All hands,
Sistem senjata Angkatan Laut senantiasa harus disesuaikan dengan karakteristik perairan di mana sistem senjata tersebut beroperasi. Dengan status sebagai blue-water navy, merupakan hal yang lumrah bila kapal kombatan U.S. Navy tonasenya minimal 4.000 ton. Sebab kapal perang itu beroperasi di laut lepas yang membutuhkan kapal bertonase besar. Sebaliknya, Angkatan Laut yang tidak menyandang gelar blue-water navy sebagian besar kapal kombatannya bertonase antara 1.500 -3.000 ton.
Karakteristik perairan Indonesia apabila dikalkulasi secara garis besar terdiri atas 40 persen perairan dangkal dan 60 persen perairan dalam. Perairan dalam itu biasanya merupakan open sea, misalnya Samudera India, Laut Banda dan Laut Natuna. Untuk dapat beroperasi di perairan dalam yang sekaligus merupakan open sea, diperlukan kapal perang dengan tonase besar. Memang betul bahwa kapal perang dengan tonase kecil dapat saja beroperasi di perairan itu, namun apabila kondisi laut tidak bersahabat maka fokus kru kapal bukan lagi pada operasi yang dilaksanakan, tetapi bagaimana agar kapal itu selamat dan secepatnya keluar dari perairan tersebut.
Dalam tulisan ini pembahasan difokuskan pada kapal kombatan saja. Selama ini kapal kombatan yang memperkuat susunan tempur AL kita terdiri dari fregat dan korvet. Namun sejak pengadaan korvet Kelas Van Speijk pada pertengahan 1980-an, hingga saat ini belum pernah dilakukan lagi pengadaan fregat. Dengan alasan keterbatasan anggaran, pengadaan kapal kombatan sepertinya lebih menekankan pada jenis korvet. Perbedaan fregat dan korvet selain pada dimensi, juga mencakup tonase.
Terkait dengan hal tersebut, selama ini ada pemikiran agar kapal kombatan AL kita dipersenjatai secara memadai. Misalnya untuk kemampuan peperangan udara yang diakui masih belum maksimal. Pemikiran demikian betul dan memang kebutuhan AL kita kini dan ke depan.
Pemikiran demikian untuk diwujudkan ke dalam alam nyata membutuhkan kesepakatan di antara kita sendiri, dalam hal ini AL. Yaitu mempersenjatai suatu kapal kombatan secara memadai membutuhkan dimensi kapal yang lebih panjang dan otomatis tonasenya besar. Dengan kata lain, menuntut suatu korvet untuk mempunyai tiga kemampuan peperangan bukanlah suatu hal yang bijaksana.
Sebab untuk menempatkan sistem senjata yang diinginkan harus berkompromi pula dengan sistem rancang bangun kapal tersebut. Dengan asumsi bahwa panjang suatu korvet 90 meter, sudah merupakan keharusan adanya kompromi dalam kompartementasi ruang sepanjang 90 meter itu. Artinya ada ruang untuk mesin, pengawak, anjungan, PIT, sistem senjata dan lain sebagainya. Belum lagi bila ada tuntutan kapal itu harus mempunyai heli deck.
Artinya, dengan kapal jenis korvet, sulit untuk memenuhi aspirasi agar kapal kombatan yang kita beli mempunyai senjata secara memadai. Sebab ruang yang tersedia di kapal ukuran itu memang terbatas. Dengan keterbatasan yang ada pada korvet, mungkin lebih tepat bila kapal itu didedikasikan pada satu spesialisasi saja. Misalnya AKS seperti yang dianut oleh desain korvet Parchim atau AKPA.
Alasan mengapa selama ini program pengadaan baru dijatuhkan pada jenis korvet sudah pasti menyangkut anggaran. Kalau demikian alasannya, mungkin Indonesia sebaiknya mencoba menjajaki produsen lain selain Eropa yang mampu menyediakan sistem senjata yang modern, berkualitas, dukungan logistik terjamin dan dari segi harga lebih murah. Sebab ada pendapat yang belum tentu benar bahwa korvet yang dibeli dari segi harga tidak berbanding lurus dengan sistem senjata yang dipasang di kapal tersebut.
Konon kabarnya, India berani menawarkan harga US$ 150 juta untuk tipe korvet kepada negara-negara yang berminat. Harga itu sudah termasuk sistem senjata. Dapat dipastikan kapal itu buatan galangan negeri itu. Dan kualitas kapal perang buatan India jangan dipandang sebelah mata.
Kalau untuk korvet saja India berani dengan harga US$ 150 juta, menurut hemat saya, berarti fregat buatan negeri itu harganya di kisaran US$ 200-250 juta. Kisaran itu termasuk murah, karena kalau dana dengan kisaran itu dibelanjakan di Eropa, Indonesia hanya mendapat tipe korvet.
Sistem senjata Angkatan Laut senantiasa harus disesuaikan dengan karakteristik perairan di mana sistem senjata tersebut beroperasi. Dengan status sebagai blue-water navy, merupakan hal yang lumrah bila kapal kombatan U.S. Navy tonasenya minimal 4.000 ton. Sebab kapal perang itu beroperasi di laut lepas yang membutuhkan kapal bertonase besar. Sebaliknya, Angkatan Laut yang tidak menyandang gelar blue-water navy sebagian besar kapal kombatannya bertonase antara 1.500 -3.000 ton.
Karakteristik perairan Indonesia apabila dikalkulasi secara garis besar terdiri atas 40 persen perairan dangkal dan 60 persen perairan dalam. Perairan dalam itu biasanya merupakan open sea, misalnya Samudera India, Laut Banda dan Laut Natuna. Untuk dapat beroperasi di perairan dalam yang sekaligus merupakan open sea, diperlukan kapal perang dengan tonase besar. Memang betul bahwa kapal perang dengan tonase kecil dapat saja beroperasi di perairan itu, namun apabila kondisi laut tidak bersahabat maka fokus kru kapal bukan lagi pada operasi yang dilaksanakan, tetapi bagaimana agar kapal itu selamat dan secepatnya keluar dari perairan tersebut.
Dalam tulisan ini pembahasan difokuskan pada kapal kombatan saja. Selama ini kapal kombatan yang memperkuat susunan tempur AL kita terdiri dari fregat dan korvet. Namun sejak pengadaan korvet Kelas Van Speijk pada pertengahan 1980-an, hingga saat ini belum pernah dilakukan lagi pengadaan fregat. Dengan alasan keterbatasan anggaran, pengadaan kapal kombatan sepertinya lebih menekankan pada jenis korvet. Perbedaan fregat dan korvet selain pada dimensi, juga mencakup tonase.
Terkait dengan hal tersebut, selama ini ada pemikiran agar kapal kombatan AL kita dipersenjatai secara memadai. Misalnya untuk kemampuan peperangan udara yang diakui masih belum maksimal. Pemikiran demikian betul dan memang kebutuhan AL kita kini dan ke depan.
Pemikiran demikian untuk diwujudkan ke dalam alam nyata membutuhkan kesepakatan di antara kita sendiri, dalam hal ini AL. Yaitu mempersenjatai suatu kapal kombatan secara memadai membutuhkan dimensi kapal yang lebih panjang dan otomatis tonasenya besar. Dengan kata lain, menuntut suatu korvet untuk mempunyai tiga kemampuan peperangan bukanlah suatu hal yang bijaksana.
Sebab untuk menempatkan sistem senjata yang diinginkan harus berkompromi pula dengan sistem rancang bangun kapal tersebut. Dengan asumsi bahwa panjang suatu korvet 90 meter, sudah merupakan keharusan adanya kompromi dalam kompartementasi ruang sepanjang 90 meter itu. Artinya ada ruang untuk mesin, pengawak, anjungan, PIT, sistem senjata dan lain sebagainya. Belum lagi bila ada tuntutan kapal itu harus mempunyai heli deck.
Artinya, dengan kapal jenis korvet, sulit untuk memenuhi aspirasi agar kapal kombatan yang kita beli mempunyai senjata secara memadai. Sebab ruang yang tersedia di kapal ukuran itu memang terbatas. Dengan keterbatasan yang ada pada korvet, mungkin lebih tepat bila kapal itu didedikasikan pada satu spesialisasi saja. Misalnya AKS seperti yang dianut oleh desain korvet Parchim atau AKPA.
Alasan mengapa selama ini program pengadaan baru dijatuhkan pada jenis korvet sudah pasti menyangkut anggaran. Kalau demikian alasannya, mungkin Indonesia sebaiknya mencoba menjajaki produsen lain selain Eropa yang mampu menyediakan sistem senjata yang modern, berkualitas, dukungan logistik terjamin dan dari segi harga lebih murah. Sebab ada pendapat yang belum tentu benar bahwa korvet yang dibeli dari segi harga tidak berbanding lurus dengan sistem senjata yang dipasang di kapal tersebut.
Konon kabarnya, India berani menawarkan harga US$ 150 juta untuk tipe korvet kepada negara-negara yang berminat. Harga itu sudah termasuk sistem senjata. Dapat dipastikan kapal itu buatan galangan negeri itu. Dan kualitas kapal perang buatan India jangan dipandang sebelah mata.
Kalau untuk korvet saja India berani dengan harga US$ 150 juta, menurut hemat saya, berarti fregat buatan negeri itu harganya di kisaran US$ 200-250 juta. Kisaran itu termasuk murah, karena kalau dana dengan kisaran itu dibelanjakan di Eropa, Indonesia hanya mendapat tipe korvet.
1 komentar:
Saya juga setuju kalau kita coba melirik ke India, tahun lalu saya liat helikopter Dhruv punya AL India sepertiny cukup bagus. Apalagi kalau bisa kita produksi dengan cara joint production dengan PT.DI.Coba deh bung,kasih masukan ke Dephan agar kita juga harus liat negeri2 lainnya yang mungkin bisa memasok alutsista kita seperti Brazil, India, Afrika Selatan, Swiss dll.
Posting Komentar