30 Mei 2008

Kalkulasi Tempur vs Soft-Kill

All hands,
Selama ini kita menghitung postur lewat kalkulasi tempur alias kalpur. Seiring dengan berjalannya waktu, kita sadar ada yang salah dengan penggunaan kalpur untuk postur. Dan selanjutnya kita cari metode lain yang lebih tepat untuk merancang postur AL ke depan.
Metode kalpur memang kurang tepat untuk hitung postur. Untuk kepentingan taktis, kalpur bisa saja dipakai. Kalpur itu kan perhitungannya antara lain didasari oleh luas wilayah yang dapat dipantau oleh surveillance radar, jarak jangkau rudal, meriam dan torpedo yang kemudian dihadapkan dengan luas wilayah perairan yurisdiksi kita. Dengan kalkulasi tempur, bisa ”dihitung” berapa tembakan peluru meriam atau rudal untuk tenggelamkan satu kapal lawan.
Kalau metode itu kita pakai juga untuk hitung postur, ujung-ujungnya kita ketemu jumlah kapal yang diperlukan. Antara 250-500 kapal, tergantung siapa yang hitung. Ha..ha..ha..
Tentu kapal sebanyak itu nggak realistis dengan kemampuan fiskal pemerintah kita. U.S. Navy saja sampai awal 2008 kapalnya ”cuma” 313, berbagai jenis. Ketika Admiral Mike Mullen masih jadi Chief of Naval Operation tahun 2006 dan luncurkan ide a thousand-ship Navy/TSN, orang-orang jadi teringat six-hundred Navy-nya jaman Presiden Reagan tahun 1980-an. Walaupun sebenarnya kalau kita pelajari konsep TSN, kapal U.S. Navy bukan akan jadi 1000. Itu cuma konsep kerjasama AL, Coast Guard dan komponen maritim lainnya di seluruh dunia sehingga kapalnya banyak, untuk jamin keamanan maritim.
Lagi pula kita sama-sama paham, kalpur itu cuma perhitungan matematis di atas kertas. Kalau sudah di alam nyata, tentu tidak akan seperti itu. Misalnya, kita belum perhitungkan kemampuan peperangan elektronika/pernika lawan. Rudal yang kita tembakkan belum tentu hantam sasaran, sangat mungkin dia terpancing decoy lawan. Surveillance radar kita juga belum tentu berfungsi sebagaimana seharusnya, sangat mungkin dia akan ”buta” karena di-jammed lawan.
Yah soal soft-kill kita masih lemah. Jadi boro-boro hard-kill, soft-kill saja masih jadi pekerjaan rumah buat kita. Kalau kita sudah nggak berdaya dengan soft-kill, gimana bisa andalkan meriam, torpedo dan rudal untuk hard-kill? Soft-kill nggak masuk dalam kalpur, namun realitanya itu eksis. Yang masuk dalam kalpur cuma hard-kill.

29 Mei 2008

Postur dan Capability-Based Planning

All hands,
Penerapan capability-based planning (CBP) sudah merupakan kewajiban buat kita yang berada di domain pertahanan dan militer. Soalnya sudah jadi perintah petinggi republik ini lewat Perpres No.7 Tahun 2008 tentang Jakumhanneg. Buat kita yang satu domain, apa itu jakumhanneg sudah ngerti.
Tapi buat kalangan sipil mungkin itu istilah yang sangat membingungkan. Bagi mereka, militer itu suka bikin singkatan sendiri. Ha..ha..ha.. Sebenarnya kalau soal singkatan itu, itu ”salah” kalangan sipil sendiri, kenapa suka adopsi cara militer singkat sesuatu. Kalau militer singkat sesuatu, itu murni untuk kepentingan internal. Nggak dipakai untuk kalangan di luar militer.
Buat yang belum paham, jakumhanneg itu singkatan dari Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Yang keluarkan Presiden, karena memang kewenangan beliau. Bukan kewenangan Menteri Pertahanan, apalagi Panglima TNI.
Pertanyaannya, apa sih CBP? Pasti masih banyak rekan-rekan yang di domain AL pun belum apa itu CBP. Banyak sih definisi CBP, tergantung siapa yang definisikan. Tapi ada baiknya kita ambil salah satu definisi itu.
Menurut Handbook in Long Term Defense Planning, CBP is a method involves a functional analysis of operational requirements. Capabilities are identified based on the tasks required… Once the required capability inventory is defined, the most cost effective and efficient options to satisfy the requirements are sought.
Jadi CBP itu mencari suatu bentuk postur pertahanan dan atau militer yang dapat memberikan efek yang dibutuhkan oleh kebijakan nasional pada derajat yang dapat “dijangkau” oleh sumber daya yang tersedia. Contohnya, kalau tantangan terhadap kita di laut antara lain pelanggaran wilayah oleh kapal perang asing, maka kemampuan (capability) yang kita harus punya ke depan adalah bagaimana agar kapal perang asing nggak main-main lagi di situ.
Postur ke depan harus diarahkan ke situ. Dengan catatan, pencapaian postur itu berada dalam batas kemampuan fiskal kita alias anggaran pertahanan. Jadi memang harus ada kompromi antara postur atau tepatnya keinginan (desired) kita dengan ketersediaan fiskal.
CBP kaitannya dengan what do we need to be able to do in the future? BUKAN what equipment needs to be replaced?
Kalau itu kita tarik ke dalam konteks AL kita, mungkin kita harus berhitung apakah nanti 10 ke depan enam fregat kelas Van Speijk sudah harus di-disposed, terus perlukah penggantinya juga fregat dan jumlahnya juga enam? Menurut saya, kita masih tetap butuh fregat ke depan. Cuma apakah jumlahnya harus enam, itu yang harus kita kalkulasi. Alasannya untuk kepentingan peran militer dan diplomasi. Selain juga ada perairan kita yang lebih cocok untuk kapal itu.
Pertama kalkulasi dari aspek tempur, kedua dari aspek fiskal. Kalkulasi tempur gampang, itu tugas rutin AL. Tapi begitu masuk kalkulasi fiskal, kita harus duduk bersama dengan anak buahnya Jeng Sri Mulyani. Mereka penguasa fiskal dan bisa tentukan besar kecil postur AL ke depan. So...we should be able to convince them...They should in favor of Navy...

28 Mei 2008

Postur vs Fiskal

All hands,
Sudah jadi kepastian kalau kita diskusi soal postur, pasti dihadapkan pada anggaran. Kita seringkali dihadapkan pada keinginan yang “muluk” soal postur, tapi kemudian terbentur anggaran. Lebih tepatnya fiskal kalau kita jadikan Fundamental Force Planning-nya Lloyd sebagai patokan.
Fundamental Force Planning memang salah satu buku yang fenomenal di lingkungan AL dunia yang berkiblat ke Amerika Serikat. Cuma kalau di negeri ini yang pakai cuma AL kita. Para selebritas pertahanan nggak pakai itu. Ha..ha..ha. Baguslah… Itu bagus buat pelihara ”kebodohan” mereka.
Memang, antara postur vs fiskal harus dikompromikan. Sebab sumber daya memang terbatas, bahkan untuk negeri sekelas uwak Sam sekalipun. Nah...dalam konteks Indonesia ada beberapa hal yang harus kita betulkan soal postur vs fiskal.
Pertama, kita harus ada perencanaan bangkuat minimal 10 tahun ke depan. Selama puluhan tahun kita nggak punya itu. Akibatnya bangkuat kita nggak jelas, tergantung ”wish”. Nggak aneh bila tiba-tiba kita mau beli kapal kelas x, padahal sebelumnya nggak direncanakan.
Syukurlah kalau sekarang Departemen Pertahanan sudah mulai tata perencanaan dengan bikin postur pertahanan dan kini harus diikuti pula oleh TNI. Kalau kita nggak punya perencanaan jangka menengah, gimana siapkan fiskalnya?
Kedua, paradigma fiskal. Selama puluhan tahun pula kita terjebak pada paradigma program mengikuti anggaran/fiskal. Padahal di negara-negara lain paradigma itu sudah ditinggalkan. Mereka pakai paradigma anggaran/fiskal mengikuti program.
Bentuknya bagaimana? Sama halnya dengan kita, negara-negara itu sebenarnya nggak kelebihan fiskal kok. Malah sama saja dengan kondisi kita. Maksudnya, anggaran pertahanan mereka juga terbatas kok.
Pinjam istilah di salah satu koran kita, kantong mereka juga ada dasarnya. Beda sama Roman Abramovich yang kantongnya tanpa dasar. Ha..ha..ha..
Walaupun anggarannya terbatas, mereka bisa kok bangun AL. Kenapa begitu? Yah karena mereka pakai paradigma anggaran/fiskal mengikuti program. Bentuk rilnya adalah anggaran mereka bisa pakai tahun jamak alias multi-year.
Jadi anggaran pengadaan senjata tidak dianggarkan pada satu tahun anggaran saja, tapi beberapa tahun anggaran. Dengan begitu, dalam tiap tahun fiskal masih banyak tersedia anggaran buat kepentingan lain yang juga penting. Kunci utama untuk bisa laksanakan paradigma ini yah cuma satu, ada perencanaan bangkuat. Dengan adanya perencanaan, fiskalnya kan bisa diatur jauh-jauh hari.

27 Mei 2008

Angkatan Laut Sebagai Kekuatan Ofensif

All hands,
Salah satu perdebatan ketika postur militer suatu negara dirumuskan adalah soal sifat kekuatan. Apakah posturnya ofensif atau defensif? Kalau untuk postur AD, mungkin nggak terlalu susah untuk mencari jawabannya karena bisa kita kaitkan dengan karakteristiknya. Namun bagaimana dengan postur AL? Ofensif atau defensif?
Pada dasarnya AL adalah kekuatan ofensif. Kenapa begitu? Jawabannya gampang kok, lihat aja core capabilities Angkatan Laut. Secara universal, core capabilities itu mencakup naval presence, sea control, sea denial dan power projection. Semua school of thought strategi maritim akan bilang demikian, entah itu Mahan, Corbett, Coloumb bersaudara, Gorshkov, Till.
Kalau pertanyaan itu digiring ke alam Indonesia, bagaimana? Bagaimana sebaiknya postur yang harus dimiliki oleh AL kita? Pasti timbul perdebatan antara aliran ofensif vs defensif. Tiap aliran pasti punya alasan masing-masing.
Saya sendiri lebih condong pada aliran ofensif. Kenapa ofensif? Soal ofensif antara satu AL dengan AL lain sebenarnya relatif, tergantung pada kepentingan masing-masing negara. Ofensifnya AL Jepang nggak bisa disamakan dengan ofensifnya AL Korea Selatan, misalnya.
Kenapa beda? Yah karena kebijakan keamanan nasionalnya beda-beda. Jepang kebijakan keamanan nasionalnya mengamanatkan kemampuan AL untuk amankan jalur 1.00 mil laut ke selatan. Itu kaitannya dengan keamanan SLOC untuk pasokan minyak dia dari negeri Arab. Mengutip klasifikasi AL dunia versi Geoffrey Till, AL Jepang tergolong medium regional force projection navy.
Sedangkan Korea Selatan lebih fokus pada pengamanan wilayah di sekitar dia. Dia masih punya konflik warisan Perang Dingin di halamannya. Jadi AL-nya dalam 10 tahun ke depan pun belum akan mengadopsi cara AL Jepang. AL Korea Selatan itu masuk golongan adjacent force projection navies versi Till.
Lalu kepentingan Indonesia apa? Kepentingan kita yang tergolong survival atau minimal vital adalah integritas wilayah plus wibawa dan martabat bangsa. Kita berkepentingan amankan wilayah kita yang panjangnya hampir setara jarak Inggris ke Iran, kurang lebih jarak pantai barat Amerika Serikat ke pantai timurnya. Untuk bisa amankan kitu, kita butuh AL yang punya postur ofensif, tepatnya bisa power projection.
Power projection yang harus kita punya bukan untuk invasi negara lain. Apalagi jaman sekarang invasi bukan tindakan populer di mata dunia. Kemampuan power projection itu untuk bisa capai wilayah-wilayah perbatasan maritim kita. Dan sebagian dari wilayah perbatasan maritim itu berbatasan dengan laut terbuka. Artinya kapal-kapal patroli sampai sekelas FPB kurang cocok untuk dideploy ke situ. Kita butuh kapal minimal korvet, malah mungkin lebih baik fregat.
Kapal-kapal itu juga akan berfungsi sebagai wahana untuk lakukan peran militer dan diplomasi. Sedangkan untuk perairan Nusantara, yah memang kita lebih butuh paling nggak kapal sekelas FPB. Fungsinya lebih banyak untuk peran konstabulari.
Jadi menurut saya, kita tetap butuh postur ofensif dalam batasan tertentu. Dengan kita punya itu, selain untuk amankan wilayah perairan terluar, secara tidak langsung juga untuk menakut-nakuti pihak lain. Mungkin ada rekan-rekan yang lebih suka pakai istilah deterrence.
So... ada baiknya bila ke depan setidaknya kita punya AL yang golongannya adjacent force projection navies. Itu cuma langkah awal saja, karena akan lebih baik bila kita medium regional force projection navy. Dulu AL kita begitu, masa ke depan nggak bisa? Jangan sampai kita jadi bangsa yang cuma bisa banggakan pendahulu kita. Lagi-lagi nenek moyangku seorang pelaut...

