All hands,
Salah satu taktik peperangan kapal selam adalah metode Wolf Pack. Metode ini dalam sejarah dilahirkan oleh Jerman dalam dua Perang Dunia dan terbukti memberikan kerugian besar terhadap lawan. GPL Sekutu dalam dua perang itu nyaris terputus total dengan ratusan ribu ton kapal perang dan kapal niaganya dikirim ke dasar lautan oleh torpedo-torpedo kapal selam Jerman. Belum lagi terhitung kerugian personel Sekutu.
Metode Wolf Pack memang mempunyai beberapa keuntungan, seperti daerah operasi yang luas, daya pukul besar dan kapal selam bisa bergerak dengan leluasa.
Pertanyaannya kini, Angkatan Laut mana di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya mampu menggelar Wolf Pack? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, salah satu indikatornya adalah jumlah kapal selam yang dipunyai suatu Angkatan Laut.
Royal Australian Navy mempunyai enam kapal selam, namun maksimal hanya bisa menyiapkan empat kapal selam sekaligus untuk operasional. Republic of Singapore Navy memiliki empat kapal selam, tetapi paling banyak cuma sanggup menyiapkan dua kapal selam saja bagi kepentingan operasi. Baru terdapat satu kapal selam dalam susunan tempur Tentera Laut Diraja Malaysia, diharapkan tahun depan genap menjadi dua kapal selam.
Tentu menjadi pertanyaan mengapa kesiapan kapal selam Angkatan Laut negara-negara itu tidak sesuai dengan jumlah kapal selam yang dipunyai? Jawabannya gampang, sebab terkait dengan siklus operasi kapal selam. Setiap Angkatan Laut dituntut untuk bisa mengatur siklus operasi itu, sebab mustahil menyiapkan semua kapal selam yang ada dalam susunan tempur untuk berstatus siap operasi.
Berangkat dari parameter itu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ditinjau dari indikator jumlah kapal selam yang dipunyai (beserta kesiapannya), hanya Royal Australia Navy yang mampu mengaplikasikan metode Wolf Pack secara terbatas. Sekali lagi, secara terbatas karena jumlah kapal selam yang siap operasionalnya maksimal empat buah. Sedangkan kekuatan laut Singapura dan Malaysia tidak bisa mengaplikasikan metode Wolf Pack.
Salah satu taktik peperangan kapal selam adalah metode Wolf Pack. Metode ini dalam sejarah dilahirkan oleh Jerman dalam dua Perang Dunia dan terbukti memberikan kerugian besar terhadap lawan. GPL Sekutu dalam dua perang itu nyaris terputus total dengan ratusan ribu ton kapal perang dan kapal niaganya dikirim ke dasar lautan oleh torpedo-torpedo kapal selam Jerman. Belum lagi terhitung kerugian personel Sekutu.
Metode Wolf Pack memang mempunyai beberapa keuntungan, seperti daerah operasi yang luas, daya pukul besar dan kapal selam bisa bergerak dengan leluasa.
Pertanyaannya kini, Angkatan Laut mana di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya mampu menggelar Wolf Pack? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, salah satu indikatornya adalah jumlah kapal selam yang dipunyai suatu Angkatan Laut.
Royal Australian Navy mempunyai enam kapal selam, namun maksimal hanya bisa menyiapkan empat kapal selam sekaligus untuk operasional. Republic of Singapore Navy memiliki empat kapal selam, tetapi paling banyak cuma sanggup menyiapkan dua kapal selam saja bagi kepentingan operasi. Baru terdapat satu kapal selam dalam susunan tempur Tentera Laut Diraja Malaysia, diharapkan tahun depan genap menjadi dua kapal selam.
Tentu menjadi pertanyaan mengapa kesiapan kapal selam Angkatan Laut negara-negara itu tidak sesuai dengan jumlah kapal selam yang dipunyai? Jawabannya gampang, sebab terkait dengan siklus operasi kapal selam. Setiap Angkatan Laut dituntut untuk bisa mengatur siklus operasi itu, sebab mustahil menyiapkan semua kapal selam yang ada dalam susunan tempur untuk berstatus siap operasi.
Berangkat dari parameter itu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ditinjau dari indikator jumlah kapal selam yang dipunyai (beserta kesiapannya), hanya Royal Australia Navy yang mampu mengaplikasikan metode Wolf Pack secara terbatas. Sekali lagi, secara terbatas karena jumlah kapal selam yang siap operasionalnya maksimal empat buah. Sedangkan kekuatan laut Singapura dan Malaysia tidak bisa mengaplikasikan metode Wolf Pack.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar