31 Mei 2009

Sea Denial: Bukan Sekedar Teori

All hands,
Sea denial merupakan salah satu unsur penting dalam strategi maritim. Hal itu tidak dapat dibantah oleh siapa pun yang paham mengenai strategi maritim dan bagaimana melaksanakannya. Unsur untuk melaksanakan sea denial bisa berupa kapal selam, kapal atas air maupun pesawat udara. Bisa pula rudal anti kapal permukaan yang berpangkalan di darat.
Dari semua sarana untuk melakukan sea denial, kapal selam merupakan senjata yang paling strategis karena sifatnya yang senyap dan beroperasi di bawah permukaan air. Sebagian Angkatan Laut di dunia mengandalkan kemampuan sea denial-nya pada unsur kapal selam, sebab sadar bahwa unsur atas air lebih rentan. Misalnya Rusia, khususnya Armada Pasifik Rusia yang sejak tahun 1990-an pasca ambruknya Uni Soviet sampai hari ini masih intensif menggelar kapal selam untuk membayang-bayangi pergerakan kapal atas air U.S. Navy, khususnya kapal induk, di kawasan Samudera Pasifik. Tingkat kehadiran di laut kapal selam Rusia sangat jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kapal atas airnya.
Indonesia menghadapi tantangan dalam mengamankan kepentingan nasionalnya, termasuk pada domain maritim. Kapal atas air tidak dapat hadir di semua perairannya, disebabkan keterbatasan jumlah dan kesiapan operasional sebagai dampak dari anggaran pertahanan yang kurang berpihak kepada AL. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu solusinya adalah meniru cara yang ditempuh oleh Rusia.
Yakni mempertinggi kehadiran kapal selam di perairan-perairan strategis. Cara ini dengan sendirinya akan meningkatkan kemampuan sea denial Indonesia, khususnya pada perairan choke points seperti Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Wetar. Masalahnya adalah tidak banyak pihak yang paham soal bagaimana mengeksploitasi kekuatan laut bagi kepentingan nasional. Tidak heran bila di negeri ini sepertinya banyak pihak yang tidak rela dan ikhlas melihat AL kita mempunyai kapal selam baru.
Langkah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang di sela-sela kegiatannya sebagai salah satu pembicara dalam The 8th Shangrila Dialogue 2009 mengumumkan rencana Indonesia membeli kapal selam dalam waktu dekat merupakan suatu hal yang cerdas. Sebab hal itu selain dimaksudkan untuk transparansi, juga ditujukan agar pihak-pihak lain di kawasan Asia Pasifik tidak gerah dengan langkah Indonesia. Karena kebijakan itu ditujukan untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan, bukan untuk mengancam kepentingan aktor lain di wilayah ini.
Hanya saja pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia justru disalahpahami di dalam negeri. Seolah-olah negeri ini ingin membeli kapal selam dari Amerika Serikat. Padahal hanya beberapa negara di dunia yang memproduksi kapal selam diesel elektronik dan jenis kapal selam inilah yang diperlukan oleh AL kita. Sementara Amerika Serikat hanya membuat kapal selam nuklir dan salah satu negara yang telah dengan terus terang akan membelinya adalah Australia.

30 Mei 2009

Operasi Gabungan Di Laut Sulawesi

All hands,
Manuver kapal perang Negeri Tukang Klaim KD Baung-3509 di Laut Sulawesi pagi tadi yang kembali memprovokasi AL kita harus disikapi oleh otoritas nasional di bidang pertahanan. Sebab upaya provokasi itu sudah pasti merupakan arahan dari otoritas nasional Negeri Tukang Klaim di Kuala Lumpur dan merupakan peristiwa yang senantiasa berulang. Tidak heran seorang rekan yang sedang beroperasi di perairan itu bertanya, sampai kapan begini terus?
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam operasi di Laut Sulawesi adalah kehadiran unsur-unsur AL dan AU di sana. Unsur-unsur AL, baik kapal perang maupun pesawat udara, beroperasi di bawah Satgas Ops Balat Sakti. Sementara unsur-unsur AU beroperasi juga beroperasi di bawah Satgas Ops Tameng Camar.
Dari situ tergambar jelas betapa untuk satu wilayah operasi yang sama, ada dua satgas. Kalau ditinjau dari efisiensi, adanya dua satgas di wilayah operasi yang sama jelas suatu pemborosan. Mestinya dibentuk saja satu satgas gabungan. Terlalu kuno kalau berpikiran bahwa satgasgab atau kogasgab baru bisa dibentuk kalau mau perang.
Mungkin perangkat lunak yang tersedia sekarang tidak mengenal satgasgab atau kogasgab untuk kepentingan di masa damai. Kalau itu alasannya, revisi saja perangkat lunaknya.
AL dan AU di Laut Sulawesi sudah sepantasnya berada di dalam satgas yang sama. Dengan demikian, apabila Subsatgasla atau Subkogasgabla di sana butuh dukungan pesawat udara AU, tinggal perintahkan saja. Tidak pernah lewat rantai komando yang demikian panjang seperti saat ini.

29 Mei 2009

Minimum Essential Force = Pelihara Alutsista Lama?

All hands,
Dalam ilmu tentang perencanaan kekuatan, tidak dikenal adanya kebijakan pertahanan berbasis reaksi. Namun hal itu dipraktekkan di Indonesia, seperti terlihat dengan jelas pasca kecelakaan pesawat angkut AU. Setelah kecelakaan itu dan dikritik kiri kanan oleh berbagai pihak, pengambil kebijakan pertahanan memutuskan bahwa untuk TA 2010 alokasi anggaran pertahanan ditambah Rp.6 trilyun. Sehingga tidak berlebihan bila ada kesan kebijakan itu diambil berdasarkan reaksi atas kritikan terhadap dukungan anggaran pertahanan. Bahkan sebagian pihak berandai-andai jika kecelakaan pesawat angkut AU itu tidak terjadi, maka tambahan Rp. 6 trilyun tidak akan pernah ada.
Sekarang muncul pertanyaan, sampai kapan dunia pertahanan Indonesia dijalankan dengan manajemen demikian? Apakah perlu menunggu 5-10 kali kecelakaan lagi untuk memenuhi kebutuhan anggaran minimum? Tentu sebagai manusia yang berakal sehat dan berhati nurani kita tidak menginginkan hal demikian.
Kecelakaan ini hendaknya menjadi pelajaran bahwa pemotongan anggaran pertahanan selama dua tahun anggaran terakhir berdampak negatif terhadap kesiapan TNI. Sebab tanpa pemotongan anggaran pun TNI sudah cukup kesulitan memenuhi kebutuhannya. Apalagi saat anggaran dipotong yang mau tidak mau rentetannya sangat panjang. Misalnya menurunnya tingkat kehadiran di laut yang berakibat pada makin tidak terawasinya wilayah perairan yurisdiksi.
Selain itu, saat ini berkembang kesan yang belum tentu benar pada beberapa pihak di masyarakat bahwa kebijakan minimum essential force sebenarnya adalah mempertahankan alutsista lama melalui program MLM, retrofit dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kebijakan itu menurut pendapat pihak-pihak itu adalah menunda modernisasi kekuatan TNI dalam jangka waktu yang panjang. Sebab minimum essential force berlaku setidaknya hingga 2029.
Artinya hingga 2029 tidak ada perbedaan wajah alutsista dengan yang ada kini. Alutsista yang kini diawaki oleh seorang perwira pada 2029 mungkin akan diawaki oleh anak sang perwira itu. Itulah kesan yang berkembang di luar sana.
Meskipun sepanjang pemahaman saya kebijakan minimum essential force tidak seperti yang dikesankan oleh sebagian pihak, namun sulit untuk menepis kesan yang keliru itu bila kebijakan pertahanan hingga lima tahun ke depan masih tidak berbeda dengan saat ini. Antara lain menyangkut modernisasi sistem senjata. Walaupun modernisasi sistem senjata sudah ada dalam Renstra, tetapi yang lebih disukai dan ditunggu adalah realisasinya ke alam nyata.

28 Mei 2009

Think Out Of The Box Di Laut Sulawesi

All hands,
Masalah di Laut Sulawesi yang hingga kini masih berlarut-larut harus dicarikan jalan keluarnya yang senantiasa mengacu kepada kepentingan nasional Indonesia. Penyelesaian secara konvensional lewat meja perundingan boleh-boleh saja dilakukan. Namun untuk urusan di lapangan, nampaknya harus ditempuh cara non konvensional. Yang dimaksud dengan non konvensional yaitu bukan lagi sekedar membuka komunikasi Ch.16 kepada kapal perang Negeri Tukang Klaim yang melanggar wilayah Indonesia dan kemudian mengusir sambil membayang-bayangi kapal itu hingga keluar wilayah perbatasan. Harus ada cara lain yang ditempuh agar kapal perang Negeri Tukang Klaim tidak lagi mengulangi kelakuannya di sana.
Sebagai patokan, cara non konvensional itu dibatasi sedemikian rupa dampaknya agar tidak menyulut ke konflik militer. Jadi para pengambil keputusan, termasuk para diplomat, tidak perlu takut soal akan pecahnya konflik militer sebagai dampak dari implementasi cara itu.
Cara non konvensional tersebut ada beberapa, namun tidak bisa saya uraikan di sini. Yang pasti, cara itu bisa dilaksanakan apabila pemerintah memberikan lampu hijau. Pertanyaan, berani tidak pemerintah memberikan lampu hijau? Kalau mengacu pada kepentingan nasional, seharusnya berani. Kecuali kalau ingin menjadikan Indonesia sebagai negara pecinta perdamaian dengan mengabaikan kepentingan nasional, yang tentu saja akhir dari ceritanya menjadi lain.