26 Mei 2008

Geopolitik Kapal Selam

All hands,
Kalau kita berdiskusi soal pengadaan kapal selam, harus kita mulai dari aspek politik. Karena itu yang tentukan bisa nggak kita dapat kapal selam yang kita inginkan. Soal teknis itu urusan belakang. Itu gampang.
Soal pengadaan kapal selam, memang sudah ada rencana sejak 2000-an. Awalnya kita ingin beli kelas Chang Bogo asal negeri Ginseng. Terus karena ada perubahan kebijakan di AL, rencana dialihkan ke kelas Kilo. Kemudian berubah lagi, kembali ke Chang Bogo.
Peralihan ke Chang Bogo dilakukan ketika Indonesia sudah tekan Mou kredit US$ 1 milyar dengan negerinya kamerad Putin. Di sinilah timbul tarik menarik kepentingan. Tarik menarik kepentingan itu terjadi di luar domain AL, di domain pengambilan keputusan strategis negeri ini.
Mengapa tarik menarik? Itu ceritanya panjang dan rumit, karena selain melibatkan pihak luar negeri, juga kepentingan golongan-golongan di republik ini. Kita sama-sama tahu, sekarang menjelang 2009. Ha..ha..ha..
Kalau kapal selam kelas Kilo yang jadi dibeli, uwak Sam merasa nggak nyaman. Selain nggak nyaman secara politik dan strategis, juga nggak nyaman secara teknologi. Sebab kehadiran kapal selam Kilo akan memperkuat konstelasi teknologi kamerad Putin dalam persaingan kapal selam di Asia Pasifik, karena pengguna teknologi Rusia di kawasan selama ini baru terbatas pada India dan Cina.
Sebagai informasi, konstelasi teknologi kapal selam di Asia Pasifik adalah (i) teknologi Amerika Serikat, (ii) teknologi Jerman, (iii) teknologi Prancis, dan (iv) teknologi Rusia. Meskipun di kawasan ini juga terdapat kapal selam buatan Swedia, akan tetapi teknologinya dipasok oleh Jerman. Perlu diketahui, galangan kapal selam Kockums AB, Swedia itu mayoritas sahamnya dikuasai oleh Ferrostaal AG-Howaldtswerke Deutsche Werft Gmbh (HDW).
Persaingan teknologi terlihat dalam rencana pengadaan kapal selam AL kita. Jerman yang merasa terancam pasarnya oleh negeri kamerad Putin aktif mendekati Indonesia untuk menawarkan kapal selam kelas U-209 versi terakhir. Bisa dilihat dari gencarnya lobi konsorsium Ferrostaal AG-HDW Gmbh selama 2005-2006. Bahkan konon kabarnya, konsorsium Ferrostaal-HDW menawarkan produk termutakhirnya kepada Indonesia yaitu kelas U-214 yang berteknologi AIP (Air-Independent Propulsion).
Sedangkan kalau kita beli kapal selam kelas Chang Bogo, uwak Sam tenang. Karena negeri Ginseng aliansi dia. Asal tahu saja, U.S. Navy merasa terancam dengan makin banyaknya proliferasi kapal selam konvensional.
Untuk itu, dia sewa kapal selam Swedia kelas Vastergotland sampai 2009. Kapal selam itu disewa wet lease, artinya lengkap sama kru. Selama disewa, kapal selam Swedia adakan latihan peperangan kapal selam dengan armada U.S. Navy. Seperti kita ketahui, uwak Sam sejak 1960-an nggak pernah bikin lagi kapal selam konvensional. Akibatnya dia kekurangan pengetahuan soal gimana hadapi kapal selam konvensional, karena selama ini musuh dia cuma kapal selam nuklir kamerad Putin.
Yang diceritakan di atas semuanya dari aspek politik, yang memang rumit. Soal aspek strategis, taktis, teknis, ceritanya sudah pasti lain lagi.

25 Mei 2008

Sketsa Kekuatan Kapal Selam Di Asia Pasifik

All hands,
Quadrennial Defense Review Report 2006 (QDR) yang diterbitkan oleh Pentagon memuat rencana menggeser kekuatan laut Amerika Serikat ke kawasan Asia Pasifik dalam beberapa tahun ke depan guna mendukung pelibatan, kehadiran dan penangkalan. Di antaranya rencana deployment enam kapal induk dan enam puluh persen dari kapal selamnya ke kawasan Asia Pasifik.
Rencana pergeseran itu menandakan bahwa ancaman terhadap kepentingan nasional Amerika Serikat saat ini dan ke depan berada di kawasan Asia Pasifik dibandingkan kawasan Atlantik. Sehingga harus direspon lewat pergeseran sebagian kekuatan laut Amerika Serikat digeser ke kawasan Asia Pasifik, termasuk di dalamnya armada kapal selam.
Pergeseran itu sebenarnya bukan suatu kebetulan, tapi by design. Karena dilaksanakan di tengah gencarnya pembangunan kemampuan peperangan bawah air oleh beberapa AL kawasan. Bahkan menurut hitung-hitungan matematis, dari sekitar 250 kapal selam di kawasan Asia Pasifik, cuma 30 persen di antaranya yang dimiliki oleh sekutu Amerika Serikat.
Di Asia Tenggara, Singapura yang dulu cuma rajin membangun kekuatan unsur kapal atas air, kini juga gemar membangun kekuatan unsur kapal selam dengan membeli empat kapal selam (SSK) kelas Challenger/Sjoormen dari Swedia bekas AL Swedia. Bahkan 2010 nanti dia akan tambah dengan dua kapal selam kelas A-17 Vastergotland (berteknologi AIP), juga eks Swedia. So pasti kita bertanya, memangnya kapal selam negeri kecil yang licik dan rakus itu mau ke mana sih operasinya?
Di Asia Selatan, negeri kari alias India punya empat kapal selam (SSK) kelas U-209/1500 buatan 1984-1992, lima (SS) kelas Foxtrot buatan 1970-an dan sepuluh (SSK) kelas Kilo buatan 1986-2000. New Delhi juga sudah pesan enam kapal selam kelas Scorpene dari Prancis.
Di Asia Timur, Taiwan yang hadapi ancaman militer Cina punya dua kapal selam (SSK) kelas Hai Lung dan dua (SS) kelas Guppy II. Kapal selam kelas Hai Lung buatan Wilton Fijenoord, Belanda yang desain dasarnya adalah kapal selam kelas Zwaardis. Sayang upaya Taipei armada kapal selamnya mengalami hambatan karena tekanan politik Cina terhadap negara-negara Eropa produsen kapal selam agar tidak mengekspor kapal selamnya ke Taiwan. Sementara dua unit kapal selam kelas Guppy II adalah kapal selam eks om Sam yang diluncurkan pada akhir Perang Dunia II, sehingga kemampuan operasionalnya sangat diragukan.
Negerinya Admiral Yamamoto punya armada kapal selam cukup banyak, terdiri dari 16 kapal selam (SSK) kelas Oyashio, kelas Harushio dan kelas Yuushio yang diproduksi selama periode 1980-2006. Tanpa banyak cuap-cuap, kapal selam dia selama ini sudah keliling kawasan Asia Pasifik, termasuk perairan Indonesia. Cuma kita aja yang tak bisa selamanya deteksi kehadiran unsur dia.
Negerinya om Mao punya kapal selam banyak dan macam-macam. Artinya kemampuannya juga macam-macam, dari yang senyap sampai yang super berisik. Dia punya satu kapal selam (SSBN) kelas Xia buatan 1981, satu (SSB) kelas Golf buatan 1966, lima (SSN) kelas Han buatan 1970-1990, tiga (SSG) kelas Song buatan 1994-1999, empat (SSK) kelas Kilo buatan 1980-1998, 19 (SS) Kelas Ming buatan 1971-1999, satu (SSG) kelas Romeo/modifikasi, 31 (SSG) kelas Romeo dan 31 (SSG) kelas Romeo yang dicadangkan.
Untuk tandingi uwak Sam, om Mao lagi kembangkan kapal selam nuklir berpeluru kendali balistik (SSBN) kelas Jhin (Type-094) dan kapal selam nuklir serang (SSN) kelas Shang (Type-093). Khusus kapal selam kelas Jhin, eksistensinya sangat dirahasiakan dan beberapa waktu lalu fotonya tertangkap oleh sebuah satelit komersial Barat. Dia juga baru saja operasikan delapan unit kapal selam diesel elektrik kelas Kilo asal Rusia yang dipersenjatai rudal jelajah supersonik anti kapal atas air SS-N-27 ASCM dari kamerad Putin. Yang bikin heboh, om Mao lagi bikin kapal selam diesel elektrik kelas Song yang mampu meluncurkan rudal jelajah dari bawah air.
Soal kemampuan kapal selam Cina, peristiwa di bulan Oktober 2006 mendapat perhatian khusus dari Amerika Serikat. Saat itu sebuah kapal selam diesel elektrik kelas Song (SSG) muncul ke permukaan tak jauh dari konvoi kapal induk USS Kitty Hawk di perairan dekat Jepang. Peristiwa itu selain disorot dari aspek keselamatan operasi (menghindari tabrakan di laut), juga dipandang sebagai pameran kemampuan peperangan bawah air Cina.
Om Kangguru punya enam unit kapal selam (SSK) kelas Collins buatan 1990-2000 yang diproduksi di galangan Australian Submarines Corp, Adelaide. Kapal ini basis teknologinya dari kapal selam Swedia, dengan dimensi yang diperpanjang. Teknologi kapal selam Swedia sendiri teknologi Jerman. Karena dimensinya diperpanjang, biaya overhaul Collins besar karena penyakitnya macam-macam. Biar begitu, kita jangan pandang enteng Collins.
Terkait soal kapal selam, pada Februari 2007, Australian Strategic Policy Institute (ASPI) Terbitkan laporan khusus berjudul The Enemy Below: Anti-Submarine Warfare In The ADF. Dalam laporan setebal 28 halaman itu, benang merahnya adalah kekhawatiran Australia dengan penyebaran kapal selam di kawasan Asia Pasifik karena akan berdampak terhadap kemampuan peperangan anti kapal selamnya. Untuk mengimbangi penyebaran demikian, laporan itu merekomendasikan sembilan langkah untuk meningkatkan kemampuan peperangan anti kapal selam Australia. Ke depan, Australia telah merencanakan membangun kapal selam baru yang akan menggantikan kelas Collins yang diperkirakan akan mulai berdinas pada 2020.
Om Kangguru sama uwak Sam jalin kerjasama buat mendukung kemampuan peperangan kapal selam Australia. Washington sudah transfer teknologi, berupa peningkatan kemampuan sonar dan sistem kendali penembakan untuk enam kapal selam kelas Collins senilai US$ 335 juta.
Negeri kamerad Putin jangan dilupakan kalau soal kapal selam. AL AS pun masih takut soal kehebatan pepeperangan bawah air AL Rusia. Setelah Uni Soviet ambruk, Rusia kini “hanya” mempunyai 10+ kapal selam rudal balistik (SSBN), lebih dari 20 kapal selam nuklir (SSN) dan 20 kapal selam kelas Kilo (SSK). Walaupun jumlah kapal selam Rusia sudah berkurang dibandingkan dengan era Uni Soviet, namun kekuatan armada kapal selam Rusia tetap tidak dapat dipandang sebelah mata oleh pihak lain. Pangkalannya di Vladivostok dan beroperasi hingga ke pantai timur negeri uwak Sam.
Uwak Sam sendiri punya sekitar 72 kapal selam nuklir, yang di kawasan Asia Pasifik wilayah operasinya difokuskan di Asia Timur dan Samudera India. Selain di Hawaii, pangkalan kapal selam Amerika Serikat lainnya di Samudera Pasifik adalah di wilayah pantai barat Amerika dan di Pulau Guam. Apabila ditelusuri, U.S. Navy sempat mengalami beberapa kali perubahan strategi maritim yang berujung pada prioritas terhadap kapal selam.
Pada awal 1990-an lahir doktrin From The Sea (FTS) beberapa saat setelah Perang Dingin dan kemudian direvisi menjadi Forward…from the Sea (FFTS), yang pemikiran pokoknya adalah power projection, presence and knowledge. Dalam era doktrin FTS dan FFTS, terjadi pergeseran prioritas terhadap armada kapal selam Amerika Serikat yang ditandai dengan penutupan beberapa pangkalan kapal selam dan pengurangan jumlah kapal selam.
Selanjutnya ketika doktrin kekuatan laut Amerika Serikat kembali berubah yang kemudian dikenal sebagai Sea Power 21, eksistensi armada kapal selam kembali mendapat perhatian serius dari para perencana pertahanan. Sea Power 21 menekankan pada tiga kemampuan yaitu Sea Strike, Sea Shield dan Sea Basing. Dengan konsep Sea Power 21, fokus utama operasi adalah littoral warfare, di mana kapal selam mempunyai peran krusial.
Untuk menunjang littoral warfare, sejak beberapa tahun lalu Amerika Serikat melakukan konversi terhadap empat kapal selam nuklir (SSGN) kelas Ohio untuk kepentingan meluncurkan pasukan Navy SEALS. Untuk gelombang pertama, pada tahun 2006 telah diselesaikan konversi dua kapal selam dan telah kembali masuk dinas operasional, sementara dua kapal selam berikutnya selesai tahun 2007. Statusnya sudah operasional juga.
Soal persaingan antara uwak Sam versus kamerad Putin dalam urusan peperangan bawah air bukan saja di masa lalu, namun juga sampai kini. Kekuatan kapal selam kedua negara masih saling intai dan ukur kemampuan di perairan Asia Pasifik, seperti tercermin dalam kasus ditembusnya perimeter pertahanan konvoi USS Abraham Lincoln Carrier Battle Group (CVBG) oleh kapal selam Rusia Kursk (K-141) pada pertengahan 1990-an tanpa mampu dideteksi oleh kapal-kapal tabirnya. Bahkan CVBG’s main body yaitu USS Abraham Lincoln (CVN-72) sempat beberapa kali diputari oleh Kursk, yang kalau dalam keadaan perang kapal induk itu pasti ditorpedo oleh kapal selam Rusia. Sayang beberapa tahun lalu Kursk tenggelam.
Lalu bagaimana dengan kapal selam kita? Mau kemana Indonesia? Tunggu di tulisan berikutnya. Mohon bersabar....

To See Deeds in Addition to Words

All Hands,
Indonesia adalah salah satu barometer stabilitas keamanan kawasan!!! Itu kata orang lain. Itu penilaian orang lain. Saya setuju 100 persen penilaian itu. Namun sangat disayangkan mayoritas bangsa saya tidak paham soal itu.
Kita selama puluhan tahun hanya bisa mengklaim bahwa kita berada di posisi strategis dunia. Meminjam ungkapan yang kebanyakan hanya dipahami oleh kita yang berada di domain AL, Indonesia mempunyai empat dari sembilan chokepoints dunia. Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Ombai-Selat Wetar.
Kalau empat chokepoints itu mengalami gangguan, korbannya adalah kawasan Asia Pasifik. Jepang, Cina, Korea Selatan akan menjerit!!! Harga minyak akan naik seketika!!! Om Kangguru Deputi Sheriff akan segera pamer otot!!!
Itu pernah kita lakukan sekitar tahun 1987. Persisnya saya lupa. Waktu itu Selat Lombok ditutup oleh Indonesia untuk kepentingan latihan AL. Jangka waktu penutupan selat itu nggak tanggung-tanggung, sekitar seminggu.
Yang paling protes yah om Kangguru. Tapi dia nggak bisa apa-apa waktu itu, soalnya militer kita, khususnya AL, staminanya lagi kuat-kuatnya. Militernya nggak bisa macam-macam sama kita waktu itu, nggak kayak sekarang. Dia cuma bisa kirimkan nota protes, yang sekarang jadi tugas pokok diplomat Indonesia.
Kalau kita kaitkan dengan strategi 1-4-2-1 punya Amerika Serikat, tantangannya buat Indonesia adalah jamin stabilitas kawasan!!! Singkatnya, jaga stabilitas wilayah sendiri, di darat dan di laut. Kalau udara tak perlu, yang ada kan cuma burung. Burung nggak akan bikin kacau stabilitas. Yang bikin kacau itu manusia.
Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab (in charge) terhadap stabilitas Indonesia? Menko Polhukam? Menteri Pertahanan? Panglima TNI? Bos sipil bersenjata dari Trunojoyo?
Kalau itu susah untuk dijawab, itulah cerminan manajemen keamanan nasional kita. Melihat fungsi yang dikaitkan dengan teori, Panglima TNI jelas bukan penanggung jawabnya. Domain dia cuma militer. Apalagi bos sipil yang satu itu!!! Nggak ada presedennya di dunia sipil bersenjata jadi penanggung jawab stabilitas suatu negara!!! Apalagi kawasan!!!
Yang paling mungkin dan mendekati adalah Menteri Pertahanan. Kalau Menko Polhukam, jelas bukan. Dia kan cuma mengkoordinasi, tak punya wewenang operasional. Jabatan itu nggak ada pun republik ini tetap akan ada. Kan para menteri lain sebenarnya sangat cerdas kok kalo cuma soal berkoordinasi, nggak perlu diatur oleh seorang menteri khusus.
Cuma Menteri Pertahanan belum mempunyai legitimasi untuk itu, sebab manajemen keamanan nasional kita belum jelas. Dulu Departemen Pertahanan bikin konsep RUU Keamanan Nasional, tapi nggak jalan gara-gara sipil bersenjata itu yang tolak karena merasa keamanan nasional domain dia. Dan supaya nggak gontok-gontokan, diadakanlah jalan pagi bersama oleh bos besar republik yang diikuti oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat. Setelah jalan pagi bersama, konsep masuk laci. Suatu win-win solution yang tidak mengacu pada kepentingan nasional !!!
Pertanyaannya, mampukan kita menjamin stabilitas wilayah kita ? Kalau tak mampu, orang lain yang masuk amankan. Entah itu sang Sheriff atau cukup deputinya aja. Mengutip ucapan Admiral William J. Fallon tahun 2005 waktu jadi Commander, U.S. Pacific Command soal Indonesia, ”they (American) want to see deeds in addition to words”.

23 Mei 2008

Strategi 1-4-2-1

All hands,
Ketika Donald Rumsfeld menjadi penguasa di Pentagon di masa administrasi koboi junior dari Texas, dia melakukan program transformasi pertahanan (defense transformation). Tidak sedikit Jenderal dan Laksamana yang berbeda school of thought dengan Rumsfeld yang menentang transformasi pertahanan dan pada akhirnya pelan-pelan mundur dari dunia militer. Bagi mereka, perang di masa depan tidak dapat diselesaikan semata dengan pencet tombol (push button war) seperti pendapatnya Rumsfeld, Andrew Marshall, VAdm Arthur Cebrowski dan Paul Wolfowitz. Fog of war tidak bisa dihilangkan dengan transformasi pertahanan.
Salah satu pembenahan besar dalam transformasi pertahanan ala Rumsfeld adalah strategi pertahanan Amerika Serikat. Di eranya dan hingga kini masih berlaku, strategi pertahanan om Sam adalah 1-4-2-1. Apa itu 1-4-2-1?
The U.S. joint force must be capable of defending the United States, deterring aggression in four critical regions of the world and defeating adversaries in two conflicts, while retaining the option for decisive victory in one. Itu yang disebut strategi 1-4-2-1.
Bagi kebanyakan pihak di Indonesia, mungkin strategi ini masih asing di telinga. Saya sangat memahaminya. Saya pun tahu dan pelajari lebih karena tugas rutin yang harus selalu update pengetahuan soal strategi. Kalau nggak, mungkin juga saya nggak tahu.
Pertanyaannya, kawasan mana saja di dunia yang dianggap sebagai empat kawasan kritis? Dalam analisis saya, dua kawasan sudah dapat diidentifikasi dengan jelas, yaitu satu di Timur Tengah (Irak) dan satunya lagi di Asia Timur (Semenanjung Korea). Sedangkan dua kawasan lainnya yang sangat mungkin dianggap sebagai kawasan kritis adalah Eropa Tengah, Asia Selatan dan atau Asia Tenggara.
Mungkin akan timbul pertanyaan, apa hubungan strategi 1-4-2-1 dengan Indonesia? Pertanyaan itu akan dijawab dalam tulisan berikutnya.

22 Mei 2008

Prestasi “Membanggakan” Indonesia

All hands,
Setelah melakukan penelitian dan pengawasan selama tiga bulan, 5 Maret 2008 lalu U.S. Coast Guard mengeluarkan Port Security Advisory. Dalam terbitan itu, Indonesia yang selalu membanggakan diri bahwa nenek moyangnya seorang pelaut menduduki prestasi “membanggakan” bersama 5 negara Afrika. Saya bilang “membanggakan” karena kita salah satu negara yang keamanan maritimnya sangat jelek. U.S. Coast Guard bilang ”countries are not maintaining effective anti-terrorism measures”. Singkatnya, kita tak comply dengan International Ship and Port Security Code (ISPS) Code.
Dari hampir sekitar 300 pelabuhan kita, yang comply dengan standar keamanan U.S. Coast Guard cuma 16. Jadi 16 pelabuhan itu masuk kategori with exception. Pelabuhan mana saja tuh?
1. Pelabuhan Trisakti Banjarmasin.
2. Terminal Multi-Purpose Belawan
3. Terminal Minyak Caltex Dumai
4. Jakarta International Container Terminal (tetangga 03 nih...ha..ha..ha..)
5. Pelabuhan UP II Pertamina Dumai
6. Pelabuhan UP V Pertamina Balikpapan
7. Pelabuhan PT Badak Bontang NLG
8. Terminal PT Indominco Mandiri Bontang (Bontang Coal Terminal)
9. Pelabuhan PT Multimas Nabati Usaha (di mana yah?)
10. Pelabuhan Pelindo I Dumai
11. Pelabuhan UP II Pertamina Jakarta
12. Pelabuhan PT Pupuk Kaltim Bontang
13. Pelabuhan PT Terminal Petikemas Surabaya
14. Semarang International Container Terminal
15. Terminal Senipah Total E&P Indonesia, Balikpapan
16. Terminal Konvensional Pelindo II Jakarta

Dari situ tercermin bahwa Departemen Perhubungan nggak kerja banyak buat keamanan terminal di Indonesia. Padahal mereka itu kan regulator. Pelindo juga begitu, selama ini kan mereka juga regulator pelabuhan (sebelum Undang-undang No.17 Tahun 2008 berlaku). Kalau kita perhatikan daftar 16 pelabuhan yang comply, kebanyakan kan punya swasta plus Pertamina. Yang punya Pelindo cuma sedikit.
Itulah cerminan bahwa bangsa ini nggak peduli dengan domain maritim. Karena itu, tak heran bila kita juga termasuk “berprestasi” dalam soal keamanan maritim. Hanya 16 pelabuhan yang comply itu adalah bukti prestasi kita. Memang betul...yang pelaut cuma nenek moyang kita.

Semper Paratus

All hands,
Seperti kita ketahui bersama bahwa Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengatur pula tentang Coast Guard. Diaturnya Coast Guard dalam undang-undang itu merupakan hal yang bagus dan sekaligus satu langkah maju. Termasuk pula buat AL, karena selama hampir tiga tahun terakhir kita berjuang untuk menggolkan Coast Guard. Memang perjuangan belum selesai, karena kita harus membina Coast Guard, jangan sampai sipil bersenjata dari Trunojoyo yang bina mereka.
Kalau kita cermati fungsi-fungsi Coast Guard dalam undang-undang itu, kayaknya ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa fungsi Coast Guard dalam Undang-undang No.17 Tahun 2008 hanya yang sebatas kewenangan Departemen Perhubungan seperti keamanan dan keselamatan pelayaran, penanggulangan pencemaran dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat kedua bilang bahwa fungsinya luas, karena di undang-undang menyatakan fungsi Coast Guard juga mencakup pengawasan dan penertiban ekplorasi dan eksploitasi kekayaan laut. Artinya mereka bisa tangkap kapal ikan dan lain-lain itu.
Saya sendiri menafsirkan fungsi organisasi itu luas, meskipun dalam undang-undang terkesan berat pada kewenangan yang ada di Departemen Perhubungan. Memang soal fungsi sebagai penafsiran dari undang-undang itu debatable. Rekan-rekan pasti punya penafsiran masing-masing. Terus terang saya belum baca penjelasan dari pasal-pasal soal Coast Guard. Jangan-jangan penjelasannya seperti biasa…Cukup jelas. Ha..ha..ha.. Undang-undang kita banyak yang gitu kan, Cukup jelas… padahal buat pelaksana di lapangan malah belum atau tidak jelas… Ha..ha..ha...
Bagi saya, dengan adanya Coast Guard maka ambisi sipil bersenjata dari Trunojoyo ubah satuan Marine Police dia jadi Police Coast Guard ala negeri kecil yang licik dan rakus di utara Pulau Batam jadi mentok. Yah harus begitu, mayoritas negara-negara di dunia bedakan Coast Guard dengan polisi. Karena rezim hukum laut memang beda dengan hukum darat. Fungsi Coast Guard dengan sipil bersenjata dari Trunojoyo kan jelas-jelas beda. Kalau soal Police Coast Guard punya negeri licik dan rakus itu, dia kan negara kota. Berapa mil sih perairan dia???
So...pekerjaan rumah buat kita sekarang adalah kita harus ikuti terus perumusan PP soal Coast Guard itu. Jangan sampai kita ditelikung sama sipil bersenjata dari Trunojoyo itu. Kan kita sudah sepakat bahwa Coast Guard akan menjadi kekuatan cadangan dan pengganda bagi AL, jadi sudah sewajarnya kita bina mereka.
Apabila ada Coast Guard, setidaknya beban konstabulari kita agak berkurang. Setidaknya di laut teritorial. Kalau di ZEE, yah tetap AL yang pegang. Tapi kok aneh yah, dari mana dasarnya sipil bersenjata itu mau patroli di ZEE? Memangnya ZEE itu wilayah teritorial Indonesia di mana kita punya kedaulatan?
Terkait dengan itu, RUU Keamanan Nasional dari Departemen Pertahanan itu mesti dilanjutnya. Biar jelas bahwa keamanan nasional itu BUKAN wilayah yurisdiksi sipil bersenjata dari Trunojoyo.
Semper Paratus...

21 Mei 2008

Beat Army!!!

All hands,
Dalam tulisannya sebelumnya yaitu ‘Operasi Gabungan”, pertanyaan yang belum terjawab adalah bagaimana langkah kita menuju agar budaya gabungan di TNI tercipta? Yang pasti budaya gabungan tidak bisa tercipta dengan “integrasi” ala ABRI yang hingga kini masih diteruskan oleh TNI. “Integrasi” lebih banyak tidak bermanfaatnya adalah manfaatnya. Manfaatnya cuma satu, yaitu di antara para perwira ketiga matra Angkatan jalur Akademi “saling kenal” karena pernah setahun di Magelang. Pernah beberapa tahun lalu dipotong cuma tiga bulan di Magelang, tapi dikembalikan lagi jadi setahun.
Alasan idealisnya sih biar memperkuat integrasi, padahal kita sama-sama tahu apa alasan sebenarnya. Ha..ha..ha.. Kalau soal perkuat integrasi, kenapa taruna dari Akpol nggak digabung sama adik-adik kita di Magelang, biar mereka tak merasa jadi FBI jaman Edgar Hoover di republik ini.
Kerugian integrasi yaitu (i) penanaman paradigma yang salah soal pertahanan dan militer, (ii) identitas, ciri khas matra non darat tergerus dari awal, (iii) ada saudara tua dan muda, (iv) tercipta integrasi semu karena hanya antar individu. Bukti bahwa integrasi dapat dikatakan gagal adalah soal perkelahian antar satuan TNI maupun dengan polisi. Soalnya yang berkelahi nggak pernah ikut program integrasi. Ha..ha..ha.. Kenapa nggak kreatif tuh, bikin aja program integrasi buat tamtama dan bintara TNI-Polri biar mereka nggak baku hantam lagi. Soal anggaran, kan besar tuh. Ha..ha..ha..
Sebagai perbandingan, di ADFA/Australian Defence Force Academy di mana para kadet ketiga Angkatan satu kampus selama tiga tahun, mereka nggak pernah tuh belajar sama-sama satu kelas. Tiap matra punya kelas masing-masing. Paling ketemunya mereka pas pertandingan olahraga. Meski mereka cuma ketemu pas pertandingan olahraga, tapi integrasi mereka di operasi jalan.
Bandingkan dengan kita, dalam tiga tahun berapa kali ketemu? Dari tiga tahun itu, setahun aja sudah sama-sama di Magelang. Belum lagi kegiatan lain selama dua tahun. Tapi begitu sentuh soal operasi di lapangan, yang terjadi disintegrasi. Yang ada egoisme matra yang kadang kurang berdasar. Contoh, ada matra yang gelar operasi patroli maritim tapi tak mau di bawah kodal AL. Padahal di mana pun di dunia, operasi patroli maritim adalah domain AL, sehingga keterlibatan pihak lain boleh saja selama di bawah kodal AL. Sebab yang lebih tahu soal laut kan AL, bukan matra lain.
Sekarang lihat doktrin-doktrin kita, baik itu doktrin dasar maupun doktrin pelaksanaan. Mencerminkan nggak hasil dari integrasi ala Magelang? Kenyataannya tidak, kita belum punya doktrin opsgab. Yang ada doktrin matra yang kurang tepat kalau dijadikan dasar opsgab.
Terus bagaimana kita membangun budaya opsgab? Pertama, lupakan paradigma lama integrasi. Integrasi itu yang utama bukan di pendidikan pembentukan perwira, tapi dalam operasi di lapangan. Buktinya banyak. Di negeri uwak Sam, tidak ada integrasi akademi. Semua Angkatan jalan sendiri-sendiri, U.S. Navy di Annapolis, U.S. Army di West Point dan U.S. Air Force di Colorado Spring. Mereka cuma ketemu antara lain di pertandingan American football.
Di situ, tim U.S. Naval Academy pakai kaos yang tulisannya Beat Army!!! Para suporter juga bawa poster bertuliskan Beat Army, serta teriakkan Beat Army!!! Dan yang pakai kaos Beat Army bukan cuma para kadet, bahkan flag officers U.S. Navy juga pakai kaos itu, termasuk Admiral Mike Mullen yang jabat Chairman, U.S. Joint Chief of Staff. Dan kenyataannya para kadet West Point nggak marah tuh, nggak tawuran sama kadet Annapolis gara-gara Beat Army. Top brass U.S. Army juga nggak marah sama flag officers U.S. Navy soal itu. Kalau di sini gimana yah kalau kita teriak Beat Army? Ha..ha..ha...
Ngomong-ngomong soal Beat Army, memang tim U.S. Naval Academy jagonya American football di antara ketiga Akademi dan saat ini mereka juara bertahan. Dan memang dalam final seringkali mereka memang selalu “Beat Army”.
Kedua, ubah doktrin dan konsep operasi menjadi doktrin dan konsep gabungan. Gabungan di sini harus dipahami setidaknya dua Angkatan. Jadi kalau untuk operasi maritim misalnya, AD tak perlu sewot bila tak terlibat karena itu domainnya AL plus didukung AU. Kalau mandala operasinya didominasi oleh domain maritim, Angkatan lain harus tulus tidak bisa jadi Panglima Mandala. Jangan ngotot kayak dalam salah satu bagian dari sejarah kita. Untuk ops hanud, mungkin keterlibatan AL tak terlalu banyak.
Ketiga, kurikulum. Jadi dalam tiap jenjang pendidikan perwira, sebaiknya mereka sudah ditanamkan pemahaman tetap opsgab itu. Bentuknya yah dalam kurikulum, yang mana kurikulumnya selain tekankan kekhasan matra laut, juga diimbangi dengan imperatifnya opsgab di masa kini dan mendatang. Mungkin mulai dari Diklapa II, walaupun aplikasinya baru mereka dapatkan ketika latihan gabungan. Setidaknya itulah yang dipraktekkan oleh negara-negara lain dalam membangun budaya opsgab pada militer mereka.
Keempat, ubah prasyarat opsgab. Saat ini prasyarat opsgab adalah keselamatan negara terancam. Jadi kalau keselamatan negara tak terancam, tak bisa gelar opsgab. Prasyarat demikian sudah ketinggalan jaman.
Kelima, bubarkan Mabes TNI. Organisasi Mabes TNI saat ini tidak dapat disebut sebagai Markas Gabungan, meskipun organisasi itu diisi oleh ketiga matra TNI, karena karakteristiknya belum mencerminkan gabungan dalam arti sebenarnya.
Yang diperlukan adalah transformasi organisasi menjadi Joint Staff dalam arti sesungguhnya. Joint staff bukanlah organisasi super seperti Mabes TNI saat ini, karena sebagian kewenangan Mabes TNI memang harus dialihkan ke Departemen Pertahanan. Opsgab dirancang oleh joint staff, namun pelaksanaannya oleh Panglima Mandala yang bertanggung jawab langsung ke Menteri Pertahanan. Joint staff hanya mensupervisi saja operasi gabungan, tetapi tak punya wewenang kodal.
Setidaknya lima langkah itu untuk tumbuhkan budaya opsgab di militer kita. Kata kuncinya adalah paradigm shift!!! Ini era RMA, bukan era Perang Dunia Kedua. Jadi doktrin kita, latihan kita, operasi kita jangan lagi contek ala Normandia dan Okinawa.

20 Mei 2008

Operasi Gabungan

All hands,
Operasi gabungan kalau kita cari persamaannya dalam istilah militer asing bisa berarti joint operations, bisa pula combined operations. Dikatakan joint operations bila operasi itu dilaksanakan inter-service dalam Angkatan Bersenjata suatu negara. Sedangkan combined operations kalau operasi itu merupakan operasi gabungan dari dua negara atau lebih. Dalam tulisan ini, saya akan lebih fokus soal operasi gabungan dalam arti joint operations.
Operasi gabungan di Indonesia, dalam hal ini TNI, baru bisa dilaksanakan apabila ada imminent threat(s). Apa yang digolongkan sebagai imminent threat(s)? Yaitu keselamatan negara terancam. Itulah prasyarat operasi gabungan TNI!!! Jadi kalau keselamatan negara tidak terancam, operasi gabungan tidak bisa digelar karena prasyaratnya tidak terpenuhi.
Mari kita bandingkan dengan operasi gabungan di negara-negara lain. Dalam prakteknya, nyaris semua operasi yang dilaksanakan oleh militer negeri lain saat ini sifatnya operasi gabungan. Entah itu operasi keamanan maritim, pertahanan udara, surveillance and recconaissance, apalagi perang.
Sebagai contoh, untuk operasi keamanan maritim di Australia, tidak cuma dilakukan oleh RAN tapi juga oleh RAAF. Yang perlu digarisbawahi di sini, komando dan kendali operasi itu berada di RAN. Jadi pesawat P-3 Orion RAAF berada di bawah kodal RAN.
Operasi gabungan RAN dan RAAF itu kan “ancaman”nya cuma kapal ikan sama imigran ilegal. Walaupun “ancaman”-nya cetek, mereka tetap merasa perlu operasi gabungan. Karena memang kecenderungan masa kini, matra Angkatan alias service tidak bisa memecahkan masalah operasional tanpa dukungan matra lainnya.
Bandingkan dengan di Indonesia, di mana pesawat B-737 Surveiller AU tidak mau berada di bawah kodal AL dalam operasi patroli maritim. Kenapa dia nggak mau? Itu urusan gengsi saja!!! Akibatnya operasi dia sia-sia, tidak bisa ditindaklanjuti oleh AL. Asal tahu saja, pesawat yang dibangga-banggakan oleh AU itu tidak bisa bedakan mana kapal kayu dan mana kapal bukan kayu. Ha..ha..ha.. Dia cuma bisa identifikasi ada kontak.
Kembali ke topik semula, operasi gabungan masa kini tak harus memprasyaratkan adanya ancaman terhadap keselamatan negara. Kalau sudah begini, apakah Indonesia yang ketinggalan atau mereka yang tidak cerdas? Saya kok lebih berpendapat bahwa Indonesia yang ketinggalan.
Sebagaimana halnya dalam lingkup yang lebih luas, kita lebih suka pendekatan sektoral daripada pendekatan gabungan. Kalau ditanya kenapa, mungkin salah satunya karena soal dukungan anggaran. Menyedihkan memang!!!
Lepas dari soal dukungan anggaran itu, kini belum terlambat kita mengembangkan paradigma baru operasi gabungan di TNI. Bagaimana langkah kita menuju agar budaya gabungan di TNI tercipta? Tunggu tulisan berikutnya....

Lesson Learned

All hands,
Dalam domain AL, lesson learned hukumnya wajib!!! Semua pasti sepakat soal itu. Tidak aneh bila di Sesko salah satu yang dipelajari adalah operasi AL (seluruh dunia) yang mempunyai nilai strategis. Entah itu di Midway, Okinawa, Pearl Harbor, Inchon, Malvinas, Laut Adriatik, Teluk Persia, Afghanistan dan lain sebagainya. Begitu pula dalam doktrin atau konsep operasi AL, pasti termuat lesson learned suatu operasi di masa lalu. Soal lesson learned selalu kita temui pula dalam jurnal-jurnal AL seperti NWCR (Naval War College Review), USNI Proceeding dan lain-lain.
Tujuan dari lesson learned adalah mencari apa yang salah, bukan siapa yang salah. Dari pelajaran itu, selain bisa ditarik keunggulan strategi-strategi yang diterapkan, juga bisa ditarik kekurangan strategi-strategi itu. Termasuk blunder yang dilakukan oleh salah satu atau dua pihak yang berhadapan.
Blunder itu wajib diketahui agar menjadi lesson learned buat yang pihak yang mempelajari. Ketika kita bicara soal blunder dalam operasi militer di Indonesia, termasuk naval operation, seringkali jadi masalah. Sebab kita berhadapan dengan budaya (sebagian) bangsa Indonesia yang tak mau senior, pendahulu, orang tua “disalahkan”. Akibatnya, kita tak bisa tinjau secara obyektif kekurangan dari operasi yang telah dilaksanakan gara-gara sang pelaku utama masih hidup atau sang pelaku utama sudah jadi pahlawan. Padahal yang dicari bukan siapa yang salah, tapi apa yang salah.
Di situlah kesalahan kita dalam memahami lesson learned di domain AL maupun militer secara umum. Lesson learned dipelajari bukan untuk ungkit kesalahan individual, tapi untuk secara obyektif tinjau dari kesalahan sistem. Lesson learned bukan penyidikan untuk cari tersangka kemudian dihadapkan ke Mahmil sebagai terdakwa.
Kalau ada suatu hal yang salah, itu kesalahan sistem alias kesalahan bersama. Bukan kesalahan individual, misalnya Dan GT (Gugus Tugas alias Task Force). Atau pula para perencana operasi. Bisa saja yang salah doktrinnya, konsepnya atau ROE (rules of engagement)-nya. Mungkin saja yang salah adalah TTP (tactic, technic and procedure)-nya. Atau materi dik dan lat yang diberikan sebelumnya tidak sesuai dengan kebutuhan operasional di lapangan, atau pula faktor psikologis akibat tingginya tensi operasi. Kesalahan yang terjadi faktornya tidak pernah tunggal.
Akibat dari kesalahan persepsi kita soal apa maksud dan tujuan dari lesson learned, kita cenderung cuma ambil lesson learned dari pengalaman orang lain di Midway, Malvinas dan lain-lain. Tapi kita tak berani ambil lesson learned dari operasi amfibi di Dili Desember 1975, operasi penyekatan di Ambon 2000-2002, operasi penyekatan di Aceh 2002-2005 (termasuk ratfib di pantai Samalanga Mei 2003 yang telan korban jiwa personel), operasi pengamanan Selat Malaka dan operasi di Laut Sulawesi (Ambalat). Belum lagi operasi-operasi dalam skala yang lebih kecil dan tergolong rahasia, semisal operasi-operasi yang dilaksanakan oleh unsur kapal selam kita.
Padahal itu penting untuk meninjau validitas doktrin dan konsep operasi kita selama ini. Apakah masih valid? Kalau sudah tidak valid, bagian mana? Bagaimana pula dengan dukungan logistik? Dan masih banyak lagi hal-hal yang bersifat teknis dan mungkin dipandang ”kecil”, namun sesungguhnya berkontribusi penting terhadap sukses tidaknya operasi yang digelar.
Soal lesson learned ini sebenarnya bisa dilihat dari buku-buku biografi yang terkait dengan peristiwa-peristiwa itu. Dalam kasus operasi amfibi di Dili misalnya, dari para pelaku sejarah, mereka mengakui bahwa tindakan mereka melaksanakan BTK sudah tidak mempunyai efek kejut lagi, karena kehadiran GT sudah diketahui Fretilin lewat kapal perang Portugis yang berpapasan dengan GT beberapa jam sebelumnya. Artinya, para senior itu secara tulus, jujur, terbuka, fair mengakui bahwa ada yang kurang dari operasi di masa itu.
Bagaimana dengan Ambon dan Aceh? Apakah kita berhasil atau gagal menyekat? Atau setengah berhasil dan setengah gagal? Kalau demikian, apa penyebabnya?
Lesson learned penting bagi kemajuan AL kita. Hanya dengan itu kita dapat menakar kekuatan dan kelemahan kita saat ini. Setelah tahu di mana kelemahan kita, mari kita perbaiki. Lesson learned bukan untuk mencari tersangka, apalagi kambing hitam.

19 Mei 2008

Geopolitik Kekuatan Laut

All hands,
Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang dengan bangga mengklaim dirinya berada pada posisi strategis dalam geopolitik dunia. Namun klaim membanggakan itu nyaris tidak pernah diimplementasikan di lapangan, hanya sebatas klaim di atas kertas. Akibatnya posisi Indonesia yang strategis lebih bermanfaat bagi orang lain daripada bagi kita. Mungkin ini akibat dari kebiasaan membanggakan nenek moyang kita seorang pelaut.
Tanpa harus melihat ke ratusan atau ribuan tahun lampau ketika konsep nation state belum dikenal, puluhan tahun silam para founding fathers kita sangat sadar dengan posisi geopolitik kita. Tak heran bila pada awal 1950-an Presiden Soekarno mencanangkan pembangunan AL, awal 1960-an hasilnya sudah terlihat jelas. Dengan menjadi salah satu kekuatan laut terkuat di kawasan Asia Pasifik, status Indonesia dengan sendirinya naik.
Disadari atau tidak, Bung Karno sangat sadar akan nilai geopolitik kekuatan laut. Apa itu geopolitik kekuatan laut? Geopolitik kekuatan laut terkait dengan kondisi geografi di mana AL dapat bermanuver untuk mengamankan kepentingan strategis negaranya. Manuver merupakan salah satu ciri yang senantiasa melekat pada peperangan laut. Seperti kata Norman Friedman, geography does deeply influence what navies can do and cannot do.
Lalu, apa saja komponen geopolitik kekuatan laut? Komponennya adalah trade routes, access and strategic straits, position and dominance dan basing. Pertanyaannya, dari empat komponen geopolitik kekuatan laut, mana yang Indonesia tidak punya? Setidak-tidaknya kita punya tiga dari empat komponen. Thanks God…alhamdulillah.
Cuma masalahnya, sudahkah kita mensyukuri nikmat Tuhan itu? Silakan jawab sendiri... Yang pasti, meskipun kita belum maksimal mengeksploitasi geopolitik kekuatan laut, Jakarta termasuk satu dari 25 pelabuhan dunia yang banyak disinggahi oleh pelayaran dunia. Itu data 10 tahun lalu dari Lloyd's Maritime Information Services, London. Bagaimana dengan saat ini ketika ISPS Code berlaku dari hanya 16 terminal dan pelabuhan Indonesia yang comply menurut U.S. Coast Guard?
Dengan mempunyai sedikitnya tiga komponen geopolitik kekuatan laut, sudah sewajarnya dan seharusnya Indonesia mempunyai kekuatan laut yang diperhitungkan di kawasan. Kekuatan itu selain dirancang untuk mengamankan kepentingan nasional, juga secara tidak langsung akan bertindak sebagai a force for good untuk mengamankan tiga komponen itu. Dengan tiga komponen itu, sebenarnya daya tawar Indonesia di dunia itu cukup tinggi.
Cuma kembali ke bangsa ini lagi, mau tidak manfaatkan itu. Kita tak perlulah selalu menjadi bangsa yang santun. Sekali-sekali kita “jepit” bangsa lain yang nakal sama kita lewat kontrol terhadap komponen geopolitik kekuatan laut itu. Sebab untuk mengamankan kepentingan nasional, instrumen militer, khususnya AL, adalah salah satu pilihan yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Kalau Singapura macam-macam sama kita, ancam saja dengan ranjau. Dijamin dia akan menurut sama kita. Kita sudah sama-sama tahu kok, dia kalau kita ajak diskusi soal ranjau di perairan yang akses ke wilayah dia, dia takut dan minta tak diekspos.
Para founding fathers kita sangat paham soal geopolitik kekuatan laut. Pertanyaannya, bagaimana dengan kita saat ini? Sekarang kembali ke bangsa ini, mau tidak membangun AL. Modal geopolitik kita sudah punya, given. Adanya komponen geopolitik kekuatan laut yang ditunjang oleh kekuatan laut yang memadai akan kembali menaikkan martabat bangsa Indonesia di kawasan dan dunia. Pilihannya, mau atau tidak?

Kowilhan/Kowilgab/Kodahan: Mau Kemana?

All hands,
Seorang kawan belum lama ini pernah bertanya sama saya, tentang sejauh mana pembahasan konsep Kodahan? Saya cuma bisa jawab, saya kurang tahu. Terus saya balik bertanya, istilah yang dipakai itu Kodahan atau Kowilhan? Saya bertanya begitu karena ada kawan lainnya yang bilang istilahnya adalah Kowilgab.
Okelah, masalah nama tak usah terlalu diperdebatkan. Yang penting bagaimana substansinya. Yang pasti entah itu Kowilhan, Kodahan atau Kowilgab, organisasi itu merupakan regional combatant command. Regional combatant commander itu terminologi yang dipakai oleh Amerika Serikat untuk menyebut operational theater alias mandala operasi mereka.
Kalau kita berdiskusi mengenai suatu organisasi, orang bijak mengajarkan bahwa pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah apa tujuan (objective) dari organisasi itu. Dalam konteks Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, apa tujuan politiknya (political objective) dan apa tujuan militernya (military objective).
Secara teoritis, tujuan politik pembentukan Kowilgab/Kodahan/Kowilhan akan terkait dengan arsitektur pertahanan Nusantara untuk menghadapi spektrum tantangan yang kian kompleks. Sedangkan tujuan militernya adalah menyiapkan pengorganisasian satuan tempur matra Angkatan di beberapa mandala yang berbeda.
Dua tujuan tadi adalah tinjauan secara teoritis. Bagaimana praktisnya, kita harus melihat dokumen yang diterbitkan oleh Departemen Pertahan dan Mabes TNI. Pertanyaannya, sudah adakah dokumen-dokumen itu? Saya khawatir dokumen itu kalaupun ada, kerangka dasar pemikirannya masih menggunakan bingkai Perang Dingin yang sudah tidak relevan dengan masa kini.
Berikutnya, entah itu Kowilgab/Kodahan/Kowilhan pasti sentuh soal soal authority, chain of command, command and control, area of responsibility, geographical consideration, strategic context, interoperability ketiga matra TNI dan potensi pertahanan lainnya, battlespace situation dan sensing-mobility-fire power-C4ISR.
Komando dalam konteks Kowilgab/Kodahan/Kowilhan pasti terkait dengan konstruksi manajemen dan strategi pertahanan. Sebab secara garis besar, eksistensi organisasi itu terkait dengan kebijakan pertahanan yang diatur oleh pemerintah (dhi Menteri Pertahanan). Menteri Pertahanan, sesuai dengan Undang-undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, mempunyai kewenangan untuk mengatur arsitektur pertahanan.
Saat ini Indonesia telah mempunyai strategi pertahanan, lepas dari setuju atau tidak setuju dengan isu dokumennya. Dengan adanya strategi pertahanan, maka strategi pertahanan yang dirumuskan oleh Mabes TNI lebih merupakan strategi TNI yang tidak dapat mengikat pihak lain di luar TNI. Sebab strategi pertahanan adalah kewenangan Departemen Pertahanan.
Dikaitkan dengan Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, di mana nantinya letak organisasi itu dalam konteks strategi pertahanan? Strategi pertahanan yang dimaksud adalah yang mengikat dan melibatkan segenap komponen pertahanan, bukan TNI saja. Dalam konstruksi manajemen dan strategi pertahanan yang sudah baku di negara-negara lain, eksistensi organisasi serupa Kowilgab/Kodahan/Kowilhan diatur oleh Menteri Pertahanan, bukan oleh Panglima Angkatan Bersenjata atau Ketua Kepala Staf Gabungan. Kalau nantinya organisasi mandala operasi ada di bawah Mabes TNI, hal itu sebenarnya tidak tepat karena bukan kewenangan Panglima TNI untuk mengatur semua urusan pertahanan.
Karena Pangkowilgab/kodahan/kodahan adalah tangan kanan Menteri Pertahanan dalam bidang operasional, di mana Pangkowilhan tidak dapat mengerahkan dan menggunakan kekuatannya tanpa arahan dari Menteri Pertahanan. Deployment dan employment kekuatan militer harus berdasarkan kebijakan politik pemerintah, bukan otoritas Panglima militer sendiri.
Saat ini manajemen pertahanan kita belum tertata sebagaimana mestinya, di mana terkesan bahwa kebijakan operasional (TNI) seolah-olah terlepas atau terpisah dari kebijakan politik pemerintah. Hal ini dicerminkan oleh hubungan antara Menteri Pertahanan-Panglima TNI. Menteri Pertahanan sebagai pembantu Presiden di bidang pertahanan memiliki tugas membuat kebijakan pertahanan (termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan) dan kekuatan yang dibangun selanjutnya akan digunakan oleh Panglima TNI.
Namun penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh Panglima TNI tidak dipertanggungjawabkan kepada Menteri Pertahanan, melainkan langsung kepada Presiden. Di sinilah anomalinya, sehingga sangat beralasan untuk menyimpulkan bahwa kebijakan operasional (TNI) seolah-olah terlepas atau terpisah dari kebijakan politik pemerintah.
Pola demikian kalau ditinjau dari perspektif manajemen sudah pasti keliru, karena secara politik Menteri Pertahanan adalah pembantu tunggal Presiden di bidang pertahanan dan semestinya Panglima TNI bertanggungjawab kepada Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan adalah pejabat yang diangkat secara politik (political appointee), berbeda dengan jabatan Panglima TNI yang merupakan jabatan karir (walaupun ada salah kaprah harus fit and proper test di DPR).
Kalau nantinya Mabes TNI secara sepihak membentuk Kowilgab/Kodahan/Kowilhan dan menempatkannya di bawah komandonya, susah untuk tidak mengatakan bahwa Mabes TNI telah mengambil alih kewenangan dan fungsi Departemen Pertahanan. Garis Komando Kowilgab/Kodahan/Kowilhan tidak dapat begitu saja dipisahkan dari kebijakan politik pemerintah, karena masalah pertahanan bukan wewenang prerogatif Mabes TNI. Meskipun TNI adalah komponen utama pertahanan, tetapi juga harus disadari bahwa TNI hanya satu dari dari sekian unsur dalam masalah pertahanan.
Perlu kita sadari pula bahwa kewenangan Mabes TNI dalam isu Kowilgab/Kodahan/ Kowilhan hanyalah sebatas mengusulkan pembentukan Kowilhan kepada Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan yang akan memutuskan apakah akan membentuk Kowilhan atau tidak, berdasarkan berbagai pertimbangan. Apabila mengikuti tataran kewenangan dalam pertahanan, maka Kowilhan harus berada di bawah Menteri Pertahanan selaku otoritas politik di bidang pertahanan.
Berikutnya soal pertimbangan yang melatarbelakangi pembagian area of responsibility. Apa yang menjadi driving factor dalam pembagian area of responsibility? Apakah berdasarkan realita geografis di lapangan, pertimbangan lingkungan strategis ataukah berdasarkan “aspirasi politis”?
Secara geografis, Indonesia terbagi atas empat kompartemen strategis yang didasarkan pada pembagian ALKI Utara-Selatan. Dari empat kompartemen strategis tersebut, ada kompartemen strategis yang merupakan perpaduan antara wilayah daratan dan perairan, ada pula kompartemen strategis yang didominasi oleh wilayah perairan. Dari semua kompartemen strategis, setidaknya ada satu kesamaan yaitu berbatasan langsung dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Ditinjau dari perkembangan lingkungan strategis, ada kompartemen strategis yang berhadapan langsung dengan kekuatan-kekuatan regional, ada pula kompartemen strategis yang berinteraksi langsung dengan kekuatan adidaya. Soal isu keamanan yang dihadapi, ada kompartemen strategis yang menghadapi mulai dari isu kejahatan di laut, perbatasan hingga isu militer konvensional, namun terdapat juga kompartemen strategis yang (hanya) menghadapi isu perbatasan dan isu militer konvensional.
Dengan mengacu pada pertimbangan konfigurasi geografis dan perkembangan lingkungan strategis, strategi pertahanan yang akan diterapkan pada masing-masing Kowilhan akan berbeda. Perbedaan strategi itu pada tingkat operasional akan memunculkan peran suatu matra TNI yang lebih besar dibandingkan matra lainnya pada masing-masing Kowilhan yang berbeda.
Pertanyaannya, seberapa besar kondisi obyektif itu mendapat porsi dalam pembagian area of responsibility? Ataukah pertimbangan kondisi obyektif akan diskenariokan sedemikian rupa sehingga yang mengedepan adalah “pertimbangan subyektif”? Apabila berpikir dalam kerangka kepentingan nasional, pertimbangan obyektif harus lebih mewarnai dalam pembagian area of responsibility.
Kemudian soal hubungan Kowilgab/Kodahan/Kowilhan dengan Mabes TNI. Kalau nantinya Mabes TNI akan membawahi Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, berarti organisasi itu merupakan Kotama Ops Mabes TNI. Kalau hal itu terjadi, sepertinya tak terhindarkan terjadinya duplikasi dengan unsur-unsur Kotama Ops yang sudah eksis saat ini seperti Kodam, Komando Armada Kawasan dan Koopsau. Duplikasi terjadi pada area of responsibility dan chain of command yang berdampak pada penyiapan dukungan logistik.
Padahal Kodam, Komando Armada Kawasan dan Koopsau statusnya juga Kotama Ops. Dari sini tercermin bahwa ada duplikasi antar Kotama Ops dengan dibentuknya Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, di mana satu Kotama Ops membawahi Kotama Ops lainnya. Duplikasi akan terhindari apabila Kowilgab/Kodahan/Kowilhan berfungsi sebagai Kotama Ops Departemen Pertahanan dan bukan sebagai Kotama Ops Mabes TNI.
Apabila Kowilgab/Kodahan/Kowilhan dipaksakan eksistensinya di bawah Mabes TNI, ada beberapa kemungkinan arsitektur pengorganisasian Kotama Ops TNI, yaitu (i) duplikasi seperti telah disebutkan sebelumnya, atau (ii) Kotama Ops yang ada saat ini harus direorganisasi atau dilikuidasi.
Masalah berikutnya dalam pengorganisasian yang hendaknya mendapat perhatian adalah menyangkut konsep operasi (strategi). Konsep operasi seperti apa yang nantinya akan digelar oleh Kowilgab/Kodahan/Kowilhan. Dan seberapa besar akan mengakomodasikan porsi pada kampanye peperangan laut. Besar kecilnya porsi kampanye peperangan laut sedikit banyak akan menentukan pula porsi AL di dalamnya, selain tentunya masalah pembagian area of responsibility.

16 Mei 2008

Defensif Aktif: Konsep Tanpa Dasar Ilmiah!!!

All hands,
Kata postur bukan sesuatu yang aneh dan baru di telinga kita yang sehari-hari bergelut dalam domain pertahanan dan militer, termasuk AL. Kalau ditanya apa itu postur, mayoritas dari kita akan jawab postur terdiri dari kuat, puan dan gelar. Yah, tidak ada yang salah dengan jawaban itu karena memang itulah adanya. Kuat, puan dan gelar.
Namun pahamkah kita bahwa ada sesuatu yang lebih besar, atau bisa juga disebut lebih filosofis, tentang postur. Yaitu postur merupakan sikap politik suatu negara bangsa untuk merespon ancaman atau tantangan terhadap kepentingan nasionalnya. Yah…postur adalah sikap politik. Atau meminjam istilah Laksda Suwarso (alm), postur adalah sikap mental bangsa.
Sikap mental yang bagaimana? Jawabannya sederhana, ofensif atau defensif? Maksudnya, postur yang dikembangkan itu untuk tujuan ofensif atau defensif? Sejauh ini dalam beberapa literatur yang pernah saya baca soal postur, pilihannya cuma dua, ofensif atau defensif. Tidak ada pilihan ketiga yang di tengah-tengah yang biasanya sangat disukai dan digemari oleh Indonesia.
Singkatnya, postur DEFENSIF AKTIF yang dulu (dan mungkin sampai sekarang) dibangga-banggakan oleh Indonesia itu omong kosong. Tidak ada dasar ilmiahnya!!! Lagi pula apa sih defensif aktif? Ujung-ujungnya kan menyerang musuh juga sebelum dia serang kita.
Teorinya kan begitu!!! Soal available means alias alutsista yang tersedia, urusan belakangan. Kembali ke defensif aktif, itu kan cuma bahasa dewa aja agar Indonesia tidak dicap negara ofensif. Padahal pilihan cuma ada dua, ofensif atau defensif. Karena kita takut dicap negara yang tidak santun, dibikinlah konsep tanpa dasar itu yaitu defensif aktif.
Dalam kondisi kini, pilihan postur kita cuma dua, ofensif atau defensif??? Mau serang duluan atau tunggu musuh masuk dulu baru bergerilya??? Itu pun yang bergerilya kan cuma para pecinta konsep gerilya. Bergerilya di tengah hutan, padahal hutannya entah kemana sekarang. Udah habis dibabat semua.
Daripada bergerilya, saya lebih suka pilih bangun AL. Dengan adanya AL, setidaknya kita bisa cegah musuh di laut. Dan sekaligus bisa proyeksi kekuatan ke wilayah agresor. Kuncinya tinggal pemerintah, mau apa nggak proyeksi kekuatan? Mau apa nggak bangun AL?

15 Mei 2008

Bebas dan Aktif Pesiar Keliling Dunia Habiskan APBN

All hands,
Beberapa waktu lalu, seorang rekan yang sehari-harinya tidak bergelut di domain AL mengajukan sebuah pertanyaan kepada saya. Pertanyaannya sederhana, yaitu “jadi nggak sih Indonesia beli kapal selam?”. Pertanyaan itu bagi saya seolah mewakili pertanyaan kalangan lainnya di luar domain kita menyangkut “keseriusan” pengadaan kapal selam.
Wajar bila mereka mempertanyakan, karena sejak 2005 telah muncul wacana pengadaan kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Wacana itu semakin menguat ketika pada September 2006 Presiden Indonesia dan Presiden Rusia menandatangani kesepakatan kerjasama di bidang pertahanan, termasuk di dalamnya kredit negara sebesar US$ 1 milyar bagi pengadaan sejumlah alutsista dari Rusia untuk Indonesia. Termasuk pula di dalamnya beberapa kapal selam kelas Kilo.
Namun realisasi kesepakatan itu tidak gampang. Selain adanya persoalan teknis keuangan menyangkut pencairan kredit antara Departemen Keuangan kedua negara, tekanan politik dari Washington juga cukup kuat. Terjadinya pergantian pimpinan AL pada November 2007 secara tidak langsung turut membuat rencana pengadaan kelas Kilo meredup. Dan muncul wacana pengadaan kapal selam kelas Chang Bogo asal Korea Selatan, yang merupakan lisensi dari kelas U-209.
Munculnya Chang Bogo sebenarnya tidak mengejutkan, karena pernah muncul di era 2003-2004. Tentu ada kalkulasi politik mengapa Chang Bogo dimunculkan kembali, karena pasar senjata dunia tidak bisa dilepaskan dari pertarungan kepentingan negara-negara besar. Sementara Indonesia posisinya terjepit, meskipun sangat bangga dengan politik bebas aktifnya.
Sehingga menjadi pertanyaan, politik bebas aktif itu diabdikan untuk siapa? Untuk kepentingan dan prestise segelintir diplomat di Pejambon atau untuk kepentingan nasional, termasuk di dalamnya kepentingan pertahanan?
So…masalah tarik ulur pengadaan kapal selam lebih disebabkan oleh faktor politik daripada urusan pendanaan. Kalau soal dana, anggaran…itu gampang. Anggaran bisa diciptakan kok!!! Tapi kalau sudah menyentuh urusan politik, repot!!! Maklum, kita bukan bangsa berdikari lagi.
Sudah tak berdikari, masih pula bangga dengan bebas aktif. Bebas dan aktif itu harus ditunjang oleh berdikari. Kalau tidak, yang bebas dan aktif itu para diplomat Pejambon…pesiar keliling dunia habiskan APBN…tapi hasilnya buat kepentingan nasional nggak jelas!!!
Meskipun saya bukan termasuk kelompok bebas dan aktif pesiar keliling dunia habiskan APBN, tapi setidaknya saya sangat paham bahwa dalam pengadaan alutsista, ada banyak faktor yang mempengaruhi. Liotta dan Lloyd bilang bahwa masalah bangkuat terkait dengan (i) teknologi, (ii) sekutu, (iii) negara sahabat, (iv) lembaga internasional dan (v) aktor-aktor non negara.
Pertanyaannya, punyakah kita teknologi alutsista? Teknologi yang dimaksud adalah teknologi tinggi, bukan teknologi buat SS-1, SS-2 atau mortir. Kalau nggak punya, kita harus minta tolong siapa? Adakah sekutu kita? Negara mana yang dikategorikan sekutu oleh Indonesia? Atau Indonesia sekutu negara mana? Mana pula negara kawan Indonesia? Apakah negara yang membajak lagu-lagu tradisional Indonesia itu negara kawan? Apakah negara yang melindungi koruptor Indonesia itu negara kawan?
Kalau kita tak punya sekutu maupun kawan, lalu bagaimana? Terus politik bebas aktif itu sebenarnya diabdikan untuk siapa selama ini? Apa gunanya politik itu kalau tak bisa bantu pembangunan kekuatan kita, termasuk AL? Apakah kita akan terus begini demi prestise segelintir kalangan yang kerjanya cuma pesiar keliling dunia habiskan APBN? Ingat, eksistensi kita di laut parameternya adalah naval presence.

14 Mei 2008

Paranoid Forever?

All hands,
Kunjungan Panglima U.S. 7th Flt ke Jakarta 12-14 Mei 2008 lalu menunjukkan sinyal bahwa mereka butuh kita. Bukan kita saja yang butuh mereka. Tapi kenapa yah, di tingkat pengambil keputusan politik negeri ini masih terlalu sangat berhati-hati sama Amerika Serikat? Pengalaman pahit di masa lalu memang harus dijadikan pelajaran, tapi jangan bikin kita jadi paranoid. Apa-apa yang berbau Amerika Serikat kita tolak, bahkan dari awal kita sudah apriori duluan!!!
Contoh yang nyata adalah kegiatan latihan seperti CARAT dan SEACAT. Kok gimana bisa yah seolah-olah CARAT dan SEACAT itu identik dengan PSI? Apakah keterampilan kayak VBSS maupun latihan formasi kapal perang kegunaannya cuma buat PSI? Kalau rekan-rekan Kopaska atau Denjaka mau lumpuhkan perompak misalnya, apa tak perlu keterampilan VBSS?
Kalau kondisinya begini terus, saya khawatir kerjasama Navy to Navy dengan Amerika Serikat kegiatannya itu-itu aja. Nggak jauh-jauh dari CARAT, SEACAT, WPNS. Plus IMSS yang merupakan program dalam tahun tertentu. Padahal masih banyak lahan yang bisa digarap untuk keuntungan Indonesia jika kita mau keluar dari ”kurungan” itu.
Kalau kita mau bijak, mestinya para pengambil keputusan politik hitung dulu untung rugi kerjasama militer dengan Washington, sebelum bersikap paranoid. Jangan sampai sikap paranoid para pengambil keputusan politik berimplikasi timbulnya kerugian pada aspek profesionalisme AL kita. Kesan yang ada saat ini begitu.
Kalau Washington nggak butuh kita, ngapain dia kirim kapal perang 7th Flt beserta Panglimanya ke sini? Frekuensi kunjungan pejabat militer Amerika Serikat, khususnya dari AL, cukup tinggi dalam tiga tahun terakhir. Artinya mereka ingin menjalin kerjasama lebih erat dengan kita, khususnya dalam domain keamanan maritim. Itu pesannya.
Hal itu seharusnya dilihat sebagai peluang bagi Indonesia. Namun sangat disayangkan, dalam realitanya para pengambil keputusan politik kita sebagian masih paranoid dengan Washington. Nggak aneh bila Pejambon protes ketika kita gelar latihan kayak Iron Flash, CARAT, SEACAT. Latihan kok nggak boleh yah hanya gara-gara para pemrotes tak suka PSI???!!!
Pertanyaannya kini, apa keuntungan yang dapat kita ambil dari kunjungan Panglima U.S. 7th Flt kemarin? Jangan sampai kita tak bisa ambil keuntungan sedikit pun gara-gara paranoia pengambil keputusan politik. Sudah anggaran dipotong, paranoid pula sama Washington….!!! Terus gimana dan kapan kita bisa profesional?

13 Mei 2008

Transformasi Angkatan Laut

All hands,
Buat sebagian dari kita, transformasi AL (naval transformation) mungkin merupakan hal baru dan juga bahkan istilah baru. Transformasi AL yang kini sudah dilakukan oleh banyak AL di dunia merupakan dividen dari berakhirnya Perang Dingin. Lingkungan strategis yang berubah menuntut AL untuk menyesuaikan diri, termasuk dalam bidang operasi. Terlebih lagi ketika revolution in military affairs (RMA) yang digagas pada awal 1980-an oleh militer Uni Soviet dan diadopsi oleh militer Amerika Serikat, makin mendapat tempat untuk diterapkan pasca Perang Dingin.
Sepanjang pengetahuan saya saya, tidak ada definisi tunggal mengenai apa yang dimaksud transformasi AL. Saya sendiri memahami transformasi AL sebagai penerapan RMA di dalam organisasi Angkatan Laut, yang berimplikasi pada banyak hal di dalam AL itu sendiri. Sebab RMA mempengaruhi baik doktrin, operasi dan organisasi.
Apa itu RMA? Banyak pihak mendeskripsikan RMA sebagai perubahan discontinuous atau disruptive dalam konsep dan moda peperangan. Dikatakan discontinuous atau disruptive karena karakter dan pelaksanaan perang tidak berjalan sebagaimana seharusnya (evolutif) dengan ditemukannya teknologi baru yang kemudian diaplikasikan pada penciptaan sistem senjata baru yang daya rusak dan daya jangkau lebih besar, lebih jauh dan lebih akurat (revolutif).
RMA telah dimulai sejak abad ke-15, di mana pelaksanaan perang telah delapan kali bertransformasi, enam di antaranya terjadi dalam 200 tahun terakhir. Yaitu revolusi Napoleon; revolusi kereta api, senapan dan telegraf; revolusi kapal perang Dreadnought/kapal selam; peperangan lapis baja/superioritas udara; kekuatan udara AL; dan revolusi nuklir.
Penerapan RMA dalam organisasi pertahanan dan militer mendorong terjadinya transformasi pertahanan. Soal terminologi RMA dan transformasi pertahanan, memang masih menjadi silang sengketa di antara pihak-pihak tentang penggunaan kedua terminologi itu. Ada pihak yang berpandangan bahwa transformasi pertahanan adalah nama lain dari RMA, sementara ada pula pendapat bahwa transformasi pertahanan adalah proses pengimplementasian RMA. Saya sendiri memahami RMA adalah bagian tak terpisahkan dari transformasi pertahanan, di mana transformasi pertahanan tujuan akhirnya adalah menciptakan kekuatan pertahanan dan militer yang mampu mengamankan kepentingan nasional.
Ada lima karakteristik kekuatan pertahanan dan militer yang telah mengalami transformasi, yaitu (i) C4ISR, senjata dan platform yang terkoneksi dalam jaringan, (ii) shared situational awareness, (iii) more accurate and standoff engagement, (iv) ketangkasan, kecepatan, kemampuan pengerahan yang cepat dan fleksibilitas, dan (v) jointness and interoperability.
RMA punya kaitan dengan teknologi informasi, karena adanya teknologi informasi-lah yang memunculkan RMA seperti yang ada saat ini. Sehingga lahirlah salah satu anak dari RMA yaitu network-centric warfare. Penerapan RMA yang berbasis teknologi informasi pada akhirnya akan menyentuh aspek doktrin, operasi dan organisasi pertahanan dan militer.
Begitu pula yang terjadi pada banyak AL di dunia, di mana transformasi pertahanan melalui penerapan RMA pada akhirnya mendorong terjadinya transformasi AL. Transformasi AL yang terjadi mencakup aspek doktrin, operasi dan organisasi.
Transformasi U.S Navy ditandai dengan perubahan doktrin dari Forward… from The Sea menjadi Seapower 21. Komponen utama Seapower 21 adalah sea strike, sea shield dan sea basing yang disatukan oleh network-centric melalui ForceNet, yaitu jaringan komputer terintegrasi yang menghubungkan semua pendirat dan armada AL. Doktrin Seapower 21 memfokuskan operasi pada littoral warfare, karena naval warfare akan (lebih banyak) terjadi di littoral daripada di tengah laut seperti pada masa lalu (ingat perubahan filosofi dari what we can at sea menjadi what we can do from sea to shore/littoral). Doktrin itu kemudian dituangkan ke dalam aspek operasional yaitu Naval Operation Concept.
Transformasi diikuti dengan perubahan organisasi, misalnya pembentukan U.S. Navy Expeditionary Combat Command. Pembentukan komando itu tidak lepas konteks strategis saat ini yang menempatkan kekuatan maritim, khususnya AL, pada peran yang kritis. Sebagai kekuatan militer yang dapat beroperasi mandiri dan dalam jangka waktu lama meskipun jauh dari pangkalan induk dan atau negara induk, kekuatan AL senantiasa menjadi pilihan utama dan pertama bagi banyak negara untuk merespon instabilitas keamanan global dan regional.
Selain Amerika Serikat, Bundesmarine alias AL Jerman adalah contoh lain dari AL yang telah melakukan transformasi menjadi kekuatan ekspedisionari. Transformasi Bundesmarine tidak lepas dari perubahan lingkungan strategis, yang mana pada era Perang Dingin tugas utamanya adalah menghadapi kekuatan Pakta Warsawa di Laut Baltik, kini berubah menjadi kekuatan ekspedisionari untuk mendukung misi NATO. Bundesmarine saat ini menjadi salah satu unsur dalam UNIFIL MTF di Lebanon pasca Perang Hizbullah-Israel pada bulan Juli-Agustus 2006.
Perlu diketahui bahwa transformasi AL di negara-negara itu mempengaruhi sampai pada jenis kapal perang yang dibutuhkan. U.S. Navy misalnya, ciptakan LCS. Bundesmarine buat kapal kelas korvet kelas Braunschweig (yang kemampuannya sekelas fregat, cuma namanya saja korvet).
Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa transformasi AL mempengaruhi pula aspek operasi, di mana naval expeditionary operations kembali ditekuni dan dilaksanakan lebih sering dibandingkan sebelumnya. Pilihan mengapa AL senantiasa menjadi pilihan pertama dalam operasi ekspedisionari tidak lepas dari kemampuan kekuatan maritim untuk melakukan naval presence. Hampir tidak ada contoh di mana dalam merespon perkembangan situasi krisis di suatu kawasan dunia, negara-negara lain mengirimkan kekuatan selain kekuatan maritim ke wilayah krisis. Dengan makin kritisnya peran kekuatan maritim dalam menangani berbagai instabilitas dunia, tidak heran bila saat ini negara-negara maju mencitrakan kekuatan lautnya dengan slogan seapower is a force for good.
Dalam perkembangan strategi maritim di Barat, aliran yang berkembang mengedepankan penggunaan kekuatan laut masa kini untuk mempromosikan keamanan dan kesejahteraan di seluruh dunia. Pemikiran demikian sebenarnya hanya varian dari pemikiran klasik strategi maritim, karena penggunaan kekuatan laut suatu negara pada dasarnya bertujuan untuk mengamankan kepentingan nasional. Hanya saja dalam era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini, tujuan tersebut harus dikemas sebagus, secantik dan sehumanis mungkin guna mengurangi sikap resistensi dari pihak-pihak lain.
Slogan tersebut mempunyai dua sisi, yaitu pada satu sisi tidak dapat diingkari adanya kepentingan politik dan ekonomi negara-negara maju sebagai faktor penggerak di balik operasi ekspedisionari AL. Karena bagaimana pun AL adalah salah satu instrumen kekuatan nasional yang dapat disebar ke mana saja setiap saat tanpa harus khawatir akan timbulnya implikasi diplomatik. Namun di sisi lain, hendaknya dipahami pula bahwa operasi bantuan bencana alam seperti yang dilaksanakan oleh U.S. Navy di Aceh juga termasuk dalam operasi ekspedisionari Angkatan Laut, sehingga dalam batas tertentu slogan seapower is a force for good memang ada benarnya.
Meningkatnya frekuensi operasi ekspedisionari AL membuat beberapa negara melakukan penyesuaian pada strategi maritimnya, khususnya tentang kemampuan operasi. Bila di masa lalu core capabilities AL meliputi naval presence, sea control, sea denial dan power projection, kini ditambah dengan maritime security dan humanitarian assistance and disaster relief. Contohnya adalah Amerika Serikat, yang merancang core capabilities kekuatan maritimnya meliputi forward presence, deterrence, sea control, power projection, maritime security dan humanitarian assistance and disaster relief.
Pertanyaannya, bagaimana dengan di Indonesia? Transformasi pertahanan di negeri tercinta ini sepertinya masih merupakan hal baru dan seringkali dicampur adukkan dengan reformasi pertahanan. Padahal proses dan keluaran keduanya sama sekali berbeda, yang mana cakupan reformasi pertahanan terbatas pada isu demokrasi, sementara transformasi pertahanan cakupannya mulai dari tataran kebijakan pertahanan hingga tingkat taktis dan teknis operasional militer. Transformasi pertahanan tak mempunyai hubungan langsung dengan sistem politik, karena transformasi dapat dilaksanakan di negara-negara yang tidak demokratis, seperti Cina dan Singapura.
Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, transformasi AL dapat dimulai dari aspek sumber daya manusia. Kebijakan pengadaan sejumlah alutsista yang mengusung teknologi lebih maju dan modern dibandingkan alutsista sebelumnya dapat menjadi embrio awal transformasi AL. Pengadaan tersebut secara tidak langsung dapat mendorong AL kita untuk mulai meninjau kembali doktrin, operasi dan organisasi yang telah sebelumnya, karena filosofi alutsista tersebut berbeda dengan alutsista era sebelumnya. Alutsista yang akan mengisi order of battle AL kita ke depan sebagian di antaranya berciri-ciri (i) pengawakan makin sedikit (fewer crew), (ii) otomasi meningkat, (iii) rancang bangunnya untuk era network-centric warfare.
Masuknya alutsista baru, apalagi bila berasal dari negara-negara yang berbeda secara teknologi dan filosofi militer, menuntut kreativitas dari personel AL kita untuk memadukannya pada aspek operasional sehingga terjadi interoperability. Bukan tidak mungkin masuknya alutsista baru menuntut perubahan doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur, karena semua itu sifatnya dapat berubah. Apabila doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur terus dipertahankan secara kaku (text-book) tanpa memperhatikan perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin hal itu justru akan menjadi blunder di lapangan.
Oleh sebab itu, menurut saya, sumber daya manusia yang inovatif dan mampu mengikuti perkembangan teknologi militer sekaligus memahami aspek operasional AL sangat dibutuhkan. Karena dengan demikian, diharapkan doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur akan tidak ketinggalan oleh kemajuan teknologi militer yang begitu cepat. Sebagai contoh adalah masuknya unsur helikopter dalam operasi amfibi pada U.S Marines Corps, yang berujung pada lahirnya taktik Ship-to-Objective Maneuver (STOM), sehingga operasi amfibi masa kini tidak harus selalu merebut tumpuan pantai sebelum bermanuver lebih jauh ke daratan.
Saat ini AL di sekitar kita seperti TLDM dan RSN terus melaksanakan transformasi sesuai dengan roadmap mereka? Keluaran dari transformasi itu adalah mereka makin kuat dan makin berani melecehkan kita di laut. So...transformasi AL merupakan sebuah arus jaman yang hendaknya kita ikuti, agar dapat menjadi kekuatan yang mempunyai deterrence dan daya pukul serta diperhitungkan di kawasan Asia Pasifik. Kata kunci transformasi AL adalah kemauan untuk mengubah paradigma dalam memandang jalannya peperangan laut ke depan yang sudah bergeser ke littoral warfare.

12 Mei 2008

It’ s Time For Specialization

All hands,
Dalam 30 tahun terakhir, kita sama-sama mengetahui dan menyaksikan bahwa kemampuan kapal perang masa kini dan mendatang kian terspesialisasi. Dengan kata lain, fungsi asasi kapal perang makin mengerucut. Semakin sulit menemukan suatu jenis kapal perang, khususnya kapal atas air yang mempunyai segala kemampuan untuk ancaman tiga dimensi. Seperti diketahui, secara tradisional ancaman tiga dimensi yang dihadapi oleh kapal atas air terdiri dari ancaman permukaan, bawah air dan serangan udara.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sekutunya telah merancang jenis atau kelas kapal dengan penekanan pada satu kemampuan utama/satu fungsi asasi. Bukan berarti dua kemampuan lain diabaikan, namun ”diserahkan” pada kapal jenis atau kelas lainnya. Sebab dalam operasi, setiap kapal yang kemampuan dan fungsi asasinya berbeda-beda akan membentuk unsur gugus tugas dan setiap unsur itu akan mempunyai job description masing-masing. Artinya, dalam gugus tugas ada kapal anti kapal selam, kapal anti serangan udara dan kapal anti kapal permukaan.
Pengadaan kapal air warfare destroyer kelas Hobart oleh Royal Australian Navy dapat kita jadikan contoh. Proyek yang dikenal sebagai SEA 400 itu nantinya akan memberikan RAN pada 2014 ke atas, kemampuan anti serangan udara yang lebih modern dari saat ini dan sekaligus melepaskan ketergantungan armadanya dari payung udara RAAF. RAAF saat ini mempunyai keterbatasan untuk memberikan full air cover terhadap armada RAN, karena pesawat F-111 Aadvark andalannya akan segera pensiun dalam beberapa tahun ke depan.
Penggantinya yaitu F-18D Hornet dan JSF sepertinya tidak akan sepenuhnya didedikasikan untuk menjadi payung udara RAN, khususnya bila beroperasi jauh di luar wilayah Australia. Terlebih lagi beberapa negara di sekitar Australia hingga beberapa tahun ke depan akan dilengkapi dengan pesawat tempur modern Rusia, khususnya Su-27/30.
20 tahun sebelum Australia mengadakan AWD, Koninklijke Marine alias AL Belanda sudah punya air defense frigate kelas Van Tromp. Sekarang Van Tromp sudah pensiun dan ada yang dijual ke Belgia. Van Tromp masuk ke armada KM ketika mereka lepas Van Speijk ke Indonesia.
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa secara teknis, keinginan untuk menempatkan semua kemampuan pada sebuah kelas kapal perang memerlukan platform yang besar. Inilah yang menjadi kendala bagi negara-negara berkembang yang anggaran pertahanannya terbatas. Bahkan pada AL negara-negara maju pun, meskipun platform kapal atas air mereka rata-rata tonasenya di atas 2.500 ton, justru kemampuan utama yang ditanam cuma satu. Entah itu anti permukaan, bawah air maupun serangan udara. Pilihannya tinggal pada kalkulasi kebutuhan operasional.
Pertanyaannya, bagaimana dengan kita? Sebenarnya pada kapal-kapal tipe FPB, kita sudah lama melaksanakannya. Ada FPB yang spesialisasi KCT, ada yang KCR. Itu sudah bagus. Namun untuk kapal dengan jenis yang lebih besar dari FPB, kita sepertinya masih ”bingung”. Memang sudah ada pemahaman soal spesialisasi dan fungsi asasi untuk jenis kapal yang lebih besar, namun dalam praktek sepertinya kita susah menentukan spesialisasi.
Sebagai contoh, korvet Sigma itu spesialisasinya kapal apa sebenarnya? Anti permukaan? AKS? Atau anti serangan udara? Yang lebih mudah diidentifikasi mungkin kelas FTH, mengingat kaliber meriamnya 114 mm, dapat dipastikan kapal itu lebih ditekankan pada anti kapal permukaan plus BTK. Memang kapal itu juga dilengkapi radar hanud, sehingga kemampuannya untuk hanud relatif dapat diandalkan. Kalau kelas Van Speijk, dugaan saya fungsi asasi kapal itu AKS. Soalnya di kapal itu selalu onboard heli AKS Wasp dan heli itu sampai saat ini merupakan satu-satunya heli AKS yang pernah dipunyai oleh AL kita.
Kalau masalahnya adalah kesulitan menentukan spesialisasi pada tiap jenis dan kelas kapal, salah satu solusi yang mungkin adalah adanya tiap kemampuan pada setiap kelas kapal yang kita beli. Hal ini hanya berlaku untuk kelas korvet ke atas, bukan korvet ke bawah. Konsekuensi sederhananya, untuk satu jenis kapal minimum kita harus adakan enam buah. Karena untuk satu kemampuan dalam kelas yang sama, kita harus punya dua kapal. Dengan tiga kemampuan, minimal kita butuh enam kapal.
Ini perhitungan sederhana, daripada kita harus beli kapal dengan jenis berbeda untuk kelas berbeda. Lebih baik satu kelas dengan kemampuan berbeda. Soal kelas, tergantung kebutuhan operasional. Kalau mau dipakai di Laut Natuna, Laut Aru, Laut Sulawesi, Samudera India, mungkin lebih tepat kelas fregat. Sebab kalkulasi kebutuhan operasional seringkali harus kita kompromikan dengan ketersediaan anggaran pengadaan.
Kalau kita berdiskusi lebih dalam, tanpa mengenyampingkan kebutuhan kapal anti permukaan dan AKS, seperti kapal anti serangan udara belum mendapat perhatian besar dari kita. Dibandingkan dengan dua kemampuan lain, mungkin kemampuan anti serangan udara kita paling terbawah. Sulit buat kita untuk mengandalkan rudal hanud kapal yang jarak jangkaunya pendek. Sulit pula untuk mengandalkan payung udara AU, karena pesawat tempur mereka sedikit dan belum ada ”jiwa” yang sama soal itu.
Maksudnya, secara kultural operasi gabungan AL-AU belum mendarah daging di kedua angkatan. Memang selama ini kita sering menggelar latihan gabungan dengan AU, namun itu sepertinya belum cukup untuk menjadi ”sejiwa”. Kita memang butuh payung udara dari AU, sayangnya kita belum ”sejiwa” dalam arti sesungguhnya. Maklum, AU kan terkesan tidak mau sekadar jadi unsur pendukung. Sementara dalam operasi maritim, salah satu peran yang harus dimainkan oleh AU adalah sebagai unsur pendukung, antara lain melindungi konvoi AL. So...ada baiknya bila kita mulai memikirkan perlu tidaknya mempunyai air warfare frigate.

09 Mei 2008

Ilusi Saudara Serumpun

All hands,
Sejak 2004 kerjasama segitiga AL antara Indonesia, Malaysia dan Singapura mengalami peningkatan seiring digelarnya Patkor Malsindo. Tidak dapat dipungkiri bahwa Patkor Malsindo mampu mengurangi secara tajam angka perompakan dan pembajakan di Selat Malaka. Sekaligus bagi Indonesia, memulihkan citranya di dunia internasional dalam bidang keamanan maritim.
Namun sadarkah kita, bahwa kerjasama kita dengan dua AL lain itu memiliki sisi lain yang kita rasakan dan kita alami sehari-hari (terlebih lagi bagi rekan-rekan yang dinas di kapal). Yaitu masih ada masalah yang mengganjal dalam hubungan dengan kedua negara. Bukan tidak mungkin, ganjalan itu ke depan akan muncul jadi “riak” di kawasan, walaupun mungkin tidak akan bereskalasi menjadi konflik militer secara luas.
Ketika rekan-rekan kita di Selat Malaka dan Selat Singapura berpatroli dengan kedua AL, di Laut Sulawesi (Blok Ambalat), rekan-rekan kita yang lain “berhadap-hadapan” dengan armada TLDM. Ketika rekan-rekan kita berlatih bersama dengan Singapura, ada rekan-rekan kita lainnya yang berpatroli di perbatasan untuk cegah penyelundupan pasir, BBM, cegah latihan ilegal di Laut Natuna.
Singkatnya, hal itu semua kontradiktif sekaligus semu. Di satu sisi, kita jabat tangan, bahkan rangkul-rangkulan dengan mereka. Kita duduk satu meja, makan bersama, bercanda bersama. Namun pada waktu yang sama di sisi lain, kita berhadap-hadapan dengan mereka dalam kondisi ”bermusuhan”.
Sebagai warga kawasan Asia Tenggara, kita punya kepentingan bersama, di antaranya soal keamanan maritim. Namun di sisi lain sebagai warga bangsa masing-masing, kita juga punya kepentingan nasional yang tergolong vital dan tidak bisa ditawar-tawar.
Pesan yang ingin disampaikan di sini, kerjasama antar AL ketiga negara belum dibangun di atas dasar fondasi ketulusan (sincerity). Kenapa demikian? Kita punya latar belakang sejarah yang pengaruhi kerjasama dengan kedua negara. Kedua negara pernah menjadi musuh kita dalam tahun 1960-an ketika Konfrontasi dilancarkan. Rasa sakit hati, dendam mereka terhadap kita dapat dilihat dari kekerasan hati mereka menggantung dua anggota KKO walau pemimpin nasional kita saat itu sudah mintakan pengampunan dari sejawatnya di Singapura.
Mengapa kedua KKO digantung? Mereka ingin menunjukkan rasa takutnya terhadap kelihaian anggota KKO untuk menyusup ke wilayah mereka. Bagi mereka aksi penyusupan itu tak terampuni, sehingga harus digantung. Sebenarnya mereka takut dengan kita dan sampai sekarang pun mereka masih takut. Ketakutan mereka bukan karena alutsista kita, tapi lebih pada personil kita.
Oleh karena itu, merupakan hal yang bagus ketika salah satu bagian Latgab TNI 2008 adalah latihan pasukan khusus di Batam. Itu pesan politik yang sangat kuat buat Singapura. Dan pasti mereka akan cermati latihan itu. Apalagi sekarang perwira AL yang ditunjuk pimpin Lanal Batam berasal dari pasukan khusus. Sudah seharusnya begitu.
Sampai sekarang, rasa sakit hati, dendam, masih ada di hati mereka. Tak aneh bila mereka selalu berupaya lecehkan kita, termasuk juga di laut. Alangkah naifnya bila kita terbuai dengan pendekatan mereka yang manis kepada kita.
Kerjasama dengan dua negara tetangga itu memang kita butuhkan. Namun sebaiknya kita memahami kondisi psikologis yang pengaruhi hubungan dengan kedua negara. Hanya dengan demikian kita akan sadar di mana posisi kita dan tak terbuai dengan kata-kata seperti saudara serumpun, jiran, sahabat dan lain sebagainya. Ingat, nggak ada saudara serumpun dalam kepentingan nasional!!!

08 Mei 2008

Senja Kala Bakorkamla

All hands,
Dalam beberapa waktu terakhir, saya mendapat informasi yang sama dari beberapa pihak bahwa pasca pengesahan RUU Pelayaran menjadi UU, Bakorkamla akan segera memasuki masa baru, yaitu senja kala alias dibubarkan. Kabarnya, pembubaran Bakorkamla tak lepas dari akan berdirinya Indonesian Coast Guard sebagaimana diatur dalam Bab XVII Pasal 264-268. Informasi lain yang saya dapat, seorang pejabat tinggi yang urus masalah organisasi pemerintahan di republik ini, yang juga warga Trunojoyo itu sudah sepakat akan pembentukan Coast Guard sesuai amanat UU Pelayaran. Memang ada kekhawatiran dari sebagian kita selama ini bahwa sang pejabat akan berupaya menghalangi berdirinya Coast Guard karena dianggap akan merugikan ambisi Trunojoyo untuk menjadi kekuatan maritim. Moga-moga kekhawatiran demikian tidak terbukti.
Sudah sepantasnya memang lembaga itu dibubarkan. Menurut pendapat saya, pendirian lembaga itu tidak lepas dari “penerusan” kebijakan lama yang belum tercapai dari seorang pejabat penting negeri ini ketika dia menduduki suatu jabatan. Ketika sang pejabat posisinya sudah lebih tinggi, pekerjaan rumah yang dulu sempat terbengkalai “dibereskan” kembali. Kebetulan saya mengikuti kegiatan pembentukan Bakorkamla yang sekarang, karena posisi saya saat itu di suatu tempat yang godok Bakorkamla. Namun itu tidak berarti saya dari awal setuju Bakorkamla, justru tidak setuju!!!
Pembubaran Bakorkamla, bila itu jadi, harus diikuti oleh penataan ulang manajemen keamanan maritim Indonesia. Karena masih ada 10 instansi darat lain yang ikut cawe-cawe di laut, di samping dua instansi yang memang fungsi dan habitatnya di laut (AL dan Dephub). Sepak terjang mereka (10 instansi itu) di laut harus dibatasi!!! Itu pekerjaan rumah yang tak boleh dilupakan.
Menyimak UU Pelayaran khususnya pasal-pasal tentang Coast Guard, saya yakin sekali bahwa pembentukan Coast Guard akan dilaksanakan melalui revitalisasi KPLP (dan Ditjen Hubla). Dan sepertinya Coast Guard nantinya akan mengambil sebagian fungsi dari beberapa Direktorat di Ditjen Hubla, seperti Dit Navigasi dan Dit Kepelautan. Setelah direvitalisasi, Coast Guard statusnya akan dinaikkan menjadi Badan atau sejenisnya. Jadi pimpinannya eselon I atau setara Laksda di AL.
Konon kabarnya Komandan pertamanya dirancang dari AL. Saya setuju soal itu, karena jangan sampai Coast Guard dibina oleh Trunojoyo. Nggak ada sejarah maupun preseden bahwa Coast Guard itu dibina oleh mereka. Dari jaman kolonial Belanda, Coast Guard atau Djawatan Pelayaran waktu itu dibina oleh AL. Masa di era reformasi dibina oleh Trunojoyo yang subyek hukumnya adalah orang, sementara Coast Guard subyek hukumnya adalah bendera kapal.
So...mari kita lihat perkembangan selanjutnya. Bakorkamla memang harus bubar, saya setuju sekali!!! Gantikan dengan Coast Guard dengan kewenangan yang luas!!!

07 Mei 2008

MDA, Teknologi dan Birokrasi

All hands,
Salah satu kritik yang dilontarkan atas “A Cooperative Maritime Strategy for 21st Century” yang diterbitkan bersama oleh U.S. Navy, U.S. Marine Corps dan U.S. Coast Guard adalah kurangnya sentuhan strategi itu terhadap armada niaga (commercial shipping). Sebagian stakeholder armada niaga dunia merasa bahwa strategi itu cuma menempatkan mereka sebagai subyek dari keamanan maritim. Stakeholder ingin diberikan ruang untuk berperan aktif dalam strategi keamanan maritim sesuai dengan bidang mereka. Karena terjaminnya keamanan maritim akan berkontribusi terhadap eksistensi usaha mereka di dunia, selain tentunya secara tidak langsung menjamin irama globalisasi. Seperti kata Sam J. Tangredi, “globalization begins at sea”.
Kritik itu muncul karena pada sisi lain, U.S. Navy sejak beberapa tahun terakhir gencar mengkampanyekan maritime domain awareness (MDA). Kesuksesan MDA membutuhkan partisipasi aktif semua stakeholder maritim, baik pemerintah, AL, Coast Guard, pengelola pelabuhan, perusahan pelayaran dan lain sebagainya. Sebagai implementasi dari MDA, U.S. Navy bekerja sama dengan perusahaan besar seperti Maersk Line telah memasang beberapa peralatan automatic identification systems (AIS) untuk melacak posisi kapal ketika berlayar. Sementara dengan Inggris, Maersk bekerja sama memasang alat serupa untuk to keep track kapal-kapal milik Maersk yang memuat peralatan militer negeri itu.
Dari kasus tersebut, benang merahnya pertama adalah, terciptanya keamanan maritim membutuhkan kontribusi semua pihak, baik pemerintah, militer, pelaku usaha dan lain sebagainya. Benang merah kedua, ada hubungan yang jelas dan saling membutuhkan serta konvergensi antara AL dengan perusahaan pelayaran dalam rangka menjamin kepentingan nasional setiap bangsa. Pertanyaannya, bagaimana dalam prakteknya di Indonesia saat ini?
Dibandingkan dengan negara-negara lain, peran pelaku usaha pelayaran dalam menciptakan keamanan maritim belum menonjol. Hal itu disebabkan beberapa hal seperti masih belum adanya “kesetaraan” antara aktor keamanan maritim dengan pelaku usaha, manajemen keamanan maritim yang carut marut dan belum terbangun sistem keamanan maritim yang terintegrasi.
Oleh karena itu, meskipun para pelaku usaha pelayaran nasional berulang kali mengeluhkan soal keamanan maritim dan berbagai tindakan ilegal lainnya di laut dan pelabuhan, namun di sisi lain mereka enggan untuk berpartisipasi penuh untuk mewujudkan keamanan maritim. Sikap mereka tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena masih carut marutnya manajemen keamanan kita bagi mereka berimplikasi pada cost yang tak sedikit.
Hal itu merupakan tantangan apabila Indonesia ingin membangun MDA. Masalah MDA bukan sekedar integrasi teknologi penginderaan antar berbagai platform, namun juga pada birokrasi Indonesia yang jauh dari prinsip-prinsip efektifitas dan efisiensi. Ketika kita menyinggung masalah birokrasi, berarti sudah menyentuh aspek budaya birokrasi Indonesia. Soal budaya birokrasi itu, kita semua sudah paham.
Masih carut marutnya manajemen keamanan maritim juga merupakan penyakit kronis yang sepertinya susah diobati selama tak ada kemauan politik. Bayangkan, ada 10 instansi yang tangani keamanan maritim secara sektoral. Alias single task, multi agencies. Kalau udah begini, gimana kita bisa terapkan MDA? Perlu diingat, masalah keamanan maritim di Indonesia bukan soal koordinasi.
Jadi Bakorkamla dibubarkan saja, karena seolah-olah beberapa aktor keamanan maritim tak bisa koordinasi bila tidak ada Bakorkamla. Lagi pula tak ada bukti bahwa keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia lebih aman setelah ada Bakorkamla. Karena aman atau tidaknya bukan ditentukan oleh eksistensi Bakorkamla, tapi kinerja aktor di lapangan yang punya aset seperti AL. Buktinya, AL mampu turunkan angka perompakan di Selat Malaka dan tak ada kontribusi Bakorkamla di sana. So...daripada anggaran departemen dan lembaga negara dipotong 10 persen gara-gara nggak kuat hadapi kenaikan harga minyak, lebih baik bubarkan saja lembaga-lembaga negara yang tak perlu seperti Bakorkamla. Kan bisa hemat anggaran.
Menyangkut sistem keamanan maritim yang terintegrasi juga menjadi tantangan berikutnya buat penerapan MDA. Memang ada upaya untuk membangun itu, misalnya program IMSS. Saya sangat setuju dengan IMSS. Namun alangkah baiknya bila stakeholder lain turut mendukung IMSS secara nyata. Misalnya pemasangan AIS pada kapal-kapal niaga, sehingga pergerakan mereka dapat dipantau oleh stasiun IMSS. Apabila ini terbangun, selain terjadi integrasi antara sistem AL dengan sistem sipil sebagai bagian dari konvergensi kepentingan, juga merupakan cikal bakal dari MDA nantinya.
IMSS yang akan eksis pada pada 2008 dan 2009 baru mencakup Selat Malaka dan Selat Makassar. Perairan lain juga membutuhkan kehadiran sistem itu, sehingga rencana Departemen Perhubungan membangun sejumlah stasiun radar maritim harus diintegrasikan dengan IMSS yang dimotori oleh AL. Selain soal dana untuk pembangunan dan pemeliharaan, tantangan lain yang menghadang adalah kemampuan interface antar sistem radar sehingga menjadi sebuah jaringan. Seperti diketahui, radar IMSS merupakan buatan Amerika Serikat, sementara radar yang akan dibangun oleh Departemen Perhubungan nampaknya buatan Jepang atau Eropa.
Kalau kita membahas soal MDA, kata kuncinya adalah awareness. Pertanyaannya, bagaimana awareness bangsa ini terhadap domain maritim? Jangankan pihak yang tidak bersentuhan langsung dengan maritim, awareness pihak-pihak yang terhitung stakeholder maritim juga masih lemah. Contohnya, eksistensi Coast Guard diwadahi dalam UU Pelayaran yang baru, tapi fungsinya dibatasi. Jadi bukan seperti kehendak AL kita yang ingin fungsinya diperluas seperti USCG atau JCG. Belum lagi resistensi dari instansi lain yang merasa tidak nyaman bila Coast Guard terwujud.
Dikaitkan dengan AL, di masa lalu ketika UU No.20/1982 masih berlaku, Kasal merupakan pembina armada maritim nasional. Namun pasca reformasi, termasuk lahirnya UU No.34/2004, fungsi itu menjadi tanda tanya. Memang pada Pasal 9 tentang tugas AL, salah satunya singgung soal pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Namun bagaimana pelaksanaannya, masih belum jelas. Apalagi kenyataan bahwa UU N0.34/2004 sepertinya harus ”berhadapan” dengan UU No.19/2003 tentang BUMN misalnya.
Sebagai contoh, bagaimana AL membina armada niaga milik BUMN pelayaran seperti PT Djakarta Lloyd yang bosnya adalah Menteri BUMN? Soalnya belum ada pengaturan soal itu. Belum lagi untuk membina armada niaga punya swasta nasional seperti PT Arpeni, PT Berlian Laju Tanker, PT Meratus dll. Kalo PT Admiral Lines sih gampang. Ha...ha...ha...
Masalah pembinaan itu penting ketika kita dihadapkan pada situasi di mana AL membutuhkan armada niaga untuk mendukung operasi. Bila di masa lalu hanya dengan komunikasi telepon saja dapat menyelesaikan masalah, atmosfir masa kini sepertinya sudah tidak seperti itu lagi.
Terus pertanyaannya, itu tanggung jawab siapa untuk mengaturnya? Apakah Menteri Pertahanan? Atau siapa? Pertanyaan itu harus dijawab, sebab akan memberikan kepastian bagi AL untuk melaksanakan amanat UU No.34/2004.