All hands,
Tahun ini mungkin salah satu tahun yang pahit buat kita yang ada di lingkungan Dephan dan TNI. Dikatakan pahit karena anggaran kita dipotong 10 persen sebagai akibat kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak naik, menurut sebagian analisis, merupakan bagian dari plot Washington untuk "menundukkan" Cina. Seperti kita sering baca di dokumen-dokumen strategis Amerika Serikat seperti The National Security Strategy, uwak Sam nggak ingin melihat tumbuhnya satu peer competitor pun di dunia. Oleh karena tidak, bukan sesuatu yang aneh bila sekarang Beijing digoyang dari segala macam lini menggunakan semua instrumen kekuatan nasional (kalau yang udah lulus dari Cipulir nggak tau apa itu instrumen kekuatan nasional...yah kebangetan. Ha...ha..ha..).
Pemotongan ini menurut saya sebenarnya ironi, karena kalau nggak salah waktu Rapim TNI 2008 pimpinan republik ini sudah komitmen tak akan potong anggaran pertahanan apapun kondisinya. Tapi sudahlah...sekarang yang harus kita hadapi di depan mata adalah bagaimana kita bisa survive dengan pengurangan 10 persen itu. Buat kita yang sehari-hari berhadapan dengan bermacam kapal di laut, termasuk kapal perang asing dan kapal ikan, tantangannya cukup berat. Yaitu bagaimana operasi kita tetap berjalan dan dampak dari kehadiran unsur di laut dirasakan oleh para pengguna laut.
Di sisi lain kita harus tetap menggunakan alutsista lama dalam operasi karena belum ada pengganti. Kata kuncinya adalah bagaimana kehadiran unsur di laut tetap dirasakan dampaknya oleh pihak lain di saat anggaran kita dikurangi. Pihak lain bolehlah "memaki" kita karena masih pakai alut lama, tapi seharusnya mereka lebih bijak. Kalo mau "memaki", yah ke pemerintah sana. Kapal-kapal kita kan yang punya negara, makanya namanya KRI....Kapal Perang Republik Indonesia.
Menurut saya, setidaknya ada tiga loss yang mungkin dihadapi AL dengan pengurangan anggaran. Pertama, loss pada fungsi militer yaitu terhambatnya pembinaan kekuatan unsur-unsur AL, yang dalam jangka pendek dan menengah akan mempengaruhi kapabilitas secara keseluruhan (sensing, mobility, fire power dan C4ISR). Kedua, loss pada fungsi konstabulari, yaitu terus meningkatnya kerugian negara dari berbagai kegiatan ilegal di laut. Ketiga, loss pada fungsi diplomasi yaitu kemungkinan terpengaruhnya kegiatan-kegiatan diplomasi AL, khususnya yang terkait dengan sengketa di Laut Sulawesi (Blok Ambalat), penerapan kerjasama keamanan maritim dengan Australia sebagai pelaksanaan dari Perjanjian Lombok dan pengamanan perairan Natuna dan sekitarnya untuk mencegah latihan-latihan ilegal oleh militer asing di sana pasca gagalnya Defense Cooperation Agreement dengan Singapura.
Pertanyaan, gimana kita bisa meminimalisasi loss itu? Pemikiran strategis yang berkembang di Barat memperkenalkan konsep effect-based operations. Secara definisi, effect-based operations serangkaian tindakan yang diarahkan untuk membentuk tingkah laku kawan, lawan dan pihak netral dalam kondisi damai, krisis dan perang. Kalau diterapkan di laut, bagaimana kehadiran unsur-unsur KRI di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkah laku pengguna laut. Misalnya di Laut Natuna, karena KRI hadir di sana maka Singapura pikir-pikir untuk gelar latihan laut ilegal. Jadi sebenarnya konsep itu sederhana secara substansi, walaupun kalau baca dokumen-dokumen yang bahas itu memang kelihatan rumit. Bayangkan, salah satu referensi ada yang hampir 500 halaman.
Tentu masalahnya kembali bagaimana kesiapan unsur-unsur kita. Kalau unsur kita siap, saya yakin kita masih bisa membuat orang lain pikir-pikir kalau mau main-main di perairan kita walaupun alutsista kita buatan 1980-an ke bawah. Artinya kembali ke masalah anggaran, khususnya pemeliharaan. Apakah dukungan pemeliharaan kita akan terkena dampak dari pemotongan itu? Kalau kena, pilihannya tentu kita semua sepakat yaitu prioritas pada unsur tertentu. Hanya dengan cara itu kita bisa bertahan hidup dengan 90 persen. It's difficult, but we should keep our presence at sea, anyway. Because we are Navy, right???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar