All hands,
Kalau kita membahas tentang postur Angkatan Laut secara umum, suka atau tidak suka, pada dasarnya Angkatan Laut merupakan kekuatan ofensif. Hal itu tercermin dari core capabilities Angkatan Laut yang meliputi naval presence, sea control, sea denial dan power projection. Bahkan U.S. Navy menambahkan maritime security dan humanitarian assistance and disaster relief sebagai bagian dari core capabilities-nya.
Apapun postur Angkatan Laut, baik ofensif maupun defensif, ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Bagi negara-negara yang memahami betul nilai Angkatan Laut sebagai instrumen diplomasi, kekuatan lautnya dirancang sebagai postur ofensif. Postur ofensif antara satu Angkatan Laut dengan Angkatan Laut lain pada dasarnya relatif, tergantung pada kemampuan masing-masing negara. Sebagai contoh, terdapat Angkatan Laut yang dibangun sebagai adjacent force projection navies, ada pula yang setingkat lebih tinggi yaitu medium regional force projection navy.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di masa lalu, negeri ini mempunyai AL yang tergolong medium regional force projection navy. Postur itu selaras dengan aspirasi pemerintah saat itu yang ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain utama di kawasan Asia Pasifik. Jika kita tarik ke kondisi kekinian, muncul pertanyaan yaitu bagaimana arahan atau keinginan pemerintah terhadap postur AL? Jawaban atas pertanyaan itu merupakan kunci dari rancangan postur yang diinginkan.
Sepertinya sulit untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, karena selama ini dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah, tidak ditegaskan postur AL seperti apa yang diinginkan. Cuma secara garis ditegaskan mampu mengamankan kepentingan nasional.
Mengamankan kepentingan nasional kalau dicermati cakupannya luas sekali. Sebab kepentingan nasional tidak dibatasi oleh batas geografis kedaulatan. Dalam konteks Indonesia, sulit untuk dipungkiri bahwa kepentingan nasional Indonesia sebagian berada di Asia Tenggara. Itulah salah satu alasan mengapa Indonesia sejak dahulu berupaya memainkan peran utama di ASEAN.
Terkait dengan hal tersebut, ada baiknya bila AL kita dirancang untuk mempunyai postur yang ofensif. Dengan mengacu pada klasifikasi Angkatan Laut yang dibuat oleh Eric Grove, sebaiknya AL mengarah dulu pada adjacent force projection navies, baru kemudian medium regional force projection navy. Postur demikian sebenarnya bersifat ofensif, namun masih dalam bingkai yang dapat “ditoleransi”.
Sebab bagaimana pun, postur Angkatan Laut di mana-mana selalu bersifat ofensif. Mengapa ofensif? Jawabannya tak lain karena mempunyai Angkatan Laut kemampuan proyeksi kekuatan. Selain itu, luasnya wilayah perairan yurisdiksi yang harus diamankan menuntut kekuatan AL untuk dapat beroperasi jauh dari pangkalan induk dalam waktu yang lama, meskipun operasi demikian tidak dapat digolongkan sebagai proyeksi kekuatan apabila kita mengacu pada teori strategi maritim.
Postur yang mengarah pada adjacent force projection navies maupun medium regional force projection navy mengisyaratkan bahwa AL dibangun agar mampu melaksanakan operasi ekspedisionari. Dalam konteks Indonesia, kemampuan operasi ekspedisionari tidak identik dengan sikap politik untuk mengintervensi atau menginvasi negara lain, namun lebih pada kebutuhan operasional sebagai salah satu stabilisator kawasan.
Kita harus ingat bahwa Indonesia’s primary area of interest adalah kawasan Asia Tenggara. Di wilayah inilah kekuatan laut Indonesia minimal harus mampu diproyeksikan. Proyeksi itu merupakan pelaksanaan dari peran diplomasi Angkatan Laut, yang sudah pasti ditujukan untuk mendukung kebijakan luar negeri pemerintah. Tantangan bagi Indonesia saat ini adalah bagaimana menyinkronisasikan antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri, sebab keduanya adalah bagi dari instrument kekuatan nasional.
Kemampuan ekspedisionari selain dimanfaatkan di kawasan, juga dapat diproyeksikan ke luar kawasan. Justru proyeksi jenis terakhir ini yang lebih dulu dimanfaatkan saat ini, dalam bentuk dalam UNIFIL MTF di Lebanon. Agak aneh memang ketika kekuatan AL kita tidak dieksploitasi di kawasan sendiri, namun dieksploitasi di kawasan lain. Menurut saya hal itu terjadi antara lain karena kebijakan luar negeri Indonesia bagaikan melihat semut nun jauh di seberang, tapi tak melihat gajah di pelupuk mata.
Kalau kita membahas tentang postur Angkatan Laut secara umum, suka atau tidak suka, pada dasarnya Angkatan Laut merupakan kekuatan ofensif. Hal itu tercermin dari core capabilities Angkatan Laut yang meliputi naval presence, sea control, sea denial dan power projection. Bahkan U.S. Navy menambahkan maritime security dan humanitarian assistance and disaster relief sebagai bagian dari core capabilities-nya.
Apapun postur Angkatan Laut, baik ofensif maupun defensif, ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Bagi negara-negara yang memahami betul nilai Angkatan Laut sebagai instrumen diplomasi, kekuatan lautnya dirancang sebagai postur ofensif. Postur ofensif antara satu Angkatan Laut dengan Angkatan Laut lain pada dasarnya relatif, tergantung pada kemampuan masing-masing negara. Sebagai contoh, terdapat Angkatan Laut yang dibangun sebagai adjacent force projection navies, ada pula yang setingkat lebih tinggi yaitu medium regional force projection navy.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di masa lalu, negeri ini mempunyai AL yang tergolong medium regional force projection navy. Postur itu selaras dengan aspirasi pemerintah saat itu yang ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain utama di kawasan Asia Pasifik. Jika kita tarik ke kondisi kekinian, muncul pertanyaan yaitu bagaimana arahan atau keinginan pemerintah terhadap postur AL? Jawaban atas pertanyaan itu merupakan kunci dari rancangan postur yang diinginkan.
Sepertinya sulit untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, karena selama ini dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah, tidak ditegaskan postur AL seperti apa yang diinginkan. Cuma secara garis ditegaskan mampu mengamankan kepentingan nasional.
Mengamankan kepentingan nasional kalau dicermati cakupannya luas sekali. Sebab kepentingan nasional tidak dibatasi oleh batas geografis kedaulatan. Dalam konteks Indonesia, sulit untuk dipungkiri bahwa kepentingan nasional Indonesia sebagian berada di Asia Tenggara. Itulah salah satu alasan mengapa Indonesia sejak dahulu berupaya memainkan peran utama di ASEAN.
Terkait dengan hal tersebut, ada baiknya bila AL kita dirancang untuk mempunyai postur yang ofensif. Dengan mengacu pada klasifikasi Angkatan Laut yang dibuat oleh Eric Grove, sebaiknya AL mengarah dulu pada adjacent force projection navies, baru kemudian medium regional force projection navy. Postur demikian sebenarnya bersifat ofensif, namun masih dalam bingkai yang dapat “ditoleransi”.
Sebab bagaimana pun, postur Angkatan Laut di mana-mana selalu bersifat ofensif. Mengapa ofensif? Jawabannya tak lain karena mempunyai Angkatan Laut kemampuan proyeksi kekuatan. Selain itu, luasnya wilayah perairan yurisdiksi yang harus diamankan menuntut kekuatan AL untuk dapat beroperasi jauh dari pangkalan induk dalam waktu yang lama, meskipun operasi demikian tidak dapat digolongkan sebagai proyeksi kekuatan apabila kita mengacu pada teori strategi maritim.
Postur yang mengarah pada adjacent force projection navies maupun medium regional force projection navy mengisyaratkan bahwa AL dibangun agar mampu melaksanakan operasi ekspedisionari. Dalam konteks Indonesia, kemampuan operasi ekspedisionari tidak identik dengan sikap politik untuk mengintervensi atau menginvasi negara lain, namun lebih pada kebutuhan operasional sebagai salah satu stabilisator kawasan.
Kita harus ingat bahwa Indonesia’s primary area of interest adalah kawasan Asia Tenggara. Di wilayah inilah kekuatan laut Indonesia minimal harus mampu diproyeksikan. Proyeksi itu merupakan pelaksanaan dari peran diplomasi Angkatan Laut, yang sudah pasti ditujukan untuk mendukung kebijakan luar negeri pemerintah. Tantangan bagi Indonesia saat ini adalah bagaimana menyinkronisasikan antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan luar negeri, sebab keduanya adalah bagi dari instrument kekuatan nasional.
Kemampuan ekspedisionari selain dimanfaatkan di kawasan, juga dapat diproyeksikan ke luar kawasan. Justru proyeksi jenis terakhir ini yang lebih dulu dimanfaatkan saat ini, dalam bentuk dalam UNIFIL MTF di Lebanon. Agak aneh memang ketika kekuatan AL kita tidak dieksploitasi di kawasan sendiri, namun dieksploitasi di kawasan lain. Menurut saya hal itu terjadi antara lain karena kebijakan luar negeri Indonesia bagaikan melihat semut nun jauh di seberang, tapi tak melihat gajah di pelupuk mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar