31 Desember 2010

Prestise Angkatan Laut

All hands,
Prestise Angkatan Laut antara lain dapat diukur dari jenis kapal perang yang dipunyai. Tentu yang paling prestise bagi Angkatan Laut di dunia adalah apabila memiliki dan mengoperasikan kapal induk. Kapal induk adalah pameran kekuatan daya rusak Angkatan Laut untuk mempengaruhi psikologis pihak lain. Karena mahalnya biaya operasional harian kapal induk yang nyaris menyamai rata-rata APBN Indonesia, cuma sedikit negara yang bisa memiliki dan mengoperasikannya.
Bagi kebanyakan Angkatan Laut di dunia, prestise lebih banyak mereka tumpukan pada kapal permukaan dan kapal selam. Karena mempunyai kapal permukaan dalam susunan tempur sudah merupakan hal yang lumrah, kini prestise Angkatan Laut lebih banyak diukur dari kapal selam yang dimiliki. Oleh karena itu, diperlukan kearifan bagi Indonesia dalam memilih jenis kapal selam yang akan memperkuat Angkatan Lautnya.
Kearifan yang dimaksud adalah memadukan antara pendekatan operasional sesuai spektek, kemodernan kapal selam, biaya operasional secara keseluruhan (bukan sekedar harga beli belaka) dan tentu saja pertimbangan politik. Dengan memadukan berbagai aspek tersebut menjadi sebuah kearifan, diharapkan akan meningkatkan prestise Angkatan Laut Indonesia di tahun-tahun mendatang.

30 Desember 2010

Ancaman Angkatan Laut Ke Depan

All hands,
Perkembangan lingkungan strategis kawasan Asia Pasifik sangat dinamis. Situasi kawasan ini dua tahun lalu agak berbeda dengan kondisi saat ini. Misalnya soal makin "mengerasnya" sikap konfrontatif antara Cina versus Amerika Serikat dan sekutunya seperti Jepang. Dinamika demikian tentu saja harus dikalkulasi Indonesia sebagai salah satu penghuni kawasan ini.
Dalam kondisi seperti itu, pembangunan kekuatan Angkatan Laut pasti menghadapi tantangan tersendiri. Sebab belum selesai program pembangunan kekuatan yang didasarkan pada dinamika lingkungan strategis dan asumsi tertentu sesuai dengan ruang waktu ketika program itu dirancang, datang pula dinamika lingkungan strategis yang mengalami "penyesuaian". "Penyesuaian" itu berdampak pada opsi dikembangkannya asumsi baru dalam pembangunan kekuatan.
Situasi demikian tentu saja "memusingkan", sebab pembangunan kekuatan Angkatan Laut tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu satu atau dua tahun saja. Minimal diperlukan tempo empat tahun guna mewujudkan apa yang telah ditulis di atas kertas. Menghadapi tantangan seperti ini, perlu dicari pendekatan yang tepat agar dapat mengantisipasi dinamika lingkungan strategis. Pertanyaannya, pendekatan seperti apa yang diperlukan?
Jawaban atas pertanyaan itu sebenarnya sudah sangat familiar di lingkungan kekuatan laut Indonesia, yaitu capability-based planning. Namun, mungkin sebaiknya perlu pemahaman kembali terhadap konsep tersebut agar tidak rancu dengan konsep threat-based planning. Pemahaman inilah yang nampaknya perlu diperkuat agar ke depan program pembangunan kekuatan diharapkan dapat "awet" selama periode tertentu.

29 Desember 2010

Rudal Dan Diplomasi Angkatan Laut

All hands,
Apa hubungan antara rudal dan diplomasi Angkatan Laut? Satu di antara hubungan itu yakni apabila suatu Angkatan Laut mampu "menghadirkan" rudalnya di kota negara lawan ---misalnya lewat surge---, hal itu sudah cukup bagi suatu pamer kekuatan. Surge yang merupakan bentuk serangan terbatas dapat digolongkan sebagai implementasi diplomasi Angkatan Laut, dalam hal ini suasi aktif. Seperti diketahui, dalam suatu aktif terkandung sifat koersif dan kegiatan ini lebih dikenal sebagai gunboat diplomacy.
Untuk bisa "menghadirkan" rudal ke kota negara lawan, suatu Angkatan Laut dituntut untuk mempunyai rudal sasaran darat. Dengan adanya rudal jenis itu, maka unsur koersifnya akan sangat terasa. Serangan itu dipastikan akan mempengaruhi psikologis negara lawan, terutama penduduk sipil. Pertanyaannya, apakah rudal jenis itu cukup diusung oleh kapal permukaan?
Dalam diplomasi Angkatan Laut, visibilitas adalah salah satu hal yang harus diperhatikan. Soal ini, sangat jelas dan tak terbantahkan bahwa kapal permukaan jauh lebih unggul dibandingkan kapal selam yang karakternya memang lebih baik tidak terlihat. Seiring dengan kemajuan teknologi, kapal selam menjadi andalan dalam melancarkan serangan pendadakan terhadap lawan, termasuk melalui peluncuran rudal dengan sasaran di darat.
Dengan demikian, untuk mengirimkan pesan kepada lawan lewat "bahasa rudal" dalam kerangka diplomasi Angkatan Laut, peran kapal selam tidak dapat diabaikan. Dengan karakteristiknya, kapal selam dapat dieksploitasi sedemikian rupa bagi implementasi diplomasi Angkatan Laut.

28 Desember 2010

Pilihan Yang Mengacu Kepada Kepentingan Nasional

All hands,
Sebentar lagi mentari 2010 akan tenggelam dan digantikan oleh fajar 2011. Ketika fajar 2011 merekah di ufuk cakrawala, di saat itu pulalah tongkat kepemimpinan ASEAN resmi dipegang oleh Indonesia. Terkait dengan soal itu, hal krusial yang dihadapi Indonesia dalam kepemimpinan ASEAN adalah agenda apa yang diusung oleh Indonesia dan apakah agenda itu mengacu pada kepentingan nasional.
Sebagai contoh adalah tentang focal point di ADMM+. Harus dipertimbangkan dengan cermat kepentingan nasional Indonesia dalam hal itu. Apakah benar urusan perdamaian dunia prioritasnya lebih tinggi daripada menjaga keutuhan tanah tumpah darah Indonesia? Kalau urusan menjaga tumpah darah adalah harga mati (meminjam istilah yang sering digunakan oleh matra lain), maka isu keamanan maritim harusnya lebih diprioritaskan daripada isu pemeliharaan perdamaian. Sebab isu keamanan maritim terkait langsung dengan tanah tumpah darah Indonesia yang dua pertiganya adalah lautan.
Diperlukan kearifan untuk menentukan prioritas Indonesia dalam kerjasama ADMM+. Kearifan tersebut harus mengacu pada kepentingan nasional. Bila tidak, secara tidak langsung bangsa Indonesia mempersilakan negera-negara lain untuk mengurus keamanan maritim di wilayah Indonesia. Apakah hal demikian selaras dengan kepentingan nasional Indonesia? Bukan hal yang lucu bila Indonesia sibuk mengurus perdamaian di negeri orang, sementara urusan keamanan di wilayahnya sendiri justru diurus oleh orang lain.

27 Desember 2010

Merancang Pangkalan Masa Depan

All hands,
Kebutuhan pangkalan Angkatan Laut yang representatif bagi homebase kapal perang negeri ini nampaknya sulit dihindari. Sebab pangkalan yang ada selama ini pada dasarnya merupakan peninggalan era kolonial yang seiring dengan perkembangan zaman sudah tidak ideal lagi bagi kebutuhan operasional Angkatan Laut. Oleh karena itu, sebaiknya sejak dini perlu dipikirkan akan pangkalan induk Angkatan Laut di masa depan, meskipun perwujudannya mungkin baru 30-40 tahun ke depan.
Pembangunan pangkalan induk baru memang tidak mudah, karena biaya yang dibutuhkan trilyunan rupiah. Sebab harus dibangun infrastruktur yang memadai sesuai kebutuhan Angkatan Laut, seperti dermaga dan kolam, berbagai fasilitas logistik ---termasuk tangki BBM dan fasilitas pemeliharaan--- dan fasilitas perumahan pangkalan. Di samping soal anggaran, pemilihan lokasi geografis pun perlu dilakukan dengan cermat. Di sini pertimbangan aspek hidrografi, meteorologi, vulkanologi, sifat tanah dan lain sebagainya harus dipertimbangkan secara seksama dan tidak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Di masa lalu, antara ide pembangunan dan perwujudan pangkalan Angkatan Laut di Teluk Ratai memerlukan jangka waktu sekitar 30 tahun. Gagasan itu lahir sekitar tahun 1960-an awal dan baru bisa diwujudkan pada 1990-an awal. Itupun dengan catatan pangkalan itu tidak dapat berfungsi maksimal seperti pada rancangan awal, karena adanya pertimbangan lain yang kemudian berkembang. Tentu tidak diharapkan ketidaksinkronan di Teluk Ratai akan terulang di masa depan.

26 Desember 2010

Program Angkatan Laut Jangka Panjang

All hands,
Pembangunan kekuatan Angkatan Laut harus dirancang jauh-jauh hari, sebab pembangunan kekuatan melibatkan sumber daya yang cukup besar. Sumber daya yang dimaksud meliputi aspek finansial, sumber daya manusia dan lain sebagainya. Sebab ketika direalisasikan, program pembangunan kekuatan akan berhadap dengan sumber daya yang tersedia.
Sebagai ilustrasi, dalam rencana 30 pembangunan kapal perang Amerika Serikat (2011-2040) dicanangkan pada 2040 Angkatan Laut Amerika Serikat akan mempunyai 313 kapal perang. Jumlah 313 kapal itu termasuk pengadaan kapal perang baru sebanyak 276 unit untuk menggantikan sebagian besar kapal perang yang ada saat ini. Untuk mencapai angka 313 unit, diproyeksikan antara periode 2011-2040 akan ada penurunan jumlah kapal perang ke jumlah minimum 288 pada 2023-2032 yang selanjutnya kemudian akan bertambah mencapai batasan 313 menjelang 2040.
Proyeksi jumlah kapal perang itu didasarkan pada proyeksi anggaran pertahanan Amerika Serikat hingga 2040 beserta berapa porsi yang diperuntukkan bagi Angkatan Laut. Pada tingkat yang konservatif, para perencana Angkatan Laut memproyeksikan bahwa tidak ada pertumbuhan nyata pada anggaran pertahanan dan kemudian memproyeksikan dampaknya pada pembangunan kapal perang untuk mencapai 313 pada 2040. Jumlah 313 kapal perang merupakan kalkulasi agar Angkatan Laut Amerika Serikat dapat mengamankan kepentingan nasional Amerika Serikat di seluruh dunia guna mempertahankan dominasi Washington sebagai kekuatan global.
Terdapat banyak pelajaran yang dapat ditarik Indonesia dari contoh pembangunan kekuatan laut Amerika Serikat. Pertama, perencanaan jangka panjang harus memproyeksikan pula dukungan anggaran pertahanan dalam suatu kerangka jangka waktu. Kedua, ada penghitungan pasti berapa jumlah kapal perang (minimal dan sedang) yang dibutuhkan untuk mengamankan kepentingan nasional. Ketiga, selalu diproyeksikan dan diasumsikan bahwa kapal perang yang ada saat ini tidak akan lagi memperkuat susunan tempur Angkatan Laut dalam jangka panjang.

25 Desember 2010

Mempererat Kerjasama Militer Indonesia-Jerman

All hands,
Jerman merupakan salah satu mitra penting bagi Indonesia, khususnya Angkatan Laut, dalam pembangunan kekuatan. Secara khusus, ikatan kedua negara terkait dengan pasokan kapal selam Jerman kepada Indonesia. Setelah Angkatan Laut Indonesia mempensiunkan kapal selam kelas Whiskey pada awal 1980-an, kekuatan kapal selam Indonesia sepenuhnya bertumpu pada Jerman. Hingga akhir 1990-an, ada ikatan yang erat dan kuat dalam urusan sistem senjata antara Jakarta dan Berlin, di antaranya karena ada hubungan emosional salah seorang mantan petinggi Indonesia dengan Jerman sebagai negeri di mana eks pejabat tersebut sekolah dan membangun reputasinya sebagai seorang ilmuwan kelas dunia.
Pasca masa itu, nampaknya hubungan kedua negara khususnya terkait sistem senjata tidak seerat di era sebelumnya. Beberapa tahun lalu Jerman pernah menaikkan bunga pinjaman terhadap Indonesia karena Berlin tidak berkenan terhadap tindakan Jakarta terkait produk dia yaitu kapal selam kelas U-209/1300. Soal ini memang tidak kasat mata, tetapi nyata.
Dalam perkembangan terkini, sepertinya kemitraan Indonesia-Jerman soal kapal selam akan berlanjut. Kecenderungan seperti itu perlu diantisipasi oleh Indonesia dengan mempererat kerjasama militer dengan Jerman. Sebab bila tidak, ada dampak negatif bersifat jangka panjang kalau kelanjutan kemitraan tersebut memang betul berlanjut. Banyak opsi yang tersedia untuk mempererat kemitraan itu selama Indonesia mau berpikir.

24 Desember 2010

Independensi Jerman Dalam Penjualan Kapal Selam

All hands,
Jerman merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang menguasai teknologi kapal selam dan mampu memproduksi kapal selam. Untuk kapal selam jenis konvensional alias diesel elektrik, Jerman adalah salah satu produsen utama selain Prancis dan Rusia. Posisi ini menempatkan negeri yang pernah hancur lebur di akhir Perang Dunia Kedua sangat strategis di mata Amerika Serikat dalam soal proliferasi teknologi kapal selam.
Sebagai negara adidaya, sangat wajar apabila Amerika Serikat berupaya membatasi peredaran kapal selam beserta teknologinya, termasuk kapal selam konvensional yang biayanya lebih murah dibandingkan kapal selam nuklir. Berlin termasuk dalam sasaran Washington untuk dikendalikan dalam soal itu. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu ada upaya dari perbankan Amerika Serikat untuk menguasai HDW.
Mengapa Washington begitu bernafsu mengendalikan Jerman? Tak lain karena kebijakan Jerman soal kapal selam dan teknologinya selama ini cukup independen. Berlin tidak suka dengan cara-cara Washington untuk mengendalikan atau turut campur dalam kebijakan soal penjualan kapal selam dan teknologinya ke negara-negara lain.
Kebijakan Jerman soal kapal selam dan teknologi secara umum ada dua, pertama negara konsumen tidak memusuhi atau menggelar perang terhadapnya. Kalau persyaratan ini dipenuhi, dijamin suku cadang akan terus mengalir dengan lancar ke negara konsumen selama kapal selam buatan Jerman yang mereka operasikan masih operasional. Kedua, Jerman tidak terlalu pelit menyebarkan teknologi kapal selam lewat lisensi dan co-production. Tetapi harus dipahami di sini cetak biru teknologi yang diberikan tidak 100 persen, seperti yang dialami oleh Seoul.
Kapan suatu negara bisa mendapat berkah penyebaran teknologi kapal selam dari Jerman? Jawabannya singkat, ketika Jerman diuntungkan secara politik dan ekonomis dari program itu. Keuntungan ekonomis misalnya kapal selam yang dibeli di atas lima buah. Harus diingat bahwa program dan lisensi beserta biaya yang harus dibayarkan oleh negara lain atas kemurahan hati Jerman itu sudah dihitung secara ekonomis. Artinya, tak mungkin Jerman merugi dari program kerjasama itu.
Kalau Indonesia berminat untuk lisensi dan atau co-production, secara ekonomis harus berani membeli kapal selam dalam jumlah "banyak" dari Jerman. Adapun secara politis, Indonesia harus mau "berkawan" dengan Jerman. Kalau tidak mau "berkawan" tetapi ingin teknologi kapal selamnya, sama saja dengan mimpi di siang bolong.

23 Desember 2010

Kerjasama Ekonomi Indonesia-Cina dan Isu Laut Cina Selatan

All hands,
Indonesia terus meningkatkan kerjasama ekonominya dengan Cina, di mana dalam prakteknya Indonesia bagaikan tangan yang berada di bawah. Dengan kata lain, posisi Jakarta lebih inferorir ketika berhadapan dengan Beijing. Inferioritas ini patut untuk diwaspadai, karena meskipun ada slogan million friends zero enemy dari Jakarta, tetapi Beijing tidak mengenal ---apalagi menganut slogan tersebut.
Mengapa harus waspada? Cina hingga kini terus bersikap asertif dalam klaimnya terhadap Laut Cina Selatan, termasuk ZEE Indonesia. Sejak Oktober 2010 Cina dengan lantang meminta agar militer Amerika Serikat tidak berada di perairan dekat wilayahnya, sebab perairan itu diklaim sebagai eksklusif miliknya. Soal apa dasar hukum klaim Cina itu, nyaris tidak ada kecuali warisan nenek moyang zaman dahulu.
Masalah klaim Cina atas ZEE Indonesia hendaknya tidak disembunyikan di bawah karpet, agar terlihat hubungan kedua negara kokoh, erat dan mesra. Jakarta hendaknya membatasi diri dalam kerjasama ekonomi dengan Beijing, artinya jangan atas nama mengejar investasi dan mensukseskan perdagangan bebas, maka semuanya diobral kepada Beijing. Singkatnya, Indonesia jangan pernah bersikap appeasement terhadap Cina di bidang ekonomi.
Kenapa demikian? Dikhawatirkan, suatu saat nanti Indonesia tidak berani bersikap keras terhadap Cina menyangkut ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan. Jangan sampai kebijakan menyandera diri dengan isu TKI ketika berurusan dengan Negeri Tukang Klaim diulangi pula dalam kasus ZEE Indonesia. Sangat bertentangan dengan kepentingan nasional bila Indonesia secara sadar menyandera dirinya melalui ketergantungan akan arus barang, jasa dan modal kepada Cina yang nantinya akan melemahkan Indonesia dalam isu Laut Cina Selatan.
Harap diingat, Tokyo telah menjadi korban dari ketergantungannya akan material langka dari Cina dalam pengembangan industri elektronikanya. Ketergantungan itu dimainkan dengan cerdas oleh Beijing ketika Jepang menangkap nelayan Cina yang melakukan intrusi di Kepulauan Senkaku yang diklaim oleh Tokyo.

22 Desember 2010

Pengendalian Chokepoint Sebagai Bagian Dari Blokade

All hands,
Dalam teori strategi maritim, blokade Angkatan Laut dapat berbentuk distant blockade, bisa pula berupa close blockade. Dewasa ini, isu blokade masih tetap dikhawatirkan oleh negara-negara yang mempunyai kepentingan jauh dari wilayah nasionalnya. Pada prakteknya, ada banyak cara untuk melakukan blokade terhadap suatu negara. Meskipun cara yang kasat mata adalah seperti yang dialami oleh Irak di masa Presiden Saddam Hussein pasca Perang Teluk 1990, ada pula blokade yang tak kasat mata tapi nyata. Dua negara yang mengalami blokade tak kasat mata itu adalah Iran dan Korea Utara, dengan dasar instrumen yaitu beberapa resolusi Dewan Keamanan PBB.
Di kawasan Asia Pasifik, negara yang paling khawatir akan blokade adalah Cina. Kekhawatiran Cina terhadap blokade adalah blokade jarak jauh melalui pengendalian chokepoint, khususnya Selat Malaka. Sangat gampang untuk menebak pihak mana yang akan melaksanakan blokade jarak jauh tersebut. Tak aneh bila sekarang Cina terus membangun kekuatan Angkatan Lautnya agar mampu beroperasi jarak jauh.
Indonesia sebagai negara yang mempunyai empat chokepoints strategis mempunyai kemampuan untuk melakukan blokade jarak jauh terhadap beberapa negara tertentu. Sayangnya, karena pengambilan keputusan di negeri ini belum bervisi maritim, maka potensi itu tinggal sebagai potensi. Kalau Indonesia menetapkan penutupan perairan tertentu sebagai respon atas kebijakan dan tindakan negara tertentu terhadap Indonesia, hal itu sebenarnya sudah merupakan blokade jarak jauh secara terbatas. Meskipun bersifat terbatas, tetapi dampak politiknya besar.

21 Desember 2010

Operasi Militer Indonesia Dan Stabilitas Kawasan

All hands,
Kekuatan militer Indonesia setiap hari menggelar operasi meskipun dalam suasana damai. Operasi yang digelar ada dua jenis, yaitu operasi rutin dan operasi khusus. Yang dimaksud operasi khusus di sini berbeda dengan pemahaman di militer negara-negara maju, yaitu operasi yang menggunakan pasukan khusus. Operasi khusus dalam pemahaman militer Indonesia adalah operasi yang di luar operasi rutin, misalnya pengamanan wilayah tertentu karena ada ancaman keamanan dan lain sebagainya.
Ketiga matra dalam militer Indonesia senantiasa melaksanakan operasi setiap hari. Kalau melihat banyaknya jenis operasi, maka sulit dibantah bahwa Angkatan Laut mempunyai setidaknya 14 operasi yang digelar sekaligus dalam satu hari. Operasi tersebut antara lain menyangkut pengamanan perbatasan, pengamanan ALKI, operasi keamanan laut dan lain sebagainya. Adapun matra lainnya menggelar beberapa jenis operasi yang jumlahnya jauh lebih kecil daripada Angkatan Laut.
Dibandingkan dengan operasi yang digelar matra lain, operasi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut memiliki korelasi langsung dengan stabilitas kawasan. Sebab laut adalah bagian dari globalisasi, sehingga ancaman terhadap keamanan maritim berarti ancaman terhadap globalisasi dan sekaligus stabilitas kawasan. Berbeda misalnya dengan ancaman terhadap wilayah perbatasan darat yang tidak langsung terkait atau identik dengan ancaman terhadap globalisasi. Begitu pula ancaman yang berupa pelanggaran wilayah udara, misalnya pesawat terbang asing yang keluar dari jalur yang telah ditetapkan, bukan pula ancaman terhadap globalisasi dan stabilitas kawasan.
Kondisi nyata ini menggambarkan betapa operasi-operasi Angkatan Laut Indonesia memiliki hubungan langsung dengan globalisasi maupun stabilitas kawasan. Ketidakmampuan Indonesia menjaga keamanan maritim di wilayah perairannya berarti ancaman terhadap globalisasi dan stabilitas kawasan. Dikaitkan dengan organisasi militer Indonesia, dengan kondisi seperti itu sudah sewajarnya dan pantas apabila flag officer menduduki jabatan penting terkait dengan operasi yang digelar oleh militer Indonesia.

20 Desember 2010

Laut Natuna Dan Laut Cina Selatan

All hands,
Sejak 1990-an, Cina secara resmi membantah mengklaim wilayah Natuna sebagai wilayah kedaulatannnya. Bantahan itu disampaikan secara resmi oleh para pejabat Cina kepada Indonesia melalui jalur resmi. Masalahnya adalah, bantahan Cina berbeda dengan subyek yang diprotes oleh Indonesia.
Jakarta secara konsisten terus memprotes klaim Beijing terhadap ZEE Indonesia di utara Laut Natuna. Di ZEE itu Beijing dengan seenaknya mengklaim wilayah itu lewat sembilan garis putus-putus. Itulah subyek yang diprotes oleh Jakarta, bukan soal klaim Beijing terhadap Kepulauan Natuna. Sebab memang Beijing tak pernah mengklaim wilayah kepulauan paling utara Indonesia tersebut.
Isu ini hendaknya menjadi perhatian semua pihak terkait di Indonesia, khususnya pengambil keputusan. Jangan sampai terjebak dalam skenario Cina. Kalau terjebak dalam skenario Cina, berarti kerugian akan timbul terhadap Indonesia, minimal sekali wilayah ZEE Indonesia akan berkurang.
Di samping itu, Jakarta hendaknya konsisten memakai forum multilateral untuk menyelesaikan isu Laut Cina Selatan secara damai. Penggunaan forum bilateral seperti yang dikehendaki Beijing akan berpotensi merugikan Jakarta, sebab di sini berbicara soal daya tawar. Daya tawar Indonesia akan lebih kuat apabila berada dalam forum multilateral, misalnya ASEAN atau ARF.

19 Desember 2010

Perlindungan Kekuatan

All hands,
Dalam perang dan konflik masa kini, isu perlindungan kekuatan alias force protection menjadi satu isu penting bagi militer banyak negara. Demi mampu melaksanakan perlindungan kekuatan, banyak negara yang rela mengeluarkan uang tidak sedikit dari pundi-pundinya. Sebagai ilustrasi, konflik di Afghanistan dan Irak yang dipicu oleh invasi militer Amerika Serikat melahirkan berbagai kendaraan angkut lapis baja berkategori MRAP dan MATV (MRAP-ATV). Begitu pula dengan penggunaan wahana udara berawak dan tidak berawak untuk mendeteksi keberadaan IED yang sekarang menjadi pencabut nyawa nomor satu bagi para prajurit Amerika Serikat dan ISAF.
Isu perlindungan kekuatan sesungguhnya tak hanya berlaku bagi kekuatan Marinir dan Angkatan Darat, tetapi berlaku pula untuk kekuatan Angkatan Laut. Sebab kapal perang juga sangat rawan terhadap serangan, baik di tengah laut maupun saat sandar di pangkalan atau pelabuhan maupun lego jangkar di kawasan dekat pantai. Sebagai ilustrasi, kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat pernah diserang dengan roket saat bersandar di pelabuhan Teluk Aqaba, Yordania. Kasus USS Cole (DDG-67) juga terjadi ketika kapal itu tengah berada di kawasan pelabuhan Yaman.
Karena pentingnya perlindungan kekuatan, tidak heran bila kapal perang asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan Indonesia menerapkan persyaratan yang ketat. Misalnya meminta tuan rumah membuat pagar kontainer di dermaga di mana kapal perang mereka bersandar, di samping meminta pengamanan perimeter oleh pasukan Angkatan Laut tuan rumah, yakni Kopaska. Sementara di atas kapal perang mereka sendiri, pengamanan ketat dilaksanakan 24 jam, misalnya dengan penjagaan di haluan dan buritan dengan petugas bersenjata lengkap.
Dalam konteks Indonesia, seiring merebaknya terorisme, prosedur terkait perlindungan kekuatan sebaiknya dikaji ulang. Sebab kapal perang Angkatan Laut seringkali bersandar di pelabuhan umum yang mudah diakses oleh siapa saja, termasuk pihak yang tidak berkepentingan. Kalaupun kapal perang bersandar di dermaga pangkalan Angkatan Laut, seringkali posisi pangkalan bersebelahan dengan pelabuhan umum sehingga terbuka akses lewat air.

18 Desember 2010

Konsekuensi UNCLOS 1982

All hands,
Ratifikasi dan penerapan UNCLOS 1982 mempunyai banyak konsekuensi terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan. Beberapa di antaranya adalah harus meningkatnya kemampuan Angkatan Laut negeri ini dalam menjaga laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen Indonesia. Begitu pula dengan harus meningkatnya kemampuan Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di zona-zona tersebut. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa perluasan wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia tidak diikuti dengan penguatan Angkatan Laut secara signifikan.
Dari sini muncul pertanyaan, yakni sebenarnya Indonesia lebih banyak meraih keuntungan atau kerugian dengan berlakunya UNCLOS 1982? Apakah Indonesia hanya cukup puas dengan meraih pengakuan status sebagai negara kepulauan sesuai UNCLOS 1982? Apakah kepentingan nasional Indonesia sudah cukup terwadahi hanya dengan meraih status itu?
Saat ini Washington secara pelan-pelan mulai menggergaji UNCLOS 1982 lewat mekanisme Dewan Keamanan PBB. Salah satunya adalah resolusi Dewan Keamanan PBB No.S/Res/1816 (2008). Seperti pernah ditulis di sini, resolusi itu secara langsung menggergaji UNCLOS 1982.
Cara pandang pengambil kebijakan di Indonesia menyangkut UNCLOS 1982 nampaknya perlu dirombak, sebab cara pandang yang selama ini dianut lebih mengutamakan pengakuan politik minus guts untuk mengamankan kepentingan nasional terkait domain maritim secara operasional. Bila tidak ada perombakan cara pandang, nampaknya diratifikasi atau tidaknya UNCLOS 1982 tidak membawa keuntungan optimal bagi negeri ini.

17 Desember 2010

Manuver Thailand Dalam Orbit Amerika Serikat

All hands,
Thailand telah menjadi sekutu penting Amerika Serikat di luar NATO sejak masa Perang Dingin. Negeri seribu pagoda itu menjadi tuan rumah bagi gelar kekuatan militer Uwak Sam ketika Perang Vietnam berkecamuk. Namun setelah perang itu berakhir, militer Amerika Serikat segera mengundurkan diri dan Thailand seolah-olah dilupakan oleh para pejabat di Washington. Dalam kondisi seperti itu, Bangkok dengan cerdas merapatkan hubungan dengan Beijing, terlebih ketika itu Bangkok tengah menjadi tuan rumah bagi pasukan perlawanan Kamboja yang berjuang memerangi Vietnam yang menginvasi Kamboja pada 1978 dan mendirikan pemerintahan boneka di Phnom Penh.
Pada perkembangan terbaru, pada Oktober 2010 Bangkok mengirimkan dua kapal perangnya untuk berpartisipasi dalam CTF-151 di bawah pimpinan Washington. Pengiriman dua kapal perang tersebut konon kabarnya tidak lepas dari tekanan kuat Washington. Bangkok tampaknya tidak berkutik, sehingga mengikuti jejak Singapura yang sudah terlebih dahulu bergabung dalam CTF-151.
Meskipun begitu, ada hal yang kurang terekspos kepada publik internasional. Apa itu? Kemauan Bangkok menuruti instruksi Washington diikuti dengan manuver Thailand kepada Amerika Serikat agar memenuhi pula kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya dalam soal kerjasama militer, begitu pula agar Washington tidak ribut dengan peran politik militer Thailand di dalam percaturan Negeri Gajah Putih. Singkatnya, ada cost and benefit yang senantiasa dinikmati oleh Thailand dalam hubungannya dengan Amerika Serikat.
Cost and benefit itu yang tak ada dalam pola pikir dan pola tindak Jakarta selama ini menghadapi hegemoni Washington.

16 Desember 2010

Bersikap Bijak Terhadap Perhitungan Kuantitatif

All hands,
Selama ini sebagian pihak ---baik warga Angkatan Laut maupun non warga Angkatan Laut--- berupaya menempuh pendekatan akademis dalam mengkalkulasi kebutuhan Angkatan Laut negeri ini. Termasuk pula di dalamnya pendekatan kuantitatif yang digunakan pula untuk menghitung efektivitas tempur di lapangan melalui olahyudha alias wargames. Pendekatan demikian sah saja dari sisi akademis, namun ada baiknya bagi kalangan yang menggeluti aspek strategi dan operasional di lapangan, perlu disikapi dengan bijaksana. Singkatnya, pendekatan kuantitatif tersebut apabila hendak diadopsi hendaknya dengan kehati-hatian yang tinggi.
Mengapa demikian? Pertama, sebagai pihak yang menggeluti kebijakan, strategi dan operasi, kita hendaknya tidak melupakan pesan dari Carl Von Clausewitz. Pemikir strategi asal Prusia ini mengingatkan adanya fog of war. Teori fog of war hingga kini masih sangat valid, meskipun sebagian pemikir strategi dari Amerika Serikat berupaya menghilangkannya dengan RMA, khususnya melalui network-centric.
Fog of war dari pendekatan kuantitatif tidak mampu meliputi/mencakup/menghitung kemampuan peperangan elektronika, kesiapan personel Angkatan Laut (dalam arti luas), cuaca dengan segala anomali fisika dan kimianya, begitu pula dengan sifat kimiawi, fisika dan biologi lautan. Itu hanya beberapa fog of war yang terkait dengan operasi di laut, sebab masih banyak lagi fog of war yang lain. Perlu dipahami semua fog of war itu tidak bisa dikuantitatif ke atas kertas karya akademis.
Kedua, peran Angkatan Laut. Angkatan Laut mempunyai tiga peran universal. Berdasarkan pengalaman di tahun 1980-an, perhitungan kuantitatif terhadap pembangunan kekuatan Angkatan Laut dengan memperhitungkan pula aspek ancaman, keluarannya tidak sesuai dengan peran universal Angkatan Laut. Hal itu disebabkan pendekatan itu menghasilkan jenis kapal tertentu yang jumlahnya harus mayoritas di Angkatan Laut, sementara kapal jenis itu jelas tak bisa dijadikan capital ship untuk peran diplomasi.
Ketiga, efek penangkalan. Penangkalan tidak dapat dikuantitatifkan, sebab penangkalan bekerja pada ruang psikologis. Padahal kekuatan Angkatan Laut suatu negara tidak mutlak dihitung pada berapa jumlah kapal yang dimiliki dalam susunan tempur, tetapi pada efek penangkalan yang ditimbulkan dari berbagai kapal perang yang dimiliki.

15 Desember 2010

Singapura Selalu Mengincar Wilayah Indonesia

All hands,
Bangsa Indonesia sepertinya tidak belajar dari kasus DCA 2006. Dalam DCA yang gagal diimplementasikan karena adanya penentangan yang kuat dari berbagai kalangan di Indonesia, Indonesia memberikan sebagian ruang wilayah kedaulatannya bagi kepentingan latihan militer Singapura. Dengan pemberian ruang itu, Singapura dapat dengan sesuka hatinya menggelar latihan militer di Indonesia, kalau perlu 365 hari x 24 jam kalau mereka sanggup. Sudah menjadi kesepakatan bahwa DCA merupakan blunder bagi Indonesia.
Setelah DCA gagal, negeri penampung koruptor asal Indonesia itu terus gigih merayu dan membujuk Indonesia untuk memberikan ruang kedaulatan kepadanya bagi kepentingan latihan militer. Salah satu upaya tersebut kini nampaknya akan membuahkan hasil. Apapun kedok kerjasama yang disepakati, pada dasarnya semua berakar pada ambisi Singapura untuk memperoleh ruang udara Indonesia.
Pertanyaannya, tidakkah berbagai pihak terkait di Indonesia sadar dengan skenario ini? Sangat disayangkan sangat sedikit pihak di Indonesia yang "mengenal" karakter Singapura. Alangkah celakanya kalau Indonesia kembali terjerumus ke dalam "lubang yang sama" seperti 2006 lalu.

14 Desember 2010

Penambahan Kuantitas Minus Daya Tembak?

All hands,
Indonesia pada dasarnya mempunyai potensi untuk menjadi kekuatan regional dan potensi ini sudah diberdayakan di masa lalu. Karena pemberdayaan di masa lalu itu pula, negara-negara di kawasan cukup mewaspadai pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia di masa kini. Secara tersirat, negara-negara di kawasan Asia Pasifik tidak menghendaki Indonesia memiliki kekuatan pertahanan yang berstatus kekuatan regional, sebab bisa mengancam kepentingan mereka.
Dewasa ini, kekuatan pertahanan Indonesia tengah berupaya untuk diperkuat oleh kebijakan pemerintah. Sedikit demi sedikit, meskipun penuh hambatan, pengadaan sistem senjata baru bagi kekuatan pertahanan Indonesia dilaksanakan. Khususnya sistem senjata berkemampuan ofensif, seperti kapal perang dan pesawat tempur. Namun demikian, perlu dicermati dengan seksama apakah penambahan itu benar-benar memperkuat daya tembak alias fire power kekuatan pertahanan Indonesia atau tidak?
Sebagai contoh, sejak 2004 terdapat kecenderungan penambahan kapal perang dan pesawat tempur guna menggantikan sistem senjata lama yang sudah (seharusnya) dihapus dari susunan tempur, namun (seringkali) tak dilengkapi dengan senjata yang memadai dan lengkap. Ketika sistem senjata itu diserahkan oleh produsen kepada pembeli, senjata yang melengkapinya sangat minim. Pernyataan resmi yang dipaparkan kepada masyarakat bahwa pengadaan senjata kapal perang dan pesawat tempur itu dilakukan secara terpisah.
Bagi masyarakat awam, penjelasan demikian mungkin dapat dipahami. Akan tetapi buat publik yang tidak awam, bisa jadi pernyataan itu dipahami dari sudut pandang yang lain. Sebab di manapun di dunia, sudah menjadi kebiasaan atau konvensi bahwa pengadaan kapal perang dan pesawat tempur pasti satu paket dengan senjata yang diusungnya. Pertanyaannya, apakah kondisi seperti ini tidak mencermin kebijakan tak tertulis negara-negara maju produsen senjata yaitu Indonesia boleh menambah kuantitas sistem senjata, akan tetapi tak boleh diikuti dengan penambahan daya tembak?
Sebagai ilustrasi, rezim pengaturan penjualan senjata di dunia yang diciptakan oleh negara-negara maju meliputi The Wassenaar Arrangement, MTCR, UNROCA, ITAR, EU Code of Conduct on Arms Export dan lain sebagainya. Rezim itu disepakai oleh negara-negara produsen senjata dunia, termasuk Rusia. Negara-negara Barat memiliki daya tekan terhadap penjualan senjata oleh Rusia, seperti dalam kasus penjualan rudal hanud S-300 kepada Iran yang sejak 2005 sampai sekarang terkatung-katung karena dikaitkan dengan program nuklir Negeri Mullah tersebut.

13 Desember 2010

Bangsa Pecundang

All hands,
Selama ini, proyeksi kekuatan sebagai bagian dari strategi maritim belum dieksploitasi secara optimal di Indonesia. Menjadi pertanyaan mengapa hal demikian terjadi. Setidaknya ada beberapa sebab tentang hal itu.
Pertama, kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri Indonesia tidak jelas mau fokus kemana. Tidak ada konsistensi kebijakan ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional. Meskipun dalam pernyataan resmi ASEAN dinyatakan sebagai fokus utama kebijakan luar negeri Indonesia, namun dalam prakteknya tidak demikian.
Kedua, paradigma penggunaan kekuatan. Selama ini masih kuat tertancap dalam benak para pengambil keputusan di negeri ini bahwa penggunaan kekuatan militer, termasuk Angkatan Laut, dalam merespon dinamika kawasan bagaikan barang haram yang harus dihindari. Hal itu karena mereka masih terjebak dalam pola pikir pasca Konfrontasi yaitu Indonesia jangan mengedepankan kekuatan militer sebab akan mengancam stabilitas kawasan. Paradigma demikian jelas tidak sesuai dengan kepentingan nasional, sebaliknya secara tidak langsung menyenangkan hati beberapa negara eks jajahan Inggris di kawasan Asia Tenggara.
Ketiga, paradigma inward looking. Paradigma ini masih sangat kuat dalam benak para pengambil keputusan di Indonesia. Dalam bidang pertahanan misalnya, bisa dilihat dari upaya penguatan kekuatan militer tertentu yang sebenarnya merupakan lapis pertahanan terakhir dan bukan lapis pertahanan terdepan. Paradigma demikian juga melanda para pengambil kebijakan di dunia sipil.
Tidak ada bangsa di dunia yang berjaya karena memegang teguh inward looking, bahkan sebaliknya tidak sedikit bangsa di dunia menjadi pecundang karena bersikeras dengan paradigma itu. Lihat saja Cina hingga akhir Perang Dunia Kedua yang terus menerus menjadi pecundang bagi negara-negara lain. Kini Negeri Tembok Bambu itu tak mau lagi berstatus pecundang, sehingga kekuatan laut dibangun dan mulai diproyeksikan ke kawasan.
Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia masih ingin terus menjadi bangsa pecundang di kawasan? Kalau tidak mau, bangunlah kekuatan Angkatan Laut dan proyeksikan kekuatan itu ke lautan-lautan dunia di mana kepentingan nasional Indonesia harus diamankan.

12 Desember 2010

Suasi Angkatan Laut

All hands,
Dalam gunboat diplomacy alias diplomasi kapal perang, mengandung unsur suasi (suasion). Suasi Angkatan Laut menurut Edward N. Luttwak dibagi dalam dua kategori, yaitu suasi Angkatan Laut laten (latent naval suasion) dan suasi Angkatan Laut aktif (active naval suasion). Apa perbedaan antara suasi Angkatan Laut laten dan suasi Angkatan Laut aktif?
Suasi Angkatan Laut laten adalah suasi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut dalam penyebaran rutin dan atau tidak terarah (undirected) alias tidak diarahkan secara khusus pada sasaran tertentu. Misalnya, penyebaran kapal perang untuk berpatroli di perairan tertentu tanpa target spesifik, seperti di Selat Makassar. Adapun suasi Angkatan Laut aktif merupakan suasi yang dilaksanakan secara khusus dan terencana terhadap target spesifik. Sebagai contoh adalah penyebaran kapal perang di Laut Sulawesi yang target suasinya sudah jelas siapa.
Suasi Angkatan Laut laten akan menurunkan dua moda, yaitu moda penangkalan (deterrence) dan moda dukungan (supportive). Sedangkan suasi Angaktan Laut aktif turunannya adalah moda dukungan dan moda koersif.
Berdiskusi tentang suasi Angkatan Laut, sebenarnya bukan hal baru sebab telah dilaksanakan sejak berabad silam oleh beragam Angkatan Laut. Ditarik dalam konteks Indonesia, apakah suasi Angkatan Laut sudah dipahami dengan benar oleh semua pihak terkait? Tanpa pemahaman itu, mustahil bisa mengeksploitasi suasi tersebut.

11 Desember 2010

Penggunaan Moda Koersif Dalam Diplomasi Angkatan Laut

All hands,
Penggunaan moda koersif dalam diplomasi Angkatan Laut dapat dipastikan menjadi isu krusial di Indonesia. Mengapa demikian? Pertama, dibutuhkan kesatuan sikap. Karena diplomasi Angkatan Laut berada dalam kerangka diplomasi nasional yang ditetapkan oleh pemerintah, diperlukan kesatuan sikap antar berbagai pihak terkait di Indonesia. Khususnya antar instansi pemerintah terkait dengan militer. Singkatnya, perlu satu kata secara nasional tentang penggunaan moda koersif.
Kedua, dibutuhkan kekuatan laut yang kredibel. Untuk menggelar moda koersif, kredibilitas Angkatan Laut harus diperhatikan dengan seksama. Kredibilitas Angkatan Laut salah satu parameternya adalah kemodernan sistem senjata yang diadopsi. Dengan kata lain, kapal perang yang disebarkan untuk menggelar moda koersif hendaknya kapal perang berukuran besar, dipersenjatai secara lengkap dan mengadopsi teknologi terakhir.
Ketiga, dibutuhkan strategi keamanan nasional. Jakarta hingga kini belum mempunyai strategi keamanan nasional, meskipun arti penting strategi itu sudah didengung-dengungkan sejak tahun-tahun awal dekade 2000-an. Moda koersif dalam diplomasi Angkatan Laut harus dibimbing oleh strategi keamanan nasional, yang selanjutnya strategi itu akan diturunkan menjadi strategi pertahanan nasional, strategi militer nasional dan strategi maritim nasional. Untuk membuat strategi keamanan nasional sebenarnya tidak susah, kecuali dibutuhkan adanya guts.

10 Desember 2010

Masalah Mendasar Diplomasi Angkatan Laut

All hands,
Sebelumnya telah diulas beberapa masalah terkait diplomasi Angkatan Laut di Indonesia. Dari semua masalah itu, terdapat satu masalah fundamental yang harus dibenahi oleh pengambil keputusan nasional. Tanpa pembenahan, diplomasi Angkatan Laut yang digelar tidak akan optimal dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.
Apa masalah mendasar tersebut? Masalah mendasarnya adalah ketiadaan strategi keamanan nasional yang menjadi landasan bagi kebijakan luar negeri dan kebijakan pertahanan. Nampaknya ada pihak tertentu di Indonesia yang merasa terancam dan dirugikan apabila ada strategi keamanan nasional, sebab dengan demikian pihak itu tidak bisa lagi dengan seenak perutnya memonopoli frasa keamanan nasional.
Diplomasi Angkatan Laut merupakan implementasi dari kebijakan luar negeri dan kebijakan pertahanan. Artinya, merupakan hal yang mutlak bahwa kebijakan luar negeri harus selalu seiring sejalan dengan kebijakan luar negeri. Tidak boleh kebijakan luar negeri mengkategorikan diri sebagai merpati sementara kebijakan pertahanan senantiasa bersifat garuda (garuda adalah simbol Indonesia, sebagaimana elang yang merupakan lambang Amerika Serikat). Sampai kapan pun kebijakan pertahanan harus bersifat garuda, sebab kebijakan pertahanan mengandung unsur koersif dan suasi sekaligus.
Disadari atau tidak, ketidakhadiran strategi keamanan nasional selama ini menciptakan kesan yang sulit dibantah akan dis-sinkronisasi antara kubu merpati versus elang di bawah permukaan. Meskipun di angkasa dalam bisnis penerbangan Garuda berjaya meninggalkan Merpati. He...he...he... Dis-sinkronisasi yang terjadi selama ini dan cenderung tanpa disadari cenderung dilestarikan bisa diakhiri apabila ada strategi keamanan nasional.
Eksistensi strategi keamanan nasional akan sangat membantu "haluan" diplomasi Angkatan Laut. Kalau selama ini diplomasi Angkatan Laut masih jauh dari optimal, hal itu tidak lepas dari kondisi kebijakan nasional itu sendiri. Masalah yang terjadi berada di luar kewenangan Angkatan Laut negeri ini untuk membenahinya, sebab sudah masuk dalam domain kebijakan pemerintah.

09 Desember 2010

Mengamankan Wilayah Dan Warga Negara

All hands,
Pembangunan kekuatam militer, termasuk kekuatan Angkatan Laut, ditujukan untuk mengamankan kepentingan nasional. Tidak perduli di mana letak kepentingan nasional itu berada secara geografis, kekuatan militer Indonesia seharusnya mampu mengamankan kepentingan nasional tersebut. Dalam konteks geografis yang luas, hanya ada dua kekuatan militer yang memiliki kemampuan proyeksi kekuatan, salah satunya adalah Angkatan Laut.
Ketika krisis di Semenanjung Korea memanas seiring bombardemen militer Korea Utara terhadap Pulau Yeonpyeong milik Korea Selatan pada 23 November 2010, pemerintah Indonesia mulai (sedikit) berbicara tentang bagaimana melindungi warga negara Indonesia yang berada di wilayah Korea Selatan. Singkatnya, dari gagasan melindungi warga negara Indonesia yang dilontarkan tersebut, nampak jelas tidak ada suatu rencana kontinjensi. Singkatnya, sekitar 30.000 warga negara Indonesia di sana sepertinya akan berlindung dengan mengandalkan pada penggunaan fasilitas-fasilitas Korea Selatan, misalnya bunker.
Sebaliknya, sama sekali tidak ada dalam gagasan atau perencanaan pemerintah untuk mengevakuasi warga Indonesia dari sana dengan menggunakan kapal perang. Padahal Indonesia mempunyai peluang untuk melakukan evakuasi terhadap warga negaranya di Korea Selatan andaikan situasi di sana semakin tidak kondusif bagi keselamatan warga Indonesia. Misalnya dengan mengirimkan tiga dari empat LPD yang dimiliki oleh Angkatan Laut negeri ini.
Memang sangat diakui bahwa ketiga LPD tersebut tidak mampu memuat 30.000 warga negara Indonesia, tetapi yang diutamakan di sini adalah pesan politik. Pesan politik bahwa Indonesia mampu melindungi warga negaranya secara nyata dengan penggunaan kekuatan militer. Bukankah kekuatan militer Indonesia ---termasuk Angkatan Laut--- dibangun untuk melindungi kepentingan nasional negeri ini.
Pengambil kebijakan di pemerintahan hendaknya tidak usah ditakutkan oleh hal teknis seperti pertanyaan klasik, "dari mana anggarannya?". Ketika menyangkut keselamatan bangsa Indonesia, begitu pula keutuhan wilayah Indonesia, pertanyaan "dari mana anggarannya" sudah tidak patut diajukan lagi. Sebab pemerintah bisa mengambilkan dari berbagai pos yang tersedia, sebab hal ini bersifat kontinjensi. Yang penting penggunaan anggaran tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

08 Desember 2010

Menepis Sindrom Tembakan Pertama

All hands,
Disadari atau tidak, pengambil keputusan di negeri ini yang takut dengan sindrom tembakan pertama. Apa maksudnya? Sindrom tembakan pertama yaitu ketakutan pengambil keputusan politik terhadap konsekuensi dari tembakan yang dilepaskan oleh satuan militer, misalnya kapal perang, terhadap pihak lain yang sangat jelas bertindak hostile. Menurut penganut sindrom ini, tembakan pertama otomatis akan memicu perang atau konflik terbuka antara Indonesia dengan negara lain dan hal itu pasti akan merugikan Indonesia.
Benarkah pandangan demikian? Ada beberapa contoh faktual soal tembakan pertama ini dan konsekuensinya. Misalnya kasus ROKS Cheon An (PCC-722) pada 26 Maret 2010 dan penembakan meriam Korea Utara ke Pulau Yeonpyeong milik Korea Selatan pada 23 November 2010. Begitu pula kasus skirmish antara kapal perang Filipina versus Cina di Laut Cina Selatan soal Kepulauan Spratly. Atau pertempuran laut antara kapal perang Vietnam menghadapi kapal perang Cina dalam kasus serupa di Laut Cina Selatan.
Setelah tembakan pertama, apakah situasi tidak terkendali dan berlanjut pada konflik terbuka antara kedua belah pihak yang berhadapan? Semenanjung Korea memang statusnya langsung naik ke siaga I pasca tenggelamnya ROKS Cheon An, tetapi tidak ada perang terbuka antara kedua negara bersaudara itu. Yang ada cuma gunboat diplomacy yang digelar oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat terhadap Korea Utara. Model serupa terjadi di Laut Cina Selatan, tak ada perang terbuka antara Filipina versus Cina dan Vietnam menghadapi Cina setelah tembakan pertama.
Apa arti dari semua itu? Sindrom tembakan pertama harus ditinggalkan dari benak pengambil keputusan di Indonesia. Tidak perlu ragu-ragu dan takut untuk mengubah aturan pelibatan di Laut Sulawesi guna merespon manuver bersifat hostile yang dilakukan kapal perang Negeri Tukang Klaim. Sehingga tidak boleh terjadi lagi kapal perang Indonesia yang dipotong haluannya oleh kapal perang Negeri Tukang Klaim dibiarkan begitu saja karena ketakutan akan sindrom tembakan pertama.

07 Desember 2010

Fire On If Fired Only

All hands,
Salah satu model aturan pelibatan yang banyak dipakai oleh Angkatan Laut dunia adalah fire on if fired only. Aturan pelibatan ini asal mulanya berasal dari rancangan untuk menghadapi konflik antar negara. Hingga kini model seperti ini masih digunakan cukup luas di dunia, meskipun beberapa Angkatan Laut telah meninggalkannya dan menjadikan model itu sebagai sejarah belaka.
Aturan pelibatan fire on if fired only turut berkontribusi pada suksesnya pengeboman USS Cole (DDG-67) oleh kelompok Al Qaida pada 12 Oktober 2000 di Yaman. Namun aturan pelibatan model ini masih dianut pula oleh Indonesia. Pertanyaannya, apakah model fire on if fired only masih relevan?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, terdapat hal yang perlu diperhatikan. Yakni moda konflik. Dalam konflik antar negara, relevansi model fire on if fired only masih relevan dan sekaligus tidak relevan. Masih relevan apabila dilihat dari upaya mengendalikan kemungkinan eskalasi konflik. Adapun sudah tidak relevan apabila tindakan-tindakan provokasi dari pihak lawan sudah melanggar batas "tata krama di laut", misalnya crossing the T.
Namun untuk menghadapi konflik yang melibatkan aktor non negara seperti teroris, model fire on if fired only sudah tidak relevan lagi. Kasus USS Cole (DDG-67) adalah salah satu bukti kuat tidak relevannya lagi model tersebut. Awak kapal perusak Amerika Serikat yang sedang dinas jaga tidak menembak perahu yang mendekat ke kapal mereka karena menduga kapal itu merupakan bagian dari salah satu harbor service. Terjadilah pengeboman yang menewaskan 17 awak kapal perang itu.
Dalam konteks Indonesia, relevansi model fire on if fired only hendaknya dilihat kasus per kasus. Artinya, aturan pelibatan tidak boleh seragam. Aturan pelibatan di Laut Sulawesi untuk menghadapi Negeri Tukang Klaim berbeda dengan aturan pelibatan di Selat Malaka. Artinya, model fire on if fired only dapat diterapkan di kawasan pelibatan tertentu, tergantung pada tingkah laku pihak lawan yang dihadapi.

06 Desember 2010

Pekerjaan Rumah Pasca 2024

All hands,
Mengacu pada kebijakan Departemen Pertahanan, pada 2024 diharapkan program MEF telah tercapai. Seperti diketahui, implementasi MEF dilaksanakan dalam periode 2010-2024, dengan pembagian tiga pembagian waktu yaitu 2010-2014, 2015-2019 dan 2020-2024. Dengan berasumsi bahwa pencapaian MEF di atas 90 persen pada 2024, perlu direka sejak dini pekerjaan rumah apa berikutnya yang menunggu kekuatan pertahanan Indonesia pasca pencapaian MEF?
Menjadi pertanyaan mengapa perlu direka? Jawabannya singkat, yakni pencapaian MEF bukan akhir dari sebuah babak, tetapi hanya awal dari babak baru yang penuh tantangan. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila mencoba mereka-reka apa tantangan berikutnya yang dihadapi?
Dari sudut pandang pembangunan kekuatan Angkatan Laut, setidaknya ada beberapa isu yang nampaknya akan timbul pasca 2024. Pertama, aspek perencanaan. Angkatan Laut akan ditantang untuk berpikir keras guna segera mencari pengganti kapal kombatan kelas Van Speijk/AMY dan kelas FTH. Sebab usia kapal kelas AMY saat itu sekitar 60 tahun, sementara kelas FTH sekitar 45 tahun. Belum terhitung lagi bagaimana penggantian kapal korvet kelas Parchim maupun berbagai kapal angkut dan bantu yang saat ini saja usianya sudah di atas 30 tahun.
Kedua, aspek operasi. Lingkungan strategis pasca 2024 masih sulit untuk direka secara pasti, namun garis besarnya adalah kekuatan laut Cina yang makin merajalela di kawasan Asia Pasifik, Amerika Serikat yang makin memperkuat pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik, Jepang yang tambah berotot dengan kekuatan lautnya, Australia yang makin besar kepala dengan kekuatan Angkatan Laut dan India yang terus memperkuat kehadirannya di kawasan Samudera India dan Asia Timur. Tantangannya bagi aspek operasi kekuatan laut Indonesia adalah seberapa besar kesiapan unsur kapal perang dan pesawat udara untuk menghadapi dinamika demikian. Begitu pula dengan pola gelar pangkalan dan pola gelar operasi, sangat mungkin akan berbeda dengan pola yang kini dianut.
Ketiga, aspek logistik. Seberapa besar kemampuan dukungan logistik terhadap operasional kapal perang dan pesawat udara, khususnya kapal perang yang saat itu usianya sudah di atas 40 tahun. Dengan kata lain, ada faktor kritis dalam penyediaan suku cadang kapal tersebut, terlebih lagi kapal-kapal itu sudah tidak diproduksi di pabrikannya dan sangat mungkin berbagai subsistem yang digunakan pun pembuatan suku cadangnya sudah lama terhenti. Berikutnya, apakah ada perbedaan kondisi antara 2010 dengan pasca 2024 dalam hal persentase terhadap ketergantungan suku cadang asing ---sebab ini terkait dengan aspek politik diplomatik---?
Keempat, aspek personel. Apakah susunan organisasi dan prosedur Angkatan Laut pasca 2024 masih akan sama dengan organisasi saat ini? Sebagai ilustrasi, saat ini pun di beberapa Angkatan Laut dunia terjadi penyesuaian jumlah personel seiring dengan kemajuan teknologi, khususnya aplikasi RMA. Sangat mungkin kapal perang masa dengan jumlah awaknya semakin sedikit, walaupun daya pukul justru lebih dahsyat dan mematikan dibandingkan sekarang.

05 Desember 2010

Angkatan Laut Di Negara Kepulauan: A Lone Sailor?

All hands,
Sulit untuk dipungkiri bahwa Indonesia adalah negeri yang penuh dengan kontradiksi. Tanahnya suburnya, tetapi sebagian rakyatnya belum menikmati kemakmuran. Lautnya jauh lebih luas daripada daratan, tetapi produk perikanan malah mengimpor dari negeri lain. Begitu pula kekuatan militernya, wilayah perairannya sebesar dua pertiga dari luas wilayah keseluruhan, namun Angkatan Lautnya belum berjaya bahkan di negeri sendiri. Pembangunan kekuatan laut selama lebih dari 45 tahun tidak berjalan dengan lancar karena kurangnya preferensi politik pemerintah sebagaimana yang diprasyaratkan dalam teori strategi maritim.
Lingkungan strategis di sekitar Indonesia terus berubah dan kini isu-isu maritim terus menjadi salah satu mainstream di kawasan. Pekerjaan rumah yang nyata di depan mata Indonesia antara lain ASC, Laut Cina Selatan, ALKI timur-barat, pembangunan kekuatan militer Cina dan proyeksi India ke kawasan Asia Tenggara. Untuk membereskan pekerjaan rumah itu, dibutuhkan instrumen militer yang kuat yaitu Angkatan Laut, sebab merupakan pekerjaan yang sia-sia bagi negeri ini bila kekuatan militernya diperkuat minus Angkatan Laut. Tidak ada negeri di dunia yang berjaya di kawasan dengan menganaktirikan Angkatan Laut.
Armada RI adalah otot dari kekuatan Angkatan Laut negeri ini. Otot tersebut seharusnya kuat, karena merupakan bagian dari instrumen kekuatan nasional. Armada RI juga merupakan salah satu aktor yang turut menjaga stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara. Sayangnya, peran Armada RI dalam konteks regional selama ini justru nampaknya tidak dipandang oleh para pemegang saham republik ini.
Padahal tanpa peran Armada RI, tidak ada kekuatan militer Indonesia yang mampu menjaga perairan Indonesia dalam konteks stabilitas keamanan kawasan. Sebab laut tidak bisa diduduki meskipun suatu negeri mempunyai kekuatan darat berjuta-juta orang sekalipun. Suka atau tidak suka, stabilitas kawasan Asia Tenggara dari aspek Indonesia selama ini bertumpu pada Angkatan Laut, dalam hal ini Armada RI. Ke depan pun, peran itu akan teteap bertumpu pada Armada RI dan tidak bisa diambil oleh kekuatan militer lainnya.
Pertanyaannya, akan dibawa kemana Armada RI? Jawaban atas pertanyaan itu tergantung dari "haluan" yang diambil oleh pengambil kebijakan di negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif, dalam pembangunan kekuatan saat ini dan beberapa tahun ke depan. Keluaran dari pembangunan kekuatan tersebut akan menentukan arah Armada RI pada periode 2020-2040. Keluaran dari itu pula yang nantinya akan "dinakhodai" oleh para perwira Angkatan Laut negeri ini yang sekarang menyandang pangkat strata pamen dan pama. Dirgahayu Armada RI...Ghora Vira Madya Jala...

04 Desember 2010

Doktrin Mata Dan Telinga Armada

All hands,
Penerbangan Angkatan Laut di manapun di dunia tidak lepas dari doktrin mata dan telinga armada. Doktrin mata dan telinga armada mulai muncul dan berkembang ketika penerbangan Angkatan Laut diintegrasikan sebagai bagian integral dari Angkatan Laut di negara-negara maju pada dekade kedua dan ketiga abad ke-20. Saat itu pesawat udara mulai digunakan secara intensif oleh Angkatan Laut negara-negara maju, termasuk penggunaan kapal induk sebagai pangkalan pesawat udara. Manfaat dari doktrin mata dan telinga armada bisa dilihat dari berbagai pertempuran laut di Samudera Atlantik maupun Samudera Pasifik pada Perang Dunia Kedua, di mana dalam perang terhadap U-Boat Jerman dan kapal permukaan Jepang, Angkatan Laut Sekutu secara optimal menggunakan pesawat udara sebagai mata dan telinga armada.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, doktrin mata dan telinga armada berkembang menjadi doktrin pangkalan udara di laut. Doktrin ini berkembang khusus pada Angkatan Laut yang mengoperasikan kapal induk. Dengan doktrin pangkalan udara di laut, penerbangan Angkatan Laut bertambah kemampuannya yaitu mampu memberikan pukulan terhadap kekuatan laut dan udara lawan. Salah satu contoh terbaik adalah peran yang dimainkan oleh Angkatan Laut Inggris dalam Perang Malvinas alias Perang Falkland pada 1982, di mana kekuatan militer Inggris bertumpu kapal induk beserta pesawat udara di atasnya.
Bagi Indonesia, masih menjadi tantangan yang harus diterus untuk memperkuat doktrin mata dan telinga armada. Penerbangan Angkatan Laut hanya bisa mewujudkan doktrin itu apabila difasilitasi dengan sistem senjata yang memadai. Sebagai contoh, pesawat patroli maritim ke depan semuanya harus dilengkapi dengan perangkat deteksi jarak jauh. Pesawat itu dituntut pula untuk mampu melaksanakan peperangan elektronika, sebab peperangan elektronika merupakan menu wajib dalam konflik masa kini.

03 Desember 2010

Kesiapan Galangan Perkapalan Nasional

All hands,
Program pembuatan kapal perang di galangan perkapalan nasional, semisal proyek PKR, sudah seharusnya didukung oleh kesiapan galangan perkapalan nasional itu sendiri. Kesiapan yang dimaksud bukan semata kesiapan sumberdaya manusia dan kesiapan semangat, tetapi juga kesiapan yang terkait dengan fasilitas-fasilitas yang terkait dengan produksi. Misalnya warehouse, galangan perakitan kapal, kemampuan pengelasan, sistem keselamatan dan lain sebagainya. Kesiapan tersebut mutlak karena galangan perkapalan asing yang memiliki cetak biru kapal PKR memprasyaratkan adanya sejumlah kemampuan fasilitas-fasilitas produksi sesuai dengan standar mereka.
Hal inilah yang masih menjadi tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang harus dijawab oleh galangan perkapalan nasional guna mensukseskan program PKR. Karena galangan perkapalan itu berstatus BUMN, berarti menjadi tanggungjawab pemerintah pula untuk memodernisasi fasilitas-fasilitas produksi di galangan perkapalan tersebut. Bila tidak, dikhawatirkan proyek PKR tidak akan berjalan sesuai rencana. Upaya modernisasi galangan sebenarnya gampang, asalkan ada kemauan dari pemerintah.

02 Desember 2010

Kasus Kapal Selam India

All hands,
India sejak meraih kemerdekaan merupakan negeri yang terus berupaya untuk memenuhi sendiri kebutuhan sistem senjata bagi Angkatan Bersenjatanya. Upaya itu tidak lepas dari prinsip Swadeshi yang dicanangkan oleh Mahatma Gandhi, Bapak Spiritual nasionalisme negeri itu. Tak aneh kalau India tercatat sebagai negara yang merajai soal lisensi, co-production dan lain sebagainya. Indonesia yang berambisi mengikuti jejak India, meskipun sudah tertinggal lebih dari 50 tahun, harus banyak belajar dari pengalaman India dalam soal pemenuhan kebutuhan sistem senjata secara mandiri.
Salah satu pelajaran yang dapat ditarik adalah kasus lisensi enam kapal selam kelas Scorpene buatan DCNS. Sesuai dengan perjanjian antara pemerintah India dan galangan DCNS Prancis, India akan memproduksi secara lisensi kapal selam tersebut di galangan Mazagon Dock Ltd. Kapal selam pertama diproyeksikan akan diserahkan kepada Angkatan Laut India pada 2012. Namun apa yang terjadi kemudian?
Rencana 2012 tersebut akan gagal tercapai, karena hingga kini masih ada ganjalan antara pemerintah India dengan galangan DCNS. Ganjalan itu terkait dengan perjanjian yang detail tentang transfer teknologi, di mana kedua belah pihak belum mencapai kata sepakat. Sebagai produsen dan pemegang cetak biru, tentu saja DCNS memberikan persyaratan yang ketat dalam rancangan perjanjian transfer teknologi kapal selam DCNS kepada India.
Kaitannya dengan Indonesia, perlu diwaspadai skenario demikian juga terjadi di Indonesia terkait dengan ambisi Indonesia, khususnya Departemen Pertahanan, untuk memproduksi kapal selam melalui pola transfer teknologi. Transfer teknologi mudah diucapkan dan ditulis, akan tetap sangat sulit implementasinya di lapangan. Sebab isu itu terkait aspek politik, ekonomi, teknologi dan militer. Isu transfer teknologi berpotensi menjadi kerikil dalam pengadaan kapal selam pengganti U-209/1300 yang saat ini dioperasikan oleh kekuatan laut Indonesia apabila Departemen Pertahanan bersikeras menggunakan pengadaan lewat pola itu dan menolak opsi pembelian kapal selam utuh beserta sistem senjatanya seperti yang selama ini ditempuh.
Kerikil itu kalau terwujud akan berpengaruh langsung pada aspek operasional Angkatan Laut. Pertanyaannya, sudahkah skenario buruk ini didesain oleh Departemen Pertahanan?

01 Desember 2010

Kerjasama India-Prancis Di Samudera India

All hands,
Pada Desember 2010 dijadwalkan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy akan berkunjung ke India. Kunjungan pemimpin Prancis tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kerjasama kedua negara, antara lain dalam bidang keamanan dan nuklir. Sebagai rangkaian dari kunjungan Sarkozy, Prancis menyebarkan pula kapal induk Charles De Gaulle ke Samudera India untuk melaksanakan latihan bersama kedua negara.
Upaya peningkatan kerjasama India-Prancis di Samudera India adalah dinamika baru di perairan strategis itu. Sebab hal itu merupakan cerminan aspirasi kedua negara, di mana India ingin menjadi penguasa perairan itu. Sementara Prancis ingin memperluas pengaruhnya ke Samudera India dan tidak terbatas pada Samudera India di pantai timur Afrika. Guna memperluas pengaruhnya ke Samudera India, tidak heran kalau Paris dalam dekade ini begitu intensif menawarkan produk militernya kepada New Delhi, misalnya penjualan dalam bentuk lisensi kapal selam Scorpene dan upaya memenangkan tender pesawat tempur India lewat penawaran pesawat tempur Rafale.
Keberhasilan peningkatan kerjasama India-Prancis di Samudera India ditentukan pula oleh Amerika Serikat. Seperti diketahui, Paris merupakan kekuatan Eropa yang tidak selalu sejalan dengan Washington sejak era Presiden Charles De Gaulle, walaupun menurut Washington mereka telah berkorban jiwa dan raga demi membebaskan Prancis dari cengkeram Nazi Jerman dalam Perang Dunia Kedua. Washington yang juga merasa penguasa Samudera India tentu saja tidak akan membiarkan begitu saja perluasan pengaruh Prancis di India, terlebih lagi Amerika Serikat sedang giat untuk memasarkan berbagai sistem senjata buatannya kepada India.
Pertanyaannya, seberapa besar peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia dengan dinamika seperti itu di Samudera India?