All hands,
Salah satu kritik yang dilontarkan atas “A Cooperative Maritime Strategy for 21st Century” yang diterbitkan bersama oleh U.S. Navy, U.S. Marine Corps dan U.S. Coast Guard adalah kurangnya sentuhan strategi itu terhadap armada niaga (commercial shipping). Sebagian stakeholder armada niaga dunia merasa bahwa strategi itu cuma menempatkan mereka sebagai subyek dari keamanan maritim. Stakeholder ingin diberikan ruang untuk berperan aktif dalam strategi keamanan maritim sesuai dengan bidang mereka. Karena terjaminnya keamanan maritim akan berkontribusi terhadap eksistensi usaha mereka di dunia, selain tentunya secara tidak langsung menjamin irama globalisasi. Seperti kata Sam J. Tangredi, “globalization begins at sea”.
Kritik itu muncul karena pada sisi lain, U.S. Navy sejak beberapa tahun terakhir gencar mengkampanyekan maritime domain awareness (MDA). Kesuksesan MDA membutuhkan partisipasi aktif semua stakeholder maritim, baik pemerintah, AL, Coast Guard, pengelola pelabuhan, perusahan pelayaran dan lain sebagainya. Sebagai implementasi dari MDA, U.S. Navy bekerja sama dengan perusahaan besar seperti Maersk Line telah memasang beberapa peralatan automatic identification systems (AIS) untuk melacak posisi kapal ketika berlayar. Sementara dengan Inggris, Maersk bekerja sama memasang alat serupa untuk to keep track kapal-kapal milik Maersk yang memuat peralatan militer negeri itu.
Dari kasus tersebut, benang merahnya pertama adalah, terciptanya keamanan maritim membutuhkan kontribusi semua pihak, baik pemerintah, militer, pelaku usaha dan lain sebagainya. Benang merah kedua, ada hubungan yang jelas dan saling membutuhkan serta konvergensi antara AL dengan perusahaan pelayaran dalam rangka menjamin kepentingan nasional setiap bangsa. Pertanyaannya, bagaimana dalam prakteknya di Indonesia saat ini?
Dibandingkan dengan negara-negara lain, peran pelaku usaha pelayaran dalam menciptakan keamanan maritim belum menonjol. Hal itu disebabkan beberapa hal seperti masih belum adanya “kesetaraan” antara aktor keamanan maritim dengan pelaku usaha, manajemen keamanan maritim yang carut marut dan belum terbangun sistem keamanan maritim yang terintegrasi.
Oleh karena itu, meskipun para pelaku usaha pelayaran nasional berulang kali mengeluhkan soal keamanan maritim dan berbagai tindakan ilegal lainnya di laut dan pelabuhan, namun di sisi lain mereka enggan untuk berpartisipasi penuh untuk mewujudkan keamanan maritim. Sikap mereka tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena masih carut marutnya manajemen keamanan kita bagi mereka berimplikasi pada cost yang tak sedikit.
Hal itu merupakan tantangan apabila Indonesia ingin membangun MDA. Masalah MDA bukan sekedar integrasi teknologi penginderaan antar berbagai platform, namun juga pada birokrasi Indonesia yang jauh dari prinsip-prinsip efektifitas dan efisiensi. Ketika kita menyinggung masalah birokrasi, berarti sudah menyentuh aspek budaya birokrasi Indonesia. Soal budaya birokrasi itu, kita semua sudah paham.
Masih carut marutnya manajemen keamanan maritim juga merupakan penyakit kronis yang sepertinya susah diobati selama tak ada kemauan politik. Bayangkan, ada 10 instansi yang tangani keamanan maritim secara sektoral. Alias single task, multi agencies. Kalau udah begini, gimana kita bisa terapkan MDA? Perlu diingat, masalah keamanan maritim di Indonesia bukan soal koordinasi.
Jadi Bakorkamla dibubarkan saja, karena seolah-olah beberapa aktor keamanan maritim tak bisa koordinasi bila tidak ada Bakorkamla. Lagi pula tak ada bukti bahwa keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia lebih aman setelah ada Bakorkamla. Karena aman atau tidaknya bukan ditentukan oleh eksistensi Bakorkamla, tapi kinerja aktor di lapangan yang punya aset seperti AL. Buktinya, AL mampu turunkan angka perompakan di Selat Malaka dan tak ada kontribusi Bakorkamla di sana. So...daripada anggaran departemen dan lembaga negara dipotong 10 persen gara-gara nggak kuat hadapi kenaikan harga minyak, lebih baik bubarkan saja lembaga-lembaga negara yang tak perlu seperti Bakorkamla. Kan bisa hemat anggaran.
Menyangkut sistem keamanan maritim yang terintegrasi juga menjadi tantangan berikutnya buat penerapan MDA. Memang ada upaya untuk membangun itu, misalnya program IMSS. Saya sangat setuju dengan IMSS. Namun alangkah baiknya bila stakeholder lain turut mendukung IMSS secara nyata. Misalnya pemasangan AIS pada kapal-kapal niaga, sehingga pergerakan mereka dapat dipantau oleh stasiun IMSS. Apabila ini terbangun, selain terjadi integrasi antara sistem AL dengan sistem sipil sebagai bagian dari konvergensi kepentingan, juga merupakan cikal bakal dari MDA nantinya.
IMSS yang akan eksis pada pada 2008 dan 2009 baru mencakup Selat Malaka dan Selat Makassar. Perairan lain juga membutuhkan kehadiran sistem itu, sehingga rencana Departemen Perhubungan membangun sejumlah stasiun radar maritim harus diintegrasikan dengan IMSS yang dimotori oleh AL. Selain soal dana untuk pembangunan dan pemeliharaan, tantangan lain yang menghadang adalah kemampuan interface antar sistem radar sehingga menjadi sebuah jaringan. Seperti diketahui, radar IMSS merupakan buatan Amerika Serikat, sementara radar yang akan dibangun oleh Departemen Perhubungan nampaknya buatan Jepang atau Eropa.
Kalau kita membahas soal MDA, kata kuncinya adalah awareness. Pertanyaannya, bagaimana awareness bangsa ini terhadap domain maritim? Jangankan pihak yang tidak bersentuhan langsung dengan maritim, awareness pihak-pihak yang terhitung stakeholder maritim juga masih lemah. Contohnya, eksistensi Coast Guard diwadahi dalam UU Pelayaran yang baru, tapi fungsinya dibatasi. Jadi bukan seperti kehendak AL kita yang ingin fungsinya diperluas seperti USCG atau JCG. Belum lagi resistensi dari instansi lain yang merasa tidak nyaman bila Coast Guard terwujud.
Dikaitkan dengan AL, di masa lalu ketika UU No.20/1982 masih berlaku, Kasal merupakan pembina armada maritim nasional. Namun pasca reformasi, termasuk lahirnya UU No.34/2004, fungsi itu menjadi tanda tanya. Memang pada Pasal 9 tentang tugas AL, salah satunya singgung soal pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Namun bagaimana pelaksanaannya, masih belum jelas. Apalagi kenyataan bahwa UU N0.34/2004 sepertinya harus ”berhadapan” dengan UU No.19/2003 tentang BUMN misalnya.
Sebagai contoh, bagaimana AL membina armada niaga milik BUMN pelayaran seperti PT Djakarta Lloyd yang bosnya adalah Menteri BUMN? Soalnya belum ada pengaturan soal itu. Belum lagi untuk membina armada niaga punya swasta nasional seperti PT Arpeni, PT Berlian Laju Tanker, PT Meratus dll. Kalo PT Admiral Lines sih gampang. Ha...ha...ha...
Masalah pembinaan itu penting ketika kita dihadapkan pada situasi di mana AL membutuhkan armada niaga untuk mendukung operasi. Bila di masa lalu hanya dengan komunikasi telepon saja dapat menyelesaikan masalah, atmosfir masa kini sepertinya sudah tidak seperti itu lagi.
Terus pertanyaannya, itu tanggung jawab siapa untuk mengaturnya? Apakah Menteri Pertahanan? Atau siapa? Pertanyaan itu harus dijawab, sebab akan memberikan kepastian bagi AL untuk melaksanakan amanat UU No.34/2004.
Salah satu kritik yang dilontarkan atas “A Cooperative Maritime Strategy for 21st Century” yang diterbitkan bersama oleh U.S. Navy, U.S. Marine Corps dan U.S. Coast Guard adalah kurangnya sentuhan strategi itu terhadap armada niaga (commercial shipping). Sebagian stakeholder armada niaga dunia merasa bahwa strategi itu cuma menempatkan mereka sebagai subyek dari keamanan maritim. Stakeholder ingin diberikan ruang untuk berperan aktif dalam strategi keamanan maritim sesuai dengan bidang mereka. Karena terjaminnya keamanan maritim akan berkontribusi terhadap eksistensi usaha mereka di dunia, selain tentunya secara tidak langsung menjamin irama globalisasi. Seperti kata Sam J. Tangredi, “globalization begins at sea”.
Kritik itu muncul karena pada sisi lain, U.S. Navy sejak beberapa tahun terakhir gencar mengkampanyekan maritime domain awareness (MDA). Kesuksesan MDA membutuhkan partisipasi aktif semua stakeholder maritim, baik pemerintah, AL, Coast Guard, pengelola pelabuhan, perusahan pelayaran dan lain sebagainya. Sebagai implementasi dari MDA, U.S. Navy bekerja sama dengan perusahaan besar seperti Maersk Line telah memasang beberapa peralatan automatic identification systems (AIS) untuk melacak posisi kapal ketika berlayar. Sementara dengan Inggris, Maersk bekerja sama memasang alat serupa untuk to keep track kapal-kapal milik Maersk yang memuat peralatan militer negeri itu.
Dari kasus tersebut, benang merahnya pertama adalah, terciptanya keamanan maritim membutuhkan kontribusi semua pihak, baik pemerintah, militer, pelaku usaha dan lain sebagainya. Benang merah kedua, ada hubungan yang jelas dan saling membutuhkan serta konvergensi antara AL dengan perusahaan pelayaran dalam rangka menjamin kepentingan nasional setiap bangsa. Pertanyaannya, bagaimana dalam prakteknya di Indonesia saat ini?
Dibandingkan dengan negara-negara lain, peran pelaku usaha pelayaran dalam menciptakan keamanan maritim belum menonjol. Hal itu disebabkan beberapa hal seperti masih belum adanya “kesetaraan” antara aktor keamanan maritim dengan pelaku usaha, manajemen keamanan maritim yang carut marut dan belum terbangun sistem keamanan maritim yang terintegrasi.
Oleh karena itu, meskipun para pelaku usaha pelayaran nasional berulang kali mengeluhkan soal keamanan maritim dan berbagai tindakan ilegal lainnya di laut dan pelabuhan, namun di sisi lain mereka enggan untuk berpartisipasi penuh untuk mewujudkan keamanan maritim. Sikap mereka tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena masih carut marutnya manajemen keamanan kita bagi mereka berimplikasi pada cost yang tak sedikit.
Hal itu merupakan tantangan apabila Indonesia ingin membangun MDA. Masalah MDA bukan sekedar integrasi teknologi penginderaan antar berbagai platform, namun juga pada birokrasi Indonesia yang jauh dari prinsip-prinsip efektifitas dan efisiensi. Ketika kita menyinggung masalah birokrasi, berarti sudah menyentuh aspek budaya birokrasi Indonesia. Soal budaya birokrasi itu, kita semua sudah paham.
Masih carut marutnya manajemen keamanan maritim juga merupakan penyakit kronis yang sepertinya susah diobati selama tak ada kemauan politik. Bayangkan, ada 10 instansi yang tangani keamanan maritim secara sektoral. Alias single task, multi agencies. Kalau udah begini, gimana kita bisa terapkan MDA? Perlu diingat, masalah keamanan maritim di Indonesia bukan soal koordinasi.
Jadi Bakorkamla dibubarkan saja, karena seolah-olah beberapa aktor keamanan maritim tak bisa koordinasi bila tidak ada Bakorkamla. Lagi pula tak ada bukti bahwa keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia lebih aman setelah ada Bakorkamla. Karena aman atau tidaknya bukan ditentukan oleh eksistensi Bakorkamla, tapi kinerja aktor di lapangan yang punya aset seperti AL. Buktinya, AL mampu turunkan angka perompakan di Selat Malaka dan tak ada kontribusi Bakorkamla di sana. So...daripada anggaran departemen dan lembaga negara dipotong 10 persen gara-gara nggak kuat hadapi kenaikan harga minyak, lebih baik bubarkan saja lembaga-lembaga negara yang tak perlu seperti Bakorkamla. Kan bisa hemat anggaran.
Menyangkut sistem keamanan maritim yang terintegrasi juga menjadi tantangan berikutnya buat penerapan MDA. Memang ada upaya untuk membangun itu, misalnya program IMSS. Saya sangat setuju dengan IMSS. Namun alangkah baiknya bila stakeholder lain turut mendukung IMSS secara nyata. Misalnya pemasangan AIS pada kapal-kapal niaga, sehingga pergerakan mereka dapat dipantau oleh stasiun IMSS. Apabila ini terbangun, selain terjadi integrasi antara sistem AL dengan sistem sipil sebagai bagian dari konvergensi kepentingan, juga merupakan cikal bakal dari MDA nantinya.
IMSS yang akan eksis pada pada 2008 dan 2009 baru mencakup Selat Malaka dan Selat Makassar. Perairan lain juga membutuhkan kehadiran sistem itu, sehingga rencana Departemen Perhubungan membangun sejumlah stasiun radar maritim harus diintegrasikan dengan IMSS yang dimotori oleh AL. Selain soal dana untuk pembangunan dan pemeliharaan, tantangan lain yang menghadang adalah kemampuan interface antar sistem radar sehingga menjadi sebuah jaringan. Seperti diketahui, radar IMSS merupakan buatan Amerika Serikat, sementara radar yang akan dibangun oleh Departemen Perhubungan nampaknya buatan Jepang atau Eropa.
Kalau kita membahas soal MDA, kata kuncinya adalah awareness. Pertanyaannya, bagaimana awareness bangsa ini terhadap domain maritim? Jangankan pihak yang tidak bersentuhan langsung dengan maritim, awareness pihak-pihak yang terhitung stakeholder maritim juga masih lemah. Contohnya, eksistensi Coast Guard diwadahi dalam UU Pelayaran yang baru, tapi fungsinya dibatasi. Jadi bukan seperti kehendak AL kita yang ingin fungsinya diperluas seperti USCG atau JCG. Belum lagi resistensi dari instansi lain yang merasa tidak nyaman bila Coast Guard terwujud.
Dikaitkan dengan AL, di masa lalu ketika UU No.20/1982 masih berlaku, Kasal merupakan pembina armada maritim nasional. Namun pasca reformasi, termasuk lahirnya UU No.34/2004, fungsi itu menjadi tanda tanya. Memang pada Pasal 9 tentang tugas AL, salah satunya singgung soal pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Namun bagaimana pelaksanaannya, masih belum jelas. Apalagi kenyataan bahwa UU N0.34/2004 sepertinya harus ”berhadapan” dengan UU No.19/2003 tentang BUMN misalnya.
Sebagai contoh, bagaimana AL membina armada niaga milik BUMN pelayaran seperti PT Djakarta Lloyd yang bosnya adalah Menteri BUMN? Soalnya belum ada pengaturan soal itu. Belum lagi untuk membina armada niaga punya swasta nasional seperti PT Arpeni, PT Berlian Laju Tanker, PT Meratus dll. Kalo PT Admiral Lines sih gampang. Ha...ha...ha...
Masalah pembinaan itu penting ketika kita dihadapkan pada situasi di mana AL membutuhkan armada niaga untuk mendukung operasi. Bila di masa lalu hanya dengan komunikasi telepon saja dapat menyelesaikan masalah, atmosfir masa kini sepertinya sudah tidak seperti itu lagi.
Terus pertanyaannya, itu tanggung jawab siapa untuk mengaturnya? Apakah Menteri Pertahanan? Atau siapa? Pertanyaan itu harus dijawab, sebab akan memberikan kepastian bagi AL untuk melaksanakan amanat UU No.34/2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar