All hands,
Kasus memalukan bangsa yang dilakukan oleh aparat sipil yang tidak sepantasnya terjun mengamankan laut memberikan banyak pelajaran bagi Indonesia (seandainya para pengambil keputusan berpikir). Satu di antaranya adalah menyangkut kinerja diplomasi Indonesia. Selama ini sudah banyak pihak di luar lingkungan Pejambon yang mengkritik keras kinerja diplomasi Indonesia yang gemar isu-isu soft power, tetapi (tidak mau) tahu apa yang terjadi di dalam negeri. Tak heran bila ada pihak yang dengan sinis menyatakan bahwa Deplu adalah Departemen Di Luar Negeri.
Sangat dipahami bahwa kinerja diplomasi akan optimal apabila didukung kondisi di dalam negeri. Namun lepas dari itu semua, sulit untuk menghindari kesan bahwa diplomasi Indonesia saat ini kurang asertif dan lebih mengutamakan harmoni dengan negara-negara lain daripada konflik. Diplomasi Indonesia terlalu santun dan tidak tahu apa sebenarnya kebutuhan di dalam negeri, bagaimana peran aktor Angkatan Laut dalam mendukung diplomasi dan lain sebagainya. Dengan kata lain, para diplomat Indonesia sudah mencapai comfort zone dan tidak mau keluar dari situ meskipun seringkali kepentingan nasional Indonesia dirugikan.
Bukan hal yang aneh kalau ada kalangan yang berpendapat bahwa diplomat Indonesia adalah diplomat Dunhill. Apa itu diplomat Dunhill? Rokok Dunhill mencantumkan tiga kota di bungkusnya, yaitu London, Paris dan New York. Diplomat Indonesia lebih senang bertugas di tiga kota dunia saja, yaitu London, Jenewa dan New York. Di sana mereka menikmati comfort zone, sehingga sangat wajar bila pos diplomatik di ketiga kota tersebut menjadi rebutan.
Yang dibutuhkan Indonesia saat ini dan ke depan bukan diplomat Dunhill, tetapi diplomat Marlboro. Diplomat Marlboro adalah diplomat yang asertif mengamankan kepentingan nasional pada isu-isu hard power, bahkan berani bertindak layaknya koboi. Kini tidak sedikit negara di dunia yang diplomatnya bergaya koboi dan keluar dari pakem diplomat yang sangat menjunjung tinggi sopan santun ala keraton. Menjadi diplomat Marlboro tidak berarti harus merusak pakem diplomasi, akan tetapi hanya sedikit improvisasi dari diplomasi.
Andai saja diplomat Indonesia adalah diplomat Marlboro dan bukan diplomat Dunhill, kasus barter tahanan dengan Negeri Tukang Klaim tidak akan pernah terjadi. Boleh saja para diplomat Dunhill membantah itu adalah barter, but deeds shows what is happening than words.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar