All hands,
Sebagai bangsa yang menurut Syafei Maarif pendek memori sejarahnya, bangsa Indonesia hendaknya tidak melupakan kasus Timor Timur 1999 dan tsunami Aceh 2004. Sebab ada pelajaran yang dapat ditarik dari situ, yang mungkin di masa depan dapat saja terulang. Pelajaran yang dimaksud adalah konsep tanggungjawab untuk melindungi (responsibility to protect).
Konsep tanggungjawab untuk melindungi pada awalnya ditujukan untuk mengatasi isu-isu kemanusiaan yang terkait dengan krisis kemanusiaan di Bosnia dan Rwanda akibat konflik bersenjata di kedua negeri. Konsep tanggungjawab untuk melindungi kemunculannya merupakan hasil kerja politik negara-negara Barat. Masalahnya bagi negara-negara berkembang, seringkali terdapat agenda politik negara-negara Barat yang tersembunyi di balik konsep itu.
Misalnya ketika di suatu negara berkembang muncul konflik bersenjata yang mengkhawatirkan stabilitas kawasan sekitarnya. Belum tentu negara-negara Barat, utamanya yang mempunyai hak veto di Dewan Keamanan PBB, akan menyetujui pengiriman pasukan perdamaian. Alasannya bisa macam-macam, tetapi di balik itu patut dicurigai ada agenda politik.
Lihatlah kasus Somalia yang sampai sekarang belum selesai juga, padahal negeri itu sudah bergejolak sejak 1991. Mengapa intervensi PBB atau negara-negara Barat terhenti? Ada pendapat bahwa negeri itu tak mempunyai sumber daya alam yang bisa dikeruk oleh negara-negara Barat, sehingga terkesan adanya pembiaran terhadap konflik di sana.
Sepanjang pemahaman saya, konsep tanggungjawab untuk melindungi adalah revisi dari konsep intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention). Konsep intervensi kemanusiaan sangat identik dengan intervensi bersenjata oleh suatu negara atau koalisi negara ke negara lain yang dinilai gagal (failed state). Seiring berjalannya waktu, terjadi revisi terminologi dari intervensi kemanusiaan menjadi tanggungjawab untuk melindungi.
Spektrum konsep tanggungjawab untuk melindungi sekarang tidak terbatas pada upaya melindungi manusia dari genosida, tetapi sudah meluas hingga humanitarian assistance and disaster relief/HADR. Hal demikian bisa dilihat dalam kasus tsunami Aceh 2004. Soal ancaman genosida dijadikan alasan ketika Australia mengintervensi Timor Timur pada September 1999.
Isu intervensi kemanusiaan maupun tanggungjawab untuk melindungi tak dapat dipisah dari keterlibatan militer di dalamnya. Dari aspek operasi maritim, salah satu hal yang menarik dari konsep tanggungjawab untuk melindungi adalah dominannya peran kekuatan laut. Dalam banyak kasus, kekuatan laut memainkan peran yang dominan dan sekaligus signifikan.
Peran yang dilaksanakan tidak lepas dari penggunaan laut untuk proyeksi kekuatan. Dalam hal ini proyeksi kekuatan yang dilakukan adalah untuk MOOTW. Bagi Angkatan Laut yang tergolong major global force projection navy, medium global force projection navy maupun medium regional force projection navy, melaksanakan operasi dalam rangka tanggungjawab untuk melindungi bukan suatu hal yang sulit.
Lalu bagaimana dengan AL kita yang mungkin baru bisa digolongkan offshore territorial defence navy kalau meminjam pengelompokan yang dilakukan oleh Eric Grove? Hal yang paling realistis adalah bagaimana kita bisa melaksanakan tanggungjawab untuk melindungi terhadap warga negara Indonesia sendiri, khususnya yang berada di dalam negeri dan paling jauh di Asia Tenggara dan sekitarnya. Proyeksi kekuatan kita saat ini, dalam operasi non tempur laut, secara realistis baru bisa pada kawasan Asia Tenggara.
Modal untuk melaksanakan itu sudah ada. Kita mempunyai kapal rumah sakit, ada pula kapal LPD yang keduanya cocok untuk tugas-tugas kemanusiaan. Seperti kita ketahui, wilayah Indonesia merupakan ring of fire dan pertemuan lempeng bumi, sehingga rawan bencana. Kondisi demikian memunculkan tantangan bagi AL kita untuk melaksanakan tanggungjawab untuk melindungi.
Sebagai bangsa yang menurut Syafei Maarif pendek memori sejarahnya, bangsa Indonesia hendaknya tidak melupakan kasus Timor Timur 1999 dan tsunami Aceh 2004. Sebab ada pelajaran yang dapat ditarik dari situ, yang mungkin di masa depan dapat saja terulang. Pelajaran yang dimaksud adalah konsep tanggungjawab untuk melindungi (responsibility to protect).
Konsep tanggungjawab untuk melindungi pada awalnya ditujukan untuk mengatasi isu-isu kemanusiaan yang terkait dengan krisis kemanusiaan di Bosnia dan Rwanda akibat konflik bersenjata di kedua negeri. Konsep tanggungjawab untuk melindungi kemunculannya merupakan hasil kerja politik negara-negara Barat. Masalahnya bagi negara-negara berkembang, seringkali terdapat agenda politik negara-negara Barat yang tersembunyi di balik konsep itu.
Misalnya ketika di suatu negara berkembang muncul konflik bersenjata yang mengkhawatirkan stabilitas kawasan sekitarnya. Belum tentu negara-negara Barat, utamanya yang mempunyai hak veto di Dewan Keamanan PBB, akan menyetujui pengiriman pasukan perdamaian. Alasannya bisa macam-macam, tetapi di balik itu patut dicurigai ada agenda politik.
Lihatlah kasus Somalia yang sampai sekarang belum selesai juga, padahal negeri itu sudah bergejolak sejak 1991. Mengapa intervensi PBB atau negara-negara Barat terhenti? Ada pendapat bahwa negeri itu tak mempunyai sumber daya alam yang bisa dikeruk oleh negara-negara Barat, sehingga terkesan adanya pembiaran terhadap konflik di sana.
Sepanjang pemahaman saya, konsep tanggungjawab untuk melindungi adalah revisi dari konsep intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention). Konsep intervensi kemanusiaan sangat identik dengan intervensi bersenjata oleh suatu negara atau koalisi negara ke negara lain yang dinilai gagal (failed state). Seiring berjalannya waktu, terjadi revisi terminologi dari intervensi kemanusiaan menjadi tanggungjawab untuk melindungi.
Spektrum konsep tanggungjawab untuk melindungi sekarang tidak terbatas pada upaya melindungi manusia dari genosida, tetapi sudah meluas hingga humanitarian assistance and disaster relief/HADR. Hal demikian bisa dilihat dalam kasus tsunami Aceh 2004. Soal ancaman genosida dijadikan alasan ketika Australia mengintervensi Timor Timur pada September 1999.
Isu intervensi kemanusiaan maupun tanggungjawab untuk melindungi tak dapat dipisah dari keterlibatan militer di dalamnya. Dari aspek operasi maritim, salah satu hal yang menarik dari konsep tanggungjawab untuk melindungi adalah dominannya peran kekuatan laut. Dalam banyak kasus, kekuatan laut memainkan peran yang dominan dan sekaligus signifikan.
Peran yang dilaksanakan tidak lepas dari penggunaan laut untuk proyeksi kekuatan. Dalam hal ini proyeksi kekuatan yang dilakukan adalah untuk MOOTW. Bagi Angkatan Laut yang tergolong major global force projection navy, medium global force projection navy maupun medium regional force projection navy, melaksanakan operasi dalam rangka tanggungjawab untuk melindungi bukan suatu hal yang sulit.
Lalu bagaimana dengan AL kita yang mungkin baru bisa digolongkan offshore territorial defence navy kalau meminjam pengelompokan yang dilakukan oleh Eric Grove? Hal yang paling realistis adalah bagaimana kita bisa melaksanakan tanggungjawab untuk melindungi terhadap warga negara Indonesia sendiri, khususnya yang berada di dalam negeri dan paling jauh di Asia Tenggara dan sekitarnya. Proyeksi kekuatan kita saat ini, dalam operasi non tempur laut, secara realistis baru bisa pada kawasan Asia Tenggara.
Modal untuk melaksanakan itu sudah ada. Kita mempunyai kapal rumah sakit, ada pula kapal LPD yang keduanya cocok untuk tugas-tugas kemanusiaan. Seperti kita ketahui, wilayah Indonesia merupakan ring of fire dan pertemuan lempeng bumi, sehingga rawan bencana. Kondisi demikian memunculkan tantangan bagi AL kita untuk melaksanakan tanggungjawab untuk melindungi.
2 komentar:
Saya sangat tertarik membaca ulasan bapak mengenai konsep-konsep R2P di blog ini. Pada kasus Tsunami Aceh 2004 misalnya, Indonesia membuka diri terhadap berbagi bantuan asing (termasuk militer asing!). Bagi orang awam, kebanyakan sangat mengapresiasi segala bentuk bantuan dari pihak asing. Namun dari perspektif keamanan nasional, bagaimana pandangan bapak mengenai hal tersebut? Hal-hal apa saja yang menjadi catatan bapak, terkait dengan potensi ancaman keamanan yang dapat dialami oleh negara kita saat itu. Terima kasih. (Martina - Universitas Pertahanan Indonesia, Program Studi Manajemen Bencana untuk Keamanan Nasional).
Bingkai besar RTP adalah human security. Secara normatif human security baik-baik saja, tetapi ketika sudah bercampur dengan aspek politik, hasilnya akan bias. Dari situlah kemudian muncul suara minor terhadap RTP karena ada sinyalemen standar ganda dari kekuatan besar yang mampu melaksanakan RTP.
Indonesia potensial untuk RTP, baik karena man-made disaster (konflik dll) maupun natural disaster. Merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi warga negaranya dari ancaman dan tantangan apapun, termasuk dua kategori disaster itu. Kalau pemerintah mampu, jangan salahkan kalau ada pihak lain yang masuk. Masuknya pihak lain pasti memiliki agenda politik tertentu, minimal memperkuat pengaruh mereka di wilayah RI. Agenda yang lebih besar mungkin soal penguasaan sumberdaya alam dan lain sebagainya. Sebagai contoh, apa benar tak ada pengaruh dua tetangga Indonesia di rantau Melayu terhadap wilayah Aceh pasca tsunami 2004?
Kata kuncinya adalah pemahaman pemerintah terhadap konsep RTP dalam tataran operasional/empiris, bukan tataran teoritis. Kalau pemerintah paham, seharusnya juga paham apa yang harus dilakukan. Setidaknya RTP asing dapat diminimalkan. Artinya, jangan kita jadi penonton di negeri sendiri dalam isu RTP.
Posting Komentar