All hands,
Sudah menjadi pemahaman bersama, khususnya dalam lingkungan internal AL kita, bahwa Angkatan Laut secara universal mempunyai tiga peran. Yaitu peran militer, konstabulari dan diplomasi. Ketiga peran tersebut seringkali disebut sebagai trinitas Angkatan Laut, apabila kita mengacu pada Ken Booth dalam bukunya yang berjudul Navies and Foreign Policy.
Suatu hal yang dalam persepsi kita belum sama adalah soal implementasi peran tersebut. Masih ada pemahaman bahwa pembagian peran itu garis merahnya sangat jelas. Dalam arti ketika suatu kapal perang melaksanakan peran militer, seolah-olah kapal tersebut tidak sedangkan melaksanakan peran konstabulari dan peran diplomasi. Pemahaman demikian menurut saya tidak tepat, karena dalam realitas di lapangan sulit untuk memisahkan ketiganya ketika dilaksanakan oleh unsur Angkatan Laut yaitu kapal perang.
Contoh kasus terbaik tentang implementasi trinitas Angkatan Laut adalah kasus di Laut Sulawesi (Ambalat). Sejak Maret 2005 terdapat Gugus Tugas AL yang hadir di sana dalam sandi Operasi Balak Sakti, 24 jam X 365 hari. Kehadiran Gugus Tugas AL di sana tidak dapat diartikan sebatas melaksanakan peran militer atau diplomasi saja, namun sekaligus ketiga peran Angkatan Laut.
Gugus Tugas AL di Laut Sulawesi dihadirkan untuk mengawasi perairan itu dari masuknya patroli Tentera Laut Diraja Malaysia. Bahkan ketika kasus itu menghangat, sempat terjadi ketegangan di sana antara beberapa kapal perang kedua negara. Dari situ tercermin bahwa kehadiran Gugus Tugas AL di sana adalah mengemban peran militer Angkatan Laut.
Namun pada sisi, kehadiran tersebut juga melaksanakan peran diplomasi. Kehadiran unsur AL kita di Laut Sulawesi juga sekaligus kegiatan showing the flag alias pameran bendera. Pesannya jelas, yaitu agar Malaysia jangan macam-macam di sana, sebab perairan itu adalah wilayah Indonesia. Meskipun showing the flag dilaksanakan di perairan perbatasan dan tidak masuk ke perairan Malaysia, namun dapat dipastikan Malaysia menangkap pesan politik dari kehadiran Gugus Tugas AL di perairan itu. Buktinya jelas, yaitu tingkah laku Angkatan Laut negeri tukang klaim itu sekarang “terkendali”, dalam arti dia tak bisa lagi seenaknya masuk perairan Indonesia tanpa khawatir ada respon manuver dari pihak Indonesia.
Fungsi konstabulari juga dilaksanakan oleh Gugus Tugas AL di Laut Sulawesi. Apabila unsur di lapangan menjumpai adanya tindakan pelanggaran hukum, kapal perang Indonesia di sana berhak untuk menindak pelanggaran hukum tersebut. Tidak ada alasan untuk membiarkannya dengan dalih kehadiran di sana sebatas untuk peran militer dan diplomasi saja. Dan bukti di lapangan menunjukkan Gugus Tugas AL selalu melaksanakan penindakan terhadap tindakan pelanggaran hukum yang mereka jumpai.
Berangkat dari kasus operasi di Laut Sulawesi, sangat jelas bahwa peran Angkatan Laut dalam pelaksanaannya tidak bisa dipisah-pisah. Itulah alasan mengapa hal itu disebut trinitas Angkatan Laut.
Sudah menjadi pemahaman bersama, khususnya dalam lingkungan internal AL kita, bahwa Angkatan Laut secara universal mempunyai tiga peran. Yaitu peran militer, konstabulari dan diplomasi. Ketiga peran tersebut seringkali disebut sebagai trinitas Angkatan Laut, apabila kita mengacu pada Ken Booth dalam bukunya yang berjudul Navies and Foreign Policy.
Suatu hal yang dalam persepsi kita belum sama adalah soal implementasi peran tersebut. Masih ada pemahaman bahwa pembagian peran itu garis merahnya sangat jelas. Dalam arti ketika suatu kapal perang melaksanakan peran militer, seolah-olah kapal tersebut tidak sedangkan melaksanakan peran konstabulari dan peran diplomasi. Pemahaman demikian menurut saya tidak tepat, karena dalam realitas di lapangan sulit untuk memisahkan ketiganya ketika dilaksanakan oleh unsur Angkatan Laut yaitu kapal perang.
Contoh kasus terbaik tentang implementasi trinitas Angkatan Laut adalah kasus di Laut Sulawesi (Ambalat). Sejak Maret 2005 terdapat Gugus Tugas AL yang hadir di sana dalam sandi Operasi Balak Sakti, 24 jam X 365 hari. Kehadiran Gugus Tugas AL di sana tidak dapat diartikan sebatas melaksanakan peran militer atau diplomasi saja, namun sekaligus ketiga peran Angkatan Laut.
Gugus Tugas AL di Laut Sulawesi dihadirkan untuk mengawasi perairan itu dari masuknya patroli Tentera Laut Diraja Malaysia. Bahkan ketika kasus itu menghangat, sempat terjadi ketegangan di sana antara beberapa kapal perang kedua negara. Dari situ tercermin bahwa kehadiran Gugus Tugas AL di sana adalah mengemban peran militer Angkatan Laut.
Namun pada sisi, kehadiran tersebut juga melaksanakan peran diplomasi. Kehadiran unsur AL kita di Laut Sulawesi juga sekaligus kegiatan showing the flag alias pameran bendera. Pesannya jelas, yaitu agar Malaysia jangan macam-macam di sana, sebab perairan itu adalah wilayah Indonesia. Meskipun showing the flag dilaksanakan di perairan perbatasan dan tidak masuk ke perairan Malaysia, namun dapat dipastikan Malaysia menangkap pesan politik dari kehadiran Gugus Tugas AL di perairan itu. Buktinya jelas, yaitu tingkah laku Angkatan Laut negeri tukang klaim itu sekarang “terkendali”, dalam arti dia tak bisa lagi seenaknya masuk perairan Indonesia tanpa khawatir ada respon manuver dari pihak Indonesia.
Fungsi konstabulari juga dilaksanakan oleh Gugus Tugas AL di Laut Sulawesi. Apabila unsur di lapangan menjumpai adanya tindakan pelanggaran hukum, kapal perang Indonesia di sana berhak untuk menindak pelanggaran hukum tersebut. Tidak ada alasan untuk membiarkannya dengan dalih kehadiran di sana sebatas untuk peran militer dan diplomasi saja. Dan bukti di lapangan menunjukkan Gugus Tugas AL selalu melaksanakan penindakan terhadap tindakan pelanggaran hukum yang mereka jumpai.
Berangkat dari kasus operasi di Laut Sulawesi, sangat jelas bahwa peran Angkatan Laut dalam pelaksanaannya tidak bisa dipisah-pisah. Itulah alasan mengapa hal itu disebut trinitas Angkatan Laut.
1 komentar:
Setelah kasus tedungnaga, apa ada lagi insiden yang bisa mengakibatkan pelibatan?
Posting Komentar