All hands,
Salah satu model aturan pelibatan yang banyak dipakai oleh Angkatan Laut dunia adalah fire on if fired only. Aturan pelibatan ini asal mulanya berasal dari rancangan untuk menghadapi konflik antar negara. Hingga kini model seperti ini masih digunakan cukup luas di dunia, meskipun beberapa Angkatan Laut telah meninggalkannya dan menjadikan model itu sebagai sejarah belaka.
Aturan pelibatan fire on if fired only turut berkontribusi pada suksesnya pengeboman USS Cole (DDG-67) oleh kelompok Al Qaida pada 12 Oktober 2000 di Yaman. Namun aturan pelibatan model ini masih dianut pula oleh Indonesia. Pertanyaannya, apakah model fire on if fired only masih relevan?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, terdapat hal yang perlu diperhatikan. Yakni moda konflik. Dalam konflik antar negara, relevansi model fire on if fired only masih relevan dan sekaligus tidak relevan. Masih relevan apabila dilihat dari upaya mengendalikan kemungkinan eskalasi konflik. Adapun sudah tidak relevan apabila tindakan-tindakan provokasi dari pihak lawan sudah melanggar batas "tata krama di laut", misalnya crossing the T.
Namun untuk menghadapi konflik yang melibatkan aktor non negara seperti teroris, model fire on if fired only sudah tidak relevan lagi. Kasus USS Cole (DDG-67) adalah salah satu bukti kuat tidak relevannya lagi model tersebut. Awak kapal perusak Amerika Serikat yang sedang dinas jaga tidak menembak perahu yang mendekat ke kapal mereka karena menduga kapal itu merupakan bagian dari salah satu harbor service. Terjadilah pengeboman yang menewaskan 17 awak kapal perang itu.
Dalam konteks Indonesia, relevansi model fire on if fired only hendaknya dilihat kasus per kasus. Artinya, aturan pelibatan tidak boleh seragam. Aturan pelibatan di Laut Sulawesi untuk menghadapi Negeri Tukang Klaim berbeda dengan aturan pelibatan di Selat Malaka. Artinya, model fire on if fired only dapat diterapkan di kawasan pelibatan tertentu, tergantung pada tingkah laku pihak lawan yang dihadapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar