All hands,
Dewan Keamanan PBB sebagai instrumen PBB di bidang keamanan dunia mempunyai tiga agenda tiga serangkai yang satu sama lain saling terkait. Ketiga agenda tersebut adalah peace, security and disarmament. Sebagian besar pihak di Indonesia tidak aware, apalagi paham akan agenda tersebut. Padahal agenda itu mempunyai keterkaitan langsung dengan kekuatan militer negeri ini, termasuk di dalamnya AL kita.
Bagi Dewan Keamanan PBB, peace and security merupakan agenda mutlak dan tidak bisa dikompromikan. Meskipun memang dalam pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh agenda lima negara pemegang hak veto di badan itu, yang dapat dilihat dari berbagai kasus, termasuk perang di Jalur Gaza, Palestina. Memang resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai dasar bertindak PBB pada dasarnya merupakan kompromi antara kelima negara “pemilik” Dewan Keamanan itu.
Untuk mewujudkan peace and security, Dewan Keamanan PBB melihat pentingnya disarmament. Disarmament yang dimaksud di sini adalah pada senjata konvensional, bukan senjata nuklir. Agenda disarmament PBB memang pada senjata konvensional, dengan alasan senjata itu telah memakan korban yang lebih banyak daripada senjata nuklir.
Dengan kata lain, negara-negara berkembang yang menjadi sasaran disarmament. Negara berkembang yang bagaimana? Yaitu negara berkembang yang tidak kooperatif dengan salah satu atau beberapa anggota tetap Dewan Keamanan.
Soal conventional weapon disarmament memang isu rumit, karena di sisi lain semua negara pemegang hak veto perekonomiannya juga ditunjang oleh bisnis penjualan senjata itu. Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat menutup kran ekspor senjata mematikan dan canggih kepada Indonesia, peluang itu dimanfaatkan oleh Rusia untuk mengisi pasar yang ditinggalkan Rusia. Dan Rusia tidak tanggung-tanggung mengisi pasar itu, dengan memberikan senjata-senjata berteknologi lebih maju daripada yang pernah dijual oleh Amerika Serikat kepada negeri ini.
Kaitannya dengan AL kita, kita sudah merasakan betapa AL kita diembargo oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Agenda embargo sangat keliru kalau hanya dilihat sebagai hukuman atas tuduhan pelanggaran HAM oleh pihak tertentu di negeri ini, tetapi harus dipandang lebih luas. Yaitu pihak-pihak di luar sana tak ingin melihat Indonesia mempunyai kekuatan AL yang mumpuni di kawasan.
Selain embargo, bentuk lain dalam naval disarmament adalah pembatasan jenis senjata yang boleh dijual kepada Indonesia. Bagi Washington dan sekutunya, rudal jelajah seperti Yakhont haram untuk dipunyai Indonesia, namun halal bila dimiliki oleh Singapura. Sadarkah kita bahwa selama ini AL kita digerogoti potensi kekuatannya melalui pembatasan jenis senjata strategis yang bisa dibeli dari pasar Barat?
Untuk menghadapi naval disarmament dari Barat, selain berpaling kepada Rusia sebenarnya masih harus ada cara lain yang juga ditempuh secara simultan. Yaitu manfaatkan agenda peace and security sebagai alasan membangun AL kita. Dengan kata lain, kita membangun AL demi stabilitas kawasan. Ini adalah bahasa politik universal yang gampang dipahami oleh siapa pun di Dewan Keamanan PBB.
Untuk mendukung dalih itu, partisipasi unsur kapal perang AL kita dalam maritime peacekeeping operations harus ditingkatkan. Deployment KRI Diponegoro-365 ke Lebanon pada Februari 2009 dalam rangka bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force harus dimaknai sebagai langkah awal. Langkah berikutnya harus ditempuh untuk menunjukkan komitmen Indonesia terhadap stabilitas kawasan dan dunia. Entah itu ke Somalia atau ke wilayah lainnya, dengan catatan berada di bawah payung resolusi Dewan Keamanan PBB.
Dewan Keamanan PBB sebagai instrumen PBB di bidang keamanan dunia mempunyai tiga agenda tiga serangkai yang satu sama lain saling terkait. Ketiga agenda tersebut adalah peace, security and disarmament. Sebagian besar pihak di Indonesia tidak aware, apalagi paham akan agenda tersebut. Padahal agenda itu mempunyai keterkaitan langsung dengan kekuatan militer negeri ini, termasuk di dalamnya AL kita.
Bagi Dewan Keamanan PBB, peace and security merupakan agenda mutlak dan tidak bisa dikompromikan. Meskipun memang dalam pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh agenda lima negara pemegang hak veto di badan itu, yang dapat dilihat dari berbagai kasus, termasuk perang di Jalur Gaza, Palestina. Memang resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai dasar bertindak PBB pada dasarnya merupakan kompromi antara kelima negara “pemilik” Dewan Keamanan itu.
Untuk mewujudkan peace and security, Dewan Keamanan PBB melihat pentingnya disarmament. Disarmament yang dimaksud di sini adalah pada senjata konvensional, bukan senjata nuklir. Agenda disarmament PBB memang pada senjata konvensional, dengan alasan senjata itu telah memakan korban yang lebih banyak daripada senjata nuklir.
Dengan kata lain, negara-negara berkembang yang menjadi sasaran disarmament. Negara berkembang yang bagaimana? Yaitu negara berkembang yang tidak kooperatif dengan salah satu atau beberapa anggota tetap Dewan Keamanan.
Soal conventional weapon disarmament memang isu rumit, karena di sisi lain semua negara pemegang hak veto perekonomiannya juga ditunjang oleh bisnis penjualan senjata itu. Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat menutup kran ekspor senjata mematikan dan canggih kepada Indonesia, peluang itu dimanfaatkan oleh Rusia untuk mengisi pasar yang ditinggalkan Rusia. Dan Rusia tidak tanggung-tanggung mengisi pasar itu, dengan memberikan senjata-senjata berteknologi lebih maju daripada yang pernah dijual oleh Amerika Serikat kepada negeri ini.
Kaitannya dengan AL kita, kita sudah merasakan betapa AL kita diembargo oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Agenda embargo sangat keliru kalau hanya dilihat sebagai hukuman atas tuduhan pelanggaran HAM oleh pihak tertentu di negeri ini, tetapi harus dipandang lebih luas. Yaitu pihak-pihak di luar sana tak ingin melihat Indonesia mempunyai kekuatan AL yang mumpuni di kawasan.
Selain embargo, bentuk lain dalam naval disarmament adalah pembatasan jenis senjata yang boleh dijual kepada Indonesia. Bagi Washington dan sekutunya, rudal jelajah seperti Yakhont haram untuk dipunyai Indonesia, namun halal bila dimiliki oleh Singapura. Sadarkah kita bahwa selama ini AL kita digerogoti potensi kekuatannya melalui pembatasan jenis senjata strategis yang bisa dibeli dari pasar Barat?
Untuk menghadapi naval disarmament dari Barat, selain berpaling kepada Rusia sebenarnya masih harus ada cara lain yang juga ditempuh secara simultan. Yaitu manfaatkan agenda peace and security sebagai alasan membangun AL kita. Dengan kata lain, kita membangun AL demi stabilitas kawasan. Ini adalah bahasa politik universal yang gampang dipahami oleh siapa pun di Dewan Keamanan PBB.
Untuk mendukung dalih itu, partisipasi unsur kapal perang AL kita dalam maritime peacekeeping operations harus ditingkatkan. Deployment KRI Diponegoro-365 ke Lebanon pada Februari 2009 dalam rangka bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force harus dimaknai sebagai langkah awal. Langkah berikutnya harus ditempuh untuk menunjukkan komitmen Indonesia terhadap stabilitas kawasan dan dunia. Entah itu ke Somalia atau ke wilayah lainnya, dengan catatan berada di bawah payung resolusi Dewan Keamanan PBB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar