All hands,
Ketika masalah saling klaim wilayah maritim di Laut Sulawesi antara Indonesia versus Malaysia mulai menghangat pada Februari-Maret 2005, ada pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan di negeri ini yang dengan semangat berapi-api menjanjikan pengadaan kapal perang baru bagi AL kita. Pihak ini berani berjanji tentu saja karena hak anggaran ada di tangannya. Pertanyaannya sekarang, bagaimana realisasi janji itu saat ini ketika sebagian besar dari mereka harus meninggalkan kursinya beberapa bulan ke depan?
Rasanya tidak berlebihan bila mengatakan janji-janji itu tidak terbukti. Buktinya mudah, periksa saja seberapa jauh realisasi pada Renstra AL 2005-2009, khususnya pengadaan kapal perang. Meskipun dalam periode itu ada penambahan kapal perang baru dalam susunan tempur, akan tetapi hal itu adalah realisasi dari program sebelum tahun 2005.
Situasi ini menunjukkan bahwa dari kasus di Laut Sulawesi saja, terlihat jelas bahwa kemauan politik dari para pengambil keputusan di negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif, terhadap pembangunan kekuatan laut masih sebatas komitmen belaka. Di berbagai macam forum, entah itu seminar, rapat resmi dan lain sebagainya, anggaran pertahanan dijadikan sebagai kambing hitam.
Kasus Laut Sulawesi mencerminkan pula bahwa belum ada kemauan politik untuk mendayagunakan diplomasi pertahanan. Diplomasi Angkatan Laut sebagai bagian dari diplomasi pertahanan masih berjalan sendiri. Sebagai contoh, ketika AL kita sekarang tengah sibuk menghadapi manuver kapal perang Negeri Tukang Klaim, unsur udara dari AU tidak hadir di sana.
Berbeda dengan AL yang 24 jam x 365 hari menghadirkan unsur-unsurnya di sana, AU hanya menghadirkan unsur pesawat tempurnya secara kontemporer, tidak setiap saat. Artinya tidak ada kesamaan sikap untuk menghadapi kasus itu guna mengamankan kepentingan nasional. Apa susahnya menggeser kekuatan udara ke Tarakan misalnya, sebab masalah logistik tidak dapat dijadikan alasan.
Masih banyak lagi cermin ketidakpaduan nasional dalam kasus di Laut Sulawesi. Itulah Indonesia…
Ketika masalah saling klaim wilayah maritim di Laut Sulawesi antara Indonesia versus Malaysia mulai menghangat pada Februari-Maret 2005, ada pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan di negeri ini yang dengan semangat berapi-api menjanjikan pengadaan kapal perang baru bagi AL kita. Pihak ini berani berjanji tentu saja karena hak anggaran ada di tangannya. Pertanyaannya sekarang, bagaimana realisasi janji itu saat ini ketika sebagian besar dari mereka harus meninggalkan kursinya beberapa bulan ke depan?
Rasanya tidak berlebihan bila mengatakan janji-janji itu tidak terbukti. Buktinya mudah, periksa saja seberapa jauh realisasi pada Renstra AL 2005-2009, khususnya pengadaan kapal perang. Meskipun dalam periode itu ada penambahan kapal perang baru dalam susunan tempur, akan tetapi hal itu adalah realisasi dari program sebelum tahun 2005.
Situasi ini menunjukkan bahwa dari kasus di Laut Sulawesi saja, terlihat jelas bahwa kemauan politik dari para pengambil keputusan di negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif, terhadap pembangunan kekuatan laut masih sebatas komitmen belaka. Di berbagai macam forum, entah itu seminar, rapat resmi dan lain sebagainya, anggaran pertahanan dijadikan sebagai kambing hitam.
Kasus Laut Sulawesi mencerminkan pula bahwa belum ada kemauan politik untuk mendayagunakan diplomasi pertahanan. Diplomasi Angkatan Laut sebagai bagian dari diplomasi pertahanan masih berjalan sendiri. Sebagai contoh, ketika AL kita sekarang tengah sibuk menghadapi manuver kapal perang Negeri Tukang Klaim, unsur udara dari AU tidak hadir di sana.
Berbeda dengan AL yang 24 jam x 365 hari menghadirkan unsur-unsurnya di sana, AU hanya menghadirkan unsur pesawat tempurnya secara kontemporer, tidak setiap saat. Artinya tidak ada kesamaan sikap untuk menghadapi kasus itu guna mengamankan kepentingan nasional. Apa susahnya menggeser kekuatan udara ke Tarakan misalnya, sebab masalah logistik tidak dapat dijadikan alasan.
Masih banyak lagi cermin ketidakpaduan nasional dalam kasus di Laut Sulawesi. Itulah Indonesia…
7 komentar:
Hahahaha .... Apakah anda masih mempercayai janji-janji Mr. Lanjutkan?
Lebih baik pikirkan diri dan institusi kita masing-masing sebab mereka yang dikasih wewenang untuk mengurus negara ini juga nggak peduli sama kita ...
Jadi ingat motto pemimpin kita saat ini .. Emangnya Gue Pikirin nasib negara ini ... Hehehehe
Bukan mempercayai janji, tetapi memberikan kesempatan kepada mereka yang dipilih oleh rakyat lewat pemilihan umum untuk mengelola negeri ini selama 5 tahun. Ketika kesempatan itu menjelang habis masa berlakunya, baru kita bisa memberikan penilaian. Seperti yang terjadi saat ini.
Pada dasarnya secara pribadi saya dari dulu sependapat anda bahwa para pengelola negara yang dipilih oleh rakyat itu (mayoritas) tidak peduli terhadap negeri ini. Cuma di sisi lain saya juga harus fair memberi mereka kesempatan bekerja.
Soal gimana negeri ini ke depan, itu ditentukan oleh rakyat beberapa puluh hari ke depan. Kita yang bertugas di bidang pertahanan cuma bisa menunggu, sambil berharap kondisi pertahanan kita bisa mengalami kemajuan ke depan. (Saya menghindari pakai istilah LEBIH BAIK, nanti dikira berpihak lagi. Ha..ha..ha..)
Ora ngene-ngene ae...
THE NEXT PRESIDENT WAJIB MENYISIHKAN 5 MILYARD US DOLAR HANYA 10% DARI CADANGAN DEVISA RI UNTUK PEMBANGUNAN SISTEM PERTAHANAN LAUT NUSANTARA AGAR KITA MAMPU PERANG DENGAN MALAYSIA SEBELUM ANGKATAN LAUT RI DIHANCURKAN TLDM MALAYSIA TELAH MEMBUAT RISET & PERSIAPKAN PENYEROBOTAN SEBAGIAN PULAU WILAYAH LAUT DIPERAIRAN KALIMANTAN & PULAU2 DIPERAIRAN SULAWESI SAAT INDONESIA DIPREDIKSI CHAOS AKHIR 2009 PADA SAAT KISRUH HASIL PILPRES 2009 DI JAKARTA
Mestinya harus ada satgasgab/kogasgab yg dibentuk untuk menghadapi tiap trouble spot yang memanas.
Untuk kasus di perairan Ambalat, kalau hanya mengandalkan TNI-AL sendiri sama dgn bunuh diri.
Walaupun kemampuan TNI-AU jauh dari memadai, kehadiran payung udara (fighter) dan bantuan surveillance dari B-737 Surveiller akan sangat berarti dalam mensinergikan potensi dan peranb TNI-AL dan TNI-AU sebagai ujung tombak menghadapi ancaman militer asing.
Sinergi lwt koordinasi akan meningkatkan fire power, moral thus detterence factor.
Sinyalemen Bro Allhands sungguh menimbulkan impresi penasaran dan kegusaran, kok TNI-AL dan TNI-AU terkesan tidak ada koordinasi. Harus nunggu siapa yang mesti proaktif?
Terakhir pemerintah juga harus punya contingency plan terkait sejumlah trouble spots yang bisa sewaktu-waktu eskalasi konflik meningkat. Termasuk dalam contingency plan ini adalah ketersediaan dana taktis/ non budgeter.
Alokasi dana taktis ini harus ada shg bs segera digunakan shg tidak muncul alasan bahwa alutsista tidak bisa dikerahkan krn kekurangan dana untuk penggelarannya.
regards,
rafaleyyy
Kekuatan laut dan udara bisa sinergi kalau komando di atas dua matra ini memerintahkannya. Kan ada markas yang lebih besar dan lebih tinggi dibanding markas besar kedua matra.
Seandainya "belum ada keinginan untuk memerintahkan" apakah mabes TNI-AL/ AU tidak bisa mengambil inisiatif katakanlah paling tidak memberikan masukan ke Mabes TNI ? Atau proaktif saling menempatkan LO di masing-masing satgas?
Saya khawatir apabila misalnya andaikata Super Lynk yang dipersenjatai Sea Skua terbang mendekati KRI yang bertugas di sana, apakah KRI yang bersangkutan harus melewati berbagai jenjang komando di atas untuk meminta bantuan fighter TNI-AU mengusir heli tsb?
Apakah tidak ada semacam "shortcut" krn waktu adalah critical element dlm operasi militer.
regards,
rafaleyyy
Kadang kala sense antara personel yang berada di matra beda dengan yang berada di markas yang lebih besar dan lebih tinggi. Dalam soal itu, bagaimanapun rasional alasan yang dikemukakan, kadang mentah hanya karena soal hirarki saja. Secara pribadi, menurut pendapat saya, sulit terkadang memahami pola pikir di markas yang satu itu.
Posting Komentar