31 Januari 2009

Berperang Untuk Kalah

All hand,
Konsep preventing the war is as important as winning the war apabila ditinjau dari perspektif perencanaan pertahanan merupakan sebuah konsep yang bagus. Banyak alasan untuk menyatakan konsep itu bagus, salah satunya adalah kesiapan menanggung cost yang harus dibayar untuk itu. Tentu saja cost-nya sudah diperhitungkan dengan benar dan berujung pada suatu ‘nilai” atau besaran yang mendekati pasti, bukan suatu cost yang tak terhingga seperti yang dianut oleh Sishankamrata maupun sishanta. Mengapa demikian?
Premis utama dari konsep itu adalah preventing the war. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan semua instrumen kekuatan nasional. Dengan kata lain, tidak semata mengandalkan kekuatan militer sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional. Untuk preventing the war, sudah pasti ada cost yang harus dibayar ketika semua instrumen kekuatan nasional bekerja. Namun cost itu tentu saja sudah dikalkulasikan.
Untuk preventing the war, instrumen politik/diplomasi akan bekerja pada ranah antar bangsa. Instrumen ekonomi juga demikian, yang bagi kita yang bergelut di ranah strategi militer sulit memahami hutan rimba instrumen ekonomi itu. Instrumen ekonomi bukan sekedar soal penjatuhan sanksi perdagangan, pembatasan ekspor impor, tetapi juga mencakup pengendalian keluar masuk arus modal dan investasi ke negara sasaran. Sasarannya adalah membuat guncangan pada ekonomi negara sasaran, sehingga negara itu tidak melanjutkan langkahnya untuk berperang atau konflik dengan negara atau pihak lain.
Instrumen informasi bekerja “memanipulasi” informasi yang dilepaskan kepada publik nasional dan internasional. Dan para “manipulator” informasi ini tentu saja berguru kepada Dr. Joseph Goebbels sebagai mahaguru dalam urusan mempengaruhi opini masyarakat.
Lalu bagaimana dengan militer? Tentu saja militer juga bekerja untuk preventing the war, dengan show of force dalam berbagai bentuk. Tujuan dari show of force itu adalah untuk mempengaruhi pihak calon lawan sehingga membatalkan niatnya untuk perang atau konflik. Dan show of force hanya bisa dilakukan apabila jauh sebelum masa itu tiba, para pengambil keputusan politik telah membangun kekuatan militer, termasuk Angkatan Laut.
Mengenai winning the war, tentu saja itu sudah masuk pada domain militer dan tidak akan dibahas di sini. Sedangkan instrumen kekuatan nasional selain militer akan mendukung tercapainya tujuan dari operasi atau kampanye militer. Misalnya, instrumen diplomasi akan ‘bertempur” di kancah internasional, sementara instrumen ekonomi antara lain akan memasok kebutuhan dana buat operasi atau kampanye tersebut. Begitu pula dengan instrumen informasi yang akan “memanipulasi” informasi agar dunia internasional in favor of kepentingan kita.
Sekarang mari kita tarik ke dalam alam Indonesia? Adakah konsep attrition warfare yang berwujud Sishankamrata dan Sishanta menganut konsep preventing the war is as important as winning the war? Kalau asumsi untuk strategi perang saja sudah hopeless, lagi bagaimana dengan untuk preventing the war?
Itu baru strategi perang saja, sementara strategi mempunyai tiga elemen, salah satunya adalah ends. Ends dalam perang adalah winning the war. Lalu bagaimana bisa winning the war kalau strategi yang dianut sudah berangkat dari asumsi yang hopeless?

30 Januari 2009

Eksploitasi Postur Ofensif Angkatan Laut

All hands,
Kalau kita membahas tentang postur Angkatan Laut secara umum, suka atau tidak suka, pada dasarnya Angkatan Laut merupakan kekuatan ofensif. Hal itu tercermin dari core capabilities Angkatan Laut yang meliputi naval presence, sea control, sea denial dan power projection. Bahkan U.S. Navy menambahkan maritime security dan humanitarian assistance and disaster relief sebagai bagian dari core capabilities-nya.
Apapun postur Angkatan Laut, baik ofensif maupun defensif, ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Bagi negara-negara yang memahami betul nilai Angkatan Laut sebagai instrumen diplomasi, kekuatan lautnya dirancang sebagai postur ofensif. Postur ofensif antara satu Angkatan Laut dengan Angkatan Laut lain pada dasarnya relatif, tergantung pada kemampuan masing-masing negara. Sebagai contoh, terdapat Angkatan Laut yang dibangun sebagai adjacent force projection navies, ada pula yang setingkat lebih tinggi yaitu medium regional force projection navy.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di masa lalu, negeri ini mempunyai AL yang tergolong medium regional force projection navy. Postur itu selaras dengan aspirasi pemerintah saat itu yang ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain utama di kawasan Asia Pasifik. Jika kita tarik ke kondisi kekinian, muncul pertanyaan yaitu bagaimana arahan atau keinginan pemerintah terhadap postur AL? Jawaban atas pertanyaan itu merupakan kunci dari rancangan postur yang diinginkan.
Sepertinya sulit untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, karena selama ini dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah, tidak ditegaskan postur AL seperti apa yang diinginkan. Cuma secara garis ditegaskan mampu mengamankan kepentingan nasional.
Mengamankan kepentingan nasional kalau dicermati cakupannya luas sekali. Sebab kepentingan nasional tidak dibatasi oleh batas geografis kedaulatan. Dalam konteks Indonesia, sulit untuk dipungkiri bahwa kepentingan nasional Indonesia sebagian berada di Asia Tenggara. Itulah salah satu alasan mengapa Indonesia sejak dahulu berupaya memainkan peran utama di ASEAN.
Terkait dengan hal tersebut, ada baiknya bila AL kita dirancang untuk mempunyai postur yang ofensif. Dengan mengacu pada klasifikasi Angkatan Laut yang dibuat oleh Eric Grove, sebaiknya AL mengarah dulu pada adjacent force projection navies, baru kemudian medium regional force projection navy. Postur demikian sebenarnya bersifat ofensif, namun masih dalam bingkai yang dapat “ditoleransi”.
Sebab bagaimana pun, postur Angkatan Laut di mana-mana selalu bersifat ofensif. Mengapa ofensif? Jawabannya tak lain karena mempunyai Angkatan Laut kemampuan proyeksi kekuatan. Selain itu, luasnya wilayah perairan yurisdiksi yang harus diamankan menuntut kekuatan AL untuk dapat beroperasi jauh dari pangkalan induk dalam waktu yang lama, meskipun operasi demikian tidak dapat digolongkan sebagai proyeksi kekuatan apabila kita mengacu pada teori strategi maritim.
Postur yang mengarah pada adjacent force projection navies maupun medium regional force projection navy mengisyaratkan bahwa AL dibangun agar mampu melaksanakan operasi ekspedisionari. Dalam konteks Indonesia, kemampuan operasi ekspedisionari tidak identik dengan sikap politik untuk mengintervensi atau menginvasi negara lain, namun lebih pada kebutuhan operasional sebagai salah satu stabilisator kawasan.
Kita harus ingat bahwa Indonesia’s primary area of interest adalah kawasan Asia Tenggara. Di wilayah inilah kekuatan laut Indonesia minimal harus mampu diproyeksikan. Proyeksi itu merupakan pelaksanaan dari peran diplomasi Angkatan Laut, yang sudah pasti ditujukan untuk mendukung kebijakan luar negeri pemerintah. Tantangan bagi Indonesia saat ini adalah bagaimana menyinkronisasikan antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri, sebab keduanya adalah bagi dari instrument kekuatan nasional.
Kemampuan ekspedisionari selain dimanfaatkan di kawasan, juga dapat diproyeksikan ke luar kawasan. Justru proyeksi jenis terakhir ini yang lebih dulu dimanfaatkan saat ini, dalam bentuk dalam UNIFIL MTF di Lebanon. Agak aneh memang ketika kekuatan AL kita tidak dieksploitasi di kawasan sendiri, namun dieksploitasi di kawasan lain. Menurut saya hal itu terjadi antara lain karena kebijakan luar negeri Indonesia bagaikan melihat semut nun jauh di seberang, tapi tak melihat gajah di pelupuk mata.

29 Januari 2009

Pilih Attrition Warfare Atau Angkatan Laut?

All hands,
Sadar atau tidak, Indonesia dalam konsep pertahanan masih berpikir tentang attrition warfare. Attrition warfare itu didasarkan pada sebuah asumsi yang hopeless, sehingga berani mengambil risk untuk attrition warfare. Pemikiran itulah yang mendasari Sishankamrata di masa lalu dan Sishanta di masa kini. Tidak ada perbedaan signifikan antara Sishanta maupun Sishankamrata, meskipun sebagian pihak berargumen bahwa Sishanta adalah total defense, sedangkan Sishankamrata adalah people defense.
Sebab pola pikirnya yang mendasari keduanya pada dasarnya sama, yaitu attrition warfare. Adapun perubahan dari Sishamkamrata menjadi Sishanta sudah pasti terkait perubahan politik 1998 yang antara lain memisahkan antara TNI dengan Polisi.
Bukti pertama dari konsep attrition warfare adalah asumsi bahwa Indonesia yang merupakan negara kepulauan, AL dan AU-nya sudah dianggap tidak ada alias dinegasikan sama sekali. Sehingga satu-satunya cara berperang adalah melalui attrition warfare di darat, mengandalkan perang berlarut alias protracted war. Pernahkah para pendukung attrition warfare di negeri ini menengok sejenak ke luar?
Cina yang di masa lalu juga mengandalkan pada attrition warfare lewat perang berlarut kini sudah mengubah strateginya dengan mengandalkan pada penghancuran kekuatan lawan yang masuk wilayah negeri itu (ingat, yang dimaksud wilayah bukan hanya daratan) dalam waktu sesingkat-singkatnya. Mengapa Cina mengubah strateginya? Sebab para perencana pertahanan di Negeri Mao itu lebih maju pola pikirnya daripada sebagian perencana pertahanan di Nusantara.
Para perencana pertahanan Cina sudah berhitung bahwa cost yang dibutuhkan untuk menggelar perang berlarut sangat mahal. Harap diingat cost di sini bukan saja soal anggaran, tetapi juga manusia, politik dan lain sebagainya. Meskipun secara ekonomi Beijing memiliki cadangan devisa hampir US$ 2 milyar dan populasinya di atas 1 milyar, tetapi tetap saja negara itu berpikir bahwa cost yang dibutuhkan untuk menggelar attrition warfare jauh lebih mahal. Sehingga pilihan yang realistis adalah menghancurkan kekuatan lawan dalam waktu yang singkat menggunakan teknologi pertahanan.
Sishanta di Indonesia juga berani menerima risk, yaitu sudah berpikiran bahwa musuh akan menduduki Indonesia. Pemikiran demikian dari kacamata strategi sangat berbahaya, yaitu menerima begitu saja risk tanpa berupaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risk tersebut. Artinya Sishanta disusun di atas dasar hopeless.
Para pendukung Sishanta sangat jelas juga tidak memperhatikan kondisi geografis Indonesia yang didominasi oleh perairan. Dari sekitar 17.000 pulau, yang berpenghuni hanya sekitar 2.000 pulau. Lalu siapa yang akan mempertahankan 15.000 pulau lainnya? Dari sini saja sudah tercermin kesalahan besar dalam berpikir ketika merencanakan pertahanan.
Sishanta juga mengandalkan pada rakyat untuk membantu pertahanan, bahkan turut berperang dengan mengubah status menjadi kombatan. Masalahnya di laut tidak bisa menggelar gerilya ala darat. Lalu siapa yang akan mempertahankan laut kita? Dari sini terlihat bahwa sejak awal Sishanta tidak dirancang untuk mempertahankan wilayah kedaulatan di laut, padahal tanpa laut tidak ada negara Republik Indonesia.
Dari kacamata strategi kontemporer, kemungkinan negara lain menginvasi Indonesia seperti dalam strategi Sishanta maupun Sishankamrata kurang realistis. Kalaupun ada negara yang tidak suka dengan kebijakan Indonesia, unjuk kekuatan militer mereka lebih terbatas pada pengeboman sasaran-sasaran strategis dan penembakan rudal dari kapal atas air dan kapal selam mereka di sekitar perairan yurisdiksi Indonesia.
Alasan untuk menginvasi Indonesia pun kurang kuat, sebab Indonesia saat ini bukanlah seperti Irak zaman Saddam Hussein. Toh tanpa perlu menduduki Indonesia dengan kekuatan militer, negara-negara lain bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah lewat pintu diplomatik, ekonomi dan sosial budaya.
Lalu bagaimana kaitannya dengan AL? Selama Sishanta masih berasumsi menegasikan peran kekuatan laut (dan udara), sulit untuk optimis para pemimpin negeri ini akan membangun kekuatan laut Indonesia sesuai dengan yang diharapkan. Mereka akan beralasan pada keterbatasan anggaran, padahal cost yang dibutuhkan untuk membangun AL masih jauh lebih murah daripada menggelar attrition warfare.
Untuk membangun AL, negeri ini tidak perlu menumpahkan darah putra-putri bangsa seperti halnya bila ada pihak yang bersikeras untuk menggelar attrition warfare. Untuk membangun AL, negeri ini tak perlu membuat monumen-monumen baru yang berisi nama putra-putri bangsa yang gugur karena attrition warfare. Untuk membangun AL, negeri ini tak perlu takut rakyatnya akan melarat dan kelaparan, sebab hasil laut Indonesia sebenarnya bisa untuk memakmurkan penduduk negeri. Dan dengan membangun AL, negeri ini memenuhi kodratnya sebagai negeri kepulauan.
Membangun AL bisa ditentukan kapan ending-nya, dalam arti kekuatan standar yang dibutuhkan tercapai. Dengan ending yang jelas, berarti cost-nya bisa dihitung. Sementara menggelar attrition warfare kapan ending-nya sulit untuk diprediksi, sehingga cost-nya pun nyaris tak terhingga. Sedangkan di sisi lain, dunia pertahanan akan selalu berhitung soal cost and benefit, suka atau tidak suka. Meskipun kita berbicara tentang kedaulatan, tetapi cost-nya tetap tidak bisa tak terhingga.

28 Januari 2009

Interoperability: Antara Ego dan Pengorbanan

All hands,
Proses pembangunan interoperability memerlukan waktu panjang, paling tidak 10 tahun. Mengapa demikian? Sebab banyak hal yang harus dibenahi untuk mewujudkan interoperability TNI. Antara lain paradigma terhadap pentingnya operasi gabungan, yang mana interoperability adalah bagian dari operasi gabungan.
Selain itu, persamaan persepsi terhadap interoperability itu sendiri. Mungkin bagi AL (dan juga AU) yang karakteristiknya adalah mengawaki sistem senjata, tidak terlalu beda pemahamannya terhadap interoperability. Kedua matra juga mempunyai frekuensi latihan dengan mitranya dari militer negara lain yang cukup banyak setiap tahunnya. Sehingga cukup paham dengan interoperability, sebab sering mempraktekkannya.
Lagi bagaimana dengan matra darat? Apakah sudah memiliki pemahaman yang sama dengan dua matra lainnya tentang persepsi terhadap interoperability. Semoga saja sudah berada pada frekuensi yang sama, namun andaikata belum, tentu belum terlambat untuk menyamakan persepsi TNI terhadap interoperability.
Pekerjaan rumah berikutnya adalah merevisi perangkat lunak operasi gabungan. Memang benar pasca reformasi Bujuk Opsgab telah mengalami revisi, yang mana opsgab dibagi dua yaitu untuk OMP dan OMSP. Untuk OMP, terdapat opsgab yang melibatkan dua atau lebih matra TNI. Sedangkan untuk OMSP, dibagi ke dalam dua istilah yang berbeda. Pertama adalah Operasi Mandiri dan kedua yaitu Opsgab itu sendiri. Operasi Mandiri dalam OMSP berarti hanya melibatkan dua atau lebih matra TNI, sedangkan opsgab dalam kategori OMSP pemahamannya sama dengan joint civil-military operations di Amerika Serikat.
Cuma yang masih belum jelas bagi saya adalah apakah dibuka peluang untuk opsgab (istilah Bujuk Opsgab adalah Ops Mandiri) untuk menghadapi ancaman non militer yang dilaksanakan sehari-hari? Misalnya operasi keamanan laut yang memadukan antara unsur AL dengan unsur AU seperti halnya di Australia. Dengan demikian, apabila beroperasi di sektor yang sama, pesawat udara AU yang menemukan sasaran yang mencurigakan bukan saja dapat melaporkan hal itu kepada kapal perang AL yang tengah berpatroli di sektor tersebut, tetapi juga kapal perang itu dapat segera melakukan penghentian dan pemeriksaan di laut.
Harus diakui bahwa selama ini akibat ketidakpaduan antara patroli pesawat udara AU dengan kapal perang AL, seringkali banyak sasaran mencurigakan di laut yang tidak bisa ditindak karena kedua matra tidak beroperasi pada sektor yang sama. Seandainya perangkat lunak yang mengatur hal demikian belum cukup, sudah sepatutnya dilakukan pembenahan internal.
Untuk mewujudkan interoperability, pekerjaan rumah lainnya adalah memasukkan hal tersebut dalam kurikulum pendidikan TNI, khususnya perwira. Mengutip pernyataan seorang perwira senior, sudah terlambat bila opsgab baru diajarkan pada tingkat Seskogab. Materi opsgab sebaiknya mulai diajarkan pada tingkat pendidikan sebelum Seskogab, kalau perlu dari pendidikan awal perwira.
Selama ini, kita harus jujur mengakui bahwa hasil pendidikan di Seskogab belum mencapai tingkat yang diharapkan. Mau bukti? Kalau ada oyu latgab, pasti ketiga matra berdebat keras soal siapa memainkan apa. Padahal sebagian besar dari materi perdebatan itu sebenarnya tidak perlu diperdebatkan bila kita mengacu pada konsep aslinya atau rel yang sebenarnya.
Misalnya opslinud, siapa kodalnya? Opsratmin, siapa kodalnya? Pesawat udara AU yang mendukung kekuatan AL atau AD, siapa kodalnya? Jam J-nya berdasarkan (atau berpatokan pada ops) apa dan lain sebagainya? Perlu diketahui kebanyakan yang terlibat perdebatan itu justru sudah lulus dari Seskogab.
Lalu itu artinya apa? Pertama, Seskogab belum mencapai hasil yang diharapkan yaitu jointness TNI. Kedua, Seskogab belum mampu mengurangi ego matra.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat USMC banyak berkorban dalam rangka jointness. Seperti kita ketahui, sebenarnya USMC mampu untuk melaksanakan sendiri opsfib. Sebab matra itu mempunyai pesawat serang darat (F/A-18 dan AV-8), memiliki helikopter angkut dan serbu sendiri, mempunyai LCAC sendiri dan tentu saja berbagai jenis senjata untuk opsfib seperti tank, AAV, meriam SP dan lain sebagainya.
Tetapi dalam rangka jointness, untuk opsfib pasca modern ---maksudnya menggunakan STOM yang tidak lagi memerlukan tumpuan pantai---, USMC rela saja dibantu oleh pesawat tempur AL yang berpangkalan di kapal induk dan pesawat tempur AU. Padahal kalau USMC mau mempertahankan ego matranya, dia bisa gelar STOM sendiri tanpa bantuan matra lain, termasuk saudaranya sendiri yaitu U.S. Navy.
Militer Amerika Serikat yang oleh negara-negara lain seringkali dijadikan sebagai model bagi opsgab di masa lalu juga terlibat dalam interservice rivalry. Hanya setelah kekalahan di Perang Vietnam, muncul kesadaran untuk mengurangi ego matra dan beroperasi dalam bentuk jointness. Artinya jointness di sana baru dimulai pada akhir 1970-an dan pertama kali diuji ketika militer negeri itu menginvasi Panama untuk mengejar pemimpin Panama Jenderal Manuel Noriega pada 20 Desember 1989.
Kembali ke topik semula, berdasarkan kondisi saat ini dan juga mengacu pada pengalaman negara-negara lain, untuk mewujudkan interoperability antar matra memerlukan waktu yang cukup lama. Waktu itu dibutuhkan untuk membenahi beragam kekurangan yang ada. Itulah pekerjaan rumah bagi TNI secara keseluruhan.

27 Januari 2009

Faktor Force Dalam Operational Art

All hands,
Major naval operation merupakan bagian dari operational art. Ilmu dasar dari major naval operation adalah operational art. Menurut Milan Vego, dalam kaitannya dengan Angkatan Laut, operational art merupakan komponen penghubung dalam naval warfare, terletak antara strategi Angkatan Laut dan taktik, memperhatikan baik teori maupun praktek dalam perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan memperpanjang (sustaining) major naval operation dan kampanye yang bertujuan untuk mencapai tujuan operasional atau strategis di laut pada mandala yang telah ditentukan.
Dalam operational art, terdapat tiga faktor yang tidak boleh diabaikan dan harus senantiasa “berimbang”. Yaitu space, time dan force. Sebelumnya pernah dibahas tentang space dan time. Kini akan diulas tentang force, yang mana maknanya bisa dalam arti sempit yaitu kekuatan militer, dapat pula bermakna luas yaitu kekuatan nasional.
Apabila force dimaknai sebagai kekuatan militer, maka dapat dibagi ke dalam tiga kekuatan berdasarkan matra. Sedangkan jikalau force diartikan sebagai kekuatan nasional, maka kita harus mengacu pada instrumen kekuatan nasional. Bagi yang sudah pernah belajar di Seskoal tentu paham apa yang dimaksud dengan instrumen kekuatan nasional. Di masa kini, instrumen kekuatan nasional tidak lagi terbatas pada bentuk tradisional yaitu PEM, tapi telah meluas menjadi DIME, bahkan di Amerika Serikat malah sudah bertransformasi menjadi MIDLIFE.
Dalam konteks militer, khususnya Angkatan Laut, force dapat digolongkan ke dalam dua bentuk. Pertama adalah combat potential dan kedua yaitu combat power. Combat potential adalah kekuatan yang diasumsikan potensial untuk melaksanakan misi yang ditetapkan. Kekuatan ini barulah potensi, belum diklasifikasikan sebagai kekuatan nyata.
Dalam teori, combat potential terbagi dalam dua kelompok, yaitu designed combat potential dan available combat potential. Designed combat potential merupakan kekuatan yang tercermin di dalam DSPP. Sedangkan available combat potential adalah bagian dari design combat potential yang sudah tersedia bagi komandan di medan tempur. Available combat potential pada waktunya akan menjalani konversi menjadi combat power.
Yang dimaksud combat power adalah kemampuan nyata dari kekuatan yang disiapkan untuk melaksanakan misi yang ditetapkan melawan kekuatan lawan yang telah ditentukan dan pada lingkungan tempur yang spesifik. Mengutip Vego, dalam konversi dari available combat potential menjadi combat power akan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti medan yang berat, visibility yang buruk dan musim yang bisa merusak efektivitas senjata dan pasukan.
Sebagai contoh dari available combat potential adalah kekuatan laut Indonesia yang disebar di Laut Sulawesi (Blok Ambalat) untuk melaksanakan naval presence. Status kekuatan itu adalah available combat potential. Sedangkan kapal perang lainnya (termasuk pesawat udara) yang berada di luar Blok Ambalat dikelompokkan sebagai designed combat potential.
Apabila di Laut Sulawesi suatu ketika terjadi konflik terbuka, maka kekuatan laut di sana akan berubah status dari available combat potential menjadi combat power. Combat power hanya ada dalam situasi hostilities, sedangkan combat potential berlaku dalam masa damai.
Penting untuk dipahami bahwa dalam konversi dari combat potensial menjadi combat power harus ditunjang oleh organisasi tempur yang relevan dan memadai. Dalam hal ini, mesti ada komando mandala operasi di wilayah yang telah ditetapkan. Komando inilah yang akan melaksanakan employment ketika situasi sudah masuk pada fase hostilities.
Pertanyaannya, apakah ada JTF di Laut Sulawesi yang bertanggungjawab atas wilayah tersebut? Apabila ada JTF, maka CJTF akan bertindak sebagai On Scene Commander di sana, sehingga unsur-unsur satuan tempur dari ketiga matra di wilayah itu tidak perlu lagi berkonsultasi dengan Markas Besar TNI nun jauh di Pulau Jawa, tetapi cukup dengan CJTF sebagai On Scene Commander. CTJF adalah pelaksana lapangan dari Markas Besar TNI yang letaknya jauh tersebut.
Artinya rentang kodal diperpendek. Isu kodal alias C2 merupakan salah satu isu krusial dalam merancang operational art, termasuk di dalamnya major naval operation. Kalau kodal saja tidak mampu dirancang dengan benar sesuai kebutuhan available combat potential atau combat power di lapangan, lalu bagaimana bisa to accomplish an operational or strategic objective in a given maritime theater of operations?

26 Januari 2009

Unsur-unsur Major Naval Operation

All hands,
Ditinjau dari aspek tempat atau place, major naval operation dapat dilaksanakan di laut terbuka, perairan tertutup atau semi tertutup atau di littoral. Di masa lalu, major naval operation lebih banyak terjadi di laut terbuka seperti Coral Sea, Midway dan Filipina. Di masa kini dan masa depan yang mana major naval operation digelar pada era damai, lebih banyak dilaksanakan di perairan tertutup, semi tertutup atau di littoral. Tidak aneh bila fokus operasi Angkatan Laut pasca Perang Dingin beralih dari laut terbuka ke wilayah littoral, dari what we can do at sea menjadi what we can do from the sea.
Contoh yang paling bagus dari major naval operation masa kini adalah operasi Angkatan Laut multinasional di wilayah Laut Arab, Laut Merah, Teluk Aden dan sekitarnya. Di sana ada CTF 150 (baca: one five zero) dan CTF 151 (baca: one five one).
Dalam major naval operation, salah satu perhatian harus diberikan kepada kodal. Kodal harus menyusun rencana operasi dengan mempertimbangkan segala aspek di mandala operasi, seperti politik, ekonomi, militer, informasional, sosiologi dan lain sebagainya. Apabila apabila operasi itu bersifat combined ops, pemegang kodal alias Combined Force Maritime Component Commanders/CFMCC harus mampu merangkai unsur-unsur Angkatan Laut dari negara-negara yang berbeda.
Setiap Angkatan Laut yang melaksanakan major naval operation biasanya akan membagi kekuatannya dalam dua bagian, yaitu main forces dan supporting forces. Main forces tugas utamanya menghancurkan atau menetralisasi kekuatan musuh (bila dilaksanakan pada masa perang).
Sedangkan pada masa damai tugas tugas dari main forces adalah sesuai dengan mandat yang diberikan, menjamin keamanan maritim, mencegah penggunaan laut oleh kelompok teroris atau pembajak, mencegah proliferasi barang-barang contraband dan lain sebagainya.
Adapun tugas dari supporting forces adalah mendukung main forces, yang bentuknya cukup luas. Bisa dengan memberikan dukungan logistik, melakukan deception, mengikat kekuatan lawan dan lain sebagainya. Operasi yang dilaksanakan oleh main forces maupun supporting forces dimaksudkan untuk mencapai operational objective yang telah ditetapkan.
Ketika menyinggung tentang unsur-unsur yang terlibat, salah satu pertanyaan adalah berapa banyak unsur kapal perang, pesawat udara (AL dan AU) dan mungkin Marinir yang dibutuhkan untuk melaksanakan major naval operation. Untuk menjawab pertanyaan itu, selain harus memperhatikan kekuatan lawan (baik aktor negara maupun non negara), tidak luput pula dengan mandala operasi. Seberapa luas mandala operasi yang ditetapkan oleh komando atas? Apakah mandala operasinya merupakan lautan terbuka, semi terbuka atau tertutup?
Dengan kata lain, teori coverage area berlaku di sini. Dengan catatan bahwa dasar dari coverage area bukan saja pada perhitungan luasan jangkauan efektif radar pada kapal permukaan, tetapi hendaknya juga memasukkan kemampuan jangkauan dan endurance pesawat udara. Bukankah pesawat udara merupakan mata dan telinga dari kapal perang, bahkan mempunyai potensi pula untuk menjadi kepanjangan tangan sebagai pemukul?
Mengambil contoh kasus penggelaran kekuatan di Laut Sulawesi, sudahkah pernah di-oyu-kan berapa kebutuhan unsur kapal atas air dan pesawat udara bila kita harus menggelar major naval operation di sana? Sekali lagi ditekankan bahwa major naval operation di sini sesuai dengan definisinya yaitu bersifat jointness. Apakah Renkon sudah memperhitungkan dengan cermat soal berapa unsur yang dibutuhkan? Sebab kadangkala Renkon dipersiapkan tidak dengan matang.

