selatan Ke Depan

All hands,

Pada 2002 negara-negara yang berkepentingan dengan Laut Cina Selatan menyepakati DOC Laut Cina Selatan. DOC merupakan deklarasi yang tidak mengikat yang digagas oleh ASEAN, sebab bila mengikat maka dapat dipastikan Cina tak akan mau menjadi pihak di dalamnya. Dalam DOC, diatur tentang tata laku negara-negara yang terlibat maupun tidak terlibat dalam konflik di Laut Cina Selatan.

Kini dengan menguatnya kekuatan laut Cina, menjadi pertanyaan bagaimana nasib DOC ke depan. Masihkah Beijing akan berlaku "sopan" ataukah sudah beralih unjuk otot dan kekuatan berbekal Angkatan Laut yang kuat? Kalau melihat rekam jejak Beijing di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun terakhir, sepertinya kemungkinan yang kedua yang akan menjadi kecenderungan ke depan. Lihat saja kasus-kasus yang melibatkan kapal perang dan kapal pemerintah Cina versus kapal perang dan kapal Angkatan Laut negara-negara lain dalam beberapa tahun belakangan.

Pertanyaannya, apa langkah preventif dari ASEAN terhadap kemungkinan kecenderungan demikian? Masih tepatkah menangani isu Laut Cina Selatan dengan selalu menghindari pendekatan formal dan mengikat? Lalu bagaimana pula sikap Indonesia terkait kecenderungan ini?

10 April 2011

Memutus Lingkaran Tantangan Operasional

All hands,

Kehadiran di laut merupakan prasyarat mutlak bagi setiap Angkatan Laut, sebab kehadiran itu merupakan parameter terhadap eksistensi suatu Angkatan Laut. Dalam konteks Indonesia, kehadiran di laut merupakan salah satu tantangan besar. Sebab bukan saja karena jumlah kapal perang yang belum memadai dibandingkan dengan luas wilayah negeri ini, tetapi juga dukungan anggaran bagi Angkatan Laut yang belum memadai.

Tentang hal terakhir, kendala yang dihadapi oleh kekuatan laut negeri ini bagaikan lingkaran setan. Kehadiran di laut secara teknis setidaknya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kesiapan unsur kapal perang dan ketersediaan bahan bakar. Dua hal tersebut tidak selamanya berbanding lurus, malah lebih sering berbanding terbalik sehingga mempengaruhi kehadiran di laut.

Kesiapan teknis kapal perang dipengaruhi oleh ketersediaan dan kecukupan anggaran pemeliharaan. Anggaran pemeliharaan selama ini belum memadai dan hal itu sudah menjadi pengetahuan umum. Akibatnya, jadwal pemeliharaan kapal perang tidak selalu terpenuhi sesuai dengan manual dari pabrikan.

Ketersediaan bahan bakar masih merupakan kendala berikutnya yang harus dipecahkan. Sebab setiap tahunnya jumlah bahan bakar telah dikuota, sementara kebutuhan operasional seringkali tidak berbanding lurus dengan kuota itu. Misalnya ada suatu operasi yang harus digelar dan tidak terencana sebelumnya. Soal bahan bakar ini pada tingkat atas masih menjadi pekerjaan rumah antara Departemen Pertahanan dengan perusahaan penyedia bahan bakar, karena ada peninggalan utang di masa lalu.

Untuk memutus lingkaran setan ini, perlu terobosan politik dari pemerintah. Menyangkut ketidaksiapan unsur kapal perang, pilihannya ada dua. Yang moderat adalah menaikkan pagu anggaran untuk pemeliharaan sehingga jumlah kapal yang dianggarkan untuk dipelihara setiap tahunnya lebih meningkat. Adapun pilihan yang lebih maju adalah mempercepat modernisasi kekuatan kapal perang Angkatan Laut sesuai yang telah digariskan dalam MEF.

Tentang masalah bahan bakar, tentu saja perlu ditingkatkan pagu anggaran oleh pemerintah. Pilihan mengganti mesin pendorong kapal perang dengan menggunakan mesin diesel perlu dicermati dengan seksama, sebab kapal perang merupakan unsur yang memerlukan kecepatan gerak di laut dalam merespon situasi yang berkembang di lapangan. Secara teknis, mesin diesel tidak tepat untuk memenuhi kebutuhan operasional Angkatan Laut. Harap diingat kasus penolakan Brunei terhadap kapal perang yang dipesannya dari Inggris karena kapal perang itu menggunakan mesin yang tidak cocok bagi keperluan peperangan anti kapal selam.

09 April 2011

Kemampuan Penerjunan Barang

All hands,

Kekuatan udara Angkatan Laut dituntut untuk mampu melaksanakan misi-misi yang terkait dengan kepentingan operasional Angkatan Laut, termasuk di antaranya untuk penerjunan barang. Kemampuan melakukan dropping barang harus dipunyai oleh kekuatan udara Angkatan Laut, khususnya skadron udara yang tugas pokoknya adalah angkutan udara. Dropping barang lewat udara adalah kemampuan yang serbaguna, bisa dimanfaatkan baik untuk operasi tempur maupun non operasi tempur.

Terkait dengan hal tersebut, sebaiknya kekuatan udara Angkatan Laut mengasah kembali kemampuan dropping itu. Misalnya menggunakan metode CDS yang sudah sangat umum diadopsi di dunia. Metode CDS bisa pula diadopsi oleh kekuatan udara Angkatan Laut, terlebih pesawat angkut yang ada dalam jajarannya dirancang untuk mampu mengadopsi CDS. Sebagai informasi, pesawat angkut Casa C-212 telah digunakan di Afghanistan oleh Amerika Serikat untuk keperluan suplai ulang logistik memakai moda CDS.

Untuk mengasah kemampuan itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah kemampuan penerbang itu sendiri dalam hal penerjunan barang. Penerjunan barang membutuhkan keterampilan tersendiri, sebab dalam hitungan sekian detik kondisi stabilitas pesawat berada dalma kondisi kritis karena adanya berat bertumpu pada bagian pintu rampa pesawat dan tidak pada CG-nya. Situasi kritis ini bisa berubah menjadi malapetaka andaikan ada yang tidak beres dalam proses penerjunan CDS itu, misalnya dalam kasus CN-235 IPTN dalam ujicoba CDS di Lanud Gorda, Serang pada 1996 yang merenggut nyawa awak pesawat.

Kedua, kemampuan tim aju di darat. Penerjunan barang, termasuk menggunakan metoda CDS, membutuhkan adanya tim aju di darat yang akan memberikan koordinat titik pendaratan pada DZ. Untuk bisa menentukan DZ, tentu saja dibutuhkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dan hal tersebut harus dipahami oleh tim aju, misalnya luasan kawasan DZ, arah angin, kemungkinan tembakan dari lawan dan lain sebagainya. Singkatnya, sumberdaya manusia Angkatan Laut harus diberi keterampilan pula dalam memandu penerjunan barang.

Melalui penerjunan barang dari udara, ada sejumlah keuntungan yang dapat dipetik oleh Angkatan Laut. Misalnya kemampuan menggelar suplai ulang terhadap unsur Angkatan Laut yang tengah beroperasi di sekitar wilayah DZ, entah itu pasukan Marinir maupun kapal perang. Untuk kapal perang, dapat saja di-drop suku cadang kritis sehingga tak perlu kembali ke pangkalan utama. Keuntungan lainnya dapat pula dipetik ketika menggelar operasi kemanusiaan, di mana unsur kekuatan udara Angkatan Laut dapat men-drop bantuan ke wilayah bencana yang sulit dicapai dengan moda transportasi lainnya. Dengan kata lain, kemampuan penerjunan barang dari udara akan memberikan banyak manfaat bagi kepentingan operasional Angkatan Laut, baik untuk operasi tempur maupun non tempur.

