31 Agustus 2010

Kebodohan Negeri Tukang Klaim Di Afghanistan

All hands,
Pengirim pasukan militer Negeri Tukang Klaim ke Afghanistan yang berkedok tim medis bukan saja bertujuan untuk menyelamatkan muka Amerika Serikat yang babak belur di negeri itu, tetapi sekaligus menunjukkan kebodohan mereka. Para pengambil keputusan politik Negeri Tukang Klaim beserta para petinggi militernya jelas-jelas sangat bodoh dengan keputusan mengirimkan pasukan ke Afghanistan atas permintaan Washington. Mengapa disebut bodoh?
Sekutu Washington di NATO yaitu Amsterdam sejak 1 Agustus 2010 telah menarik pasukannya dari operasi tempur dan non tempur di Afghanistan yang digelar di bawah bendera ISAF. Penarikan itu tidak lepas dari desakan di dalam negeri Belanda sendiri yang tidak melihat manfaat banyak bagi berlanjutnya keterlibatan Negeri Bunga Tulip di negeri yang sulit untuk ditaklukkan itu. Padahal sejak pasca Perang Dunia Kedua, Belanda adalah sekutu setia Amerika Serikat dan mereka tergabung dalam NATO.
Ketika Belanda menarik kekuatan militernya dari Afghanistan, Negeri Tukang Klaim dengan bodohnya masuk ke sana. Alasan yang diungkapkan oleh pejabat Negeri Tukang Klaim adalah untuk membantu pemerintah Afghanistan di bidang kemanusiaan adalah alasan yang jelas-jelas sangat bodoh pula. Kalau Amsterdam saja yang merupakan sekutu Washington menarik diri dari Afghanistan, Negeri Tukang Klaim yang sangat jelas dan terang benderang bukan sekutu Washington malah dengan bodohnya mengirimkan kekuatan ke Afghanistan. Mungkin Negeri Tukang Klaim ingin mendapat penghargaan dari Washington sehingga berani mengambil resiko ke Afghanistan.
Apapun bentuk penghargaan yang nantinya diberikan oleh Amerika Serikat, tetap saja tindakan Negeri Tukang Klaim merupakan tindakan bodoh. Celakanya, negeri bodoh ini berhadapan dengan Amerika Serikat yang memang jago soal memperdayai. Alangkah celakanya jadi Negeri Bodoh!!!

30 Agustus 2010

Berpikirlah Dan Bertindaklah Realistis

All hands,
Kasus Tanjung Berakit dengan segala seri lanjutannya menunjukkan adanya kesenjangan antara sikap nasional di bidang diplomasi dengan suara mayoritas rakyat. Suara mayoritas rakyat yang dimaksud di sini adalah kelompok masyarakat, legislatif dan kelompok lainnya. Kesenjangan terjadi karena sikap nasional di bidang diplomasi dianggap hidup di negeri antah berantah, sementara suara mayoritas rakyat hidup di bumi. Meskipun suara mayoritas bukan jaminan akan kebenaran, akan tetapi dalam kasus terakhir dengan Negeri Tukang Klaim nilai kebenaran (yang bersifat relatif) justru berada di bumi dan bukan di negeri antah berantah.
Suara penghuni bumi melihat bahwa tindak tanduk Negeri Tukang Klaim sangat melecehkan martabat dan harga diri bangsa Indonesia. Akibatnya para penghuni bumi merasa sirri-nya (meminjam istilah di tanah asal Jusuf Kalla) dilecehkan, sehingga mereka bergerak dengan cara mereka sendiri. Salah satu tuntutan penghuni bumi adalah keberanian pengambil keputusan nasional untuk bersikap tegas terhadap Negeri Tukang Klaim.
Celakanya, aspirasi penghuni negeri antah berantah tidak sejalan dengan suara penghuni bumi. Dari sini kemudian timbul kekecewaan terhadap penghuni negeri antah berantah yang dianggap tidak paham dengan situasi di lapangan. Mungkin ada perbedaan soal cakupan sirri antara penghuni bumi dengan penghuni negeri antah berantah. Kondisi ini semestinya tidak terjadi apabila penghuni negeri antah berantah menyadari bahwa status mereka sebenarnya adalah penghuni bumi yang bernama Indonesia. Indonesia sebagai negara bangsa mempunyai kepentingan nasional dan di pundak para penghuni negeri antah berantah itulah dipikul kewajiban untuk mengamankan kepentingan nasional tersebut.
Apakah Indonesia sebagai negara bangsa masih ingin eksis di dunia internasional? Kalau iya, sikap nasional di bidang diplomatik harus membumi alias mengacu pada kepentingan nasional. Lupakan cita-cita perdamaian dunia yang absurd, karena itu tidak akan pernah ada di dunia ini. Dunia diplomasi harus paham dengan kepentingan nasional Indonesia dan melaksanakan aspirasi itu, termasuk menjaga martabat dan harga diri bangsa.
Menurut teori, kalau dunia diplomasi sudah gagal, maka giliran Angkatan Laut yang berdiplomasi. Diplomasi Angkatan Laut mempunyai nilai sopan santun sendiri yang berbeda dengan sopan santun para diplomat Dunhill. Kapan Angkatan Laut akan menggelar diplomasi? Jawabannya singkat, ketika ada guts untuk menjaga marwah bangsa dari kepemimpinan nasional.

29 Agustus 2010

Negeri Tukang Klaim Pemicu Instabilitas Keamanan Kawasan

All hands,
Instabilitas di kawasan Asia Tenggara salah satu penyebabnya adalah sengketa perbatasan maritim. Dalam isu sengketa perbatasan maritim, pemicu utamanya adalah Negeri Tukang Klaim. Negeri Tukang Klaim harus bertanggung jawab terhadap instabilitas kawasan karena gara-gara Peta 1979 yang diterbitkannya, stabilitas kawasan Asia Tenggara menjadi terancam. Kasus di Laut Sulawesi, Tanjung Berakit, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan adalah karena dipicu oleh ambisi geopolitik Negeri Tukang Klaim yang tidak menghiraukan hukum internasional.
Peta 1979 yang diterbitkan oleh Negeri Tukang Klaim dengan seenaknya mengklaim wilayah perairan negara lain menjadi miliknya. Tentu saja negara lain itu seperti Indonesia, Filipina dan Singapura tidak mau mengakui klaim tersebut dan bersikeras pada posisi masing-masing mengenai batas maritim. Bedanya adalah Negeri Tukang Klaim tidak berani terhadap Manila maupun Singapura, tetapi sangat bertingkah terhadap Jakarta. Ketika pemerintah di Jakarta justru diam saja, sementara sebagian rakyat Indonesia dan pers yang "bergerak", dengan arogannya pejabat Negeri Tukang Klaim yang anti demokrasi meminta pejabat Indonesia yang terkesan sudah menjadi bawahannya untuk menertibkan rakyat Indonesia beserta media massanya. Tentu saja permintaan itu tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah Indonesia karena Indonesia adalah negara demokratis dengan segala kekurangannya, berbeda dengan Negeri Tukang Klaim yang katanya hebat tetapi rakyat dan persnya dibungkam.
Pemicu dari instabilitas kawasan Asia Tenggara saat ini adalah Negeri Tukang Klaim dan hal itu tidak bisa dibantah oleh siapapun. Agar pejabat Indonesia tidak terkesan sebagai bawahan dari pejabat Negeri Tukang Klaim, sudah sepantasnya untuk menggunakan mekanisme kawasan untuk menegur keras Negeri Tukang Klaim. Mekanisme kawasan yang dimaksud adalah ASEAN yang selama ini identik dengan domain para diplomat Dunhill. Tantangannya adalah apakah para diplomat Dunhill mampu menggunakan mekanisme ASEAN untuk menegur Negeri Tukang Klaim secara diplomatis?
Menggunakan instrumen diplomasi hanyalah satu di antara beberapa cara untuk menghadapi instabilitas kawasan yang dipicu oleh Negeri Tukang Klaim. Instrumen lainnya yang dapat digunakan pula adalah Angkatan Laut. Untuk menggunakan instrumen Angkatan Laut, prasyarat nomor satu adalah adanya sikap nasional yang tidak takut menghadapi musuh, bukan sebaliknya mengedepankan slogan a million friends, zero enemy yang hanya ada di alam angan-angan saja.

28 Agustus 2010

Bertindak Tegas Terhadap Negeri Tukang Klaim

All hands,
Bertindak tegas terhadap Negeri Tukang Klaim yang telah melecehkan bangsa Indonesia sebenarnya persoalan mudah. Hanya saja ini menjadi sulit bagi pemimpin bangsa dan para diplomat Dunhill karena tidak ada keberanian. Tidak aneh bila diplomat Dunhill khawatir tindakan tegas Indonesia akan berdampak terhadap warga negara Indonesia yang mencari nafkah di Negeri Tukang Klaim. Artinya, diplomat Dunhill lebih mementingkan urusan keselamatan warga Indonesia daripada martabat bangsa Indonesia, sehingga wajar bila dengan tegas diplomat Dunhill menolak gagasan menarik duta besar Indonesia dari sana.
Ada banyak cara untuk bertindak tegas terhadap Negeri Tukang Klaim, seandainya pemimpin bangsa dan diplomat Dunhill mau berpikir. Tindakan tegas itu tidak harus selalu dengan menarik duta besar Indonesia dari ibukota Negeri Tukang Klaim. Bentuknya bisa dimulai dari hal yang "lunak", seperti pembekuan semua kerjasama militer. Dengan pembekuan itu, berarti semua kegiatan patroli bersama, latihan bersama, pertukaran perwira dan lain sebagainya dihentikan. Indonesia tidak mengalami kerugian besar kalau pembekuan kerjasama militer dengan Negeri Tukang Klaim dilaksanakan.
Pesan dari pembekuan kerjasama itu sangat jelas dan mempunyai makna tunggal yang tidak multi interpretasi. Ide pembekuan kerjasama merupakan hal yang lumrah dan sangat realistis dibandingkan ide a million friends zero enemy. Sebab gagasan pembekuan kerjasama militer didasarkan pada kepentingan nasional Indonesia, sedangkan ide a million friends zero enemy tidak mengacu pada kepentingan nasional bangsa ini.

27 Agustus 2010

A Million Friends, Zero Enemy?

All hands,
Kehidupan setiap bangsa dipandu oleh kepentingan nasional. Demi kepentingan nasional, tindakan apapun bisa dilakukan oleh setiap bangsa. Kepentingan nasional tidak mencari musuh, tetapi apabila ada pihak yang mengancam kepentingan nasional maka pihak tersebut dapat dikategorikan sebagai musuh. Musuh itu tentu saja harus dihadapi, baik secara diplomatik maupun secara militer.
Kepentingan nasional selain terkait dengan keutuhan wilayah, mempunyai hubungan pula dengan martabat bangsa. Pelecahan terhadap martabat bangsa harus disikapi secara keras sesuai spektrumnya. Kalau pelecehan itu sudah keterlaluan, penggunaan kekuatan militer ---misalnya dalam rupa diplomasi Angkatan Laut--- merupakan opsi yang tidak dapat dihindari.
Oleh karena itu, slogan A Million Friends, Zero Enemy adalah slogan negeri antah berantah dan tidak membumi dalam hubungan antar bangsa. Tidak mungkin Indonesia sebagai bangsa bisa mempertahankan eksistensi dan martabatnya dengan slogan itu, sebab slogan tersebut memimpikan dunia yang ideal. Sementara bangsa Indonesia hidup di dunia yang jauh dari ideal dan kenyataan itu mau tak mau harus dihadapi.
Ada pendapat bahwa slogan itu adalah slogan tidak ksatria karena tak berani menghadapi pihak yang mengancam kepentingan nasional. Memang dalam hubungan antar bangsa, sebagian besar bangsa tidak mencari musuh. Akan tetapi ketika ada musuh, maka harus dihadapi. Bukan sebaliknya ketika ada musuh malah kita tunduk kepada kemauan musuh. Sangat disayangkan kecenderungan itulah yang terjadi saat ini.

26 Agustus 2010

Program PKR: 4 Plus 2?

All hands,
Pengadaan kapal PKR sesuai dengan Renstra Angkatan Laut 2010-2014 akhirnya diputuskan dibangun di galangan perkapalan nasional. Tentu saja teknologinya masih bergantung pada kemurahan hati dari pihak asing yaitu galangan perkapalan Eropa. Singkatnya, hanya pekerjaan fisik yang dilaksanakan di Surabaya, sementara desain rancang bangunnya dipasok oleh galangan kapal asal Belanda.
Berbeda dengan kelas Sigma yang saat ini memperkuat kekuatan laut Indonesia, PKR nantinya adalah jenis fregat (ringan). Pilihan fregat sudah tepat, sebab dengan dimensi dan tonase kapal perang yang lebih besar, mau kemampuan operasionalnya turut meningkat pula dibandingkan dengan korvet. Misalnya, PKR itu untuk spesifikasinya dirancang untuk bisa memuat helikopter AKS yang kini tersedia di pasaran internasional.
Akan tetapi, ada hal krusial yang perlu menjadi perhatian dalam pembangunan PKR di galangan perkapalan nasional. Satu di antaranya adalah ketepatan penyerahan sesuai jadwal. Jadwal 4 tahun yang dicanangkan mencakup tiga tahun pembangunan badan kapal dan integrasi berbagai subsistem senjata dan satu tahun uji coba kapal perang sebelum diserahkan kepada konsumen. Mengacu pada kasus KRI Banjarmasin yang program pembangunannya mirip dengan PKR, terjadi wanprestasi pada jadwal penyerahan kepada konsumen karena "ada hal serius" antara galangan perkapalan Indonesia dengan galangan kapal asing yang memegang cetak biru kapal pendarat itu. Penyebab "hal serius" tersebut konon kabarnya karena adanya "keinginan berlebihan" dari salah satu pihak, sehingga pihak lain yang lebih kuat dan unggul memainkan kartu trufnya. Sehingga terjadilah wanprestasi kontrak apabila ditinjau dari kacamata hukum.
Terdapat kekhawatiran bahwa kasus serupa bisa saja terulang pada proyek PKR, yang bisa berakibat molor dari empat tahun menjadi enam tahun. Kalau sampai molor, bisa jadi kelanjutan proyek ini dipertaruhkan karena kekuatan laut Indonesia sebagai konsumen pasti tidak ingin dijadikan kelinci percobaan lagi. Artinya, kelanjutan kapal berikutnya tergantung dari kinerja kapal pertama.
Kalau yang dihasilkan secara nyata bukan fregat tetapi OPV, hal itu pertanda wassalam bagi industri perkapalan nasional. Ibaratnya konsumen membutuhkan anjing herder, tetapi yang dikasih anjing pudel.

25 Agustus 2010

Perkuatan Chokepoints

All hands,
Indonesia mempunyai empat chokepoints strategis, yang apabila dieksploitasi dapat memberikan keuntungan strategis bagi Indonesia. Salah satu cara untuk mengeksploitasi chokepoints itu adalah dengan menerapkan strategi anti akses. Bagaimana caranya?
Satu di antaranya adalah dengan menggelar jaringan radar pengamatan maritim dan artileri pertahanan pantai di chokepoints. Artileri pertahanan pantai bertumpu pada rudal anti kapal. Adapun jaringan radar pengamatan maritim hendaknya berkemampuan high frequency (HF). Dengan berkemampuan HF, radar itu dapat berfungsi sebagai over the horizon radar. Dalam strategi anti akses, kemampuan mendeteksi sasaran dari balik cakrawala sangat penting.
Memang pengadaan radar HF memerlukan biaya yang tidak sedikit, tetapi hasil yang didapatkan seimbang dengan biaya yang dikeluarkan. Mengingat biaya yang dibutuhkan tidak sedikit untuk menerapkan strategi anti akses di semua chokepoints, sebagai langkah awal cukup dibangun di salah satu selat terpilih dahulu. Misalnya di Selat Lombok yang menjadi salah satu pintu keluar masuk Australia.

24 Agustus 2010

Diplomasi Angkatan Laut Dalam Rangka Status Quo

All hands,
Diplomasi Angkatan Laut antara lain digelar untuk mempertahankan status quo. Misalnya yang dilakukan oleh kekuatan laut Indonesia di Laut Sulawesi menghadapi klaim Negeri Tukang Klaim. Namun sangat disayangkan, di Indonesia diplomasi Angkatan Laut untuk mempertahankan status quo belum dieksploitasi secara optimal. Padahal sarana yang representatif untuk menggelar hal tersebut ada, walaupun jumlahnya tidak banyak.
Untuk mempertahankan status quo, diplomasi Angkatan Laut Indonesia juga harus "ditembakkan" langsung ke jantung Negeri Tukang Klaim. Yaitu mengirimkan kapal perang yang kredibel ke pangkalan Angkatan Laut Negeri Tukang Klaim secara rutin. Pesannya singkat seperti tercantum pada ular-ular perang kapal selam Amerika Serikat yaitu Dont Tread On Me.
Diplomasi Angkatan Laut tidak cukup di wilayah pinggiran saja, seperti di Laut Sulawesi. Tetapi harus pula dilakukan di jantung lawan. Hanya dengan demikian pesan tegas dapat dimengerti oleh lawan, sekaligus memperkuat para perunding Indonesia. Seperti kata Morgenthau, cara diplomasi ada tiga yaitu persuasi, kompromi dan ancaman (penggunaan) kekuatan. Ketiganya harus dieksploitasi secara bersamaan.

23 Agustus 2010

Mengembangkan Naval Arts


All hands,
Untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap Angkatan Laut dapat dilakukan dengan berbagai cara. Satu di antaranya adalah pengembangan naval arts, yaitu lukisan-lukisan yang terkait dengan seluk beluk Angkatan Laut. Entah itu lukisan tentang suatu kapal perang, lukisan suatu peristiwa pertempuran laut, kegiatan di atas geladak kapal perang dan lain sebagainya. Di negara-negara maju, naval arts telah mendarah daging sehingga tidak sulit bagi siapapun bila ingin mencari lukisan-lukisan yang bertema ke-Angkatan Laut-an. Di sana tidak sedikit para seniman lukis yang mengkhususkan diri pada naval arts.
Sangat disayangkan, di Indonesia sangat sulit mencari lukisan-lukisan yang terkait naval arts. Bahkan sepanjang pengetahuan saya, belum ada pelukis yang spesialis naval arts. Tidak heran bila sulit rasanya menemukan lukisan-lukisan yang bertema operasi laut era Trikora, Dwikora, Seroja, pengamanan perairan Aceh, penyekatan di perairan Maluku, operasi kemanusiaan di Aceh dan lain sebagainya. Padahal saksi hidup yang dapat “membimbing” pelukis naval arts masih cukup banyak.
Pertanyaan, bagaimana mengembangkan naval arts di Indonesia? Seperti suka atau tidak suka, kekuatan laut negeri ini harus menjalin komunikasi yang rutin dan intensif dengan komunitas pelukis. Siapa tahu di antara mereka ada yang tertarik untuk mengembangkan naval arts. Soal konsumennya sudah pasti banyak dan tidak terbatas pada Angkatan Laut, tetapi juga komunitas maritim lainnya.

22 Agustus 2010

Ancaman Helikopter Terhadap Kapal Permukaan

All hands,
Setidaknya terdapat dua pengalaman pertempuran laut dalam 30 tahun terakhir yang melibatkan helikopter secara langsung menghadapi kapal atas air. Pertama adalah Perang Malvinas di mana helikopter Royal Navy jenis Lynx yang dilengkapi dengan rudal anti kapal melumpuhkan kapal patroli Argentina. Kedua yaitu saat militer Saadam Hussein berhadapan dengan Angkatan Bersenjata George W. Bush, Sr waktu Perang Teluk 1990, yang mana beberapa kapal FAC Irak dilumpuhkan oleh helikopter (dan pesawat sayap tetap) milik U.S. Navy. Kedua preseden itu menunjukkan bahwa helikopter merupakan salah satu ancaman terhadap kapal atas air, khususnya apabila wahana terbang tersebut dilengkapi dengan senjata pembunuh.
Di sekeliling Indonesia, terdapat beberapa Angkatan Laut atau Angkatan Udara yang mengoperasikan helikopter yang dilengkapi dengan rudal anti kapal. Seperti helikopter milik kekuatan laut Negeri Tukang Klaim dan wahana serupa kepunyaan Angkatan Udara negeri penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia. Meskipun hingga saat ini potensi konflik terbuka antara Indonesia dengan dua negeri yang pernah diganyang oleh Presiden Soekarno masih kecil, tetapi situasi demikian hendaknya tidak melalaikan untuk memperkuat pertahanan udara kapal permukaan. Bentuknya bisa merupakan paduan antara rudal anti udara, chaff dan meriam atau senapan anti udara.
Memperhatikan karakteristik rudal yang dijinjing oleh helikopter Super Lynx 300 dan H-70 Sea Hawk, pertahanan udara kapal permukaan Indonesia sudah waktunya beranjak dari hanud titik. Belum terlambat untuk memasuki fase hanud area, yaitu pertahanan udara hingga puluhan mil dari konvoi kapal perang. Helikopter dari segi kecepatan memang jauh kalah dibandingkan dengan pesawat tempur, tetapi wahana udara tersebut mempunyai daya bunuh yang tidak kalah dibandingkan dengan pesawat tempur. Berangkat dari pemikiran itu, Indonesia seharusnya juga mengekploitasi helikopter sebagai senjata pembunuh dalam operasi Angkatan Laut dan tidak sebatas sebagai sarana angkut saja.

21 Agustus 2010

Morgenthau Dan Diplomasi Angkatan Laut

All hands,
Di Indonesia masih ada pihak yang tidak rela melihat Angkatan Laut mengeksploitasi peran diplomasi yang disandangnya. Ketidakrelaan itu jelas karena pihak tersebut tidak ingin melihat kekuatan laut negeri ini maju. Pula, tidak ingin melihat Angkatan Laut Indonesia memainkan peran yang lebih luas dalam ranah pertahanan dan diplomasi Indonesia.
Mengacu pada Hans J. Morgenthau dalam Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, cara-cara diplomasi ada tiga. Yaitu persuasi, kompromi dan ancaman (penggunaan) kekuatan. Morgenthau dengan yakin menyatakan bahwa penggunaan salah satu saja dari tiga cara itu atau setidaknya pemakaian dua dari tiga cara diplomasi tersebut tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan. Ketiga cara itu harus digunakan sekaligus untuk menghadapi suatu isu yang sama.
Diplomasi Angkatan Laut pada dasarnya bekerja bersama dengan dua cara lainnya, yakni persuasi dan kompromi. Persuasi dan kompromi adalah domain dari pengambil keputusan politik, sementara diplomasi Angkatan Laut dieksploitasi untuk mendukung dua cara tersebut. Sementara para pengambil keputusan politik lewat jalur diplomasi berupaya melakukan persuasi dan kompromi terhadap lawan, kapal perang Angkatan Laut melakukan pamer kekuatan di wilayah tertentu yang terkait dengan kepentingan lawan agar lawan mau mengikuti apa yang kita kehendaki melalui jalur diplomasi.
Berangkat dari sini, diplomasi yang mengandalkan pada soft power dengan menegasikan kekuatan Angkatan Laut adalah kebijakan yang keliru. Sebab Morgenthau sebagai pakar diplomasi yang diakui dunia internasional tidak pernah menegasikan penggunaan kekuatan militer dalam diplomasi antar bangsa.

20 Agustus 2010

Dibutuhkan Diplomat Marlboro, Bukan Diplomat Dunhill

All hands,
Kasus memalukan bangsa yang dilakukan oleh aparat sipil yang tidak sepantasnya terjun mengamankan laut memberikan banyak pelajaran bagi Indonesia (seandainya para pengambil keputusan berpikir). Satu di antaranya adalah menyangkut kinerja diplomasi Indonesia. Selama ini sudah banyak pihak di luar lingkungan Pejambon yang mengkritik keras kinerja diplomasi Indonesia yang gemar isu-isu soft power, tetapi (tidak mau) tahu apa yang terjadi di dalam negeri. Tak heran bila ada pihak yang dengan sinis menyatakan bahwa Deplu adalah Departemen Di Luar Negeri.
Sangat dipahami bahwa kinerja diplomasi akan optimal apabila didukung kondisi di dalam negeri. Namun lepas dari itu semua, sulit untuk menghindari kesan bahwa diplomasi Indonesia saat ini kurang asertif dan lebih mengutamakan harmoni dengan negara-negara lain daripada konflik. Diplomasi Indonesia terlalu santun dan tidak tahu apa sebenarnya kebutuhan di dalam negeri, bagaimana peran aktor Angkatan Laut dalam mendukung diplomasi dan lain sebagainya. Dengan kata lain, para diplomat Indonesia sudah mencapai comfort zone dan tidak mau keluar dari situ meskipun seringkali kepentingan nasional Indonesia dirugikan.
Bukan hal yang aneh kalau ada kalangan yang berpendapat bahwa diplomat Indonesia adalah diplomat Dunhill. Apa itu diplomat Dunhill? Rokok Dunhill mencantumkan tiga kota di bungkusnya, yaitu London, Paris dan New York. Diplomat Indonesia lebih senang bertugas di tiga kota dunia saja, yaitu London, Jenewa dan New York. Di sana mereka menikmati comfort zone, sehingga sangat wajar bila pos diplomatik di ketiga kota tersebut menjadi rebutan.
Yang dibutuhkan Indonesia saat ini dan ke depan bukan diplomat Dunhill, tetapi diplomat Marlboro. Diplomat Marlboro adalah diplomat yang asertif mengamankan kepentingan nasional pada isu-isu hard power, bahkan berani bertindak layaknya koboi. Kini tidak sedikit negara di dunia yang diplomatnya bergaya koboi dan keluar dari pakem diplomat yang sangat menjunjung tinggi sopan santun ala keraton. Menjadi diplomat Marlboro tidak berarti harus merusak pakem diplomasi, akan tetapi hanya sedikit improvisasi dari diplomasi.
Andai saja diplomat Indonesia adalah diplomat Marlboro dan bukan diplomat Dunhill, kasus barter tahanan dengan Negeri Tukang Klaim tidak akan pernah terjadi. Boleh saja para diplomat Dunhill membantah itu adalah barter, but deeds shows what is happening than words.

19 Agustus 2010

Regionalisme Angkatan Laut

All hands,
Sejak berakhirnya Perang Dingin, kawasan Asia Pasifik telah dilanda regionalisme Angkatan Laut. Bentuknya antara lain dalam kerjasama multilateral Angkatan Laut di kawasan ini, misalnya lewat WPNS, RIMPAC, CARAT, MSSP dan berbagai kerjasama lainnya. Sebelumnya regionalisme Angkatan Laut sudah didahului oleh FPDA. Regionalisme Angkatan Laut didasari oleh kebutuhan kerjasama untuk menghadapi ancaman dan tantangan yang muncul di kawasan yang dipandang sebagai ancaman dan tantangan bersama.
Dalam konteks ASEAN, gagasan regionalisme Angkatan Laut telah diusung dalam ASEAN Security Community. Pertanyaannya, bagaimana peluang regionalisme Angkatan Laut dalam bingkai ASEAN? Peluang keberhasilan regionalisme itu tetap ada, sepanjang batu kerikil yang ada dalam ASEAN bisa disingkirkan. Batu kerikil itu bentuknya bermacam-macam, tetapi sumber asalnya sama yaitu saling ketidakpercayaan antar beberapa negara ASEAN.
Inilah tantangan nyata untuk mewujudkan regionalisme Angkatan Laut di ASEAN. Dibutuhkan suatu dobrakan untuk menembus kebuntuan soal rasa saling tidak percaya yang selama ini muncul. Berbeda dengan kerjasama regional lainnya, negara-negara ASEAN tidak mempunyai shared history yang sama laiknya NATO dan Uni Eropa nun jauh di sana. Keberhasilan regionalisme Angkatan Laut di Asia Tenggara akan sangat ditentukan oleh kemampuan mendobrak masalah utama yang sejak 1967 belum berhasil dituntaskan.

18 Agustus 2010

Ketika Kepentingan Nasional Menjadi Subordinat Soft Power

All hands,
Peristiwa yang memalukan bangsa Indonesia yang dilakukan oleh pihak sipil yang tidak pantas terjun ke laut di Tanjung Berakit adalah bukti nyata betapa soft power yang selama ini dipuja dan diimplementasikan oleh pihak tertentu di Indonesia ternyata mandul sama sekali. Hal itu makin menunjukkan kebenaran bahwa ambisi membangun soft power Indonesia dengan menegasikan kekuatan Angkatan Laut bagaikan pungguk merindukan bulan. Negeri Tukang Klaim tidak takut dengan soft power Indonesia sebab soft power yang dibangun Indonesia hanya mengutamakan dialog dan harmoni. Sebaliknya, pengambil keputusan di Indonesia nampaknya tidak berani melakukan disharmoni meskipun kepentingan nasional Indonesia sudah dirugikan.
Dengan kata lain, kepentingan nasional Indonesia yang bersifat major boleh-boleh saja dikorbankan demi pencapaian soft power. Tak sulit untuk menarik kesimpulan bahwa kepentingan nasional Indonesia saat ini terkesan merupakan subordinasi dari soft power. Kalau kita jeli membaca konstitusi negeri ini, jelas tindakan demikian bertentangan dengan konstitusi. Kini Indonesia lebih mengutamakan harmoni dengan negara-negara lain daripada mengedepankan kepentingan nasionalnya. Bangsa ini nampak sudah tidak punya harga diri lagi, sehingga mau saja melakukan barter tahanan. Celakanya, para diplomat yang hidup di menara gading nampaknya menganggap barter tahanan itu merupakan sebuah prestasi diplomatik.
Kalau sudah begini, menjadi lebih jelas dan terang benderang mengapa pembangunan kekuatan laut negeri ini terus mendapat hambatan. Bahkan dibandingkan dengan saudara Angkatan Laut yang tugas pokoknya mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain udara, pembangunan kekuatan laut tertinggal. Mungkin terlalu berlebihan, namun sulit menghindari kesan bahwa prioritas pada soft power memang benar-benar menegasikan pembangunan kekuatan laut. Negeri ini secara alamiah adalah macan, tetapi kini sifat yang ada pada macan itu tengah diubah untuk menjadi kucing dengan soft power.

17 Agustus 2010

Menunda Masalah ALKI

All hands,
Menjadi suatu pertanyaan yang hingga kini belum terjawab yaitu sampai berapa lama Indonesia akan menunda isu penetapan ALKI secara utuh. Penetapan ALKI utara-selatan pada 1998 diakui oleh IMO sebagai parsial, sebagaimana pendapat Amerika Serikat dan Australia. Indonesia pun kemudian mengaminkan pengakuan IMO tersebut. Dengan demikian, ALKI timur-barat sampai detik ini masih menjadi utang Indonesia.
Bisa jadi Indonesia meniru langkah Filipina yang mengakui dirinya negara kepulauan namun menolak menetapkan alur laut kepulauan. Negeri kelahiran Jose Rizal itu menolak preseden penetapan jalur ALKI utara-selatan Indonesia harus diikuti dengan jalur serupa di wilayah negaranya. Maksudnya, jalur ALKI utara-selatan Indonesia semestinya disambung oleh jalur serupa oleh Filipina, khususnya di bagian utara ALKI II dan III. Perairannya yang dangkal dan kekhawatiran akan polusi menjadi alasan formal Manila menolak penetapan alur laut kepulauan di wilayahnya, walaupun alasan itu sebenarnya bisa diuji kesahihannya.
Menunda penetapan ALKI timur-barat sah saja, namun ada baiknya diikuti dengan pembangunan kekuatan laut di sisi lain. Sebab, sebagai negara yang mengandalkan soft power sangat diragukan daya tahan Indonesia menghadapi tekanan Amerika Serikat yang bertumpu pada hard power. Artinya, suatu saat nanti soft power Jakarta akan terbukti mandul dan lumpuh menghadapi hard power Washington, meskipun di Jakarta masih ada kalangan pemuja soft power.
Membuka ALKI timur-barat merupakan hal yang sulit dihindarkan bagi Indonesia. Masalahnya bukan apakah akan membuka atau tidak membuka jalur itu, tetapi bagaimana mengurangi resiko kerugian dengan adanya ALKI timur-barat yang melintasi Laut Jawa. Salah satu cara mengurangi kerugian adanya membangun kekuatan Angkatan Laut, sehingga pengguna ALKI timur-barat akan berpikir untuk "macam-macam".

16 Agustus 2010

Makanya Sipil Jangan Terjun Ke Laut

All hands,
Kasus ditangkapnya petugas perikanan Indonesia oleh polisi Negeri Tukang Klaim hendaknya menjadi pelajaran seri berikutnya bagi kalangan sipil di Indonesia masih terus berkeras hati untuk terlibat dalam pengamanan di laut. Entah itu dari unsur pegawai negeri sipil maupun polisi, sebab keduanya adalah sipil. Meskipun polisi memegang senjata, tetap saja mereka adalah sipil dan tidak bisa digolongkan sebagai militer.
Pembagian di dunia cuma mengenal ada dua klasifikasi yaitu sipil dan militer. Kalau pihak yang digolongkan sebagai militer sudah jelas, tentu kelompok lain yang tidak termasuk dalam klasifikasi militer adalah sipil. Jadi tidak ada alasan lagi untuk ragu-ragu dengan status masing-masing pihak.
Terkait dengan kasus tersebut, ke depan pemerintah hendaknya mengatur ulang tentang keterlibatan sipil dalam pengamanan laut. Solusinya sederhana, yaitu sipil apapun instansi dan seragamnya tidak boleh terjun ke laut. Pengecualiannya adalah Coast Guard yang kini dikenal sebagai KPLP yang secara universal memang diberi kewenangan menegakkan hukum di laut.
Kecuali KPLP, penegakan hukum di laut di negeri ini hanya boleh dilakukan oleh Angkatan Laut. Kalau Angkatan Laut yang menegakkan hukum, kasus seperti yang menimpa sipil Indonesia tidak akan pernah terjadi. Sebab mereka tidak akan berani terhadap kapal perang Angkatan Laut, sebaliknya mereka tidak akan pandang kapal sipil Indonesia.
Kasus yang seperti itulah yang harus dijadikan pelajaran bagi Indonesia. Singkatnya, tidak ada ruang bagi sipil untuk terjun ke laut untuk pengamanan laut, kecuali Coast Guard. Kalau negeri ini tidak ingin dipermalukan di laut, sipil harus keluar dari laut kecuali KPLP.

15 Agustus 2010

Utang Indonesia Terhadap Stabilitas Kawasan

All hands,
Indonesia mempunyai beberapa utang terhadap stabilitas kawasan yang hingga kini belum dilunasi. Rupanya lebih gampang bagi Indonesia untuk melunasi utang terhadap kreditor internasional seperti IMF, Bank Dunia, ADB dan aktor-aktor negara daripada melunasi utang terkait keamanan kawasan. Apa saja utang negeri ini terhadap stabilitas kawasan?
Terdapat beberapa konvensi internasional yang hingga detik ini belum diratifikasi oleh Indonesia menyangkut keamanan dan keselamatan maritim. Yaitu 1988 SUA Convention, 1988 SUA Protocol, 1979 SAR Convention. Dua konvensi pertama mengatur soal tindak kekerasan tidak legal (di laut), misalnya pembajakan, perompakan dan terorisme maritim. Sedangkan konvensi terakhir adalah regulasi internasional tentang pencarian dan pertolongan terhadap distress di laut.
Khusus mengenai SAR Convention, memang meskipun Indonesia sampai kini belum menjadi negara pihak, tetapi tidak berarti Jakarta tidak memberikan pencarian dan pertolongan terhadap distress di laut selama ini. Namun masalahnya adalah apabila negeri ini mengadopsi konvensi itu, keuntungan yang akan diraih jauh lebih besar. Misalnya kemampuan memantau distress di laut yang selama ini sebagian bergantung pada kebaikan hati Australia.
Sementara dua konvensi pertama apabila diadopsi akan meningkatkan profil Indonesia dalam menghadapi ancaman di laut, khususnya yang bersifat asimetris. Selama ini profil Indonesia di mata beberapa negara dianggap tidak serius menangani ancaman itu, setidaknya secara politik. Ketidakseriusan secara politik bisa berdampak pada aspek operasional di laut.
Pertanyaannya, kapal Jakarta akan menandatangani dan meratifikasi sejumlah konvensi itu. Ada beberapa kemungkinan jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama, dalam waktu dekat. Kedua, bila dirasa perlu. Ketiga, setelah ada kejadian dan Indonesia menjadi bulan-bulanan dunia internasional di domain diplomatik internasional dan di media massa dunia.

14 Agustus 2010

Angkatan Laut Dan Proyeksi Indonesia Di ASEAN

All hands,
Selama ini gagasan Indonesia menyangkut ASEAN adalah ASEAN sebagai proyeksi kepentingan Indonesia. Gagasan ini tidak pernah dinyatakan secara tersurat, namun seringkali nampak secara tersirat. Pertanyaannya, seberapa siap Indonesia memproyeksikan kepentingannya dalam ASEAN?
Ambil contoh gagasan ASEAN Security Community yang akan diwujudkan pada 2015. ASC lahir dari keprihatinan Indonesia soal penyelundupan senjata ilegal ketika negeri ini dilanda konflik pada 1990-2003. Celakanya, senjata-senjata itu berasal dari dan atau melintasi negara-negara ASEAN tertentu. Setidaknya begitu cerita mantan Sekjen organisasi itu Rodolfo C. Severino dalam bukunya yang mengupas cerita tentang ASC.
Salah satu komponen kerjasama ASC adalah keamanan maritim, di mana Indonesia dituntut mampu memproyeksikan kepentingannya dalam wadah kerjasama tersebut. Masalahnya adalah seberapa serius Indonesia mengisi kerjasama tersebut? Kalau melihat beberapa isu kunci terkait dengan keamanan maritim yang hingga kini terkesan mendapat pembiaran dari pemerintah, rasanya bukan suatu hal yang berlebihan bila ada pihak-pihak di Indonesia yang skeptis dengan peran Indonesia nantinya dalam kerjasama maritim ASEAN.
Angkatan Laut suka atau tidak suka akan menjadi ujung tombak Indonesia kerjasama maritim ASEAN. Melihat laju kecepatan pembangunan kekuatan Angkatan Laut saat ini, ada rasa pesimis yang cukup kuat akan peran Angkatan Laut yang diharapkan dalam kerjasama itu. Realisasi pembangunan kekuatan laut tidak berbanding lurus dengan semangat pemerintah Indonesia yang menggebu-gebu soal kerjasama keamanan maritim ASEAN lewat ASC. Namun nanti ketika ada Angkatan Laut dari negara yang perairannya sangat "ciprit" dibandingkan perairan Indonesia berperan lebih dominan di bingkai ASEAN, di dalam negeri nampaknya akan ada unsur di luar Angkatan Laut yang pasti marah-marah dan dongkol.
Pertanyaannya, salah siapa atas semua kondisi itu?

13 Agustus 2010

Norma ASEAN Dan Keamanan Maritim

All hands,
Salah satu agenda ASEAN Security Community adalah setting the norm. Isu setting the norm apabila didalami merupakan isu sensitif. Sebab isu ini akan terkait dengan norma-norma lama dalam ASEAN yang beberapa di antaranya dipertanyakan relevansinya oleh beberapa pihak, seperti non interference. Pertanyaannya, apakah agenda setting the norm termasuk pula mengganti prinsip non interference yang sudah dianut ASEAN sejak 1967?
Prinsip non interference mempunyai implikasi terhadap keamanan maritim pula. Apabila prinsip tersebut mengalami penyesuaian dalam agenda setting the norm, akan berdampak pada negara-negara yang selama ini menjunjung tinggi soal kedaulatan di laut, khususnya dalam pengamanan laut. Apabila negara itu tidak mampu mengamankan perairannya, atas nama stabilitas kawasan maka negara-negara ASEAN lainnya bisa masuk untuk mengamankan perairan negara anggotanya.
Isu ini jelas sangat sensitif bagi Indonesia. Menyangkut isu ini, sebenarnya ada pilihan-pilihan buat Indonesia. Pertama, bertahan pada prinsip non interference. Kedua, mengadopsi norma baru ASEAN. Kalau pilihan kedua ditempuh, konsekuensinya pemerintah Indonesia harus melakukan akselerasi terhadap pembangunan kekuatan lautnya. Tanpa itu, masuknya Angkatan Laut ASEAN lainnya pada perairan Indonesia tertentu yang dipandang tidak aman dan sekaligus mengancam stabilitas kawasan merupakan keniscayaan.

12 Agustus 2010

Menimbang Nasib Laporan Kekuatan Militer Cina

All hands,
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, hingga kini laporan tahunan Pentagon kepada Kongres tentang kekuatan militer Cina edisi 2010 belum juga muncul ke publik. Kondisi ini berbeda dengan sebelumnya, di mana pada tiap Mei laporan itu diserahkan kepada Kongres dan sekaligus diterbitkan secara terbuka kepada masyarakat luas. Bisa jadi untuk tahun ini laporan itu mengalami penundaan publikasi, namun harus tetap terbit tahun ini juga sebab hal tersebut merupakan amanat Kongres kepada eksekutif.
Pertanyaannya, mengapa tertunda? Terdapat beberapa jawaban yang bisa direka untuk itu. Namun hal yang paling mungkin adalah kehati-hatian pemerintahan Obama. Pemerintahan Obama dipastikan sangat hirau dengan pembangunan kekuatan militer Cina, terlebih lagi dalam dua tahun terakhir tindakan Beijing di perairan internasional di sekitar wilayahnya lebih asertif dibandingkan sebelumnya.
Antara Washington dan Beijing ada pula saling ketergantungan dalam bidang ekonomi, walaupun dalam bidang politik dan keamanan hubungan keduanya cenderung antagonistik. Keterkaitan ekonomi yaitu selain banyaknya obligasi resmi pemerintah Amerika Serikat yang dibeli oleh Cina, juga pasar Amerika Serikat sebagai salah satu penghasil pundi-pundi bagi Cina. Kalau pasar di Amerika Serikat mengalami gejolak, ekonomi Cina akan terkena dampaknya, sementara cukup sulit bagi Beijing untuk hanya bertumpu pada pasar domestik saja.
Lepas dari semua itu, sebaiknya kita tunggu saja kapan laporan tahunan itu terbit dan bagaimana isinya dibandingkan dengan edisi 2009. Sebab dalam satu tahun terakhir, banyak dinamika keamanan yang mempengaruhi hubungan kedua negara.

11 Agustus 2010

Kondisi Kemampuan Peperangan Amfibi Negeri Tukang Klaim

All hands,
Terbakarnya kapal LST KD Sri Inderapura (A-1505) milik Angkatan Laut Negeri Tukang Klaim pada 8 Oktober 2009 ternyata memberikan dampak strategis terhadap kemampuan proyeksi kekuatan Kuala Lumpur. Sebab musnahnya kapal eks U.S. Navy itu membuat kemampuan amfibi kekuatan laut Negeri Tukang Klaim berkurang drastis. Padahal dalam rencana operasi Angkatan Laut Negeri Tukang Klaim, dibutuhkan tiga kapal amfibi untuk mendukung pergeseran pasukan Batalyon Reaksi Cepat Negeri Tukang Klaim. Pergeseran yang dimaksud adalah dari wilayah semenanjung ke wilayah Pulau Kalimantan bagian utara.
Situasi itu menggambarkan bahwa kini kemampuan peperangan amfibi Negeri Tukang Klaim tidak mencapai standar yang ditetapkan. Bahkan dapat dinilai, di masa lalu perencanaan pembangunan kekuatan pada Angkatan Laut Negeri Tukang klaim tidak terlalu berfokus pada kemampuan amfibi. Hal ini dapat dibuktikan dengan jumlah kapal yang mampu melaksanakan operasi amfibi yang terhitung sangat sedikit. Terbakarnya kapal LST kelas Newport itu memaksa pemerintah Negeri Tukang Klaim untuk menghidupkan kembali program multipurpose support ship program yang ditunda pada 2008 karena ketidakmampuan pemerintahan di Putra Jaya mengelola ekonominya sendiri menghadapi krisis ekonomi dunia 2008.
Walaupun sampai beberapa tahun ke depan diprediksi tidak ada konflik, akan tetapi setiap Angkatan Laut wajib memelihara kemampuan peperangan amfibi. Sebab kemampuan itu manfaatnya bukan sekedar saat ada konflik atau perang, tetapi juga berguna di masa damai. Misalnya untuk melaksanakan operasi HADR.

10 Agustus 2010

Ambisi Regional Dan Kekuatan Amfibi

All hands,
Setiap negara yang mempunyai ambisi regional harus didukung oleh kekuatan Angkatan Laut yang memadai. Tanpa kekuatan laut yang memadai, ambisi regional tersebut hanya sekedar ambisi. Kekuatan laut yang memadai antara lain didukung oleh ketersediaan kapal amfibi serbaguna untuk kepentingan proyeksi kekuatan ke kawasan. Proyeksi kekuatan yang dilakukan bisa saja berbentuk intervensi militer, boleh pula berupa kunjungan, dapat pula berupa keterlibatan dalam misi HADR.
Kekuatan amfibi suatu Angkatan Laut dapat dijadikan salah satu tolak ukur kemampuan nyata atas ambisi regional suatu negara. Bila suatu negara memiliki ambisi regional, tetapi tidak didukung oleh armada kapal amfibi yang memadai, maka ambisi itu hanya sekedar ambisi tanpa mampu membuktikannya. Sebab meskipun ambisi itu dikasih bingkai soft power, tetap saja pelaksanaan soft power memerlukan instrumen hard power, di antaranya adalah kekuatan Angkatan Laut.
India sekarang tengah merencanakan modernisasi kapal amfibi guna mendukung ambisi regionalnya. Kehadiran kapal amfibi dalam sususan tempur Angkatan Laut India sangat masuk akal, sebab eksistensi kapal induk bukan segalanya. Meskipun bisa melaksanakan operasi amfibim, tetapi kemampuan kapal induk terbatas. Misalnya dalam hal embarkasi dan debarkasi peralatan tempur semacam tank amfibi, meriam, pasukan pendarat dan lain sebagainya.
Kesibukan India mencari kapal amfibi baru membuktikan keseriusan pemerintahan di New Delhi untuk menjadikan Samudera India sebagai wilayah pengaruhnya. Kondisi di New Delhi seolah terbalik dengan situasi di Jakarta, di mana pemerintah Indonesia yang sebenarnya juga mempunyai ambisi regional tidak terlalu memberikan perhatikan yang proporsional terhadap Angkatan Lautnya, termasuk eksistensi kapal amfibi. Meskipun kapal amfibi serbaguna telah mampu dibuat oleh galangan perkapalan nasional, mestinya pemerintah Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas perusahaan tersebut menekan galangan kapal itu. Tekanan harus diberikan antara lain menyangkut ketepatan penyerahan produk dan jaminan kualitas produk.
India dalam rangka mencari kapal amfibi baru mengandalkan pada galangan perkapalan dalam negerinya. Ada sejumlah keuntungan dari hal tersebut, antara lain suatu saat nanti kapal itu akan dipamerkan sebagai salah satu simbol penguasaan teknologi perkapalan India ketika kapal tersebut diproyeksikan ke luar negeri untuk mendukung ambisi regionalnya. Pemikiran seperti itu nampaknya belum ada dalam pemikiran para pengambil keputusan di Jakarta dan industriawan perkapalan di Surabaya, sehingga produk yang dihasilkan seringkali kurang memenuhi harapan pemakai.

09 Agustus 2010

Tantangan Operasional Rudal Exocet MM-40 Blok III

All hands,
MBDA kini rajin mempromosikan rudal baru buatannya ke berbagai Angkatan Laut dunia yang selama ini telah menggunakan rudal Exocet sebagai senjata andalannya. Rudal baru tersebut tak lain dan tidak bukan adalah Exocet MM-40 Blok III yang merupakan penerus dari senjata serupa Blok II. Menurut informasi, Angkatan Laut Qatar telah menjadi salah satu konsumen senjata keluaran Eropa tersebut yang dipasang di kapal KCR. Adapun Angkatan Laut Indonesia termasuk yang dirayu untuk memakai rudal ini di masa depan.
Secara teknologi, sangat jelas bahwa rudal Exocet MM-40 Blok III lebih maju daripada pendahulunya. Dengan akan mulai banyak konsumen tradisional MBDA yang memakai Blok III nantinya, dipastikan dalam 10-15 tahun ke depan dukungan suku cadang bagi Blok II akan mulai seret. Hal ini hendaknya diantisipasi sejak dini oleh pemakai Blok II, karena dampaknya akan terbentang luas mulai dari aspek teknis hingga strategis.
Di sisi lain, harus pula diperhatikan teknologi yang disandang oleh adik Blok II yaitu Blok III. Salah satu pembeda di antara dua rudal bersaudara ini adalah jarak jangkau efektif, di mana sang adik mampu menjangkau sasaran hingga 180 km alias menggungguli sang kakak yang cuma 75 km. Blok III sebagaimana halnya sang kakak bisa ditembak dengan moda fire and forget, termasuk bisa diandalkan untuk menghindari jamming lawan atau mengelabui senjata anti rudal musuh.
Akan tetapi satu di antara faktor krusial yang sebaiknya tidak luput dari perhatian adalah jarak jangkau efektif rudal Blok III sejauh 180 km. Katakanlah sasaran berada pada jarak 140 km dari kapal perang yang menggendong Exocet MM-40 Blok III. Agar bisa menembak sasaran dengan tepat, kapal perang yang memuat rudal buatan Eropa ini harus dilengkapi dengan sistem penginderaan yang lintas cakrawala. Bisa berupa radar pengamatan berfrekuensi tinggi, dapat pula satelit yang mengintai dari angkasa, boleh juga dari pesawat pengintai.
Di sinilah tantangan bagi Angkatan Laut manapun yang akan mengoperasikan Exocet MM-40 Blok III secara optimal. Rudal ini bisa saja dipakai untuk menembak sasaran yang jaraknya 40-75 km, namun sangat disayangkan apabila tidak digunakan sekalian untuk melumpuhkan target yang berada di atas 75 km. Untuk bisa mengeksplotasi Blok III secara optimal, setiap Angkatan Laut yang mengoperasikan rudal keluaran MBDA ini harus mempunyai sistem pengamatan jarak jauh, entah yang berbasis di kapal perang, di antariksa ataupun di udara.

08 Agustus 2010

Komitmen Angkatan Laut Inggris

All hands,
Kebijakan pertahanan Inggris mengamanatkan bahwa jumlah minimal kapal kombatan atas air Royal Navy adalah 25 buah. Jumlah itu telah dihitung dengan seksama untuk memenuhi komitmen Royal Navy di berbagai kawasan, selain di wilayah Inggris sendiri. Seiring dengan penurunan anggaran pertahanan Negeri Ratu Elizabeth itu, kini jumlah kapal kombatan Royal Navy tidak memenuhi jumlah minimal yang telah ditetapkan. Tentu saja hal itu menimbulkan resiko tersendiri bagi Royal Navy untuk mengamankan kepentingan Inggris di seluruh dunia.
Tentu menjadi hal menarik untuk mengetahui kawasan mana saja yang sebenarnya menjadi komitmen Royal Navy, sehingga unsur kapal perangnya harus hadir di wilayah-wilayah itu.
Mengacu pada Future Navy Vision 2006, terdapat enam kawasan perairan yang menjadi komitmen Royal Navy. Yaitu perairan teritorial Inggris sendiri, Laut Mediterania, Teluk Persia dan Tanduk Afrika, Samudera India dan Samudera Atlantik. Dari situ terlihat bahwa untuk kawasan Samudera Pasifik, Royal Navy tidak mau masuk karena sadar perairan itu merupakan wilayah pengaruh U.S. Navy.
Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, Royal Navy dengan hanya berkekuatan 25 kapal kombatan atas air berani berkomitmen untuk hadir sepanjang tahun di keenam perairan. Kehadiran di perairan-perairan tersebut mencerminkan bahwa ada kepentingan Inggris yang dipertaruhkan sehingga harus diamankan. Tentu saja sudah melalui perhitungan yang cermat hingga para perencana pertahanan Inggris berani menaruh angka 25 kapal perang untuk wilayah yang sangat luas tersebut.
Pelajaran yang ditarik bagi Indonesia adalah meredefinisikan kembali di mana sebenarnya perairan yang wajib dihadirkan kapal perang sepanjang tahun. Selain itu, berapa pula jumlah minimal kapal kombatan atas air yang dibutuhkan. Dengan adanya pendefinisian yang jelas, akan bisa dihitung pula berapa biaya logistik yang harus siap setiap tahun untuk menghadirkan kapal perang di perairan yang dinilai strategis dari kacamata kepentingan nasional.

07 Agustus 2010

Komitmen Regional Angkatan Laut

All hands,
Dalam menentukan berapa jumlah minimal kapal kombatan suatu Angkatan Laut, salah satu hal yang harus diperhitungkan adalah komitmen regional Angkatan Laut. Dalam dunia yang mengalami interdependensi keamanan, termasuk di domain maritim, setiap Angkatan Laut secara alamiah mempunyai dua komitmen sekaligus, yakni komitmen nasional dan regional. Pada tingkat nasional, komitmen tersebut terkait dengan kewajiban-kewajiban untuk menjaga kepentingan nasional yang bersifat survival dan vital dan di antaranya terkait urusan keutuhan wilayah. Adapun pada tingkat regional, komitmen itu terkait dengan komitmen negara pemilik Angkatan Laut tersebut pada tingkat kawasan, khususnya terkait isu stabilitas keamanan kawasan.
Komitmen regional suatu Angkatan Laut ada yang terbatas pada kawasan di mana negara pemilik Angkatan Laut itu berada, tetapi ada pula yang berada di luar kawasan negara itu. Sebagai ilustrasi adalah komitmen regional Royal Navy di kawasan Mediterania dan Teluk Persia, dua wilayah yang jauh dari wilayah Inggris. Pelaksanaan komitmen regional oleh Angkatan Laut pada dasarnya adalah implementasi dari kebijakan politik pemerintah, khususnya kebijakan luar negeri.
Terkait dengan Indonesia, di manakah komitmen regional negeri ini yang mana Angkatan Laut harus melaksanakannya? Dua pertiga kawasan Asia Tenggara adalah wilayah Indonesia, sehingga tidak cukup komitmen regional itu dibatasi pada perairan Selat Malaka saja. Hendaknya menjadi kesadaran bersama bahwa "kesibukan" menangani isu keamanan maritim yang terkait dengan komitmen nasional tidak boleh menjadi alasan untuk menegasikan komitmen regional. Kalau diabaikan, pihak lain yang akan bermain di "lapangan" yang seharusnya dimainkan oleh Indonesia.

06 Agustus 2010

Negeri Tukang Klaim Menyelamatkan Muka Amerika Serikat

All hands,
Kebijakan politik Negeri Tukang Klaim kini bukan sekedar menyebarkan kekuatan lautnya ke Somalia untuk mengatasi ancaman pembajakan dan perompakan di sana. Kini Negeri Tukang Klaim juga mengirimkan pasukan daratnya ke Afghanistan dengan kedok tugas-tugas kemanusiaan. Di balik kedok itu, secara politik Negeri Tukang Klaim telah menyelamatkan muka Amerika Serikat yang babak belur di Afghanistan.
Hal ini sebenarnya juga merupakan tindakan menelan ludah sendiri oleh Negeri Tukang Klaim. Bukankah sebelumnya Negeri Tukang Klaim sangat kritis dan mengecam invasi Washington ke negeri yang bergunung-gunung tersebut dan kini dipenuhi oleh lautan ranjau. Suara kritis dan kecaman itu dibalut dalam solidaritas Muslim sedunia. Tetapi ternyata di balik itu, ada ketidakkonsistenan sikap.
Melihat kecenderungan kebijakan politik Negeri Tukang Klaim, patut dicermati bagaimana interaksi Negeri Tukang Klaim dengan Amerika Serikat dalam urusan keamanan di kawasan Asia Tenggara ke depan. Bisa jadi Negeri Tukang Klaim akan bersikap seperti negeri penampung koruptor yang selama ini rajin dikritisi pula olehnya. Kalau demikian adanya, apa implikasinya terhadap Indonesia, termasuk dalam urusan keamanan maritim.

05 Agustus 2010

Parameter Peperangan Anti Kapal Selam

All hands,
Dalam peperangan anti kapal selam, ada tiga parameter yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan suatu Angkatan Laut. Ketiga parameter ini bersifat universal, sebab peperangan anti kapal selam pada dasarnya bersifat universal. Apa saja ketiga parameter tersebut?
Yaitu kemampuan pengamatan and cueing peperangan anti kapal selam, struktur kekuatan peperangan anti kapal selam dan teknologi sensor peperangan anti kapal selam. Ketiga parameter dirancang oleh para ahli strategi peperangan kapal selam NATO. Antara parameter pertama dan ketiga mempunyai keterkaitan erat, sebab kemampuan pengamatan dan cueing akan ditentukan pula teknologi sensor yang disandang. Teknologi sensor itu tidak terbatas pada sonar yang terpasang pada kapal selam dan kapal atas air, namun mencakup pula jaringan "alat pendengar" yang dipasang di bawah air, khususnya pada perairan strategis.
Tentang struktur kekuatan peperangan kapal selam, substansinya adalah keseimbangan jumlah dan kemampuan kapal selam, kapal atas air dan pesawat udara untuk kepentingan jenis peperangan itu. Struktur kekuatan Angkatan Laut yang "sehat" harus menyeimbangkan ketiganya. Untuk mencapai struktur kekuatan yang "sehat" itu ternyata tidak mudah, bahkan di negara maju sekalipun.
Kemampuan peperangan anti kapal selam berguna baik untuk kepentingan operasi di wilayah perairan sendiri maupun proyeksi kekuatan. Apabila suatu Angkatan Laut berupaya membangun kemampuan proyeksi kekuatan ---termasuk mempunyai kapal induk---, namun tiga parameter peperangan anti kapal selam tidak dipenuhi, maka dapat direka kemampuan sesungguhnya Angkatan Laut tersebut.