25 Januari 2009

Memahami Major Naval Operation

All hands,
Secara definisi, major naval operation consist of a series of related major and minor naval tactical actions conducted by diverse naval forces and combat arms of other services, in terms of time and place, to accomplish an operational (and sometimes strategic) objective in a given maritime theater of operations. Definisinya seperti itu, bila ada definisi lain yang kalimatnya mirip-mirip juga tidak keliru. Definisi yang saya kutip di sini berdasarkan pendapat Milan Vego. Beberapa rekan perwira yang pernah belajar di U.S. Naval War College di Newport pasti tahu siapa orang yang satu ini.
Dari definisi tersebut, terdapat beberapa elemen yang harus diperhatikan. Yaitu (i) a series of related major and minor naval tactical actions, (ii) conducted by diverse naval forces and combat arms of other services, (iii) in terms of time and place dan (iv) to accomplish an operational (and sometimes strategic) objective in a give maritime theater of operations.
Cakupan naval tactical actions yang dimaksud bukan semata pada aksi-aksi di mana senjata digunakan, tetapi juga mencakup aksi-aksi yang mana senjata tidak dipakai. Jadi naval tactical actions bukan sekedar to attack, raids, engagements and naval battle, tetapi meliputi pula kegiatan patroli dan pengamatan. Semua sistem senjata Angkatan Laut dapat terlibat dalam naval tactical actions, baik unsur kapal selam, kapal atas air maupun pesawat udara.
Selain sistem senjata Angkatan Laut, dapat pula dilibatkan sistem senjata matra lain. Dan aksi-aksi semua sistem senjata tersebut mempunyai keterkaitan satu sama lain alias terorkestrasi dan direncanakan secara matang.
Unsur berikut yang penting untuk dipahami dalam major naval operation adalah sifatnya yang jointness. Artinya ada Gugus Tugas Maritim alias MJTF yang tidak saja melibatkan unsur-unsur Angkatan Laut, tetapi juga matra lain.
Gugus Tugas Maritim itu melaksanakan direktif pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Harus kembali diingat bahwa dalam melakukan suatu operasi atau kampanye, ada tiga unsur penting yang tak boleh dilupakan. Mencakup time, place and force. Ketiganya harus “seimbang” bila kita ingin mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pencapaian tujuan sudah pasti ada dalam suatu operasi atau kampanye militer. Demi mencapai tujuan tersebut, kekuatan yang disusun harus disesuaikan dengan tujuan yang telah digariskan oleh komando atas dan harus pula berada dalam cakupan waktu yang juga telah ditetapkan. Adapun mandala operasi maritimnya juga sudah pasti sangat jelas.
Apabila kita tarik major naval operations dalam konteks Indonesia, ada beberapa isu yang perlu menjadi perhatian. Yang paling utama adalah kesiapan untuk menggelar operasi itu secara jointness. Secara teori hal itu gampang, namun ketika akan dipraktekkan akan menemui sejumlah kesulitan. Mulai dari interservice rivalry, kodal, jarangnya latgab, interoperability antar alutsista, dukungan logistik dan lain sebagainya.
Interservice rivalry masih menjadi “penyakit” di dalam militer Indonesia. Itu kenyataan yang harus kita akui kalau kita ingin maju. Bagaimana kita bisa mengobati suatu penyakit kalau sakitnya saja kita tidak tahu?
Major naval operations bisa jadi merupakan bagian dari kampanye maritim, bisa pula bagian dari kampanye darat dan dapat pula berdiri sendiri. Untuk kampanye maritim, interservice rivalry antara AL dengan AU akan mengemuka, khususnya menyangkut kodal pesawat tempur dan pesawat lainnya milik AU yang mendukung operasi. Hingga kini soal itu belum terpecahkan, karena masih adanya ego matra yang berlebihan.
Sedangkan untuk kampanye darat, interservice rivalry antara AL dengan AD, khususnya untuk kodal opsratmin. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap opsratmin, yang bila kita kembali ke definisinya jelas siapa yang akan pegang kodal opsratmin.
Fase opsratmin dimulai sejak embarkasi di titik keberangkatan. Ketika dalam perjalanan lintas laut bahaya serangan udara, permukaan dan bawah permukaan lawan senantiasa mengancam. Saat akan mendaratkan pasukan di pantai sasaran, bahaya senjata lintas lengkung lawan dari pantai harus diperhitungkan pula. Itulah pentingnya naval gunfire support alias BTK sebelum dimulainya opsratmin dan biasanya pada kondisi normal opsratmin minimal baru bisa digelar satu hari setelah terbentuknya tumpuan pantai oleh pasukan pendarat yang tergabung dalam opsfib.
Setelah tumpuan pantai terbentuk, pasukan pendarat yang biasanya adalah Marinir harus melakukan penetrasi lebih dalam ke darat dalam bentuk operasi darat lanjutan. Salah satu tujuannya adalah mengamankan opsratmin yang akan digelar, jangan sampai kapal-kapal pendarat dihantam oleh senjata lintas lengkung lawan. Seandainya lawan mempunyai howitzer SP 155 mm yang jarak tembaknya antara 20-40 km, tentu bisa dibayang berapa kilometer perimeter yang harus dikuasai oleh Marinir untuk mengamankan opsratmin. Dengan kata lain, opsratmin tidaklah semudah yang dibayangkan.
Kembali ke isu major naval operation, untuk melaksanakannya di Indonesia saat ini tidak mudah. Belum terbentuknya kesadaran akan pentingnya jointness menjadi salah satu kendala utama untuk melaksanakan hal tersebut. Artinya hal demikian bukan cuma pekerjaan rumah bagi AL, tetapi Departemen Pertahanan dan TNI secara keseluruhan.

24 Januari 2009

Naval Attrition Atau Major Naval Operation?

All hands,
Strategi maritim yang kita anut berasal dari strategi yang dikembangkan di negara-negara Eropa (termasuk Rusia) dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, banyak istilah operasi Angkatan Laut yang sebaiknya dipelajari dari literatur asli dan tidak terlalu mengandalkan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Bukan berarti saya tidak menjunjung tinggi bahasa nasional kita sendiri, akan tetapi harus diakui kadang terjadi kekurangan padanan dalam Bahasa Indonesia ketika mengartikan dari bahasa asing. Termasuk pula dalam istilah-istilah navalism.
Setelah mempelajari salah satu literatur kontemporer terbitan U.S. Naval War College tentang operasi AL atau operasi maritim, saya jadi tersentuh ketika membahas soal beberapa istilah operasi AL yang di negeri kita, khususnya di AL, yang mungkin penerjemahannya belum terlalu lengkap. Bukan saya underestimate, tetapi terkadang penerjemahan yang belum baku membuat kita kesulitan membedakan padanan aslinya dalam bahasa Inggris. Sebab belum ada kamus resmi Dictionary of Naval and Associated Terms atau Dictionary of Military and Associated Terms (JP 1-02) yang bisa dijadikan pegangan di negeri kita seperti halnya di Amerika Serikat misalnya.
Dari sekian banyak istilah tentang operasi AL atau operasi maritim, terdapat beberapa istilah yang sebaiknya perlu kita ketahui dan pahami bersama. Yaitu naval battle, naval engagement, naval raid dan naval attack. Sepintas istilah-istilah itu mirip, namun kalau dipelajari lebih lanjut ternyata berbeda.
Naval battle di masa lalu merupakan metode utama untuk mencapai major tactical objective as a part of major naval operation. Naval battle consisted of a series of related attacks, counterattacks, strikes and counterstrike coordinated in time and place. Karakteristik dari naval battle yaitu durasinya panjang, bisa beberapa jam atau malah hari atau minggu.
Naval battle dapat menghasilkan decisive defeat pada salah satu pihak, yang bisa saja berarti bukan sekedar an operational victory bagi pihak lain, tetapi juga strategic victory. Contoh klasik dari naval battle banyak, misalnya Trafalgar 1805, Tsushima Strait 1905 dan Coral Sea Mei 1942. Begitu pula dengan Midway Juni 1942.
Naval engagement are consisted of a series of related strikes/counterstrikes and attack/counterattack aimed to accomplish the most important tactical objective in a naval battle. Naval engagement mempunyai keterkaitan dengan naval raid dan naval attack. Dengan kata lain, naval raid dan naval aatack bisa dikatakan sebagai turunan dari naval engagement.
Naval raid menurut Milan Vego, is conducted by a single or several naval combat arms to accomplish a tactical objective as a part of a major offensive or defensive naval operation. Aim dari naval raid is usually to deny temporarily some position or to capture or destroy an enemy force, coastal installation or facility. Naval raid tidak memprasyaratkan adanya temporary or local control of the sea. Baik pihak yang lebih lemah maupun pihak yang lebih kuat dapat melaksanakan naval battle.
Naval attack is a combination of tactical maneuver and weapons used to accomplish a minor tactical objective. Naval attack dapat dilakukan secara sendiri atau merupakan bagian dari naval raid. Naval attack dilaksanakan to destroy or neutralize a single enemy platform, tactical groups, or targets ashore. Kesuksesan naval attack sebagian besar tergantung dari unsur kejutan/surprised yang dicapai, keterampilan dalam manuver platform untuk meraih posisi yang lebih menguntungkan dan jarak, lethality dan presisi dari senjata yang digunakan.
Seiring dengan berjalannya waktu, terjadinya RMA dan lain sebagainya, operasi AL masa kini telah bertransformasi menjadi major naval operations yang bersifat jointness. Major naval operation di masa lalu lebih menekankan pada single service. Mengutip Vego, by conducting a major naval operation, the stronger side at sea can defeat the weaker side in an ocean/sea area and within the time frame of its own choosing. Major naval operation yang sukses mencapai tujuan dapat berkontribusi besar untuk mempersingkat jangka waktu perang di laut.
Dan yang penting untuk digarisbawahi agar dapat kita pahami bersama, MAJOR NAVAL OPERATIONS ARE THE MOST EFFECTIVE WAY TO AVOID ATTRITION WARFARE AT OPERATIONAL LEVEL OF WAR. Attrition warfare seperti yang diajarkan dalam teori maritim klasik merupakan perang yang melelahkan, menguras sumber daya, juga the will dari pihak-pihak yang terlibat. Dalam situasi dunia masa kini, attrition warfare dianggap sudah tidak populer. Mereka hanya menginginkan perang berlangsung singkat.
Dikaitkan dengan kepentingan negeri kita, major naval operation merupakan pilihan paling murah daripada melaksanakan attrition warfare. Sekali lagi ini akan terkait dengan cost-benefit approach. Siapkah kita? Sebelum menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu harus dipahami apa itu major naval operation.

23 Januari 2009

Menghitung Cost

All hands,
Di dalam dunia pertahanan dan militer di Indonesia, konsep cost masih belum dipahami dengan benar. Cost diterjemahkan sebatas biaya yang dikeluarkan untuk suatu program, entah itu pengadaan alutsista, pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya. Padahal dalam arti yang sebenarnya, cost tidak terbatas pada nilai denominasi uang semata.
Mari kita ambil contoh operasi di Irak yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Tahapan operasi di negeri yang banyak mewarisi peradaban dunia masa lalu itu secara garis besar terbagi atas dua tahap. Tahap pertama adalah major combat operations yang dimulai dari 20 Maret 2003 hingga 1 Mei 2003. Tahap kedua adalah stabilization operations sejak 2 Mei 2003 sampai hari ini.
Menurut kalkulasi oleh Pentagon maupun lembaga-lembaga sipil di Washington, cost yang harus dibayar oleh Amerika Serikat dalam perang itu selama era administrasi George W. Bush nilainya melebihi milyaran dollar. Itu baru dari satu sisi, yaitu yang bisa didenominasikan. Yang perlu diperhatikan yaitu cost yang dimaksud bukan saja berapa dana yang sudah dikeluarkan untuk mendukung terlaksananya operasi, tetapi juga kerugian personel dan material.
Kalau soal material tentu saja menyangkut material yang rusak, bahkan total lost akibat operasi, seperti kendaraan lapis baja, helikopter, HMVV, truk berbagai ukuran dan lain-lain. Kerugian personel setidaknya mencakup dua, yaitu yang tewas dan cacat. Yang meninggal tentu saja keluarga korban harus mendapat santunan, sementara yang cacat harus mendapatkan program rehabilitasi di Walter Reed Army Medical Center di pinggiran Washington DC. Termasuk pula dalam cost adalah kehilangan jiwa personel. Tentu saja cost untuk yang satu ini intangible, tidak dapat dinilai dengan denominasi apapun.
Cost bagi yang meninggal dihitung bukan saja tentang asuransi buat keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga biaya yang dulunya dikeluarkan untuk mendidik almarhum menjadi soldier, sailor, Marine dan airmen. Sedangkan bagi yang cacat, selain soal biaya mendidik mereka menjadi soldier, sailor, Marine dan airmen, pemerintah harus menyediakan berbagai fasilitas untuk merehabilitasi mereka, baik secara fisik apalagi mental.
Hal-hal yang sedemikian detail dihitung sebagai cost. Ini baru satu aspek, yaitu dari aspek militer saja. Belum lagi ketika menyentuh aspek lain, misalnya politik dan ekonomi. Berapa cost politik yang harus dibayar oleh Amerika Serikat akibat Perang Irak? Berapa cost ekonomi yang harus ditebus oleh Uwak Sam karena bertualang ke negeri Abu Nawas?
Dua aspek terakhir saat ini sedang dibayar oleh negeri itu. Bayarannya mahal sekali. Pada satu sisi Washington menjadi pihak yang tidak populer di dunia, apalagi di negeri-negeri Muslim. Di sisi lain, di waktu yang sama, krisis ekonomi juga terjadi di sana. Krisis itu tidak dapat ditimpakan sepenuhnya kepada masalah tidak berjalannya regulasi di pasar modal, tetapi juga tak bisa dilepaskan dari kebijakan administrasi Bush Jr yang menyalurkan sebagian anggaran nasional ke Irak (dan Afghanistan). Yang menikmati anggaran itu adalah para kontraktor Departemen Pertahanan yang sudah pasti mempunyai keterkaitan dengan para pengambil keputusan di era Bush berkuasa.
Pertanyaannya, pernahkah Indonesia menghitung cost ---dalam tiga aspek--- yang dikeluarkan selama operasi di Timor Timur 1975-1999? Berapa cost yang dikeluarkan? Cost yang dimaksud di sini bukan saja menyangkut ekonomi atau anggaran, tetapi juga menyentuh aspek politik dan militer.
Berapa pula cost ---dalam arti ketiga aspek--- yang dikeluarkan untuk operasi di Aceh 1976-2005? Pernahkah negeri ini menghitungnya? Seimbangkah cost yang dikeluarkan di kedua wilayah dengan benefit yang Indonesia dapatkan?
Meskipun hal ini terkait pula dengan isu kepentingan nasional, tetap saja cost-nya harus dihitung. Walaupun secara teoritis untuk mengamankan kepentingan nasional apapun harus dilakukan, tetapi secara praktek ada perhitungan cost-benefit yang harus pula dipertimbangkan.
Dalam kasus mutakhir, berapa cost ---sekali lagi dalam arti luas--- yang sudah dikeluarkan oleh Indonesia di Laut Sulawesi (Ambalat) dari Februari 2005 hingga sekarang? Dan berapa lagi cost yang mesti dikeluarkan pada waktu ke depan yang batas waktunya kita semua belum tahu? Dengan sekian X ---katakanlah begitu--- cost yang sudah dikeluarkan untuk Ambalat, seharusnya benefit-nya adalah X pangkat 2. Mampukah instrumen kekuatan nasional bangsa ini menghasilkan X pangkat 2 di sana?

22 Januari 2009

Tanggungjawab Untuk Melindungi

All hands,
Sebagai bangsa yang menurut Syafei Maarif pendek memori sejarahnya, bangsa Indonesia hendaknya tidak melupakan kasus Timor Timur 1999 dan tsunami Aceh 2004. Sebab ada pelajaran yang dapat ditarik dari situ, yang mungkin di masa depan dapat saja terulang. Pelajaran yang dimaksud adalah konsep tanggungjawab untuk melindungi (responsibility to protect).
Konsep tanggungjawab untuk melindungi pada awalnya ditujukan untuk mengatasi isu-isu kemanusiaan yang terkait dengan krisis kemanusiaan di Bosnia dan Rwanda akibat konflik bersenjata di kedua negeri. Konsep tanggungjawab untuk melindungi kemunculannya merupakan hasil kerja politik negara-negara Barat. Masalahnya bagi negara-negara berkembang, seringkali terdapat agenda politik negara-negara Barat yang tersembunyi di balik konsep itu.
Misalnya ketika di suatu negara berkembang muncul konflik bersenjata yang mengkhawatirkan stabilitas kawasan sekitarnya. Belum tentu negara-negara Barat, utamanya yang mempunyai hak veto di Dewan Keamanan PBB, akan menyetujui pengiriman pasukan perdamaian. Alasannya bisa macam-macam, tetapi di balik itu patut dicurigai ada agenda politik.
Lihatlah kasus Somalia yang sampai sekarang belum selesai juga, padahal negeri itu sudah bergejolak sejak 1991. Mengapa intervensi PBB atau negara-negara Barat terhenti? Ada pendapat bahwa negeri itu tak mempunyai sumber daya alam yang bisa dikeruk oleh negara-negara Barat, sehingga terkesan adanya pembiaran terhadap konflik di sana.
Sepanjang pemahaman saya, konsep tanggungjawab untuk melindungi adalah revisi dari konsep intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention). Konsep intervensi kemanusiaan sangat identik dengan intervensi bersenjata oleh suatu negara atau koalisi negara ke negara lain yang dinilai gagal (failed state). Seiring berjalannya waktu, terjadi revisi terminologi dari intervensi kemanusiaan menjadi tanggungjawab untuk melindungi.
Spektrum konsep tanggungjawab untuk melindungi sekarang tidak terbatas pada upaya melindungi manusia dari genosida, tetapi sudah meluas hingga humanitarian assistance and disaster relief/HADR. Hal demikian bisa dilihat dalam kasus tsunami Aceh 2004. Soal ancaman genosida dijadikan alasan ketika Australia mengintervensi Timor Timur pada September 1999.
Isu intervensi kemanusiaan maupun tanggungjawab untuk melindungi tak dapat dipisah dari keterlibatan militer di dalamnya. Dari aspek operasi maritim, salah satu hal yang menarik dari konsep tanggungjawab untuk melindungi adalah dominannya peran kekuatan laut. Dalam banyak kasus, kekuatan laut memainkan peran yang dominan dan sekaligus signifikan.
Peran yang dilaksanakan tidak lepas dari penggunaan laut untuk proyeksi kekuatan. Dalam hal ini proyeksi kekuatan yang dilakukan adalah untuk MOOTW. Bagi Angkatan Laut yang tergolong major global force projection navy, medium global force projection navy maupun medium regional force projection navy, melaksanakan operasi dalam rangka tanggungjawab untuk melindungi bukan suatu hal yang sulit.
Lalu bagaimana dengan AL kita yang mungkin baru bisa digolongkan offshore territorial defence navy kalau meminjam pengelompokan yang dilakukan oleh Eric Grove? Hal yang paling realistis adalah bagaimana kita bisa melaksanakan tanggungjawab untuk melindungi terhadap warga negara Indonesia sendiri, khususnya yang berada di dalam negeri dan paling jauh di Asia Tenggara dan sekitarnya. Proyeksi kekuatan kita saat ini, dalam operasi non tempur laut, secara realistis baru bisa pada kawasan Asia Tenggara.
Modal untuk melaksanakan itu sudah ada. Kita mempunyai kapal rumah sakit, ada pula kapal LPD yang keduanya cocok untuk tugas-tugas kemanusiaan. Seperti kita ketahui, wilayah Indonesia merupakan ring of fire dan pertemuan lempeng bumi, sehingga rawan bencana. Kondisi demikian memunculkan tantangan bagi AL kita untuk melaksanakan tanggungjawab untuk melindungi.

21 Januari 2009

Peran Angkatan Laut Dan MOOTW

All hands,
Munculnya istilah MOOTW di Amerika Serikat yang di Indonesia oleh rekan saya di Departemen Pertahanan diubah menjadi OMSP kadangkala membingungkan bagi kita yang ada di AL. Membingungkan sebab istilah MOOTW bisa disalahpahami bila kita tak memahami betul peran Angkatan Laut yang terdiri dari tiga peran. Setiap peran tersebut dapat dirinci lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk operasi di laut.
Sepengetahuan saya, istilah MOOTW alias OMSP mulai gencar dimasyarakatkan oleh Departemen Pertahanan ketika diterbitkan Buku Putih Pertahanan 2003. Istilah itu disosialisasikan ke publik biar TNI tidak dikurung di barak seperti kehendak LSM dan hanya keluar ketika ada ancaman militer. Memang situasi saat Buku Putih Pertahanan 2003 disusun sedang gencar-gencarnya tidak in favor of TNI, khususnya pada matra tertentu yang di masa lalu sangat dominan.
Sebenarnya, secara praktek MOOTW atau OMSP sudah sejak dahulu dilaksanakan oleh AL kita. Sebab peran konstabulari dan peran diplomasi pada dasarnya termasuk dalam MOOTW. Sedangkan peran militer berdiri sendiri karena itu sudah pasti war. Singkatnya, hendaknya kita tidak terkecoh dengan MOOTW atau OMSP, seolah-olah itu hal baru bagi AL.
Kalau kita tinjau dari perspektif sejarah, sepanjang usia AL kita dari 1945 hingga saat ini, seberapa banyak melaksanakan peran militer? Peran militer yang dilaksanakan masih belum sebanyak peran konstabulari. Menyangkut peran diplomasi, juga tidak banyak.
Hal itu tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah selama ini yang “menjadi anak baik” di kawasan, sehingga yang dikedepankan soft diplomacy terus. Salah satu karya besar dari soft diplomacy Indonesia adalah kasus Sipadan dan Ligitan. Cuma dalam kasus itu tak ada pihak yang mau bertanggungjawab di negeri ini. Seandainya dalam kasus itu Indonesia menang, semua pihak pasti berebut jadi pahlawan kesiangan.
Singkatnya, MOOTW atau OMSP sebenarnya bukan hal baru bagi Angkatan Laut di seluruh dunia, termasuk AL kita. Itu cuma istilah baru saja yang bila diterjemahkan ke dalam peran Angkatan Laut berarti menyangkut peran konstabulari dan peran diplomasi.
Kalau dibuat statistik, dalam MOOTW AL kita lebih tinggi intensitasnya dibandingkan matra lain di negeri ini. Sebagai perbandingan, matra lain melaksanakan MOOTW cuma sewaktu-waktu saja, misalnya ada bencana alam di daerah tertentu, pengamanan KTT atau sejenisnya dan lain sebagainya yang bersifat ad-hoc. Sementara MOOTW AL dilaksanakan setiap hari.
Bukankah peran terbesar yang dilaksanakan adalah peran konstabulari? Namun ke depan ada baiknya bila peran konstabulari dicoba diimbangkan dengan dua peran lainnya. Kurang bagus kalau perannya terlalu berat ke konstabulari, sehingga dua peran lain proporsinya tidak besar.
Sebagai unsur pengawak senjata, sudah sepantasnya bila satuan-satuan di Armada senantiasa diasah keterampilannya dalam soal naval warfare. Kita tidak tahu kapan akan muncul konflik. Yang pasti konflik di masa kini munculnya tiba-tiba dan seringkali tidak mengikuti tahapan eskalasi konflik seperti yang diajarkan di Seskoal. Dengan kata lain, eskalasi konflik tidak selalu mengikuti text-book.


20 Januari 2009

Membangun Interoperability

All hands,
Salah satu tuntutan yang harus dimiliki oleh kekuatan pertahanan, khususnya militer, di era kini adalah interoperability. Interoperability bisa dalam bingkai antar matra militer, bisa pula antar militer negara-negara yang berbeda. Interoperability mencakup antar alutsista dan juga antar kemampuan. Untuk mampu melaksanakan interoperability, dalam prakteknya tidak segampang yang dibayangkan.
Interoperability menjadi sesuatu yang mutlak ketika pencapaian tujuan strategis politik dan militer tidak dapat lagi mengandalkan pada satu matra tertentu. Interoperability senantiasa berada dalam bingkai operasi gabungan. Setiap unsur matra yang alutsistanya dapat dipastikan berbeda diharuskan mampu interoperable dengan unsur-unsur matra lainnya.
Dalam konteks Indonesia, interoperability bukan sekedar penyamaan frekuensi radio yang digunakan. Bukan pula suatu unsur matra dapat beroperasi dengan mengandalkan dukungan alutsista dari matra lain. Interoperability juga berarti kemauan dan ketulusan untuk berbagi demi tercapainya tujuan operasi tanpa ada keinginan salah satu pihak untuk menjadi pahlawan kesiangan.
Dengan kata lain, interoperability harus tertanam dalam benak setiap personil militer. Interoperability harus menjadi paradigma yang tertanam di setiap pikiran personel militer, khususnya para perwira. Sebab para perwiralah yang selain memimpin operasi, juga menyusun rencana operasi yang akan dilaksanakan.
Saling mengenal perwira dari matra berbeda, baik karena penugasan maupun sebab pernah berkumpul ketika masih menjadi kadet/taruna di Magelang bukanlah modal dasar interoperability. Modal dasar interoperability adalah paradigma berpikir para perwira mengenai operasi gabungan. Operasi gabungan adalah suatu tuntutan dan dalam operasi itu dituntut kerelaan, keikhlasan dan ketulusan bila dalam ruang dan waktu tertentu, ada matra lain yang lebih menonjol karena tuntutan operasi.
Dengan kata lain, untuk mewujudkan interoperability dalam arti sesungguhnya diperlukan adanya budaya jointness di militer Indonesia. Budaya itu belum ada saat ini, sehingga harus dilahirkan bila kita tidak mau ngene-ngene ae. Budaya itu bisa dilahirkan lewat kurikulum pendidikan perwira sejak awal. Keliru kalau mulai membangun budaya interoperability ketika sudah di tingkat sesko gabungan, seperti yang selama ini terjadi.
Budaya itu diperlukan, selain tentu saja adanya transformasi pertahanan itu sendiri. Sebab interoperability harus dikaitkan dengan transformasi pertahanan. Transformasi pertahanan adalah suatu program yang belum berjalan di Indonesia.

19 Januari 2009

Spionase Maritim Di Indonesia

All hands,
Beberapa tahun lalu, sebuah departemen pemerintah menjadi korban spionase negara tertentu karena kecerobohan sendiri. Adapun data yang berhasil dicuri oleh negara tertentu itu adalah data menyangkut oseanografi perairan tertentu di Indonesia yang sudah pasti akan digunakan untuk kepentingan peperangan kapal selam dan anti kapal selam. Seperti diketahui, Angkatan Laut negara itu berupaya menjadi penguasa di bawah air di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya.
Bagi Indonesia, kegiatan spionase itu jelas sangat merugikan sebab selain berhasil dikuasainya data oseanografi perairan tertentu di Nusantara, juga terjadi karena kecerobohan pihak sendiri yang sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya tidak meremehkan pentingnya pengamanan data. Kasus spionase data oseanografi sesungguhnya bukan hal baru di Nusantara karena seringkali terjadi, namun jarang dipublikasikan. Satu di antara kasus yang menonjol terjadi sekitar 1981 yang melibatkan agen KGB dan oknum AL kita menyangkut data oseanografi di Selat Makassar.
Berangkat dari situ pengamanan data oseanografi sangat penting guna menghindari kejutan yang dilakukan oleh pihak lain dalam peperangan laut, khususnya peperangan kapal selam dan anti kapal selam. Untuk menggelar peperangan kapal selam dan anti kapal selam, dibutuhkan beberapa pengetahuan seperti ancaman dan situasi lingkungan operasi, pengamatan dan “isyarat” di lingkungan operasi, sensor taktis yang andal dan kedisiplinan pada taktik-taktik tanpa mengurangi ruang untuk berinisiatif.
Menyangkut situasi lingkungan operasi, ada tiga komponen oseanografi yang vital untuk diketahui yaitu salinitas, temperatur dan klorinitas sehingga tidak mengherankan bila data-data ketiga komponen itu sangat dicari oleh negara-negara yang mengoperasikan kapal selam di luar wilayah perairannya. Mengapa ketiga komponen itu sangat dicari oleh negara-negara lain? Tak lain karena ketiganya menentukan terbentuknya lapisan-lapisan (layers) di perairan yang dapat digunakan bagi kapal selam untuk menghindar deteksi sensor lawan. Lapisan itu dapat mengganggu efektifitas pancaran gelombang elektromagnetik dari sonar untuk mendeteksi keberadaan kapal selam sebab sifatnya yang dapat membelokkan sudut gelombang yang dipancarkan.
Soal spionase juga tidak lepas dari egoisme antar lembaga pemerintah. Meskipun data oseanografi tergolong data vital, namun egoisme antar lembaga di Indonesia masih menjadi penghalang bagi upaya pengamanan data itu. Egoisme tersebut tak lepas dari rasa percaya diri yang berlebihan pada lembaga tertentu untuk mengamankan data yang dimilikinya tanpa memerlukan bantuan instansi lainnya.
Spionase data tidak selamanya dilakukan di tempat penyimpanannya oleh agen yang direkrut, namun seringkali dilaksanakan ketika data itu berada di luar tempat penyimpanan menggunakan kemajuan teknologi. Berbicara tentang pengamanan data vital, harus diakui di Indonesia kesadaran untuk mengamankan data tersebut belum merata pada semua instansi terkait. Bahkan tak sedikit lembaga pemerintah yang meremehkan pengamanan data sehingga terjadinya pencurian melalui kegiatan spionase merupakan hal yang wajar. Dan terkadang personel yang diberi kewenangan mengamankan data ketika berada di luar tempat penyimpanan kurang mempunyai tingkat kewaspadaan yang tinggi.
Sampai kapan hal ini akan terus berlangsung? Selama instansi-instansi pemerintah, khususnya instansi sipil masih belum mempunyai sense of intelligence, hal demikian akan terus terjadi di masa depan.



18 Januari 2009

Penetapan Kawasan Pelibatan

All hands,
Salah satu ketidakcerdasan para perencana pertahanan di Departemen Pertahanan adalah soal prioritas penggunaan anggaran pertahanan. Selama bertahun-tahun, selalu didengungkan bahwa anggaran pertahanan terbatas. Katakanlah seorang perwira di Departemen Pertahanan berpangkat Letnan Kolonel berbicara begitu saat ini. Nanti ketika sang Letnan Kolonel sudah jadi perwira tinggi, dengungannya pasti juga akan sama. Namun apakah akan ada perubahan situasi dari saat ini sampai sang perwira menjadi perwira tinggi?
Selama tak ada perubahan paradigma di Departemen Pertahanan, situasinya akan tetap sama. Anggaran pertahanan yang terbatas akan selalu dijadikan alasan untuk tidak membangun kekuatan pertahanan yang mahal, khususnya AL. Lalu di mana sebenarnya letak kesalahan selama ini?
Salah satu kesalahan Departemen Pertahanan dalam pembangunan kekuatan adalah tidak menetapkan kawasan pelibatan. Berdasarkan perkiraan intelijen, harus ditetapkan di wilayah mana saja dalam 10 tahun ke depan potensial terjadinya konflik militer. Meminjam istilah yang dipergunakan oleh para perencana pertahanan di Pentagon, harus ditetapkan Major Theater War (MTW) dan Small Scale Conflict (SSC). Dari beragam potensi konflik di Nusantara (dalam arti konflik militer), wilayah mana saja yang sangat berpotensi munculnya MTW maupun SSC?
Setelah MTW dan atau SSC bisa ditetapkan oleh Departemen Pertahanan, konsekuensinya adalah pembangunan kekuatan pertahanan disiapkan untuk menghadapi konflik di MTW dan atau SSC itu. Misalnya MTW di Indonesia adalah Laut Sulawesi dan kawasan selatan Nusa Tenggara. Maka pembangunan kekuatan pertahanan ditujukan untuk menghadapi dua MTW tersebut.
Fokus pembangunan kekuatan pertahanan harus di situ. Di luar dua MTW tersebut, pembangunan kekuatan bersifat tidak mendesak. Segala sumber daya harus diarahkan pada dua MTW dimaksud.
Dengan kata lain, wilayah-wilayah lain di luar MTW jangan mengarang skenario konflik yang akan dijadikan pembenaran agar anggaran pertahanan ditujukan ke wilayah-wilayah itu. Jadi matra TNI di Aceh jangan bikin konsep aneh-aneh yang tujuannya menyerap anggaran. Sebab Aceh tidak masuk dalam MTW.
Dengan adanya penetapan MTW dan atau SSC, alutsista yang dibutuhkan pun jelas. Misalnya dengan Laut Sulawesi sebagai MTW, tidak ada alasan lagi bagi Departemen Pertahanan untuk menghambat pengadaan kapal selam bagi AL. Sebab wilayah itu perairan dalam dan cocok buat peperangan kapal selam. Perairan Laut Sulawesi tidak cuma membutuhkan Sukhoi, sebab Sukhoi sangat tidak bisa diandalkan untuk menetralisasi kapal selam lawan.
Dengan penetapan MTW atau SSC, pembangunan kekuatan pertahanan tetap dapat dilakukan meskipun angggaran terbatas. Termasuk di dalamnya pengadaan alutsista bagi AL. Penetapan MTW atau SSC juga bisa mengurangi potensi pembuatan skenario aneh-aneh yang tujuannya tak lebih hanya untuk menyerap anggaran seperti yang selama ini terjadi. Lek gak ono MTW, yo ngene-ngene ae.

17 Januari 2009

Empat Tahun Ngene-ngene Ae

All hands,
Harus jujur diakui, operasi gabungan belum menjadi suatu paradigma dalam TNI. Memang betul bahwa sudah ada Bujuk Opsgab, namun dalam kenyataan di lapangan paradigma opsgab belum menjadi suatu kenyataan. Mau lihat contohnya? Gampang, lihat saja operasi yang digelar di Laut Sulawesi (Ambalat) untuk menghadapi klaim negeri tukang klaim.
Dalam operasi di sana, AL bergerak sendiri, AU bergerak sendiri, AD bergerak sendiri. Betul bahwa Operasi Balat Sakti yang digelar oleh AL komando dan kendalinya berada di Mabes TNI. Namun operasi lain yang digelar oleh matra lain, menurut pengetahuan saya, tidak semuanya berada di bawah kendali Mabes TNI. Kalaupun benar di bawah kendali Mabes TNI, kenapa tidak disatukan saja operasi ketiga matra tersebut di Laut Sulawesi?
Untuk menyatukannya gampang kok. Tinggal buat surat keputusan Panglima TNI yang membentuk Joint Task Force alias Gugus Tugas Gabungan. Katakanlah namanya JTF Ambalat. JTF dipimpin oleh seorang perwira tinggi yang sesuai dengan karakteristik daerah operasi. Karena Blok Ambalat adalah laut, yah sudah seharusnya CJTF-nya adalah perwira tinggi AL.
Operasi TNI di Laut Sulawesi sudah hampir berlangsung empat tahun, sejak Februari 2005. Tetapi tidak ada kemajuan berarti dalam pola operasi di sana. Setiap matra masih dibiarkan berjalan sendiri-sendiri, meskipun kodalnya di bawah Mabes TNI. Apakah karena daerah operasinya adalah domain maritim sehingga tidak dibentuk JTF? Sebab nanti ada pihak-pihak yang tidak rela di bawah komando perwira AL dalam suatu opsgab.

16 Januari 2009

Perubahan Paradigma Operasi Perdamaian

All hands,
Sudah saatnya AL kita aktif melaksanakan proyeksi kekuatan, sebab proyeksi kekuatan adalah satu dari unsur dalam penggunaan laut. Dua unsur lainnya adalah pengendalian laut dan sea denial. Seiring dengan situasi globalisasi saat ini, pemahaman tentang penggunaan laut dari perspektif operasi maritim sudah mengalami perluasan. Jikalau di masa lalu isu penggunaan laut terkait dengan pihak lawan, dalam arti melakukan pengendalian dan sea denial agar lawan tidak bisa memanfaatkan laut bagi kepentingannya, kini pemahaman tersebut meluas. Lawan yang di masa lalu identik dengan aktor negara kini meluas pada aktor non negara.
Tidak berarti bahwa aktor negara tidak diperhitungkan lagi, akan tetapi situasi menunjukkan bahwa peluang terjadinya perang atau konflik terbuka di laut antar dua negara atau lebih kecil. Namun pada saat yang sama, munculnya konflik di laut antara aktor negara dengan aktor non negara peluangnya lebih besar. Itulah salah satu alasan mengapa isu keamanan maritim saat ini mengedepan. Sebab isu keamanan maritim mempunyai keterkaitan dengan stabilitas kawasan dan globalisasi.
Untuk menjaga stabilitas kawasan, tidak cukup hanya dalam bentuk mengamankan wilayah perairan sendiri. Banyak AL yang di masa lalu sangat jarang melakukan proyeksi kekuatan, saat ini justru telah mengalihkan salah satu fokusnya operasinya pada proyeksi kekuatan. Proyeksi itu dilaksanakan untuk menjaga keamanan maritim melalui kerjasama multilateral.
Disadari atau tidak, AL Indonesia yang akan segera menyebarkan kapal perangnya ke Lebanon untuk bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force, tengah mengalami perubahan paradigma menyangkut proyeksi kekuatan. Partisipasi tersebut menandakan bahwa ada pergeseran paradigma dalam memandang peran Angkatan Laut terhadap stabilitas keamanan kawasan dan dunia. Pergeseran paradigma demikian tentu saja sudah sepatutnya diacungi jempol.
Karena proses itu tidak berlangsung dalam semalam, melainkan diawali beberapa tahun silam. Apa yang terjadi saat ini merupakan kulminasi dari gagasan yang dilontarkan sejak beberapa tahun sebelumnya oleh pihak-pihak atau individu-individu yang concern. Secara pribadi, dengan segala kerendahan hati tanpa bermaksud melebih-lebihkan ataupun merasa berjasa, saya telah menyuarakan gagasan soal partisipasi AL kita dalam maritime peacekeeping operations sejak 2004.
Perubahan paradigma yang terjadi saat ini merupakan hasil sinergi semua pihak atau individu yang concern terhadap kemajuan AL kita. Sangat tidak pantas mengatakan bahwa perubahan ini hanya karena jasa seseorang, apalagi saya sebagai individu. Tidak mungkin seseorang, siapa pun dia, dapat mengubah paradigma di dalam organisasi besar tanpa bersinergi dengan pihak-pihak lain dalam organisasi itu yang satu pemahaman atau satu paradigma.
Lesson learned yang dapat ditarik dari kasus perubahan paradigma tentang proyeksi kekuatan, dalam hal ini menyangkut operasi perdamaian maritim yaitu perubahan hanya dapat dilakukan melalui perjuangan yang panjang, pantang menyerah, penuh kesabaran dan harus dilakukan bersama-sama. Perubahan paradigma lebih sulit daripada perubahan-perubahannya lainnya, sebab paradigma itu yang akan “menyetir” individu-individu yang menggerakkan organisasi.

15 Januari 2009

Angkatan Laut Dan Promosi Kepentingan Nasional

All hands,
Salah satu kepentingan nasional Indonesia di bidang keamanan nasional adalah mempromosikan keamanan kawasan. Tujuan yang hendaknya dicapai adalah kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang stabil dan damai, sehingga dapat berkontribusi terhadap kemakmuran bersama. Untuk mempromosikan keamanan kawasan, kebijakan pemerintah Indonesia tidak cukup hanya dengan melakukan pendekatan soft power seperti kegiatan rutin tahunan ASEAN. Saking rutinnya, rasanya sudah bosan mempelajari beragam deklarasi dan pernyataan ASEAN yang isinya “begitu-begitu saja”.
Indonesia perlu memberdayakan Angkatan Lautnya untuk mempromosikan keamanan kawasan yang sesuai dengan kepentingan nasional negeri Nusantara. Bagaimana bentuknya? Tidak cukup dengan patroli terkoordinasi seperti yang sejak 20 Juli 2004 digelar di Selat Malaka. Sebab kepentingan nasional negeri Nusantara bukan saja soal Selat Malaka, masih ada tiga ALKI yang juga menyangkut hidup matinya republik ini.
Pemerintah harus memberikan ruang yang lebih luas bagi Angkatan Laut untuk aktif dalam diplomasi internasional. Artinya dibutuhkan sinkronisasi kebijakan antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri. Selama kebijakan luar negeri masih “begitu-begitu saja”, konservatif, sudah puas dengan apa yang dicapai saat ini, negeri ini tidak akan dianggap di kawasan. Percuma menggelar konferensi ini itu soal soft power, tetapi giliran harus mempromosikan keamanan kawasan masih juga pendekatan parsial dan terkesan alergi ketika harus melibatkan militer. Keamanan kawasan bukan saja tanggungjawab Angkatan Laut, namun tidak dapat pula didominasi oleh aktor tertentu yang merasa paham tetapi sebenarnya tidak memiliki instrumen di lapangan untuk menegakkannya.
Kata kuncinya adalah dibutuhkan ketulusan untuk memberikan ruang kepada Angkatan Laut untuk lebih berperan. Selama ini meskipun AL kita sudah terlibat dalam mempromosikan keamanan kawasan, namun seringkali berada dalam bingkai inisiatif pihak lain. Sebagai contoh, AL kita berpartisipasi dalam CARAT, SEACAT maupun COBRA GOLD. Kegiatan-kegiatan itu dirancang oleh orang lain, bukan oleh Indonesia.
Diperlukan inisiatif dari AL kita untuk membuat aktivitas-aktivitas yang terkait dengan promosi keamanan kawasan versi Indonesia. Inisiatif itu merupakan sebuah keniscayaan selama pemerintah memberikan ruang kepada AL. Sebab AL adalah salah satu subsistem dalam sistem nasional negeri ini.
Aktivitas-aktivitas yang terkait promosi keamanan kawasan dari perspektif AL sebenarnya banyak. Namun saya tak akan ungkap di sini daftar-daftarnya. Yang pasti, semua inisiatif tersebut realistis untuk dilaksanakan dan bukan sesuatu yang muluk-muluk. Penting untuk dicamkan bahwa stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara salah satunya terletak pada pundak AL negeri ini. Tidak ada matra lain di negeri Nusantara yang di pundaknya terletak tanggungjawab terhadap stabilitas keamanan kawasan kecuali AL.

14 Januari 2009

Angkatan Laut dan Kepentingan Nasional

All hands,
Setiap negara bangsa memiliki kepentingan nasional, termasuk yang menyangkut keamanan nasional. Kepentingan nasional yang terkait dengan keamanan nasional cakupannya akan berkisar pada maintaining national territorial integrity, promoting nation’s political sovereignity, protecting citizen and nation’s interest both at home and abroad dan promoting an international environment (that stable, peaceful and prosperous). Dari empat butir kepentingan nasional yang terkait terkait keamanan nasional tersebut, bukan sesuatu yang berlebihan bila Angkatan Laut berada dalam semua butir itu.
Maksudnya, Angkatan Laut mempunyai ruang yang cukup luas untuk berperan pada keempat butir kepentingan nasional itu. Hal demikian tidak lepas dari karakteristik Angkatan Laut yang selain mempunyai peran militer, juga mengemban peran konstabulari dan diplomasi. Inilah yang membedakan Angkatan Laut di dunia dengan matra-matra lain. Dan sudah sepatutnya setiap insan Angkatan Laut bangga atas kelebihan tersebut, selain tentu saja harus paham bagaimana mengimplementasikan peran Angkatan Laut dalam ruang yang tersedia.
Mari kita tarik empat kepentingan tersebut dalam konteks Indonesia. Pada dasarnya semua butir kepentingan nasional itu telah tercakup dalam Perpres No.7 Tahun 2008, meskipun dalam bahasa atau istilah yang berbeda. Akan tetapi substansinya sama. Pertanyaannya adalah bagaimana mengimplementasikan peran Angkatan Laut di situ?
Ambil contoh mengenai protecting citizen and national interest both at home and abroad. Terkadang pemahaman soal protecting citizen and national interest at abroad saat ini di Indonesia sebatas apa yang dilakukan oleh Departemen Luar Negeri dan beberapa departemen lain yang terkait. Sebagai contoh, kalau ada ancaman pengusiran TKI di Malaysia, maka yang dilakukan pemerintah adalah melakukan pendekatan diplomatik. Dan itu sudah diklaim sebagai upaya melindungi WNI di luar negeri.
Klaim demikian ada benarnya, tetapi belum cukup. Sebab itu baru satu langkah saja, masih banyak langkah untuk melindungi WNI. Termasuk di antaranya mengirimkan kapal perang Angkatan Laut untuk mengevakuasi WNI yang terancam keselamatannya di luar negeri. Dengan catatan bahwa jumlah WNI yang harus dievakuasi tersebut signifikan, bukan 10-30 orang.
Ketika situasi keamanan di Lebanon memburuk pada Juli 2006 akibat Perang Hizbullah-Israel, India menyebarkan kapal perangnya ke negeri itu untuk mengevakuasi warga negaranya. Sebab ada ribuan warga negara India yang hidup dan mencari nafkah di sana, sehingga Angkatan Laut India diperintahkan untuk melindungi mereka.
Indonesia, dalam hal ini pemerintah, juga semestinya melakukan langkah demikian. Dengan catatan harus ditentukan dulu negara-negara mana saja yang termasuk dalam primary interest area of Indonesia. Bila primary interest area of Indonesia adalah Asia Tenggara, berarti AL harus disiapkan untuk beroperasi di kawasan itu. Mengingat bahwa peluang untuk terjadinya konflik antar negara di Asia Tenggara lebih kecil, AL kita harus disiapkan untuk tugas-tugas yang terkait peran konstabulari dan diplomasi.
Dengan kata lain, untuk mewujudkan protecting Indonesians and Indonesian interest at abroad, AL harus dibangun oleh pemerintah untuk mampu melaksanakan operasi ekspedisionari. Operasi ekspedisionari merupakan bagi proyeksi kekuatan. Percuma negeri ini mempunyai AL tetapi jarang diberdayakan oleh pemerintah untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat eksternal. Padahal di sisi lain AL mempunyai karakteristik untuk beroperasi jauh dari negeri asal.
Partisipasi AL kita dalam UNIFIL Maritime Task Force hanya merupakan langkah awal untuk membangun kemampuan ekspedisionari. Bila untuk operasi ekspedisionari ke Lebanon yang letaknya nun jauh di sana saja AL kita mampu, apalagi untuk di kawasan Asia Tenggara. Sekarang kembali kepada pemerintah, mau memberdayakan Angkatan Laut untuk mengamankan kepentingan nasional di luar negeri atau tidak.
Bila untuk pengadaan kapal selam saja terkesan dihambat oleh sebagian unsur-unsur dalam pemerintah, merupakan sebuah keraguan pemerintah negeri ini mempunyai komitmen untuk memberdayakan AL bagi pengamanan kepentingan nasional. Padahal kapal selam mampu beroperasi berbulan-bulan di laut dan jauh dari pangkalan induk, sementara Sukhoi baru terbang tiga jam saja sudah harus segera mendarat karena bahan bakarnya hampir habis.

13 Januari 2009

Keamanan Energi Dan Angkatan Laut

All hands,
Dari perspektif Indonesia, isu keamanan energi memiliki dua dimensi yaitu dimensi nasional dan regional. Dari perspektif dimensi nasional, Indonesia harus mengembangkan kemampuan untuk mengamankan jalur pasokan energinya yang memanjang dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara. Terganggunya pasokan energi dari Timur Tengah akan menimbulkan gejolak politik, ekonomi dan keamanan di Indonesia. Meskipun hingga saat ini belum pernah ada gangguan berarti terhadap pasokan energi untuk Indonesia, perlu disiapkan skenario untuk mengantisipasi hal terburuk.
Untuk merespon hal tersebut, pengamanan jalur pasokan energi dari Timur Tengah ke Asia Tenggara harus menempuh dua pendekatan, yaitu pendekatan politik dan pendekatan militer. Pendekatan politik adalah melalui jalur diplomatik pada 14 negara yang dilalui oleh pasokan energi Indonesia, seperti negara-negara di sekitar Teluk Persia Laut Merah dan Samudera Indonesia, selain tentu saja Amerika Serikat sebagai kekuatan adidaya yang mengendalikan Samudera Indonesia.
Adapun pendekatan militer melalui pembangunan kekuatan laut yang mampu melaksanakan proyeksi kekuatan. Sebab bukan tidak mungkin, suatu saat tanker-tanker yang bertujuan ke Indonesia harus dikawal oleh kapal perang AL kita dengan alasan kondisi keamanan maritim. Sebagai ilustrasi, pada 1987 jalur pelayaran di Teluk Persia sempat terganggu oleh the tanker war yang digelar oleh Iran dan Irak. Hal serupa dapat saja terjadi di masa depan karena kawasan Timur Tengah masih akan terus mengalami instabilitas, sehingga ada baiknya bila Indonesia harus bersiap secara militer.
Penyebaran kekuatan AL negeri ini untuk berpartisipasi dalam UNIFIL Maritime Task Force hendaknya menjadi ajang pembelajaran bagaimana melaksanakan proyeksi kekuatan dalam arti yang sebenarnya. Karena berbagai alasan, selama ini AL kita sangat jarang melaksanakan proyeksi kekuatan. Pengalaman dari partisipasi di UNIFIL Maritime Task Force dapat menjadi modal bagi proyeksi kekuatan lainnya, termasuk kemungkinan melindungi jalur pasokan energi Indonesia di masa depan.

12 Januari 2009

Alternatif Transformasi Pertahanan Di Indonesia

All hands,
Berdiskusi tentang transformasi pertahanan, khususnya aplikasi revolution in military affairs (RMA) di dalam organisasi militer, tidak dapat dilepaskan dari isu anggaran. Investasi membangun kekuatan militer hanya dapat dipetik “hasilnya” ketika ada kepentingan nasional yang terancam dan membutuhkan keterlibatan militer untuk menanganinya. Militer bukan institusi penghasil profit seperti halnya BUMN yang setiap tahun wajib mengisi pundi-pundi APBN.
Ketika dihadapkan pada isu anggaran, transformasi pertahanan seringkali menjadi bahan pertanyaan kritis. Ada pra-anggapan bahwa transformasi pertahanan senantiasa diidentikkan dengan kebutuhan anggaran yang tinggi, seperti pengadaan perangkat keras dan perangkat lunak (sistem senjata, pelatihan ulang personel, revisi doktrin, penataan ulang organisasi dan lain sebagainya). Pra-anggapan itu tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar.
Transformasi pertahanan, khususnya aplikasi RMA perlu dipilah-pilah sesuai dengan skala prioritas. Kecuali Amerika Serikat, negara-negara lain melaksanakan transformasi pertahanan dengan menekankan pada bidang unggulan sesuai dengan kemampuan anggarannya. Dalam konteks Indonesia, perlu adanya institusi yang mengkaji tentang RMA sehingga diharapkan bisa melahirkan alternatif pilihan aplikasi transformasi pertahanan.
Menurut hemat saya, alternatif pilihannya adalah (i) pembenahan sumber daya manusia, (ii) litbang, dan (iii) secara bertahap diikuti oleh pengadaan alutsista (alat utama sistem senjata) berteknologi madya untuk meningkatkan kemampuan daya tangkal dan daya pukul. Transformasi pertahanan bukan sekedar modernisasi sistem senjata, namun juga transformasi paradigma dalam melaksanakan perang (cara berpikir, berlatih dan bertempur). Di situlah pentingnya pembenahan sumber daya manusia dalam transformasi pertahanan di Nusantara.

11 Januari 2009

Realisasi Global Maritime Partnership

All hands,
Setelah Laksamana Mike Mullen menjadi Chairman, U.S. Joint Chief of Staff, konsep Thousand Ship Navy alias Global Maritime Partnership sepertinya tenggelam begitu saja. Pengganti Mullen yaitu Laksamana Garry Roughead terkesan tidak mengangkat lagi isu tersebut dalam agenda kerjanya. Namun benarkah kesan demikian?
Ternyata tidak. Meskipun tidak segencar Mullen, konsep Global Maritime Partnership tetap dikampanyekan oleh Roughead. Sejak beberapa bulan menjelang akhir 2008, U.S. Navy kembali mengangkat isu tersebut. Terlebih lagi momennya tepat, yaitu meningkatnya ancaman keamanan maritim di perairan Somalia.
Konsep Global Maritime Partnership pada dasarnya bagus, karena arasnya adalah kerjasama Angkatan Laut dunia dalam menghadapi ancaman bersama terhadap keamanan maritim. Penting untuk dipahami bahwa bingkai kerjasama itu adalah globalisasi. Globalisasi, sepertinya dinyatakan oleh Geoffrey Till, menuntut semua negara untuk bekerjasama guna menjamin keamanan maritim.
Masalahnya, terdapat beberapa negara yang curiga dengan Global Maritime Partnership. Salah satunya adalah Cina, yang merasa konsep itu dapat ditumpangi oleh Amerika Serikat sebagai penggagas untuk “mengepung”-nya. Seperti diketahui, U.S. Navy mempunyai beragam bentuk kerjasama dengan negara-negara di Asia Pasifik yang sebenarnya berada dalam bingkai Global Maritime Partnership.
Misalnya CARAT dan SEACAT, dua kegiatan latihan tahunan yang mana AL kita selalu berpartisipasi. Begitu pula dengan WPNS, yang merupakan wadah pertemuan tahunan para Kepala Staf Angkatan Laut di wilayah Pasifik Barat. Jadi suka atau tidak suka, kenyataannya Indonesia selama ini sudah terlibat dalam Global Maritime Partnership yang digagas oleh Amerika Serikat.
Daripada bersikap oposan terhadap Global Maritime Partnership, sebaiknya Indonesia meneruskan partisipasinya ke dalam bentuk-bentuk lain yang lebih maju. Dengan catatan prinsipnya adalah mutual trust and benefit. Bentuknya antara lain information sharing dan kerjasama logistik.
Information sharing antara Indonesia dengan Amerika Serikat merupakan salah satu isu krusial dalam keamanan maritim dan selama ini belum berjalan dengan baik karena berbagai faktor. Apabila terwujud, kemampuan AL Indonesia untuk meningkatkan keamanan maritim di perairan yurisdiksi akan bertambah pula. Information sharing akan meningkatkan maritime domain awareness Indonesia, sekaligus dapat menjadi dalih untuk menolak secara halus keterlibatan kekuatan laut asing mengamankan perairan yurisdiksi Indonesia dengan alasan pelaksanaan konsep Global Maritime Partnership. Sekarang kembali kepada Indonesia, bagaimana bisa meyakinkan Amerika Serikat untuk merealisasikan kerjasama di bidang information sharing.

10 Januari 2009

Aspek Operasional Alutsista Asal Rusia

All hands,
Selama puluhan tahun, AL kita menggunakan doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur yang diadopsi dari Barat. Dalam bidang operasi, sebagai contoh ada ATP (allied tactical procedures), sedangkan di bidang logistik menggunakan Integrated Logistic Support (ILS) versi NATO. Semua itu cocok diterapkan bila alutsistanya berasal dari negara-negara Barat yang filosofi alutsistanya sama.
Ke depan, arus baru penggunaan alutsista asal Rusia di AL kita sepertinya tak akan tertahankan. Meskipun masih ada pihak-pihak tertentu di negeri ini yang menghambat atau menghalangi upaya AL mengakuisisi senjata pemukul strategis dari Rusia. Pengoperasian alutsista asal Rusia bukan berarti mengenyampingkan alusista asal Barat, namun lebih memadukan keduanya.
Terkait dengan hal tersebut, sudah sepantasnya bila semenjak dini dilakukan persiapan. Sebab apabila mengoperasikan alutsista asal Rusia, diperlukan doktrin, strategi, taktik, teknis dan prosedur baru yang sesuai dengan falsafah dan karakteristik alut tersebut. Merupakan hal yang tidak bijaksana bila alutsista asal Rusia nantinya dioperasikan menggunakan cara Barat, karena hal itu justru berpotensi memandulkan potensi alutsista yang sebenarnya dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Salah satu cara antisipasi hal itu mempelajari doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur Rusia, sebab alutsista itu akan maksimal manfaatnya bila dioperasikan dengan cara Rusia. Meskipun di masa lalu AL kita pernah menganut doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur Rusia dalam pengoperasian sejumlah alutsista, namun generasi saat ini yang mengawaki AL kita adalah generasi baru yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan alutsista asal Rusia, dalam hal ini kapal perang.
Substansinya, pengadaan alutsista dari Rusia harus ditindaklanjuti dengan perubahan doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur. Konsekuensinya, TNI AL ditantang untuk mempunyai doktrin, strategi, taktik, teknik dan prosedur campuran yang merupakan perpaduan cara Barat dan cara Rusia. Sebab nantinya alutsista asal Rusia harus interoperability dengan alutsista asal Barat ketika dioperasikan di jajaran armada.

09 Januari 2009

Menunggu Political Will Terhadap Angkatan Laut

All hands,
Pada akhir 1970, Indonesia melaksanakan modernisasi Angkatan Bersenjatanya setelah pasca 1967 mengalami kemunduran yang luar biasa karena pergolakan politik internal. Modernisasi itu didukung oleh adanya windfall pendapatan ekspor minyak sebagai akibat dari Perang Arab-Israel 1973 yang berujung pada embargo minyak negara-negara Arab terhadap Amerika Serikat. Embargo itu membuat harga minyak melonjak drastis dan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak turut merasakan “nikmatnya” situasi demikian.
Dalam program modernisasi itu, AL antara lain mendapat jatah untuk membeli kapal selam, selain kapal kombatan atas air. Dan jumlah kapal selam U-209 yang ingin dibeli oleh Indonesia adalah empat unit sekaligus. Namun hal itu ditolak oleh Amerika Serikat sebagai “atasan” Jerman Barat yang membuat kapal selam U-209.
Atas “kebaikan hati” Amerika Serikat, Indonesia hanya boleh mengakuisisi dua kapal selam. Sebagai kompromi, pengadaan dua kapal selam berikutnya dapat dilakukan pada pertengahan 1980-an, sekitar 1986-1987. Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa tambahan dua kapal selam U-209 tidak pernah terwujud. Setidaknya ada dua alasan soal itu, yaitu pergantian pimpinan militer pada era 1980-an akhir dan juga tidak adanya “restu” dari Amerika Serikat.
Lesson learned dari kasus U-209 adalah perlunya “restu” dari Washington jikalau Indonesia ingin membeli kapal selam. Apabila ditarik dalam kondisi kekinian, sangat jelas Washington tidak “merestui” AL negeri ini mempunyai kapal selam baru dengan teknologi yang lebih maju dari U-209. Saya meyakini itulah salah satu alasan mengapa pengadaan tersebut begitu rumit. Untuk menghambat pengadaan kapal selam itu, digunakanlah invisible hands yang ada di jajaran pengambilan keputusan di Indonesia.
“Restu” nampaknya akan diberikan bila yang dibeli adalah kelas U-209. Jadi substansinya adalah tidak akan ada kemajuan Indonesia dalam penguasaan kemampuan peperangan kapal selam. Dan Korea Selatan sebagai sekutu Washington dari jauh-jauh hari telah siap menjual U-209 Changbogo kepada AL negeri ini. Dan most possibly U-209 Changbogo yang dijual adalah bekas pakai Angkatan Laut Korea Selatan, sebab negeri itu tengah beralih memakai kapal selam U-214.
Sudah jelas bahwa Indonesia tidak berminat mengoperasikan U-209 lagi, meskipun versi yang lebih canggih. Sebab kemampuan U-209 sudah jadi rahasia umum, sebab kapal selam itu merupakan kapal selam yang laris di pasaran internasional. Laris karena teknologinya lumayan dan harganya pas untuk kantong-kantong para bendahara negara-negara berkembang.
Opsi pembelian U-214 sebenarnya terbuka, tetapi harga per unitnya yang sekitar US$ 600 juta (perlengkapan standar dan tanpa senjata) dinilai terlalu mahal bagi Bendahara Negara yang bermarkas di Lapangan Banteng. Sementara masih ada jenis kapal selam lain dengan kemampuan yang tak kalah dari U-214 (kecuali AIP), tetapi harganya masih lebih murah. Dibandingkan dengan U-209 ---apalagi U-209 versi fotocopy, kapal selam yang dimaksud jelas lebih unggul dari berbagai aspek. Dan untuk biaya pengadaan kapal selam itu Indonesia tak perlu pusing, sebab negara produsen telah menyediakan kredit khusus untuk membeli kapal selamnya.
Sekarang tinggal political will saja dari pemerintah, khususnya Departemen Pertahanan. Kadang aneh memang, urusan Sukhoi bagi matra lain dipermudah, namun urusan kapal selam dari negeri yang sama dengan Sukhoi bagi matra laut terkesan dipersulit dengan beragam alasan yang dibuat-buat. Mungkin AL negeri ini perlu menempatkan perwiranya sebagai pengambil keputusan pengadaan alutsista di Departemen Pertahanan.

08 Januari 2009

Agenda DK PBB: Relevansi Dengan Angkatan Laut

All hands,
Dewan Keamanan PBB sebagai instrumen PBB di bidang keamanan dunia mempunyai tiga agenda tiga serangkai yang satu sama lain saling terkait. Ketiga agenda tersebut adalah peace, security and disarmament. Sebagian besar pihak di Indonesia tidak aware, apalagi paham akan agenda tersebut. Padahal agenda itu mempunyai keterkaitan langsung dengan kekuatan militer negeri ini, termasuk di dalamnya AL kita.
Bagi Dewan Keamanan PBB, peace and security merupakan agenda mutlak dan tidak bisa dikompromikan. Meskipun memang dalam pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh agenda lima negara pemegang hak veto di badan itu, yang dapat dilihat dari berbagai kasus, termasuk perang di Jalur Gaza, Palestina. Memang resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai dasar bertindak PBB pada dasarnya merupakan kompromi antara kelima negara “pemilik” Dewan Keamanan itu.
Untuk mewujudkan peace and security, Dewan Keamanan PBB melihat pentingnya disarmament. Disarmament yang dimaksud di sini adalah pada senjata konvensional, bukan senjata nuklir. Agenda disarmament PBB memang pada senjata konvensional, dengan alasan senjata itu telah memakan korban yang lebih banyak daripada senjata nuklir.
Dengan kata lain, negara-negara berkembang yang menjadi sasaran disarmament. Negara berkembang yang bagaimana? Yaitu negara berkembang yang tidak kooperatif dengan salah satu atau beberapa anggota tetap Dewan Keamanan.
Soal conventional weapon disarmament memang isu rumit, karena di sisi lain semua negara pemegang hak veto perekonomiannya juga ditunjang oleh bisnis penjualan senjata itu. Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat menutup kran ekspor senjata mematikan dan canggih kepada Indonesia, peluang itu dimanfaatkan oleh Rusia untuk mengisi pasar yang ditinggalkan Rusia. Dan Rusia tidak tanggung-tanggung mengisi pasar itu, dengan memberikan senjata-senjata berteknologi lebih maju daripada yang pernah dijual oleh Amerika Serikat kepada negeri ini.
Kaitannya dengan AL kita, kita sudah merasakan betapa AL kita diembargo oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Agenda embargo sangat keliru kalau hanya dilihat sebagai hukuman atas tuduhan pelanggaran HAM oleh pihak tertentu di negeri ini, tetapi harus dipandang lebih luas. Yaitu pihak-pihak di luar sana tak ingin melihat Indonesia mempunyai kekuatan AL yang mumpuni di kawasan.
Selain embargo, bentuk lain dalam naval disarmament adalah pembatasan jenis senjata yang boleh dijual kepada Indonesia. Bagi Washington dan sekutunya, rudal jelajah seperti Yakhont haram untuk dipunyai Indonesia, namun halal bila dimiliki oleh Singapura. Sadarkah kita bahwa selama ini AL kita digerogoti potensi kekuatannya melalui pembatasan jenis senjata strategis yang bisa dibeli dari pasar Barat?
Untuk menghadapi naval disarmament dari Barat, selain berpaling kepada Rusia sebenarnya masih harus ada cara lain yang juga ditempuh secara simultan. Yaitu manfaatkan agenda peace and security sebagai alasan membangun AL kita. Dengan kata lain, kita membangun AL demi stabilitas kawasan. Ini adalah bahasa politik universal yang gampang dipahami oleh siapa pun di Dewan Keamanan PBB.
Untuk mendukung dalih itu, partisipasi unsur kapal perang AL kita dalam maritime peacekeeping operations harus ditingkatkan. Deployment KRI Diponegoro-365 ke Lebanon pada Februari 2009 dalam rangka bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force harus dimaknai sebagai langkah awal. Langkah berikutnya harus ditempuh untuk menunjukkan komitmen Indonesia terhadap stabilitas kawasan dan dunia. Entah itu ke Somalia atau ke wilayah lainnya, dengan catatan berada di bawah payung resolusi Dewan Keamanan PBB.

07 Januari 2009

Implementasi Peran Angkatan Laut: Kasus Laut Sulawesi

All hands,
Sudah menjadi pemahaman bersama, khususnya dalam lingkungan internal AL kita, bahwa Angkatan Laut secara universal mempunyai tiga peran. Yaitu peran militer, konstabulari dan diplomasi. Ketiga peran tersebut seringkali disebut sebagai trinitas Angkatan Laut, apabila kita mengacu pada Ken Booth dalam bukunya yang berjudul Navies and Foreign Policy.
Suatu hal yang dalam persepsi kita belum sama adalah soal implementasi peran tersebut. Masih ada pemahaman bahwa pembagian peran itu garis merahnya sangat jelas. Dalam arti ketika suatu kapal perang melaksanakan peran militer, seolah-olah kapal tersebut tidak sedangkan melaksanakan peran konstabulari dan peran diplomasi. Pemahaman demikian menurut saya tidak tepat, karena dalam realitas di lapangan sulit untuk memisahkan ketiganya ketika dilaksanakan oleh unsur Angkatan Laut yaitu kapal perang.
Contoh kasus terbaik tentang implementasi trinitas Angkatan Laut adalah kasus di Laut Sulawesi (Ambalat). Sejak Maret 2005 terdapat Gugus Tugas AL yang hadir di sana dalam sandi Operasi Balak Sakti, 24 jam X 365 hari. Kehadiran Gugus Tugas AL di sana tidak dapat diartikan sebatas melaksanakan peran militer atau diplomasi saja, namun sekaligus ketiga peran Angkatan Laut.
Gugus Tugas AL di Laut Sulawesi dihadirkan untuk mengawasi perairan itu dari masuknya patroli Tentera Laut Diraja Malaysia. Bahkan ketika kasus itu menghangat, sempat terjadi ketegangan di sana antara beberapa kapal perang kedua negara. Dari situ tercermin bahwa kehadiran Gugus Tugas AL di sana adalah mengemban peran militer Angkatan Laut.
Namun pada sisi, kehadiran tersebut juga melaksanakan peran diplomasi. Kehadiran unsur AL kita di Laut Sulawesi juga sekaligus kegiatan showing the flag alias pameran bendera. Pesannya jelas, yaitu agar Malaysia jangan macam-macam di sana, sebab perairan itu adalah wilayah Indonesia. Meskipun showing the flag dilaksanakan di perairan perbatasan dan tidak masuk ke perairan Malaysia, namun dapat dipastikan Malaysia menangkap pesan politik dari kehadiran Gugus Tugas AL di perairan itu. Buktinya jelas, yaitu tingkah laku Angkatan Laut negeri tukang klaim itu sekarang “terkendali”, dalam arti dia tak bisa lagi seenaknya masuk perairan Indonesia tanpa khawatir ada respon manuver dari pihak Indonesia.
Fungsi konstabulari juga dilaksanakan oleh Gugus Tugas AL di Laut Sulawesi. Apabila unsur di lapangan menjumpai adanya tindakan pelanggaran hukum, kapal perang Indonesia di sana berhak untuk menindak pelanggaran hukum tersebut. Tidak ada alasan untuk membiarkannya dengan dalih kehadiran di sana sebatas untuk peran militer dan diplomasi saja. Dan bukti di lapangan menunjukkan Gugus Tugas AL selalu melaksanakan penindakan terhadap tindakan pelanggaran hukum yang mereka jumpai.
Berangkat dari kasus operasi di Laut Sulawesi, sangat jelas bahwa peran Angkatan Laut dalam pelaksanaannya tidak bisa dipisah-pisah. Itulah alasan mengapa hal itu disebut trinitas Angkatan Laut.

06 Januari 2009

Strategi Pertahanan dan Pembangunan Kekuatan

All hands,
Di dalam ilmu strategi, salah satu pola pikir yang diajarkan adalah “tentukan strategi terlebih dahulu, kemudian tentukan senjata yang tepat untuk melaksanakan strategi tersebut”. Strategi yang ditentukan akan sangat banyak dipengaruhi oleh aspek geopolitik, geostrategi, kepentingan nasional, cara pandang bangsa dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pembangunan kekuatan yang benar adalah harus mengikuti strategi yang ditetapkan. Sebab pembangunan kekuatan merupakan turunan dari strategi pertahanan yang ditetapkan.
Apabila ditarik ke dalam konteks Indonesia, dalam strategi pertahanan yang dianut yaitu strategi pertahanan berlapis untuk tujuan prevensif, pre-emptive dan koersif. Di sini saya tak akan membahas soal relevansi strategi pertahanan berlapis dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Khusus untuk strategi pertahanan berlapis untuk tujuan pre-emptive dan koersif, bagi matra laut sistem senjata yang dibutuhkan sudah jelas dan tidak bisa diperdebatkan dan diganggu gugat lagi. Kekuatan laut negeri ini membutuhkan kapal perang berbagai jenis, baik kapal kombatan, kapal patroli maupun kapal bantu.
Untuk kapal kombatan, sudah pasti dibutuhkan kapal atas air dan kapal selam. Sebab kekuatan laut negeri ini tidak berarti apa-apa bila satu dari unsur kapal tersebut tak ada dalam susunan tempurnya. Bagi kalangan yang mengerti tentang peperangan laut masa kini, ancaman terhadap kapal atas air terbesar muncul dari kapal selam (selain pesawat udara). Untuk melawan kapal selam lawan, senjata yang terbaik adalah kapal selam itu sendiri.
Dengan kata lain, sulit untuk mencari argumen yang kuat untuk menegasikan kebutuhan AL kita terhadap kapal selam. Kalau negeri kecil seluas Jakarta saja merasa butuh kapal selam, apalagi Indonesia yang sangat luas ini dan sekaligus negara kepulauan?
Masalahnya adalah tidak ada prioritas dari pembuat kebijakan pertahanan untuk mendukung aspirasi AL negeri ini untuk pengadaan kapal selam baru. Para pembuat kebijakan pertahanan tidak bisa menempatkan mana yang prioritas, mana yang bukan. Pengadaan alutsista itu prioritas, terutama buat AL dan AU. Dari beragam alutsista, alutsista yang untuk kombatan lebih prioritas daripada untuk unsur bantuan.
Sangat aneh bila ada pihak berwenang mengatakan tak cukup anggaran untuk pengadaan kapal selam baru. Sebab pengadaan itu sudah masuk dalam Renstra 2005-2009 AL kita dan sudah dipagu anggarannya. Suatu program masuk renstra berarti sudah tak ada masalah secara prinsip dengan pendanaan. Dan itu sekaligus menandakan bahwa program itu terencana, bukan siluman yang tiba-tiba muncul dari tikungan.
Masuk dalam Renstra juga berarti program itu sudah masuk program Bappenas. Sebab kata kunci semua program pengadaan alutsista di Bappenas. Bila tak masuk program Bappenas, jangan berharap program itu akan didanai. Sebab bagaimana pun, mekanisme pengadaan saat ini sudah lebih baik dibanding di masa lalu.
Lalu sebenarnya di mana masalah sampai pengadaan alutsista AL negeri ini, khususnya kapal selam sedemikian rumitnya? Kata kuncinya adalah political will. Percuma AL negeri ini begitu bersemangat memperbaiki kemampuannya, termasuk dalam peperangan kapal selam, bila tak didukung oleh pihak-pihak lain yang berkompeten.
Tanggung jawab pengamanan laut negeri ini memang di pundak AL, tetapi AL harus didukung oleh political will dari pihak-pihak terkait di luar AL. AL negeri ini adalah milik bangsa ini, bukan milik putra-putri bangsa yang mengabdikan hidupnya di AL. Sayang rasa memiliki dan kecintaan bangsa ini terhadap AL-nya masih sangat rendah.

05 Januari 2009

Post-Modern Navy Dalam Konteks Indonesia

All hands,
Suatu Angkatan Laut dikategorikan post-modern navy, menurut Geoffrey Till, adalah Angkatan Laut yang tidak hanya berfokus pada menjaga kedaulatan negaranya, tetapi juga bekerjasama dengan komunitas internasional untuk menjaga globalisasi. Salah satu penopang globalisasi adalah perdagangan bebas dunia yang menggunakan domain maritim sebagai wahana transportasinya. Ancaman dan gangguan terhadap keamanan maritim dipersepsikan sebagai ancaman dan gangguan terhadap globalisasi.
Memang pada sisi lain globalisasi melahirkan dampak-dampak merugikan bagi negara-negara yang tidak siap. Termasuk pula Indonesia, yang suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, harus masuk dalam era globalisasi. Dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas globalisasi yang terkait dengan domain maritim.
Kata kunci dalam keamanan maritim masa kini terkait dengan maintenance good order at sea dan peacekeeping operations. Setiap Angkatan Laut dituntut untuk mampu maintenance good order at sea dan peace keeping operations dalam konteks globalisasi.
Posisi geografis Indonesia yang sangat strategis dalam percaturan politik dan keamanan kawasan, secara langsung menuntut AL kita untuk turut berperan dalam kedua hal tersebut. Dengan kata lain, Indonesia dituntut untuk menjadikan Angkatan Lautnya menjadi post-modern navy. Menjadi post-modern navy bukan berarti mengabaikan fungsi utama Angkatan Laut untuk mengamankan kedaulatan, tetapi menyeimbangkan antara kepentingan internal dengan aspirasi kawasan.
Kata kuncinya adalah tidak mengorbankan kepentingan nasional. Dan perlu dipahami bahwa kepentingan nasional negeri ini cakupannya bukan terbatas pada isu-isu internal, tetapi juga terkait dengan isu-isu eksternal. Termasuk pula pada aspirasi untuk menjaga stabilitas kawasan.
Dapat dipastikan bahwa stabilitas kawasan merupakan aspirasi nasional Indonesia. Isu stabilitas kawasan masa kini salah satunya terkait dengan maintenance good order at sea. Di situlah relevansi pentingnya AL negeri ini bertransformasi menjadi post-modern navy.
Sebab stabilitas kawasan di Asia Tenggara ditentukan oleh Indonesia dan satu-satunya pihak yang berkompeten soal ini hanyalah AL. Di situlah relevansinya post-modern navy dalam konteks Indonesia.

04 Januari 2009

Pembangunan Kekuatan Laut Demi Stabilitas Kawasan

All hands,
Terkait dengan adanya “tuntutan” masyarakat internasional, khususnya kawasan Asia Pasifik, agar AL negeri ini lebih memberikan perhatian khusus terhadap isu penataan stabilitas kawasan hendaknya disikapi dengan jernih. Sebab hal itu menurut hemat saya, lebih banyak manfaat daripada ruginya. Kerugian yang nyata, di depan mata dan sekaligus menyangkut kedaulatan dan harga diri bangsa bila Indonesia tak memenuhi “tuntutan” itu adalah pengamanan perairan yurisdiksi negeri ini dilakukan oleh pihak asing. Entah itu Angkatan Laut atau perusahaan keamanan seperti Blackwaters, Inc.
“Tuntutan” tersebut hendaknya dilihat sebagai opportunity and chance bagi AL, termasuk pula dalam program pembangunan kekuatan. AL kita hendaknya secara cerdik memanfaatkan perannya dalam stabilitas keamanan kawasan sebagai (salah satu) alasan untuk membangun kekuatan. Sehingga pembangunan tersebut tidak dicurigai oleh aktor-aktor tertentu sebagai upaya untuk menggerus legitimasinya di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.
Selama ini sulit untuk diingkari kesan bahwa pembangunan kekuatan laut Indonesia terkadang dipandang dengan penuh kecurigaan. Pihak-pihak yang bersikap demikian takut bila pembangunan itu ditujukan untuk menggerus legitimasi yang selama ini mereka nikmati di kawasan. Kuatnya AL Indonesia dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan yang telah mereka ciptakan.
Oleh karena itu, sejak 1970-an hingga kini Indonesia senantiasa bukan pemakai pertama sistem senjata yang canggih di Asia Tenggara. Sebagai contoh, rudal Exocet MM-38 dan Harpoon baru diizinkan dijual kepada Indonesia oleh Amerika Serikat setelah ada negara lain di kawasan ini yang sudah terlebih dahulu memakainya. Hanya dalam kasus kapal selam saja sebagai pengecualian, sebab Indonesia masih diperbolehkan menggunakan kapal selam buatan Barat di kawasan ketika negara-negara lain masih sibuk dengan pengadaan kapal atas air.
Negara-negara tertentu tidak memang tidak menghendaki AL Indonesia yang kuat, karena hal itu akan mengganggu kebebasan mereka berlalu lalang di perairan negeri ini. Itulah yang mereka alami dan rasakan ketika AL kita menjadi AL terkuat di Asia Tenggara tahun 1960-an, saat Angkatan Laut Malaysia hanya dilengkapi dengan kapal-kapal patroli ukuran kecil dengan senjata terbatas.
Supaya pembangunan kekuatan laut kita tak menimbulkan kecurigaan berlebihan, sudah saatnya Indonesia memanfaatkan dalih demi stabilitas kawasan sebagai alasan pembangunan tersebut. Sehingga ketika negara-negara lain bertanya kenapa Indonesia membeli kapal selam, kapal fregat dan lain-lain, jawaban yang kita gunakan adalah stabilitas kawasan. Dengan membeli kapal fregat dan korvet, kemampuan Indonesia untuk mengamankan setiap sudut wilayah perairannya menjadi lebih terjamin.
Alasan-alasan seperti itulah yang harus dikemukakan kepada masyarakat internasional. Ketika pembangunan kekuatan kita kaitkan dengan stabilitas kawasan, pihak asing akan segera paham. Sebab stabilitas kawasan adalah bahasa politik mereka sehari-hari. Oleh karena itu, Indonesia harus berbicara dalam bahasa itu pula.
Dengan kata lain, Indonesia harus berbicara dengan mereka menggunakan frekuensi yang sama. Selama ini seringkali negeri berbicara dalam frekuensi yang tidak sama dengan mereka, sehingga terkadang timbul kesan Indonesia kurang merespon aspirasi kawasan.
Ada contoh yang bagus mengenai pembangunan kekuatan laut yang didalilkan untuk stabilitas kawasan. Yaitu Angkatan Laut negara-negara Nordic, yang membangun Angkatan Laut atas dasar untuk pemeliharaan perdamaian dunia. Tidak heran bila kini Angkatan Laut negara-negara Nordic aktif dalam berbagai operasi perdamaian maritim, baik di bawah bendera PBB maupun bukan PBB.