All hands,
Kebijakan luar negeri merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hubungan luar negeri. Kebijakan itu dirumuskan untuk mengamankan kepentingan nasional dalam percaturan politik internasional. Juga berkontribusi dalam perdamaian dan stabilitas internasional. Kontribusi hal yang terakhir disinggung tidak identik dengan pengiriman pasukan perdamaian.
Implementasi kebijakan politik luar negeri berlandaskan pada realitas politik, ekonomi dan militer. Tidak aneh bila negara-negara di dunia selain menempuh langkah-langkah persuasif, juga menempuh langkah-langkah koersif dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri mereka.
Berangkat dari situ, penggunaan kekuatan Angkatan Laut dalam kebijakan luar negeri bukanlah the last resort. Lahirlah gunboat diplomacy di masa lalu, yang kini lebih dikenal dengan naval diplomacy. Menurut Sir James Cable, gunboat diplomacy adalah “the use or threat of limited naval forces, otherwise than as an act of war, in order to secure advantage, or to avert loss, either in the furtherance of an international dispute or else against foreign nationals within the territory or the jurisdiction of their own state”.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan kekuatan Angkatan Laut untuk naval diplomacy adalah jenis kapal yang digunakan. Kapal yang digunakan harus mampu menggambarkan kekuatan yang dimiliki. Kredibilitas negara dipertaruhkan dalam penentuan jenis kapal perang. Merupakan hal yang lumrah bila kapal perang dipergunakan setidaknya fregat, bahkan jenis yang lebih besar.
Indonesia selama ini juga melaksanakan naval diplomacy untuk mendukung kebijakan luar negeri. Contohnya adalah di Laut Sulawesi dalam sengketa dengan negeri tukang klaim. Kehadiran kapal perang Indonesia di sana selain melaksanakan peran militer, juga melakukan peran diplomasi.
Mengingat bahwa karakteristik wilayah sengketa sebagian perairannya merupakan perairan dangkal, maka pengoperasian kapal perang dengan tonase besar menjadi terbatas. Misalnya di sekitar suar Karang Unarang. Sehingga mau atau tidak mau, dalam naval diplomacy yang dilaksanakan juga disertakan kapal perang bertonase kecil.
Realitas di lapangan menuntut kita untuk memadukan penggunaan kapal perang bertonase besar dengan kapal perang bertonase kecil guna melakukan naval diplomacy.
Pertanyaannya kini, sudahkah dikaji seberapa efektif kehadiran Gugus Tugas di sana? Kalau dipandang belum efektif, dimana kekurangannya yang harus diperbarui? Apakah perangkat lunaknya masih harus dipertahankan atau harus direvisi? Kalau berbicara mengenai ROE, sejak awal ketika ROE itu diterbitkan saya berpendapat harus direvisi.
Operasi Balat Sakti telah berusia empat tahun. Akan sangat bagus bila operasi itu dievaluasi dari segala aspek, sehingga bisa dipetakan apa saja kelebihan dan kekurangannya. Dari evaluasi, maka bisa disusun apa saja yang harus ditingkatkan ke depan.
Kebijakan luar negeri merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hubungan luar negeri. Kebijakan itu dirumuskan untuk mengamankan kepentingan nasional dalam percaturan politik internasional. Juga berkontribusi dalam perdamaian dan stabilitas internasional. Kontribusi hal yang terakhir disinggung tidak identik dengan pengiriman pasukan perdamaian.
Implementasi kebijakan politik luar negeri berlandaskan pada realitas politik, ekonomi dan militer. Tidak aneh bila negara-negara di dunia selain menempuh langkah-langkah persuasif, juga menempuh langkah-langkah koersif dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri mereka.
Berangkat dari situ, penggunaan kekuatan Angkatan Laut dalam kebijakan luar negeri bukanlah the last resort. Lahirlah gunboat diplomacy di masa lalu, yang kini lebih dikenal dengan naval diplomacy. Menurut Sir James Cable, gunboat diplomacy adalah “the use or threat of limited naval forces, otherwise than as an act of war, in order to secure advantage, or to avert loss, either in the furtherance of an international dispute or else against foreign nationals within the territory or the jurisdiction of their own state”.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan kekuatan Angkatan Laut untuk naval diplomacy adalah jenis kapal yang digunakan. Kapal yang digunakan harus mampu menggambarkan kekuatan yang dimiliki. Kredibilitas negara dipertaruhkan dalam penentuan jenis kapal perang. Merupakan hal yang lumrah bila kapal perang dipergunakan setidaknya fregat, bahkan jenis yang lebih besar.
Indonesia selama ini juga melaksanakan naval diplomacy untuk mendukung kebijakan luar negeri. Contohnya adalah di Laut Sulawesi dalam sengketa dengan negeri tukang klaim. Kehadiran kapal perang Indonesia di sana selain melaksanakan peran militer, juga melakukan peran diplomasi.
Mengingat bahwa karakteristik wilayah sengketa sebagian perairannya merupakan perairan dangkal, maka pengoperasian kapal perang dengan tonase besar menjadi terbatas. Misalnya di sekitar suar Karang Unarang. Sehingga mau atau tidak mau, dalam naval diplomacy yang dilaksanakan juga disertakan kapal perang bertonase kecil.
Realitas di lapangan menuntut kita untuk memadukan penggunaan kapal perang bertonase besar dengan kapal perang bertonase kecil guna melakukan naval diplomacy.
Pertanyaannya kini, sudahkah dikaji seberapa efektif kehadiran Gugus Tugas di sana? Kalau dipandang belum efektif, dimana kekurangannya yang harus diperbarui? Apakah perangkat lunaknya masih harus dipertahankan atau harus direvisi? Kalau berbicara mengenai ROE, sejak awal ketika ROE itu diterbitkan saya berpendapat harus direvisi.
Operasi Balat Sakti telah berusia empat tahun. Akan sangat bagus bila operasi itu dievaluasi dari segala aspek, sehingga bisa dipetakan apa saja kelebihan dan kekurangannya. Dari evaluasi, maka bisa disusun apa saja yang harus ditingkatkan ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar