All hands,
Berdiskusi tentang transformasi pertahanan, khususnya aplikasi revolution in military affairs (RMA) di dalam organisasi militer, tidak dapat dilepaskan dari isu anggaran. Investasi membangun kekuatan militer hanya dapat dipetik “hasilnya” ketika ada kepentingan nasional yang terancam dan membutuhkan keterlibatan militer untuk menanganinya. Militer bukan institusi penghasil profit seperti halnya BUMN yang setiap tahun wajib mengisi pundi-pundi APBN.
Ketika dihadapkan pada isu anggaran, transformasi pertahanan seringkali menjadi bahan pertanyaan kritis. Ada pra-anggapan bahwa transformasi pertahanan senantiasa diidentikkan dengan kebutuhan anggaran yang tinggi, seperti pengadaan perangkat keras dan perangkat lunak (sistem senjata, pelatihan ulang personel, revisi doktrin, penataan ulang organisasi dan lain sebagainya). Pra-anggapan itu tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar.
Transformasi pertahanan, khususnya aplikasi RMA perlu dipilah-pilah sesuai dengan skala prioritas. Kecuali Amerika Serikat, negara-negara lain melaksanakan transformasi pertahanan dengan menekankan pada bidang unggulan sesuai dengan kemampuan anggarannya. Dalam konteks Indonesia, perlu adanya institusi yang mengkaji tentang RMA sehingga diharapkan bisa melahirkan alternatif pilihan aplikasi transformasi pertahanan.
Menurut hemat saya, alternatif pilihannya adalah (i) pembenahan sumber daya manusia, (ii) litbang, dan (iii) secara bertahap diikuti oleh pengadaan alutsista (alat utama sistem senjata) berteknologi madya untuk meningkatkan kemampuan daya tangkal dan daya pukul. Transformasi pertahanan bukan sekedar modernisasi sistem senjata, namun juga transformasi paradigma dalam melaksanakan perang (cara berpikir, berlatih dan bertempur). Di situlah pentingnya pembenahan sumber daya manusia dalam transformasi pertahanan di Nusantara.
Berdiskusi tentang transformasi pertahanan, khususnya aplikasi revolution in military affairs (RMA) di dalam organisasi militer, tidak dapat dilepaskan dari isu anggaran. Investasi membangun kekuatan militer hanya dapat dipetik “hasilnya” ketika ada kepentingan nasional yang terancam dan membutuhkan keterlibatan militer untuk menanganinya. Militer bukan institusi penghasil profit seperti halnya BUMN yang setiap tahun wajib mengisi pundi-pundi APBN.
Ketika dihadapkan pada isu anggaran, transformasi pertahanan seringkali menjadi bahan pertanyaan kritis. Ada pra-anggapan bahwa transformasi pertahanan senantiasa diidentikkan dengan kebutuhan anggaran yang tinggi, seperti pengadaan perangkat keras dan perangkat lunak (sistem senjata, pelatihan ulang personel, revisi doktrin, penataan ulang organisasi dan lain sebagainya). Pra-anggapan itu tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar.
Transformasi pertahanan, khususnya aplikasi RMA perlu dipilah-pilah sesuai dengan skala prioritas. Kecuali Amerika Serikat, negara-negara lain melaksanakan transformasi pertahanan dengan menekankan pada bidang unggulan sesuai dengan kemampuan anggarannya. Dalam konteks Indonesia, perlu adanya institusi yang mengkaji tentang RMA sehingga diharapkan bisa melahirkan alternatif pilihan aplikasi transformasi pertahanan.
Menurut hemat saya, alternatif pilihannya adalah (i) pembenahan sumber daya manusia, (ii) litbang, dan (iii) secara bertahap diikuti oleh pengadaan alutsista (alat utama sistem senjata) berteknologi madya untuk meningkatkan kemampuan daya tangkal dan daya pukul. Transformasi pertahanan bukan sekedar modernisasi sistem senjata, namun juga transformasi paradigma dalam melaksanakan perang (cara berpikir, berlatih dan bertempur). Di situlah pentingnya pembenahan sumber daya manusia dalam transformasi pertahanan di Nusantara.
1 komentar:
Pada dasarnya setuju dengan apa yg dinyatakan. Kalo boleh menyarankan perlunya dibuat jembatan antara peningkatan kwalitas sdm dengan litbang. Jembatan yang saya maksud adalah bergandengan tangan seerat-eratnya dengan dunia akademisi (dhi. lingkungan Perguruan Tinggi) untuk menghasilkan produk yang optimal dan berkelanjutan. Jika jembatan yg dimaksud sudah dinyatakan dibangun dengan mengirimkan pwa2 tugas belajar di PT, maka itu berarti jembatan dengan kwalitas yg cukup memprihatinkan. Bukan Pwa-nya namun terlebih karena perlakuan terhadap material jembatannya (para Pwa tugas belajarnya) di kedinasan asal cukup memprihatinkan. Sehingga capaian yang diinginkan tidak optimal dan berkelanjutan.
sebenernya banyak yg mau disampaikan, tp karena terbatas waktu untuk sementara ini cukup. Okay, berlayar terus walau menerjang ombak dan pantang berbalik haluan.
Posting Komentar