04 Agustus 2010

Indonesia-Amerika Serikat: Cukup Sebatas Mitra?

All hands,
Dari lima negara pendiri ASEAN, Indonesia termasuk golongan minoritas dalam hubungannya dengan Amerika Serikat. Status hubungan Jakarta dengan Washington diklasifikasikan oleh Washington sebagai mitra. Sementara dua negara ASEAN lainnya yaitu Filipina dan Thailand berstatus sebagai sekutu, adapun negeri penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia dikelompokkkan sebagai teman. Adapun Indonesia, bersama Negeri Tukang Klaim, cuma berstatus sebagai mitra.
Dalam konteks militer, status mitra sangat mempengaruhi kerjasama yang terjalin antara Jakarta dengan Washington. Karena cuma berstatus sebagai mitra, maka kerjasama militer yang terjalin cukup rawan. Embargo bisa dengan gampang dijatuhkan, sementara hal itu sulit untuk dilakukan terhadap negara yang digolongkan sebagai sekutu. Lihat ketika pemerintahan Perdana Menteri Abhisit Vejajiva di Bangkok menggunakan kekuatan militer untuk menindaskan demonstrasi anti pemerintahan, Washington dengan mantap menyatakan tidak akan mengurangi atau menurunkan kerjasama militernya dengan Bangkok.
Oleh karena itu, cukupkah sekedar berstatus sebagai mitra Washington? Dalam hubungan dengan Washington, yang dibutuhkan adalah kecerdasan dalam mengimbangi manuvernya. Hanya dengan kecerdasan itu maka harga diri suatu negara tidak tergadaikan dan negara itu juga tidak terkesan mengemis-ngemis. Kata kunci dari kerjasama itu adalah kesetaraan dan saling menguntungkan.
Untuk bisa setara dan saling menguntungkan, sesungguhnya Jakarta punya banyak kartu truf untuk mengimbangi Washington. Selama ini kartu truf itu belum digunakan dengan benar. Karena tidak digunakan dengan benar, makanya posisi Jakarta terkesan subordinasi dari Washington dalam kerjasama yang terjalin.

03 Agustus 2010

Peran Utama Kekuatan Maritim Inggris

All hands,
Dalam konteks Inggris, apabila berbicara tentang kekuatan maritim maka hal itu identik dengan Angkatan Laut. Doktrin Maritim Inggris alias British Maritime Doctrine isinya sangat Angkatan Laut sekali alias hanya berbicara soal kekuatan Angkatan Laut. Mengacu pada doktrin tersebut, Kementerian Pertahanan Inggris kemudian menerbitkan Future Maritime Operational Concept yang setara dengan Naval Operations Concept di Amerika Serikat.
Dalam Future Maritime Operational Concept, terdapat lima core maritime roles. Perlu dipahami bahwa core maritime roles di sini setara dengan naval core capabilities yang ada dalam Naval Operations Concept. Roles yang disebut dalam Future Maritime Operational Concept bukan seperti roles yang dimaksud oleh Kenneth Boot, melainkan roles dalam lingkup mikro yang sebenarnya setara dengan capabilities. Apa saja core maritime roles Angkatan Laut Inggris?
Yaitu maritime force projection, theatre entry, flexible global reach, UK Maritime Security dan networked C4ISR. Memperhatikan kelima roles tersebut, jelas berbeda dengan yang dianut oleh Amerika Serikat. Misalnya tidak ada secara tersirat tentang sea control, deterrence, forward presence dan lain sebagainya.
Namun secara tersurat, capabilities yang dianut oleh Naval Operations Concept sesungguhnya sama dengan roles yang dicantumkan dalam Future Maritime Operational Concept. Yang berbeda hanya penyebutannya saja, namun substansinya sama. Artinya, teori strategi maritim bersifat universal dan dianut oleh semua Angkatan Laut, hanya saja ada pribumisasi istilah pada setiap negara, namun substansi dari teori strategi maritim itu tetap sama.

02 Agustus 2010

Desakralisasi Pakta Pertahanan

All hands,
Dalam persepsi yang berkembang di Indonesia, pakta pertahanan dipandang secara negatif. Hal ini terjadi sejak awal republik ini berdiri sampai hari ini. Harusnya pola pandang demikian sudah ditinggalkan dalam kondisi kekinian, sebab pakta pertahanan adalah salah satu cara yang lebih murah dalam mempertahankan diri daripada mempertahankan diri secara sendirian. Pola pandang yang pro pada pakta pertahanan atau setidaknya bersimpati pada pakta pertahanan masih merupakan pandangan langka.
Indonesia seharusnya melakukan desakralisasi terhadap pakta pertahanan. Pakta pertahanan adalah salah satu cara mempertahankan diri yang lazim dianut oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia hendaknya jangan berpikir dirinya adalah bangsa super yang bisa memenuhi kebutuhannya secara mandiri, termasuk dalam hal pertahanan diri. Sebaliknya, Indonesia harus memperluas domain kerjasama pertahanan sehingga tidak berkutat pada hal "itu-itu saja".
Perlu dikaji secara mendalam apa untung ruginya bergabung pada pakta pertahanan. Parameter untung ruginya adalah kepentingan nasional, khususnya yang terkait dengan pertahanan. Sebagai contoh sederhana, apakah dengan bertahan sendirian lebih gampang memperoleh berbagai jenis alutsista canggih daripada bergabung dalam suatu pakta pertahanan? Apakah dengan bergabung dengan pakta pertahanan deterrence Indonesia menurun atau meningkat? Apakah bergabung dengan pakta pertahanan berarti menurunkan martabat dan harga diri Indonesia?
Semua pertanyaan itu bisa dijawab dengan lebih lugas apabila sudah melakukan desakralisasi terhadap pakta pertahanan.

01 Agustus 2010

Berkaca Dari Jepang

All hands,
Jepang adalah negara industri maju yang tidak diragukan lagi. Dalam bidang industri pertahanan pun, mereka menguasai teknologinya secara paripurna. Sebagai besar sistem senjata yang digunakan oleh militer Jepang adalah buatan dalam negeri. Terdapat beberapa industri pertahanan utama di Negeri Sakura dan ditinjau oleh ratusan vendor. Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir beberapa industri dan vendor yang menekuni bidang pertahanan menutup usahanya di bidang itu dan beralih pada bidang lainnya.
Pertanyaannya, mengapa demikian? Tak bukan dan tidak lain karena adanya aturan nasional negeri itu yang melarang ekspor sistem senjata ke luar negeri. Produk senjata Jepang hanya boleh dikonsumsi oleh militer negeri itu. Karena terkena aturan itu, banyak perusahaan di Jepang yang menekuni bidang pertahanan tidak bisa menghasilkan produk yang memenuhi skala keekonomian.
Skala keekonomian akan tercipta apabila sistem senjata itu diserap oleh pasaran internasional. Anggaran pertahanan negeri kelahiran Laksamana Yamamoto itu memang besar, bahkan salah satu yang terbesar di dunia. Tetapi tetap saja ternyata pasar di dalam negeri tidak mampu menyerap semua produk yang dikembangkan, sehingga berakibat pada ditutupnya atau beralihnya bisnis sejumlah perusahaan yang selama ini menjadi pemasok bagi kebutuhan militer Jepang.
Kasus serupa dapat pula terjadi di Indonesia, yaitu apabila industri pertahanan nasional meminta dimanjakan oleh pemerintah tanpa mau bersaing di pasar regional dan internasional. Seberapa pun dimanja oleh kebijakan pemerintah alias disubsidi, tetap tidak akan bisa mencapai skala keekonomian. Satu-satunya cara agar skala ekonomi terpenuhi adalah bersaing di pasar ekspor.
Harap diingat bahwa anggaran pertahanan Jepang beratus kali lipat dibandingkan anggaran pertahanan Indonesia, namun tidak juga mampu memenuhi skala keekonomian industri pertahanannya. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang anggaran pertahanannya cuma 0.000 sekian persen dari anggaran Jepang?