27 Mei 2009

Kasus Laut Sulawesi: Cermin Ketidakpaduan Nasional

All hands,
Ketika masalah saling klaim wilayah maritim di Laut Sulawesi antara Indonesia versus Malaysia mulai menghangat pada Februari-Maret 2005, ada pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan di negeri ini yang dengan semangat berapi-api menjanjikan pengadaan kapal perang baru bagi AL kita. Pihak ini berani berjanji tentu saja karena hak anggaran ada di tangannya. Pertanyaannya sekarang, bagaimana realisasi janji itu saat ini ketika sebagian besar dari mereka harus meninggalkan kursinya beberapa bulan ke depan?
Rasanya tidak berlebihan bila mengatakan janji-janji itu tidak terbukti. Buktinya mudah, periksa saja seberapa jauh realisasi pada Renstra AL 2005-2009, khususnya pengadaan kapal perang. Meskipun dalam periode itu ada penambahan kapal perang baru dalam susunan tempur, akan tetapi hal itu adalah realisasi dari program sebelum tahun 2005.
Situasi ini menunjukkan bahwa dari kasus di Laut Sulawesi saja, terlihat jelas bahwa kemauan politik dari para pengambil keputusan di negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif, terhadap pembangunan kekuatan laut masih sebatas komitmen belaka. Di berbagai macam forum, entah itu seminar, rapat resmi dan lain sebagainya, anggaran pertahanan dijadikan sebagai kambing hitam.
Kasus Laut Sulawesi mencerminkan pula bahwa belum ada kemauan politik untuk mendayagunakan diplomasi pertahanan. Diplomasi Angkatan Laut sebagai bagian dari diplomasi pertahanan masih berjalan sendiri. Sebagai contoh, ketika AL kita sekarang tengah sibuk menghadapi manuver kapal perang Negeri Tukang Klaim, unsur udara dari AU tidak hadir di sana.
Berbeda dengan AL yang 24 jam x 365 hari menghadirkan unsur-unsurnya di sana, AU hanya menghadirkan unsur pesawat tempurnya secara kontemporer, tidak setiap saat. Artinya tidak ada kesamaan sikap untuk menghadapi kasus itu guna mengamankan kepentingan nasional. Apa susahnya menggeser kekuatan udara ke Tarakan misalnya, sebab masalah logistik tidak dapat dijadikan alasan.
Masih banyak lagi cermin ketidakpaduan nasional dalam kasus di Laut Sulawesi. Itulah Indonesia…

26 Mei 2009

Pertahanan Yang Mengabaikan Prinsip Ekonomis

All hands,
Masalah yang menggelayuti dunia pertahanan Indonesia yang berujung pada sejumlah kecelakaan seperti kasus pesawat angkut Fokker F-27 dan L-100-30 Hercules pada dasarnya merupakan akibat dari pengabaian prinsip ekonomis. Kalau kita mau berhitung dengan jujur, berapa kerugian akibat kecelakaan-kecelakaan seperti itu. Kerugian bukan semata total lost pada sistem senjata, tetapi juga nyawa manusia. Dari korban jiwa itu, khusus untuk personel TNI berapa biaya yang telah dikeluarkan dari pos anggaran pertahanan untuk mendidik mereka dari mulai pendidikan pembentukan sampai pada saat-saat terakhir hidup mereka. Baik itu penerbang, teknisi maupun spesialisasi lainnya.
Kembali ke prinsip ekonomis, nampak jelas bahwa kebijakan pertahanan yang ditempuh adalah lebih memilih memelihara sistem senjata yang telah berumur daripada menggantinya dengan sistem senjata keluaran terakhir. Pertanyaannya adalah apakah benar biaya untuk memelihara sistem senjata yang telah berumur lebih ekonomis daripada membeli sistem senjata baru? Penulis yakin hal ini belum pernah dihitung oleh Departemen Pertahanan, apalagi oleh DPR yang memiliki hak anggaran.
Setiap sistem senjata mempunyai life cycle cost. Menurut pengalaman negara-negara Barat selama ini, usia ekonomis sistem senjata buatan mereka adalah 25 tahun.
Maksudnya, sampai usia tersebut sebuah sistem senjata pengoperasian dan pemeliharaannya tidak akan menggerogoti anggaran pemakai, Secara ekonomis sampai dengan umur itu suatu sistem senjata masih menguntungkan untuk digunakan. Mengapa demikian? Karena sistem senjata tersebut memang dirancang untuk masa pemakaian 25 tahun.
Di Indonesia masalah life cycle cost banyak tidak dipahami oleh para pengambil keputusan di bidang pertahanan. Tidak heran bila lahir program MLU, retrofit dan lain sebagainya. Program itu di negara-negara Barat memang ada, tapi ditempuh ketika usia operasional suatu alutsista mencapai sekitar 12 tahun dari 25 tahun ekspektasinya. Karena pemahaman yang tidak tepat, program serupa di Indonesia mayoritas dilaksanakan ketika suatu sistem senjata sudah mencapai 25 tahun operasional, bahkan lebih.
Soal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada matra Angkatan sebagai operator sistem senjata. Sebab kebijakan demikian ditempuh karena dari tataran yang lebih atas lebih suka memilih memelihara sistem senjata yang life cycle cost-nya sudah lewat daripada menggantinya dengan sistem senjata keluaran terakhir. Padahal kalau dihitung dengan cermat, biaya pengadaan sistem senjata termutakhir tidak akan jauh berbeda dengan biaya pemeliharaan sistem senjata lama yang telah melewati masa 25 tahun.
Program MLU, reftofit dan sejenisnya memang bisa memperpanjang usia pakai menjadi 10-15 tahun ke depan. Namun tidak ada jaminan bahwa pemerintah dalam 10-15 tahun ke depan akan bermurah hati dan dengan penuh kesadaran membelikan sistem senjata baru. Selama ini komitmen nyata pemerintah dalam bidang pertahanan patut untuk dipertanyakan. Masalah utamanya bukan pada anggaran, tetapi pada the will pemerintah. No guts no glory.

25 Mei 2009

Kebangkitan Angkatan Laut Cina: Ancaman Atau Tidak?

All hands,
Perdebatan mengenai kebangkitan Angkatan Laut Cina telah menjadi topik yang belum selesai di kawasan dalam 8 tahun terakhir. Pertanyaan utama dari topik itu cuma satu, apakah kebangkitannya merupakan ancaman atau tidak? Ada beberapa pendapat berbeda mengenai isu ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa kebangkitan Angkatan Laut Cina merupakan ancaman, sebab arah dari pembangunan kekuatan Cina adalah menuju kekuatan global. Pihak yang memegang teguh pendapat ini menunjukkan pengadaan kapal selam nuklir, kapal perusak berkemampuan ocean going dan ambisi Negeri Tirai Bambu membangun kapal induk sebagai indikasi nyata bahwa hal itu merupakan ancaman. Sebab Cina dinilai belum mau “terikat” pada norma-norma keamanan internasional. Penganut keyakinan demikian adalah Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di kawasan Asia Pasifik, seperti Jepang, Korea Selatan, Australia dan India.
Pendapat kedua menyatakan bahwa kebangkitan Angkatan Laut Cina lebih sebagai reaksi terhadap gesture Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan terhadap negeri itu. Cina merasa bahwa deployment kekuatan laut Paman Sam di kawasan Asia Pasifik ditujukan padanya, misalnya pada kasus tabrakan antara pesawat EP-3 Aries dengan pesawat udara Cina. Begitu pula dengan kasus USS Impecabble (T-AGOS 23). Menurut pendapat ini, pembangunan kekuatan laut Cina yang berkemampuan proyeksi kekuatan lebih sebagai reaksi untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, khususnya menyangkut SLOC.
Beijing mengenal adanya The Malacca Dilemma, yang mana negeri itu merasa bahwa Amerika Serikat dapat melaksanakan cekikan kapan saja terhadapnya di Selat Malaka. Pada sisi lain, perairan tersebut merupakan SLOC vital baginya. Untuk keluar dari The Malacca Dilemma, tidak heran bila BUMN migas Cina didorong untuk membuka jaringan pipa dan pelabuhan di beberapa negara Asia Selatan, seperti Bangladesh dan Pakistan. Sebagai kompensasinya, kedua negara selain mendapat senjata buatan Beijing, turut pula diberikan teknologi militer.
Apabila ditarik ke dalam konteks Indonesia, kebangkitan Angkatan Laut Cina merupakan ancaman atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan itu, dapat digunakan parameter yaitu kepentingan nasional Indonesia. Dari situ akan dengan mudah ditemukan jawabannya.

24 Mei 2009

Peningkatan Kinerja Sistem Senjata Bawah Air

All hands,
Metode apapun yang digunakan sebagai taktik dalam peperangan kapal selam oleh Angkatan Laut di sekitar Indonesia, menunjukkan bahwa peperangan bawah air menuntut perhatian khusus dari kekuatan laut Indonesia. Kondisi perairan Indonesia yang terbuka 360 derajat menjadikan ancaman kapal selam perlu mendapat perhatian khusus. Situasi ini makin relevan ketika kinerja sistem senjata untuk peperangan bawah air Indonesia mengalami penurunan, yang tidak lepas dari dukungan anggaran pemeliharaan yang tidak memadai dari pemerintah.
Memang penurunan kinerja sistem senjata itu tidak sekasat mata alutsista AU misalnya, yang akibatnya bisa dilihat langsung oleh masyarakat. Sebab yang bisa melihat dan merasakannya cuma AL itu sendiri, misalnya dalam latihan-latihan yang digelar. Artinya perlu kerja keras untuk meyakinkan para pengambil keputusan, yaitu pemerintah dan DPR, untuk meyakini dan mengakui bahwa kemampuan peperangan bawah air kekuatan laut Indonesia mendesak untuk mendapat perhatian khusus.
Untuk mengatasi penurunan kinerja sistem senjata peperangan bawah air tidak dapat lagi dilaksanakan dengan cara-cara tradisional seperti perbaikan sistem senjata itu, khususnya perangkat sensor seperti sonar. Menurut hemat penulis, perlu ditempuh cara non tradisional melalui penggantian perangkat sensor baru. Sebab perangkat sensor lama secara usia memang sudah sepantasnya diganti.
Secara ekonomis, biaya penggantian dengan perangkat sensor baru lebih menguntungkan daripada sekedar perbaikan sistem itu. Sebab bila hanya sekedar perbaikan, usia pakainya paling lama 10 tahun ke depan. Padahal dari sisi biaya, selisihnya tidak jauh berbeda antara memperbaiki sistem lama dengan penggantian dengan perangkat sensor generasi terakhir. Hal ini khususnya berlaku pada kapal atas air yang menjadi andalan dalam peperangan bawah air untuk menghadapi ancaman kapal selam.

23 Mei 2009

Metode Peperangan Kapal Selam Di Asia Tenggara

All hands,
Meskipun beberapa negara di sekitar Indonesia mengoperasikan kapal selam, namun mayoritas jumlahnya sedikit. Oleh sebab itu, dalam taktik peperangan kapal selam penggunaan metode Wolf Pack hanya bisa dilakukan oleh kekuatan laut Australia, itu pun secara terbatas. Karena metode demikian memerlukan kapal selam yang banyak pada daerah operasi yang luas pula, khususnya pada GPL lawan.
Berangkat dari situ muncul pertanyaan metode apa yang mungkin digunakan oleh negara-negara di sekitar Indonesia dalam menggelar peperangan kapal selam? Dengan keterbatasan jumlah kapal selam, maka metode yang digunakan dapat dipastikan lebih mengandalkan pada penggunaan satu dan atau dua kapal selam saja, baik untuk beroperasi di perairan luas maupun di perairan sempit.
Salah satu metode yang sangat mungkin dieksploitasi oleh Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara adalah metode free hunting. Metode ini mempunyai sejumlah kelebihan, seperti bebas bergerak pada daerah operasi yang luas dengan kapal selam yang sedikit. Dengan bermodalkan satu atau dua kapal selam saja, metode ini dapat digunakan untuk mengganggu GPL lawan.
Memperhatikan luasnya wilayah perairan Indonesia, metode free hunting sangat mungkin dieksploitasi oleh beberapa Angkatan Laut di sekitar Indonesia untuk mengganggu dan menghancurkan GPL Indonesia apabila terjadi konflik. Misalnya GPL dari pangkalan Angkatan Laut di Pulau Jawa ke wilayah konflik di utara Selat Makassar. Atau GPL dari pangkalan di Pulau Jawa ke kawasan pelibatan yang terbentang dari wilayah Bali hingga Irian Jaya.
Kondisi demikian harus diperhatikan dengan seksama dalam Renyudha kita. Renyudha harus disusun dengan benar, berdasarkan asumsi yang benar dan telah diuji dalam oyu, baik melalui TFG maupun simulasi di ASTT. Kekurangan kita selama ini adalah banyak konsep tidak pernah di-oyu-kan, sehingga kelemahannya tidak pernah teridentifikasi.

22 Mei 2009

Komunikasi Dalam Metode Wolf Pack

All hands,
Penggunaan metode Wolf Pack sebagai taktik dalam peperangan kapal selam selain harus memperhatikan seberapa banyak kekuatan kapal selam yang terlibat, juga harus pula mempertimbangkan masalah komunikasi. Sebab metode Wolf Pack digunakan di perairan yang luas atau laut bebas pada GPL lawan. Metode ini digunakan salah satu tujuannya untuk memutus GPL lawan, sehingga diharapkan akan mempengaruhi will lawan guna melanjutkan perang.
Masalah komunikasi kapal selam merupakan titik krusial dalam operasi. Bagi kapal selam konvensional, untuk melaksanakan komunikasi harus muncul di permukaan terlebih dahulu atau setidaknya harus memunculkan antenanya ke atas permukaan air. Situasi seperti ini cukup berbahaya karena dapat dideteksi oleh lawan, khususnya oleh pesawat patroli maritim. Untuk menghindari terdeteksi oleh lawannya, biasanya kapal selam konvensional melaksanakan komunikasi saat terjadinya perpindahan antara siang dan malam, karena pada waktu itu terjadi sejumlah anomali laut yang dapat mempersulit lawan mendeteksi kehadiran kapal selam.
Sedangkan untuk kapal selam nuklir, mereka mampu melaksanakan komunikasi via satelit meskipun tengah menyelam di bawah air. Kemampuan ini dimiliki oleh Angkatan Laut Rusia, Inggris dan Amerika Serikat. Frekuensi yang digunakan biasanya ELF. Tidak heran bila negara-negara itu mempunyai stasiun komunikasi kapal selam di beberapa bagian dunia, misalnya milik U.S. Navy di Australia Barat.
Kembali ke metode Wolf Pack, taktik ini hanya bisa digunakan bila ada kemampuan komunikasi antar kapal selam maupun dengan pangkalan di darat yang bagus. Sebab kapal selam yang terlibat banyak, ada yang berfungsi sebagai kapal selam pemukul, ada pula yang berfungsi sebagai kapal selam pengintai taktis. Kapal selam yang terakhir harus mampu memberikan data sasaran kepada kapal selam pemukul untuk diaksi lanjut.
Komunikasi akan terkait pula dengan kodal. Entah kodalnya di pangkalan darat atau di salah satu kapal selam yang terlibat, perwira operasi yang bertanggungjawab soal kodal memiliki tantangan yang sangat besar. Jangan sampai kodalnya diganggu dan atau disadap oleh lawan. Kini muncul pertanyaan, Angkatan Laut mana di sekitar Indonesia yang mumpuni kemampuan komunikasi dan kodalnya dalam operasi kapal selam?

21 Mei 2009

Aplikasi Metode Wolf Pack

All hands,
Salah satu taktik peperangan kapal selam adalah metode Wolf Pack. Metode ini dalam sejarah dilahirkan oleh Jerman dalam dua Perang Dunia dan terbukti memberikan kerugian besar terhadap lawan. GPL Sekutu dalam dua perang itu nyaris terputus total dengan ratusan ribu ton kapal perang dan kapal niaganya dikirim ke dasar lautan oleh torpedo-torpedo kapal selam Jerman. Belum lagi terhitung kerugian personel Sekutu.
Metode Wolf Pack memang mempunyai beberapa keuntungan, seperti daerah operasi yang luas, daya pukul besar dan kapal selam bisa bergerak dengan leluasa.
Pertanyaannya kini, Angkatan Laut mana di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya mampu menggelar Wolf Pack? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, salah satu indikatornya adalah jumlah kapal selam yang dipunyai suatu Angkatan Laut.
Royal Australian Navy mempunyai enam kapal selam, namun maksimal hanya bisa menyiapkan empat kapal selam sekaligus untuk operasional. Republic of Singapore Navy memiliki empat kapal selam, tetapi paling banyak cuma sanggup menyiapkan dua kapal selam saja bagi kepentingan operasi. Baru terdapat satu kapal selam dalam susunan tempur Tentera Laut Diraja Malaysia, diharapkan tahun depan genap menjadi dua kapal selam.
Tentu menjadi pertanyaan mengapa kesiapan kapal selam Angkatan Laut negara-negara itu tidak sesuai dengan jumlah kapal selam yang dipunyai? Jawabannya gampang, sebab terkait dengan siklus operasi kapal selam. Setiap Angkatan Laut dituntut untuk bisa mengatur siklus operasi itu, sebab mustahil menyiapkan semua kapal selam yang ada dalam susunan tempur untuk berstatus siap operasi.
Berangkat dari parameter itu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ditinjau dari indikator jumlah kapal selam yang dipunyai (beserta kesiapannya), hanya Royal Australia Navy yang mampu mengaplikasikan metode Wolf Pack secara terbatas. Sekali lagi, secara terbatas karena jumlah kapal selam yang siap operasionalnya maksimal empat buah. Sedangkan kekuatan laut Singapura dan Malaysia tidak bisa mengaplikasikan metode Wolf Pack.

20 Mei 2009

Rencana Yudha Dan Gelar Kekuatan

All hands,
Angkatan Bersenjata setiap negara pasti memiliki Rencana Yudha yang senantiasa diperbarui seiring dengan perkembangan lingkungan keamanan. Berdiskusi tentang Rencana Yudha, masing-masing negara sudah menetapkan pada wilayah mana kekuatan militernya most likely akan melaksanakan pelibatan. Misalnya Amerika Serikat yang berfokus pada wilayah Asia Barat dan Asia Timur.
Mengacu pada Rencana Yudha demikian, maka gelar kekuatan akan difokuskan pada wilayah pelibatan yang telah ditetapkan. Bagi kekuatan militer yang melaksanakan proyeksi kekuatan, gelar kekuatan dititikberatkan pada Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Begitu pula bagi negara yang secara geografis dikelilingi oleh lautan dan area pelibatan Rencana Yudha militernya terkait dengan domain maritim.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Rencana Yudha militernya juga diikuti oleh gelar kekuatan di wilayah yang diidentifikasi sebagai kawasan pelibatan? Ataukah masih terfokus di kawasan tertentu yang secara geografis jauh dari wilayah pelibatan?
Apabila gelar kekuatan jauh dari area pelibatan, lalu mana yang keliru? Apakah Rencana Yudha disusun berdasarkan strategic assessment yang keliru? Ataukah gelar kekuatan yang tidak benar? Atau lepas dari semua itu, apakah Rencana Yudha disusun hanya demi formalitas belaka yang berujung pada anggaran?

19 Mei 2009

Peran Naval War College Dalam Pembangunan Kekuatan Angkatan Laut

All hands,
Menghadapi ketidakpastian lingkungan keamanan saat ini, tidak sedikit Angkatan Laut di negara-negara maju yang cukup kewalahan untuk menentukan pembangunan kekuatan ke depan seperti apa yang diharapkan mampu menjawab ketidakpastian itu. Khususnya menyangkut force size, yaitu berapa jumlah kapal perang yang harus dipunyai, berapa jumlah personel yang dibutuhkan, bagaimana penyiapannya, apa saja kemampuan kapal perang, terdiri dari jenis apa saja, untuk menghadapi kontinjensi yang bagaimana dan lain sebagainya. Ketika dihadapkan pada situasi demikian, Angkatan Laut di negara-negara itu berpaling kepada Naval War College masing-masing sebagai dapur pemikir mereka.
Salah satu contohnya adalah U.S. Navy, yang memberikan pekerjaan rumah kepada U.S. Naval War College yang berbasis di Newport, RI. Oleh Naval War College, tugas itu direspon dengan menyiapkan kajian komprehensif yang mempertimbangkan bukan saja aspek operasional Angkatan Laut dan juga keamanan, tetapi menyentuh pula aspek politik dan ekonomi. Hasil kajian komprehensif itu sebelum dijadikan produk akhir diuji dulu dalam suatu oyu yang tidak saja melibatkan militer, tetapi juga aktor lainnya seperti Departemen Luar Negeri dan lain sebagainya.
Kalau kita pelajari strategi maritim Amerika Serikat saat ini, niscaya akan menemukan terminologi seperti mission-tailored maritime forces. Tanpa banyak diketahui oleh publik, istilah itu lahir dari hasil kajian U.S. Naval War College. Dan ternyata hasil kajian itu diterima dan diterapkan oleh U.S. Navy saat ini, karena dianggap relevan untuk menjawab tantangan pembangunan kekuatan yang tengah dihadapi.
Dalam rangka mendengarkan aspirasi Angkatan Laut lain di dunia menyangkut kondisi lingkungan keamanan saat ini dan kerjasama apa yang dapat dilaksanakan, U.S. Naval War College secara rutin menggelar International Sea Power Symposium. Pada kegiatan itu, yang diundang adalah para Kepala Staf Angkatan Laut dari negara-negara terpilih dan mereka akan diberikan kesempatan memaparkan pandangan negara mereka menyangkut masalah yang tengah dibahas. Beberapa tahun lalu, pemimpin AL kita pernah menjadi salah satu pembicara dalam International Sea Power Symposium tersebut. Hasil atau masukan dari kegiatan seperti itu dipastikan akan dikaji di U.S. Naval War College, untuk kemudian dijadikan saran rekomendasi kebijakan kepada CNO.
Memang sudah menjadi salah tugas pokok Naval War College di mana pun di dunia untuk menjadi tangki pemikiran bagi Angkatan Laut-nya. Tidak heran bila di lembaga itu ditempatkan tenaga profesional di bidangnya masing-masing, baik sipil maupun militer. Naval War College atau sejenisnya di banyak negara benar-benar menjadi center of excellence. Lalu bagaimana dengan lembaga serupa di AL kita?

18 Mei 2009

Jalan Panjang Transformasi Angkatan Laut

All hands,
Saat ini U.S. Navy telah dilengkapi dengan dua kapal jenis LCS dari 55 yang direncanakan. Tanpa banyak diketahui oleh banyak pihak, kapal perang yang dirancang untuk bertempur di wilayah littoral ini merupakan hasil dari transformasi Angkatan Laut. Transformasi Angkatan Laut di Amerika Serikat diawali ketika berakhirnya Perang Dingin, sehingga negara itu harus mencari alasan baru guna mendukung eksistensi Angkatan Laut. Lahirlah strategi From The Sea: Preparing The Naval Service for 21st Century pada 1992, yang mana tugas-tugas Angkatan Laut lebih difokuskan pada wilayah littoral sebagai bagian dari proyeksi kekuatan. Sebab musuhnya di tengah laut terbuka yaitu Uni Soviet sudah tutup buku.
Strategi ini kemudian memerlukan kapal perang yang ukurannya lebih kecil daripada fregat, dapat beroperasi di littoral dan dipersenjatai secara memadai. Kapal ini juga diprasyaratkan mampu melakukan network-centric warfare. Saat itu isu RMA tengah mendapat arus utama di U.S. Navy dengan Laksamana Madya Arthur Cerbrowski sebagai penganjur utamanya.
From The Sea kemudian mengalami transformasi menjadi Forward…From The Sea pada 1994. Selanjutnya strategi terakhir digantikan oleh The Navy Operational Concept pada 1997. Harap dipahami bahwa strategi yang terakhir berbeda dengan Naval Operations Concept keluaran 2006.
Strategi The Navy Operational Concept kemudian berubah lagi menjadi Sea Power 21. Sea Power 21 kemudian digantikan oleh Naval Operations Concept. Seterusnya muncul strategi baru yaitu A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower.
Meskipun strategi U.S. Navy mengalami beberapa perubahan dan Chief of Naval Operations telah berganti beberapa kali, akan tetapi program LCS yang lahir dari From The Sea tetap dilaksanakan secara konsisten. Sehingga kemudian lahirlah LCS dalam wujud aslinya yang siap beroperasi mengamankan kepentingan nasional Amerika Serikat.
Dari situ nampak jelas bahwa transformasi Angkatan Laut di U.S. Navy berlangsung dalam waktu belasan tahun. Transformasi itu, termasuk eksistensi LCS dalam susunan tempur, tidak terpengaruh oleh pergantian strategi yang dianut maupun pergantian pimpinan organisasi Angkatan Laut. Adanya strategi baru tidak berdiri sendiri, namun senantiasa mempunyai benang merah dengan strategi lama yang digantikan. Alangkah baiknya bila AL kita suatu saat juga bisa meniru contoh tersebut.

17 Mei 2009

Australia Dan Konstelasi Geopolitik Kawasan

All hands,
Kecenderungan kebijakan pertahanan Australia dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 yang memperkuat kemampuan peperangan bawah air, nampaknya cenderung diarahkan untuk menetralisasi kebangkitan militer Cina. Artinya kebijakan itu beyond pembangunan kekuatan militer Indonesia secara khusus. Tersurat dengan jelas bahwa negeri itu memberikan perhatian mendalam terhadap pembangunan kekuatan militer Cina.
Terkait dengan situasi itu, Australia sejak beberapa tahun terakhir merapatkan barisan bersama dengan Amerika Serikat, Jepang dan India. Seperti partisipasi negara-negara itu dalam Latihan MALABAR yang sebenarnya merupakan latihan bilateral Angkatan Laut India dengan Amerika Serikat. Mudah ditebak bahwa semua itu ditujukan untuk membendung kebangkitan militer Cina.
Dihadapkan pada kondisi demikian, Indonesia yang secara geografis berada di tengah-tengah negara-negara tersebut seperti berada pada posisi terjepit. Situasi ini secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kepentingan nasional Indonesia, termasuk di bidang pertahanan. Merespon kondisi demikian, harus ada terobosan diplomatik dan pertahanan agar negeri ini tidak menjadi korban di tengah pertarungan gajah-gajah.

16 Mei 2009

Teknologi Pertahanan Australia

All hands,
Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 bukan saja berbicara tentang kebijakan dan strategi pertahanan, tetapi menyentuh pula aspek teknologi. Aspek teknologi bersifat krusial sebab dari situ akan menentukan apakah kekuatan yang dibangun sesuai dengan kebijakan yang dirancang atau tidak. Kekuatan yang dibangun khususnya terkait dengan pengadaan senjata.
Australia yang tergolong negara dengan penguasaan teknologi pertahanan tingkat madya masih mengandalkan pengadaan senjatanya pada teknologi asing, khususnya Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat dalam rencana pembangunan 12 kapal selam nuklir baru berpeluru kendali konvensional. Negeri itu akan mengandalkan pada kemurahan hati Amerika Serikat untuk teknologi kapal selam, termasuk reaktor nuklirnya. Begitu pula dengan proyek SEA 4000 alias Air Warfare Destroyer. Amerika Serikat kembali menjadi tumpuan untuk teknologi Aegis.
Apa yang dilakukan oleh Australia semakin membenarkan tesis bahwa dalam pembangunan kekuatan pertahanan, suatu negara membutuhkan bantuan teknologi dari luar negeri. Diberi tidaknya bantuan teknologi tergantung pada kedekatan politik antara negara peminta teknologi dan negara pemilik teknologi. Sebagai contoh, F-35 yang akan memperkuat kekuatan pertahanan Australia sebenarnya teknologinya tidak sesuai harapan negeri itu, sebab Amerika Serikat tidak memberikan beberapa teknologi yang terpasang pada F-35 yang akan dipakai oleh kekuatan udara Uwak Sam.
Pertanyaannya kini, apakah program transfer of technology dalam kebijakan pertahanan Indonesia realistis? Pertanyaan itu realistis diajukan ketika dihadapkan dengan kebijakan luar negeri Indonesia saat ini.

15 Mei 2009

Gelar Kekuatan Di Wilayah-wilayah Jalur Pendekat Maritim Australia

All hands,
Mengingat bahwa salah satu kepentingan strategis Australia terletak pada jalur-jalur pendekat maritim, yang dalam konteks Indonesia terjemahannya adalah wilayah, choke points yang terbentang dari Pulau Bali hingga Pulau Timor, maka sudah seharusnya bila Indonesia merespon hal tersebut. Salah satu bentuk respon adalah meninjau ulang gelar kekuatan TNI di wilayah-wilayah itu, baik kekuatan laut, udara maupun darat. Bukan sesuatu yang berlebihan bila kemampuan pertahanan Indonesia saat ini memperhitungkan pula ancaman dari selatan, bukan cuma terpaku dari utara.
Sebab bila terpaku dari utara, bisa saja ada pengelabuan oleh lawan. Lawan di utara bikin sibuk Indonesia, sehingga kurang fokus terhadap ancaman dari selatan. Ketika Indonesia sibuk di utara, dari selatan tiba-tiba melakukan pendadakan. Skenario ini sangat mungkin, sebab utara dan selatan berada pada kelompok yang sama. Contoh gamblang dari kekompakan utara dan selatan bisa dilihat di Timor Timur dari 1999 hingga sekarang.
Indonesia perlu memperkuat gelar kekuatan di wilayah yang terbentang dari Pulau Bali hingga Pulau Timor. Gelar kekuatan itu dalam konteks AL adalah lebih meningkatkan kehadiran kapal perang di wilayah-wilayah itu alias gelar penindakan. Sebab untuk gelar kekuatan permanen relatif sudah cukup, tinggal bagaimana meningkatkan kemampuan dukungan logistik dari satuan-satuan gelar permanen tersebut.
Gelar kekuatan TNI di wilayah-wilayah itu harus disinkronkan, agar bisa mencapai interoperability. Sekali lagi, Indonesia jangan terkecoh dengan manuver di utara. Jangan sampai negeri ini menari dengan gendang yang dipukul oleh orang lain.

14 Mei 2009

Peningkatan Kemampuan Intelijen Australia

All hands,
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Australia mempunyai kemampuan yang mumpuni di bidang intelijen. Di antaranya melalui jaringan Jindalee OTHR, fasilitas eavesdropping di Shoal Bay milik Amerika Serikat dan stasiun komunikasi kapal selam Amerika Serikat (Naval Communication Station) Harold E. Holt di North West Cape, Exmouth, Australia Barat. Melalui kerjasama intelligence sharing, negeri turunan para narapidana itu diperbolehkan oleh Amerika Serikat mengakses data sensitif, baik gambar, suara maupun lainnya. Akan tetapi hal itu belum membuat Australia merasa cukup dalam bidang intelijen, khususnya information superiority.
Dengan berdasar pada Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030, di samping melanjutkan pengadaan enam pesawat AEW&C Wedgetail yang di dalamnya terpasang sistem sensor Cooperative Engagement Capability (CEC) yang akan interoperable dengan sistem serupa di kapal perusak kelas Hobart (AWD/Project SEA 4000), Canberra akan membeli pula sebuah imagery satellite dalam beberapa tahun ke depan.
Semua perangkat tersebut utamanya akan diarahkan pada jalur-jalur pendekat maritim Australia. Karena strategi militer negara itu menekankan pada preemptive strike di jalur-jalur pendekat maritim dan udaranya. Penting untuk diketahui bahwa soal intelijen pertahanan dibahas pada bab tersendiri dalam Buku Putih Pertahanan yang diterbitkan oleh pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd.
Dari situ jelas bahwa Indonesia adalah salah satu sasaran dari perangkat sensor Australia, selain Cina tentunya. Pertanyaannya, kapan Indonesia akan memprioritaskan peningkatan kemampuan intelijennya, khususnya intelijen pertahanan? Memperhatikan bahwa Departemen Pertahanan Indonesia tidak mempunyai bapul intelijen, sulit rasanya membayangkan hal itu akan menjadi prioritas dalam waktu dekat.

13 Mei 2009

Peran Angkatan Darat Mendukung Angkatan Laut: Kasus Australia

All hands,
Dalam strategi pertahanan Australia yang tercantum dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2020, dinyatakan bahwa selain Royal Australian Air Force, Australian Army juga mendapat peran dalam strategi maritim negeri itu. Peran Australian Army adalah mengendalikan jalur-jalur pendekatan, mengamankan wilayah-wilayah di seberang lautan dan beragam fasilitas, mengalahkan serangan mendadak ke wilayah Australia, melindungi pangkalan-pangkalan yang menjadi basis operasi Royal Australian Navy dan Royal Australian Air Force dan to deny akses lawan ke pangkalan aju.
Strategi maritim merupakan tulang punggung pertahanan Australia, karena geografis Australia yang merupakan benua tersendiri dan laut adalah jalur pendekatnya. Berdasarkan pada strategi itu, Australian Army harus rela mendukung Royal Australian Navy dalam operasinya. Termasuk mengendalikan jalur-jalur pendekatan.
Bentuknya bisa berupa kekuatan darat Australia menginvasi wilayah yang terbentang dari Bali sampai Nusa Tenggara Timur, khususnya yang mempunyai choke points, agar Indonesia tidak bisa menggelar strategi anti akses. Sebab strategi anti akses apabila digelar oleh Indonesia akan merepotkan kekuatan laut negeri turunan para narapidana tersebut.
Lesson learned dari situ adalah Angkatan Darat dapat berperan sebagai unsur pendukung Angkatan Laut dalam strategi maritim. Pertanyaannya di Indonesia, relakah AD mendukung AL dalam strategi maritim? Mendukung berarti berada pada posisi di belakang, berarti pula sulit untuk menjadi “pahlawan”.

12 Mei 2009

Integrasi Kemampuan Maritime Surveillance

All hands,
Indonesia masih mempunyai masalah dengan kemampuan maritime surveillance. Masalah fundamentalnya bukan pada keterbatasan sarana, tetapi pada integrasi kemampuan di antara aktor-aktor terkait alias interoperability. Seperti diketahui, selain AL ada pula AU yang mempunyai aset dan sekaligus melaksanakan patroli maritim.
Namun tidak ada interoperability di antara keduanya, sebab AU merasa bahwa patroli maritim adalah domainnya dan tidak mau berada di bawah kodal AL. Padahal di manapun di dunia, yang disebut patroli maritim senantiasa berada di bawah kodal AL. Apa akibat dari ego sektoral tersebut?
Patroli maritim AU hanya menghabiskan cost, tetapi aksi lanjut alias penindakan hasil pantauannya nyaris ada. Sebab seringkali di sektor patroli maritim AU tidak ada unsur kapal perang AL. Mulai dari perencanaan operasi, tidak ada koordinasi AU dengan AL, dalam hal ini Armada. Dari situ bukan hal berlebihan bila menyebut patroli maritim AU cuma menghabiskan cost, tetapi benefit-nya nyaris tidak ada.
Selain masalah perencanaan operasi, juga panjangnya jalur birokrasi pelaporan hasil pantauan patroli maritim AU. Berbeda dengan pesawat patroli maritim AL yang mempunyai jalur komunikasi langsung ke unsur kapal perang terdekat, pesawat patroli maritim AU tidak mempunyai jalur komunikasi tersebut. Tidak heran bila hasil pantauan patroli maritim AU sulit untuk diaksi lanjut oleh kapal perang AL, sebab ada ketertinggalan ruang dan waktu.
Bertolak dari situ, integrasi kemampuan maritime surveillance AL dan AU seharusnya dilaksanakan dari sekarang. Hal itu bisa terjadi apabila ada ketulusan dari AU untuk mengakui bahwa domain maritim, termasuk aspek patroli udaranya, merupakan domain AL. Ketulusan sangat penting, karena lebih kuat daripada sekedar surat perintah dari komando atas. Surat perintah bisa saja atau bahkan harus dilaksanakan, tetapi apakah dilaksanakan dengan tulus atau tidak itu yang menjadi pertanyaan. Tulus dan tidak akan menentukan hasil dari pelaksanaan perintah tersebut.

11 Mei 2009

Prioritas Kemampuan Pertahanan

All hands,
Kedekatan Indonesia-Rusia dalam beberapa tahun terakhir tersirat dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century; Force 2030. Terkesan bahwa Australia tidak senang dengan hal tersebut, sebab akan menggerus dominasi kekuatan militer Australia di kawasan. Meningkatnya kemampuan daya pukul Indonesia, khususnya kekuatan laut dipandang mengancam kepentingan negeri itu. Sehingga lumrah bila prioritas pembangunan kekuatan militer Australia difokuskan pada peperangan bawah air.
Sudah pasti ada berbagai cara Australia untuk mengerdilkan upaya pembangunan kekuatan laut Indonesia ke depan. Misalnya menggunakan tangan pihak lain dalam soal pengadaan kapal selam baru Indonesia. Atau bila hal itu tidak berhasil, upaya lainnya adalah bagaimana mengerdilkan kemampuan alutsista baru AL kita nantinya.
Pembangunan kekuatan laut negeri ini masih sulit untuk diarahkan pada upaya perimbangan kekuatan, sebab ketulusan pemerintah untuk membangun AL seringkali pasang surut. Dengan semakin kuatnya kekuatan laut Australia ke depan, lalu apa sebenarnya langkah antisipatif dari pemerintah, khususnya Departemen Pertahanan?
Departemen Pertahanan selama ini terkesan tidak mempunyai prioritas kebijakan dalam pengembangan kekuatan pertahanan. Dari tiga matra TNI, mana yang diprioritaskan? Pernyataan soal prioritas itu bukan sekedar pernyataan politik, tetapi realisasi di lapangan. Dengan menjadi Buku Putih Pertahanan Australia 2009 sebagai perbandingan, di sana prioritasnya adalah pada kekuatan laut dan udara. Kenapa begitu? Karena keduanya memiliki kemampuan proyeksi kekuatan sehingga diharapkan harus mampu memukul musuh ketika masih jauh dari daratan Australia.Sementara Indonesia baru bisa pada konsep muluk, tetapi realisasi miskin kemauan.

10 Mei 2009

Memperkuat Aspirasi Angkatan Laut

All hands,
Selama ini seringkali ada pendapat bahwa aspirasi AL kita dalam aspek pembangunan kekuatan kurang bergema di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI. Kondisi demikian ditengarai menjadi salah satu penyebab mengapa pengadaan sejumlah alutsista baru dalam beberapa tahun belakangan mengalami hambatan dalam proses di luar AL. Misalnya soal akuisisi kapal selam dan PKR.
Untuk menggemakan aspirasi AL di kedua instansi penting itu, pilihannya adalah menempatkan personel pilihan pada sejumlah pos strategis di sana. Hal ini sudah ditempuh oleh AU, sehingga bukan hal yang aneh bila pengadaan alutsista AU terkesan mulus dibandingkan dengan alutsista AL. Pemikiran soal penempatan personel pilihan pada dasarnya bagus, asal ada satu komitmen di antara semua pihak yang terkait. Misalnya personel yang terpilih nantinya tidak lupa sama AL, sebagai penempatannya di sana bagaimanapun merupakan perwakilan AL.
Pada sisi lain, pembinaan terhadap mereka harus berjalan secara berkesinambungan. Bila tidak dibina, yang terjadi adalah mereka terkesan lupa kacang akan kulitnya. Itulah yang sebagian terjadi saat ini.
Meskipun mungkin menurut perhitungan bahwa DSP belum terpenuhi, akan tetapi hal itu sebaiknya tidak menjadi penghambat untuk menempatkan perwira AL terpilih di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI. Sudah bukan waktunya lagi perwira yang ditempatkan di sana merupakan lapis kedua, ketiga dan seterusnya. Sebab peran kedua satuan kerja tersebut vital saat ini dan ke depan, menyangkut pengambilan kebijakan pertahanan dan TNI.

09 Mei 2009

Belajar Dari Australia

All hands,
Materi Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 yang komprehensif dari kebijakan sampai dengan pembangunan kekuatan patut dicontoh oleh Indonesia dalam menyusun dokumen serupa. Meskipun dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 penyusunannya sudah dicoba seperti Australia, namun ternyata masih jauh dari harapan. Mengapa demikian?
Sebab Departemen Pertahanan Indonesia mempunyai kendala sumber daya manusia dalam menyusun Buku Putih Pertahanan maupun tiga dokumen strategis lainnya. Tidak heran bila antara satu dokumen dengan dokumen lainnya mengalami ketidaksinkronan, misalnya soal hubungan antara strategi dengan postur.
Sumber daya manusia di Indonesia yang mumpuni dalam bidang kebijakan dan strategi pertahanan masih sangat sedikit. Termasuk pula di Departemen Pertahanan. Memang ada sekelompok orang yang oleh media massa dinobatkan sebagai pengamat militer. Tetapi berdasarkan pengalaman saya pribadi berinteraksi dengan mereka, kesimpulan saya ilmu mereka masih cetek. Apa yang mereka ketahui cuma di permukaan saja, tidak mendalam. Begini sudah masuk wilayah yang memerlukan kalkulasi teknis terkait kebijakan dan strategi pertahanan, mereka malah berupaya mengorek ilmu saya. He...he...he...
Sebagian pihak boleh berbangga bahwa sekarang sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung memiliki jurusan terkait pertahanan. Namun berdasarkan penilaian saya dan juga beberapa rekan lain, yang dipelajari di sana ilmu soal pengadaan. Jadi belajarnya sangat teknis sekali, tetapi strateginya nol.
Kemudian ada keinginan kuat dari Departemen Pertahanan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi yang mirip dengan NDU di Amerika Serikat. Boleh-boleh saja, tetapi saya agak pesimistis soal kualitas. Karena sebagian pengajarnya pasti adalah "pengamat militer' yang kualitasnya sudah saya ceritakan sebelumnya.
Lalu bagaimana solusinya agar negeri ini suatu saat mempunyai Buku Putih Pertahanan yang komprehensif seperti kepunyaan Negeri Kangguru? Menurut hemat saya, individu-individu yang selama ini tersebar di "beberapa tempat", secara intelektualitas (ilmu pertahanan) lebih menonjol, dari segi kepangkatan masih ciprit, tidak punya popularitas di publik seperti halnya "pengamat militer", perlu diidentifikasi oleh Departemen Pertahanan. Setelah diidentifikasi, mereka harus dibina.
Departemen Pertahanan mempunyai kewajiban mempersiapkan sumber daya manusinya di masa depan. Oleh sebab itu membina individu-individu yang mampu dalam hal pertahanan adalah kewajibannya. Hanya dengan begitu kita bisa keluar dari lingkaran setan selama ini.

08 Mei 2009

Kebijakan Pertahanan Australia

All hands,
Kebijakan pertahanan Australia didasarkan pada prinsip kemandirian menghadapi serangan dari luar. Namun demikian, Australia sangat membuka pintu kerjasama keamanan melalui koalisi dengan negara-negara lain apabila ancaman itu dipandang tidak dapat dihadapi sendirian. Di situ Negeri Kangguru bersandar pada Amerika Serikat dan FPDA.
Kebijakan tersebut diturunkan ke dalam strategi militer sebagaimana dinyatakan dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 halaman 53. Dinyatakan, our military strategy is crucially dependent on our ability to conduct joint operations in the approaches to Australia - especially those necessary to achieve and maintain air superiority and sea control in places our choosing.
Strategi itu kemudian diterjemahkan dalam pembangunan kekuatan laut dan udara. Di halaman 60 ditulis major surface combatants (destroyers and frigates), submarines and other naval capabilities, supported by air combat (for air superiority and maritime strike) and maritime surveillance and response assets, are necessary to establish sea control, and to project force in our maritime environment (including for the purposes of maintaining freedom of navigation, protecting our shipping, and lifting and supporting land forces).
Apa lesson learned dari situ bagi Indonesia? Pertama, Departemen Pertahanan Indonesia harus belajar bagaimana membuat benang merah antara kebijakan-strategi-pembangunan kekuatan. Benang merah itu tidak ada dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008.
Kedua, penegasan bahwa Angkatan Laut adalah kekuatan yang dapat digunakan untuk kepentingan militer, diplomasi maupun konstabulari. Tugas seperti protecting our shipping adalah bagian tak terpisahkan dari AL, baik dalam konteks melindungi economic well being maupun untuk kepentingan proyeksi kekuatan.
Ketiga, strategi pertahanan Australia adalah memukul kekuatan lawan ketika masih jauh dari wilayah yurisdiksinya. Konsekuensinya kekuatan militer negeri itu harus mampu untuk melakukan proyeksi kekuatan. Maka kekuatan yang dibangun pun dirancang untuk mampu diproyeksikan jauh dari wilayah Australia. Strategi ini tidak lepas dari pengalaman pahit ketika dihajar Jepang pada awal 1942, dengan Darwin menjadi sasaran amuk kekuatan udara Negeri Matahari Terbit.

07 Mei 2009

Kemampuan Peperangan Bawah Air

All hands,
Pada halaman 41 Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 dinyatakan bahwa our most basic strategic interest remains the defence of Australia against direct armed attack.....This means that we have a fundamental interest in controlling the air and sea approaches to our continent, if necessary by defeating hostile forces in their bases or staging areas, or attacking them in transit.
Selanjutnya di halaman 59 tercantum ....This entails a fundamentally maritime strategy, for which Australia requires forces that can operate with decisive effect throughout the northern maritime and littoral approaches to Australia...
Dari situ dapat disimpulkan bahwa hanya orang yang mengalami gangguan kejiwaan saja yang tidak setuju bahwa controlling the air and sea approaches to our continent dan throughout the northern maritime and littoral approaches to Australia tak lain adalah wilayah yurisdiksi Indonesia. Kebijakan dan strategi itu memang bukan hal baru, karena juga ditulis dalam Defence 2000: Our Future Defence Force di halaman 30.
Lalu apa means untuk mewujudkan strategi tersebut? Dalam bidang maritim adalah pembangunan kemampuan peperangan bawah air melalui pengadaan 12 kapal selam nuklir dan delapan fregat baru yang fungsi asasinya adalah AKS. Selain itu ada pula akuisisi 24 heli berkemampuan AKS. Semua pengadaan itu di luar program AWD yang tengah berjalan.
Bagi kita yang paham betul soal strategi maritim, peningkatan kemampuan peperangan bawah air Australia sebagaimana digariskan dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 dapat dipastikan sebagai reaksi terhadap pembangunan kemampuan peperangan kapal selam di beberapa negara sekitar Australia dalam beberapa tahun terakhir. Termasuk rencana Indonesia membeli kapal selam Kilo.

06 Mei 2009

Secure Australia In Secure Region

All hands,
Departemen Pertahanan Australia pada 2 Mei 2009 telah menerbitkan Buku Putih Pertahanan bertajuk Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030. Buku Putih ini merupakan yang terbaru sejak dokumen serupa diterbitkan pada tahun 2000 di bawah pemerintahan John Howard yang berjudul Defence 2000: Our Future Defence Force. Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 merupakan realisasi janji Perdana Mentteri Kevin Rudd di masa awal pemerintahannya untuk membuat kebijakan "baru" dalam pertahanan Negeri Kangguru itu.
Untuk ulasan lengkap terhadap Buku Putih 2009 yang ditinjau dari perspektif kepentingan nasional Indonesia, menurut saya setidaknya akan memakan minimal 15 halaman kertas A-4. Sangat mungkin malah 20 halaman, sebab ada hal-hal baru yang dimuat dalam buku ini dibandingkan dokumen serupa tahun 2000.
Banyak aspek yang bisa diulas lebih dalam dari Buku Putih Pertahanan 2009. Baik aspek politik, strategi, pembangunan kekuatan, pembinaan kekuatan maupun logistik. Dari aspek politik, tidak ada perbedaan antara Defence 2000: Our Future Defence Force dengan Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030. Yaitu Australia ingin menciptakan a secure Australia in secure region. Secure region yang dimaksud yaitu tidak ada kekuatan lain di kawasan Asia Pasifik, baik aktor negara maupun non negara, yang bisa "menentang" Australia.
Tidak heran bila negeri yang dihuni turunan para narapidana asal Inggris itu menganggap bahwa keutuhan wilayah Indonesia termasuk dalam kepentingan strategisnya. Namun harus dipahami bahwa Indonesia yang utuh tidak identik dengan Indonesia yang kuat dari aspek militer, sebab hal itu akan menjadi ancaman terhadap strategi militernya.
Strategi militer seperti apa? Bersambung...

05 Mei 2009

Tradisi Dan Ciri Khas Angkatan Laut

All hands,
Angkatan Laut mempunyai tradisi dan ciri khas yang berbeda dengan Angkatan Darat dan Angkatan Udara. Hal itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan organisasi Angkatan Laut, baik di pendirat maupun kapal perang. Misalnya penggunaan peluit untuk berbagai isyarat, aba-aba maupun perintah. Juga pemakaian lonceng untuk penunjukan waktu, yang mana bisa mengecoh orang awam apabila tidak paham bagaimana mengartikan bunyi lonceng tersebut dikaitkan dengan jam yang sedang berjalan.
Tradisi dan ciri khas Angkatan Laut juga dapat dilihat dari atribut yang ada, misalnya pada seragam personel Angkatan Laut. Di banyak Angkatan Laut di dunia, sangat mudah membedakan mana yang tergolong kelasi, mana yang tergolong Petty Officer. Begitu pula antara Petty Officer dengan perwira.
Misalnya penggunaan logo Angkatan Laut di pet perwira dan Petty Officer. Logo Angkatan Laut di pet perwira mengacu pada logo resmi Angkatan Laut negaranya, yang mana warnanya adalah kuning keemasan. Sedangkan untuk Petty Officer, logo pada pet adalah jangkar saja dengan warna perak. Adapun kelasi menggunakan dop, baik untuk PDH maupun PDU.
Kenapa demikian? Sebab Angkatan Laut di dunia mempunyai hirarki. Hirarki itu salah satunya berdasarkan golongan kepangkatan dan dipraktekkan secara ketat dalam kehidupan sehari-hari.
AL kita juga mewarisi tradisi demikian, sebab banyak generasi terdahulu Angkatan Laut negeri ini merupakan hasil didikan dari Koninklijke Marine. Tradisi dan ciri khas yang dianut oleh KM diwariskan kepada AL kita. Makanya banyak sekali istilah di AL kita yang sebenarnya berasal dari Bahasa Belanda, seperti oemrop, valreep dan lain sebagainya.
Pertanyaannya adalah apakah tradisi dan ciri khas Angkatan Laut yang diwariskan dari generasi terdahulu AL negeri ini masih terjaga atau mulai mengalami degradasi? Angkatan Laut di manapun di dunia bangga dengan tradisi dan ciri khas yang dimilikinya. Meskipun tidak sama dengan Angkatan Darat dan Angkatan Udara, tetapi itulah tradisi dan ciri khas Angkatan Laut. Angkatan Laut adalah Angkatan Laut!!!

04 Mei 2009

Eksploitasi Posisi Geografis

All hands,Miring
Dalam strategi maritim, sea denial merupakan salah satu komponen penting. Untuk melaksanakan sea denial, di samping membutuhkan kapal perang (termasuk kapal selam) dan pesawat udara, juga diperlukan ranjau dan rudal anti kapal permukaan. Rudal anti kapal permukaan penempatannya bukan saja onboard kapal atas air, tetapi juga di daratan. Khususnya di pantai sekitar perairan yang strategis, misalnya choke points.
Indonesia mempunyai empat choke points. Namun sayang sea denial melalui strategi anti akses nampaknya belum disentuh dengan matang. Misalnya penempatan baterai rudal anti kapal permukaan maupun rudal anti pesawat udara di sekitar choke points. Rudal anti pesawat udara penting untuk melindungi situs rudal anti kapal permukaan. Mengapa hal itu dipandang penting?
Sebab untuk melaksanakan sea denial kurang tepat bila hanya mengandalkan pada sistem senjata yang bermanuver di laut dan udara saja. Sistem senjata yang terpasang di platform di darat juga penting. Sebab hal itu akan menimbulkan dampak penangkalan yang besar di masa damai dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan saat muncul konflik.
Sebagai contoh, apabila Indonesia menempatkan rudal anti kapal permukaan dan rudal anti pesawat udara di Selat Lombok dan Selat Wetar, Australia akan merasa tidak nyaman. Sebab dia tidak dapat seenaknya bernavigasi di perairan tersebut. Australia yang tidak nyaman justru menguntungkan bagi Indonesia.
Diktum mengatakan bahwa geografi adalah tulang punggung strategi. Indonesia harus memegang teguh diktum itu dengan mengeksploitasi posisi geografisnya bila ingin diperhitungkan di kawasan. Termasuk untuk sea denial melalui strategi anti akses. Perencanaan kekuatan ke depan hendaknya sudah melangkah ke situ, bukan sebatas melengkapi unsur kapal perang yang dari segi jumlah memang masih kurang untuk kebutuhan minimum sekalipun.

03 Mei 2009

Efektifitas Diplomasi Angkatan Laut

All hands,
Kebijakan luar negeri merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hubungan luar negeri. Kebijakan itu dirumuskan untuk mengamankan kepentingan nasional dalam percaturan politik internasional. Juga berkontribusi dalam perdamaian dan stabilitas internasional. Kontribusi hal yang terakhir disinggung tidak identik dengan pengiriman pasukan perdamaian.
Implementasi kebijakan politik luar negeri berlandaskan pada realitas politik, ekonomi dan militer. Tidak aneh bila negara-negara di dunia selain menempuh langkah-langkah persuasif, juga menempuh langkah-langkah koersif dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri mereka.
Berangkat dari situ, penggunaan kekuatan Angkatan Laut dalam kebijakan luar negeri bukanlah the last resort. Lahirlah gunboat diplomacy di masa lalu, yang kini lebih dikenal dengan naval diplomacy. Menurut Sir James Cable, gunboat diplomacy adalah “the use or threat of limited naval forces, otherwise than as an act of war, in order to secure advantage, or to avert loss, either in the furtherance of an international dispute or else against foreign nationals within the territory or the jurisdiction of their own state”.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan kekuatan Angkatan Laut untuk naval diplomacy adalah jenis kapal yang digunakan. Kapal yang digunakan harus mampu menggambarkan kekuatan yang dimiliki. Kredibilitas negara dipertaruhkan dalam penentuan jenis kapal perang. Merupakan hal yang lumrah bila kapal perang dipergunakan setidaknya fregat, bahkan jenis yang lebih besar.
Indonesia selama ini juga melaksanakan naval diplomacy untuk mendukung kebijakan luar negeri. Contohnya adalah di Laut Sulawesi dalam sengketa dengan negeri tukang klaim. Kehadiran kapal perang Indonesia di sana selain melaksanakan peran militer, juga melakukan peran diplomasi.
Mengingat bahwa karakteristik wilayah sengketa sebagian perairannya merupakan perairan dangkal, maka pengoperasian kapal perang dengan tonase besar menjadi terbatas. Misalnya di sekitar suar Karang Unarang. Sehingga mau atau tidak mau, dalam naval diplomacy yang dilaksanakan juga disertakan kapal perang bertonase kecil.
Realitas di lapangan menuntut kita untuk memadukan penggunaan kapal perang bertonase besar dengan kapal perang bertonase kecil guna melakukan naval diplomacy.
Pertanyaannya kini, sudahkah dikaji seberapa efektif kehadiran Gugus Tugas di sana? Kalau dipandang belum efektif, dimana kekurangannya yang harus diperbarui? Apakah perangkat lunaknya masih harus dipertahankan atau harus direvisi? Kalau berbicara mengenai ROE, sejak awal ketika ROE itu diterbitkan saya berpendapat harus direvisi.
Operasi Balat Sakti telah berusia empat tahun. Akan sangat bagus bila operasi itu dievaluasi dari segala aspek, sehingga bisa dipetakan apa saja kelebihan dan kekurangannya. Dari evaluasi, maka bisa disusun apa saja yang harus ditingkatkan ke depan.

02 Mei 2009

Hidro Oseanografi Dan Peperangan Bawah Air

All hands,
Dibandingkan peperangan anti kapal permukaan, peperangan bawah air jauh lebih sulit. Sebab moda peperangan ini berada pada battlespace yang rumit, karena harus mendeteksi dan menghancurkan sasaran yang memanfaatkan aspek fisika dan kimia laut sebagai wahana untuk manuver. Selain itu, peperangan bawah air meliputi pula manuver kekuatan sendiri untuk melawan kapal selam lawan serta kemampuan untuk mengoperasikan kapal selam sendiri secara padu dengan satuan kawan di permukaan dan udara.
Agar peperangan tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan, salah satu aspek yang harus diperhitungkan dengan cermat adalah aspek hidro oseanografi. Misalnya ketersediaan peta khusus kapal selam, yang bermanfaat guna mengoptimalkan manuver kapal selam kita dalam menghadapi kapal selam lawan maupun navigasi. Data hidro oseanografi lainnya yang wajib tersedia antara lain topografi bawah laut, temperatur, salinitas, tekanan. Termasuk pula biologi laut yang bermanfaat bagi peperangan anti kapal selam. Efektifitas torpedo maupun peralatan deteksi bawah air seperti sonar,akan ditentukan pula oleh penguasaan kita terhadap data-data hidro oseanografi tersebut.
Karena strategisnya data tersebut, tidak heran bila USNS Impecabble (T-AGOS 23) rutin beroperasi di Laut Cina Selatan dan kini selalu dikawal oleh kapal perang Amerika Serikat. Kapal itu mempunyai kemampuan melakukan pemetaan topografi bawah laut untuk kepentingan peperangan kapal selam. Sebaliknya Cina bersikeras bahwa kegiatan survei yang dilakukan oleh kapal yang bernaung di bawah U.S. Military Sealift Command itu ilegal, sebab Negeri Tirai Bambu tahu kepentingan apa di balik survei tersebut.
Bagi Indonesia, untuk meningkatkan kemampuan peperangan bawah airnya, survei pengumpulan data-data hidro oseagrafi seperti yang telah dijelas sebelumnya adalah mutlak. Survei tersebut memang mahal, tetapi akan menjadikan kita penguasa di battlespace kita sendiri dalam peperangan bawah air. Dengan data-data yang berhasil dikumpulkan dari survei, setidaknya kita bisa memelihara kemampuan untuk menghadapi negara lain di sekeliling Indonesia yang juga mengoperasikan kapal selam.

01 Mei 2009

Potensi Kemampuan Distant Blockade

All hands,
Indonesia secara geografis mempunyai potensi untuk melakukan distant blockade terhadap negara lain di kawasan Asia Pasifik. Sebab negeri ini mempunyai empat dari sembilan choke points strategis dunia. Untuk mewujudkan potensi tersebut menjadi kekuatan nyata, dibutuhkan beberapa keberanian dari aspek kebijakan politik pemerintah.
Pertama, pemerintah harus berpihak pada pembangunan kekuatan laut. Keberpihakan bukan sekedar pandai menyetujui bermacam rencana pengadaan alutsista Angkatan Laut pada setiap Renstra, tetapi juga mewujudkan rencana itu menjadi kenyataan. Kalau mengacu pada Renstra AL 2005-2009, sepertinya lebih banyak rencana daripada kenyataan. Apakah Renstra 2010-2014 juga demikian, mari kita lihat bersama nantinya.
Kedua, pemerintah harus berani merangkul negara lain. Untuk mewujudkan potensi kemampuan distant blockade, sebaiknya pemerintah tidak berjalan sendiri. Pemerintah lebih baik merangkul negara lain yang berkepentingan agar mendukung distant blockade daripada berupaya sendirian.
Memang Indonesia mempunyai kemampuan secara terbatas untuk melaksanakan distant blockade, misalnya di Selat Sunda atau Selat Lombok saja. Cuma masih menjadi pertanyaan seberapa lama negeri ini tahan terhadap tekanan diplomatik dan militer negeri lain yang tidak mendukung distant blockade. Suka atau tidak suka, Indonesia butuh kawan untuk melakukan itu.
Tentu menjadi pertanyaan, negara mana yang potensial untuk menjadi sasaran distant blockade di masa depan. Secara potensial, menurut hemat saya, adalah negara-negara di utara Indonesia. Pertanyaan berikutnya, apa pemicunya? Yang paling mungkin dan relatif dapat diterima alasannya oleh masyarakat internasional adalah sengketa wilayah maritim.
Mungkin sengketa itu tidak muncul sekarang, tetapi bagaimana dengan 15-20 ke depan? Dalam situasi lingkungan keamanan yang penuh ketidakpastian, kita harus berpikir ke depan. Di masa depan, kawan kita hari ini bisa jadi akan menjadi lawan kita. Sebab dalam hubungan antar negara, yang abadi adalah kepentingan nasional masing-masing negara.