08 April 2011

Masalah Angkatan Laut Adalah Masalah Bangsa

All hands,

Angkatan Laut negeri ini sudah terlalu lama mengalami kemunduran dalam hal pembangunan kekuatan. Kemunduran itu mencerminkan bahwa ada yang salah dalam kebijakan nasional menyangkut pengelolaan Angkatan Laut. Singkatnya, kebijakan nasional belum sepenuhnya berpihak kepada pembangunan kekuatan Angkatan Laut.

Salah satu masalah krusial dan kritis yang dihadapi kekuatan laut negeri ini adalah kebijakan pembatasan akses terhadap sistem senjata buatan Barat. Masalah ini sebenarnya memiliki implikasi luas terhadap kemampuan operasional Angkatan Laut saat ini dan ke depan. Sebab apabila Indonesia terlibat konflik, maka ketahanlamaan operasionalnya sangat terbatas. Bisa jadi kekuatan laut Indonesia hanya bisa bertempur pada setengah hari dan hanya pada satu kawasan pelibatan karena jumlah rudal, torpedo dan munisi meriam yang boleh dimilikinya terbatas.

Sangat disayangkan banyak pihak di tingkat nasional tidak paham soal ini. Seharusnya masalah ini menjadi masalah nasional, bukan sekedar masalah Angkatan Laut. Untuk mencari solusi terhadap masalah ini, tidak dapat sepenuhnya dilimpahkan kepada Angkatan Laut saja.

Langkah Angkatan Laut membeli beberapa jenis rudal buatan non Barat merupakan salah satu solusi jitu. Akan tetapi apabila solusi jitu didukung pula oleh sistem nasional yang pro kepada Angkatan Laut. Misalnya penyediaan dana dalam jumlah besar sehingga Angkatan Laut dapat membeli rudal tersebut dalam jumlah banyak. Dengan demikian,ketahanlamaan operasional Angkatan Laut dalam hal rudal (juga torpedo dan munisi meriam) jauh lebih meningkat daripada kondisi saat ini.

07 April 2011

Tantangan Penerbangan Angkatan Laut Di Wilayah Barat

All hands,

Eksistensi Pangkalan Udara Angkatan Laut Tanjung Pinang sebenarnya sudah diawali ketika republik ini masih menjadi wilayah koloni Belanda. Sebelum Jepang menyerbu Indonesia pada 1942, ancaman yang dihadapi oleh Angkatan Laut Belanda di Kepulauan Riau adalah penyelundupan dari Singapura. Untuk menghadapi ancaman itu maka tidak heran bila Angkatan Laut Belanda membangun pangkalan di Tanjung Pinang yang bukan saja pangkalan bagi kapal perang, tetapi mencakup pula pangkalan udara bagi pesawat udara. Pasca pengakuan kedaulatan, Angkatan Laut Belanda menyerahkan semua fasilitas yang ada di Tanjung Pinang ---termasuk Pangkalan Udara Angkatan Laut--- kepada Angkatan Laut Republik Indonesia.

Dikaitkan dengan kondisi kekinian, tantangan yang dihadapi oleh Penerbangan Angkatan Laut di wilayah Barat, khususnya Kepulauan Riau bukan lagi terbatas pada isu penyelundupan. Di sana kini telah berdiri negara dengan kekuatan militer yang luar biasa. Situasi demikian tentunya harus direspon dengan bijak sekaligus proporsional.

Misalnya, Penerbangan Angkatan Laut yang berpangkalan di Tanjung Pinang ke depan perlu dilengkapi dengan helikopter anti kapal selam yang dipersenjatai dengan lengkap. Begitu pula dengan kemampuan pertahanan pangkalan yang sampai saat ini masih belum memadai. Dengan demikian, eksistensi kekuatan udara Angkatan Laut lebih dirasakan oleh pihak lain daripada kondisi saat ini.

06 April 2011

Angkatan Laut Harus Visioner

All hands,

Sifat laut adalah dinamis. Perubahan cuaca, gelombang, arus dan lain sebagainya di laut bisa terjadi dalam rentang waktu yang tak panjang. Dinamika demikian merupakan tantangan bagi para pelaut untuk dapat "menyesuaikan diri" dengan laut.

Dalam konteks Angkatan Laut, Angkatan Laut di mana pun senantiasa dihadapkan pada perubahan lingkungan strategis. Ancaman dan tantangan yang muncul bisa berubah dalam suatu kurun waktu. Guna merespon keadaan seperti itu, Angkatan Laut di dunia selalu dituntut untuk mempunyai pandangan visioner.

Pandangan visioner adalah salah satu tantangan dalam pembangunan kekuatan Angkatan Laut Indonesia ke depan. Tidak mudah untuk menggagas pandangan visioner dalam organisasi Angkatan Laut, sebab Angkatan Laut merupakan subsistem dalam kehidupan nasional. Visi yang visioner dari Angkatan Laut harus didukung oleh atmosfir kehidupan nasional yang visioner pula.

Perkembangan lingkungan strategis ke depan akan semakin menempatkan kawasan Asia Pasifik bersifat strategis dalam percaturan politik, ekonomi dan keamanan dunia. Menghadapi situasi tersebut, bangsa Indonesia perlu mereposisi dirinya agar mempunyai visi yang panjang yang berada dalam bingkai kepentingan nasional. Makin strategisnya kawasan Asia Pasifik menempatkan pilihan bagi Indonesia cuma dua, yaitu apakah menjadi salah satu pemain penting ataukan menjadi salah satu korban.

Dikaitkan dengan kekuatan laut negeri ini, pandangan yang visioner sebagaimana telah dicontohkan oleh generasi terdahulu yang pernah mengawaki Angkatan Laut perlu untuk dibangun kembali. Pandangan yang visioner bisa tercipta apabila sejumlah persyaratan terpenuhi, salah satunya adalah keunggulan sumberdaya manusia.

05 April 2011

Industri Perkapalan Nasional Masih Akan Tetap Tergantung Asing

All hands,

Ambisi dan mimpi sebagian pihak di Indonesia agar negeri ini mandiri dalam memproduksi kapal perang masih akan lama terwujud. Hal ini kalau yang dimaksud kapal perang adalah kapal kombatan jenis korvet, fregat dan yang lebih besar lagi yang dilengkapi dengan sistem senjata yang modern dan memadai. Sebaliknya, bukan kapal perang yang hanya dilengkapi dengan meriam 12.7 mm atau 40 mm serta minus radar pengamatan sewaco dan mesin turbin standar militer.

Mengapa masih perlu waktu yang lama untuk terwujud? Subsistem sewaco, radar pengamatan dan mesin turbin masih harus dipasok dari luar negeri. Untuk mudahnya lihat saja rencana pembangunan fregat di galangan perkapalan nasional di Surabaya yang dikenal sebagai Proyek PKR. Dari enam modul fregat kelas Sigma itu, minimal dua modul mau tak mau dan suka tidak suka harus dibangun di Belanda.

Dua modul itu meliputi modul No.3 dan 5, yaitu combat information center dan mesin pendorong. Belum lagi terhitung senjatanya yang juga masih harus tetap dipasok dari produsen di benua Eropa. Situasi ini hendaknya mampu mengubah pendapat sebagian kalangan di Indonesia agar lebih realistis dalam membangun kemandirian industri pertahanan nasional. Pesan dari kasus ini singkat dan sederhana, yaitu tidak ada kemandirian absolut dalam era globalisasi saat ini dan ke depan.

Kasus ini juga menjadi pelajaran betapa Indonesia tidak mempunyai basis industri pertahanan yang kuat. Industri pertahanan Indonesia selama ini baru mampu menghasilkan platform, tetapi belum mampu memproduksi otak dan otot dari sistem senjata tersebut. Otak yang dimaksud adalah CMS, sedangkan ototnya berupa sistem pendorong maupun senjata. Dengan demikian, minimal dibutuhkan waktu 25 tahun untuk membangun suatu basis industri pertahanan yang kokoh dan komprehensif.

04 April 2011

Modernisasi Kapal Buru Ranjau Kelas Tripartites

All hands,

Indonesia merupakan salah satu negara operator kapal buru ranjau kelas Tripartites. Kapal buru ranjau yang memperkuat Angkatan Laut Indonesia sejak era pertengahan 1980-an ini merupakan desain bersama tiga negara Eropa, yaitu Belgia, Prancis dan Belanda. Kekuatan laut Indonesia sendiri membeli kapal buru ranjau modern tersebut dari Belanda.

Seiring dengan berjalannya waktu, ketiga negara pembuat kapal ranjau kelas Tripartites telah melaksanakan modernisasi kapal itu. Cakupan modernisasi utamanya pada perlengkapan yang terkait dengan fungsi asasi sebagai kapal buru ranjau, seperti mine-identification and disposal system, combat system (untuk buru ranjau), pengurangan signature dan berat pada ruang mesin, penghematan konsumsi power dan penggantian bilah daun baling-baling dan lain sebagainya. Dengan modernisasi tersebut, diharapkan kinerja kapal buru ranjau kelas Tripartites meningkat, terlebih dihadapkan pada ancaman asimetris saat ini berupa ancaman peranjauan oleh aktor-aktor non negara guna mendestabilisasikan keamanan maritim.

Kapal buru ranjau kelas Tripartites merupakan kapal andalan bagi Angkatan Laut Indonesia, karena kemampuan kapal kelas ini lebih tinggi daripada kapal serupa kelas Kondor. Kapal kelas Kondor buatan Jerman adalah kapal penyapu ranjau, sementara kemampuannya untuk buru ranjau sangat terbatas. Adapun kelas Tripartites mampu melaksanakan perburuan dan penyapuan ranjau sekaligus.

Mengingat usia kapal buru ranjau kelas Tripartites, belum terlambat untuk melaksanakan modernisasi kapal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh tiga negara pembuatnya. Modernisasi itu dapat mengambil modernisasi yang telah ditempuh oleh ketiga negara Eropa sebagai pembandingnya. Bagaimanapun, ancaman ranjau tetap tidak dapat diabaikan di Indonesia. Masih banyak ranjau peninggalan masa lalu yang terkubur di bawah air dan rata-rata ranjau itu berada di alur pelayaran. Artinya, operasi perlawanan ranjau masih akan menjadi pekerjaan rumah bagi Angkatan Laut negeri ini.

03 April 2011

Tantangan Peperangan Ranjau

All hands,

Peranjauan tetap merupakan salah satu metode yang murah untuk mengancam keamanan maritim dalam masa damai maupun merusak kapal perang lawan dalam masa perang. Oleh karena itu, peran satuan ranjau di masa damai pun tidak dapat diabaikan. Negeri seperti Singapura yang hidup matinya tergantung pada terbukanya akses laut menempatkan satuan ranjau Angkatan Laut dalam posisi penting, di mana kapal-kapal buru ranjau negara itu secara rutin menggelar patroli di alur-alur masuk Singapura. Patroli itu ditujukan untuk mencari ranjau yang mungkin saja ditebarkan oleh pihak tertentu.

Di Indonesia, dalam masa damai seperti saat ini pun ranjau merupakan salah satu ancaman yang tersembunyi bagi kepentingan navigasi. Masih banyak ranjau yang bertebaran di beberapa perairan, khususnya yang menjadi alur laut keluar masuk pelabuhan. Ranjau-ranjau itu merupakan peninggalan perang di masa lalu.

Sebagai satuan Angkatan Laut, satuan ranjau senantiasa dituntut untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan profesionalisme mereka dalam bidangnya. Upaya tersebut dalam situasi sekarang tidak mudah, sebab tidak berbanding lurus dengan ketersediaan sistem senjata. Semua kapal ranjau yang ada usianya sudah di atas 2o tahun, sehingga mempengaruhi kesiapan operasi dan latihan karena kesiapan kapal maupun peralatan yang ada di dalamnya menjadi menurun. Salah satu akibatnya, sebagian kapal itu dialih fungsikan menjadi kapal patroli dan kapal hidrografi.

Kondisi ini merupakan tantangan bagi kekuatan laut Indonesia. Modernisasi kekuatan kapal ranjau sudah waktunya dilaksanakan. Modernisasi merupakan jawaban terbaik untuk menjaga dan meningkatkan profesionalisme pengawak satuan ranjau.

02 April 2011

Responsibility To Protect Di Libya

All hands,

Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1973 tidak lepas dari semangat responsibility to protect. Hal demikian bisa dilihat dari salah satu amanat resolusi tersebut, yakni melindungi penduduk sipil Libya dari amukan militer Moammar Khadafy sebagai tercantum dalam butir No.4-5 resolusi. Perlu dipahami bahwa ada perbedaan antara no fly zone dengan protection of civilians dalam resolusi No.1973. Tindakan militer NATO dan beberapa negara Arab menyerang pasukan Libya di daratan yang tengah bertempur melawan oposisi bukanlah bagian dari no fly zone, namun bagian dari protection of civilians.

Aturan tentang no fly zone tercantum dari butir No.6-12 dari resolusi tersebut. Meskipun demikian, memang ada perpotongan antar keduanya. Fokus dari no fly zone adalah menetralisasi kemampuan operasional Angkatan Udara Libya sehingga tak lagi membom sasaran sipil dan kekuatan militer lawannya.

Apabila ditelusuri lebih jauh, apa yang dilaksanakan oleh negara-negara koalisi berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB N0.1973 adalah implementasi dari konsep responsibility to protect. Konsep ini merupakan penjabaran dari konsep human security. Kalau suatu negara tidak mampu lagi melindungi warganya sendiri, pihak lain berhak untuk melindungi warga tersebut dengan cara apapun. Bahwa dalam pelaksanaannya konsep ini seringkali tidak menggunakan parameter yang sama, itu soal lain.

01 April 2011

Kematangan ASEAN Maritime Forum

All hands,
ASEAN Maritime Forum (AMF) masih memerlukan jalan yang panjang untuk menjadi sebuah wadah kerjasama yang matang. Sebab tempat kerjasama keamanan maritim ini dalam pertumbuhan awalnya menganut pendekatan memulai kerjasama antar negara-negara ASEAN dari isu-isu lunak yang tak sensitif. Pendekatan demikian dapat dibenarkan, karena apabila pendekatan yang dianut adalah memulai dari isu-isu sensitif seperti kedaulatan pasti wadah itu akan gagal dari fase awal.
Berangkat dari kondisi demikian, setidaknya dibutuhkan waktu minimal 25 tahun bagi AMF untuk bisa menjadi wadah kerjasama maritim yang matang. Sebab fondasi dasar AMF adalah saling ketidakpercayaan antar negara-negara ASEAN. Meskipun para pemimpin ASEAN tampak rukun di permukaan, tetapi di bawah karpet saling ketidakpercayaan masih kuat.
Artinya, AMF akan menjadi wadah penyelesaian masalah maritim yang melingkupi kawasan Asia Tenggara apabila isu-isu sensitif sudah dapat disentuh. Masalahnya adalah isu-isu sensitif yang ada selalu terkait dengan politik dan keamanan, di mana pilihan pendekatan yang dapat digunakan sangat terbatas dibandingkan dengan ranah ekonomi. Singkat, ide-ide liberal seperti penyampingan kedaulatan masih merupakan hal sulit untuk dibayangkan dalam waktu dekat.
Indonesia tentu paham dengan kondisi demikian. Pertanyannya, apa agenda yang akan dibawa oleh Indonesia dalam AMF? Posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011 adalah jendela kesempatan yang harus dimanfaatkan bagi kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim.