31 Juli 2010

Kerjasama Indonesia-Amerika Serikat Di Laut Cina Selatan

All hands,
Indonesia sepakat menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat dalam isu Laut Cina Selatan, sebagaimana dibahas dalam kunjungan Menteri Pertahanan Robert Gates ke Jakarta beberapa waktu lalu. Kesepakatan kerjasama ini bersifat krusial, sebab kedua negara secara langsung memiliki kepentingan vital di perairan tersebut. Bagi Washington, terciptanya kebebasan bernavigasi di Laut Cina Selatan merupakan hal yang tidak bisa dikompromikan. Adapun bagi Jakarta, keutuhan wilayahnya di Laut Natuna yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan yang diklaim pula oleh Beijing adalah suatu isu yang tidak bisa ditawar.
Pertanyaannya adalah bagaimana implementasi kerjasama tersebut? Kalau ada pihak di Indonesia yang berharap Jakarta menjadi mediator di perairan itu, rasanya sulit. Sebab Jakarta mempunyai pula kepentingan vital di sana. Peluang kerjasama yang dapat dilaksanakan oleh Jakarta dan Washington adalah kerjasama di bidang pertahanan dan atau pencegahan konflik.
Kerjasama pertama berarti mengharuskan ada bantuan teknis dalam rangka capacity building kekuatan laut Indonesia, misalnya bantuan kapal kombatan jenis fregat. Dapat pula kerjasama intelijen maritim. Sedangkan kerjasama kedua bisa berbentuk kegiatan-kegiatan yang bertujuan mencegah konflik di Laut Cina Selatan. Untuk kerjasama yang kedua, dibutuhkan partisipasi dari negara-negara lain di luar Indonesia dan Amerika Serikat, termasuk Cina sendiri di dalamnya.
Lalu mana yang sebenarnya menjadi pilihan Indonesia? Bagaimana pula kerjasama itu dari perspektif Amerika Serikat? Semua itu harus dirumuskan oleh para pejabat senior kedua negara, khususnya pejabat-pejabat pertahanan dan militer.

30 Juli 2010

Skenario Kelangkaan Energi

All hands,
Skenario kelangkaan energi kini telah masuk dalam perencanaan militer di berbagai negara. Kelangkaan energi dapat memicu konflik antar negara, khususnya antara negara pengguna energi dengan negara pemilik energi. Di Indonesia, soal kelangkaan energi juga menjadi salah satu pertimbangan kemungkinan adanya konflik di masa depan.
Namun demikian, perlu dicermati dengan matang skenario tersebut agar pembangunan kekuatan militer negeri ini tidak keliru. Di manakah wilayah yang berpotensi menjadi tempat konflik akibat skenario kelangkaan energi? Apakah di daratan atau di lautan?
Ada pendapat bahwa negara tertentu akan menginvasi Indonesia karena kelangkaan energi. Invasi dilakukan terhadap wilayah daratan kaya minyak di Negeri Nusantara? Seberapa kuatkah validitas pendapat tersebut?
Memperhatikan perkembangan eksploitasi energi di Indonesia, khususnya minyak dan gas bumi, sumber eksploitasi di daratan kian sedikit. Daerah-daerah penghasil minyak dan gas yang besar pada abad ke-20 kini tengah memasuki masa kemunduran. Contohnya adalah ladang gas Arun di Aceh dan segera disusul oleh ladang gas Badak di Kalimantan Timur dan ladang minyak di daratan Riau. Dalam 20-30 tahun ke depan, dua wilayah yang terakhir disebut akan melepas status sebagai daerah penghasil energi.
Sebaliknya, mayoritas eksploitasi energi di Indonesia kini telah bergeser ke lautan dalam, baik di laut teritorial maupun di ZEE. Konflik Indonesia dengan Negeri Tukang Klaim di Laut Sulawesi adalah karena perebutan sumber energi. Laut Natuna adalah sumber ladang minyak dan gas bumi penting lainnya di Indonesia, di mana gas dari perairan itu memasok energi dan menggerakkan ekonomi negeri penampung koruptor asal Indonesia. Wilayah perairan Natuna diklaim oleh Cina melalui sembilan garis putus-putus dalam peta resmi negeri yang haus energi tersebut.
Dari gambaran makro tersebut, menjadi jelas sebenarnya di mana wilayah potensial konflik energi di masa depan. Menjadi jelas pula kekuatan militer mana yang harus dibangun untuk menghadapi skenario tersebut.

29 Juli 2010

Latihan Invasi Ke Natuna?

All hands,
Menurut sebuah media internasional terkemuka melaporkan bahwa pada awal Juli 2010 LCAC No.3320 milik Cina mengadakan latihan pendaratan di dekat Kepulauan Natuna. Laporan media itu bersumber dari laporan media Cina yang dikendalikan oleh pemerintah. Dengan asumsi bahwa laporan media milik pemerintah Cina itu betul dan bukan hoax, situasi demikian perlu diwaspadai oleh Indonesia ke depan. Asumsi orang awam saja akan berkesimpulan bahwa ada niat tertentu dengan latihan di dekat Kepulauan Natuna, apalagi apabila yang menganalisisnya pihak militer.
Latihan menggunakan kapal pendarat berarti latihan pendaratan amfibi dan karena mengambil lokasi di dekat perbatasan negara lain, tidak lain adalah dalam rangka proyeksi kekuatan. Kalau terminologi di Angkatan Laut adalah proyeksi kekuatan, dalam istilah di dunia politik dikenal sebagai invasi. Dalam konteks Kepulauan Natuna, wilayah itu sebagian termasuk dalam sembilan garis putus-putus dalam peta maritim yang diterbitkan oleh Beijing. Bagi Indonesia, sembilan garis putus-putus diartikan sebagai klaim wilayah Cina terhadap wilayah kedaulatannya sepanjang tidak ada penjelasan yang memuaskan oleh Cina terhadap isu tersebut.
Mengacu pada informasi dari sumber terbuka, LCAC tersebut diklasifikasikan sebagai kelas Yuyi yang mampu mengangkut MBT jenis Type 96. Tanpa perlu mengumpulkan informasi detail lebih jauh, sudah dapat ditebak apa yang hendak dilakukan oleh Cina dengan LCAC kelas Yuyi di Natuna. Situasi ini hendaknya menjadi peringatan bagi Indonesia untuk memperkuat pertahanan di Natuna dari kemungkinan invasi asing, meskipun dalam intelijen hal yang paling sulit dan menjadi teka-teki adalah kapan invasi itu akan dilaksanakan. Bukan lagi soal apakah pihak yang berpotensi melakukan invasi mempunyai niat dan kemampuan.

28 Juli 2010

Desakralisasi Kebijakan Luar Negeri

All hands,
Kebijakan pertahanan bukan merupakan subordinasi dari kebijakan luar negeri, sebagaimana halnya Departemen Pertahanan bukan subordinasi dari Departemen Luar Negeri. Kedudukan antara dua kebijakan tersebut adalah setara. Selama ini ada pandangan keliru di lingkungan pertahanan dan militer Indonesia tentang posisi kebijakan luar negeri. Seolah-olah kebijakan pertahanan harus selalu tunduk kepada kebijakan luar negeri, walaupun hal itu mungkin akan menimbulkan kerugian pada kebijakan pertahanan.
Kebijakan pertahanan dalam jangka waktu tertentu selalu mengalami perubahan yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Tanpa perubahan itu, domain pertahanan Indonesia niscaya tidak akan bisa merespon dinamika yang berkembang. Harap diingat bahwa dalam pergaulan antar bangsa, tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Situasi demikian berimbas pula pada kebijakan pertahanan.
Namun sangat disayangkan kebijakan luar negeri Indonesia dari usia republik ini baru tiga tahun hingga kini tidak berubah. Bahkan terkesan kebijakan itu bagaikan kitab suci dan kedudukannya sudah setara dengan Pancasila dalam tataran ketatanegaraan. Undang-undang Dasar 1945 yang sudah empat kali diamandemen pun masih kalah sakti dibandingkan kebijakan luar negeri. Padahal kedudukan kebijakan luar negeri merupakan subordinasi dari konstitusi.
Dari kacamata pertahanan, menurut hemat saya, sudah banyak kerugian non material dan material yang diderita Indonesia karena sakralisasi kebijakan luar negeri. Kerugian itu tidak terekspos selama ini karena memang tidak ada yang tertarik untuk mendalaminya, namun terasa dampaknya bagi pertahanan Nusantara. Oleh karena itu, sudah waktunya untuk mendesakralisasi kebijakan luar negeri Indonesia.
Indonesia butuh kawan dalam mempertahankan diri dan kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi selama pengambil kebijakan di negeri ini tidak berani melakukan desakralisasi kebijakan luar negeri.

27 Juli 2010

Desakralisasi Baret

All hands,
Apabila dicermati, dewasa ini dalam banyak kesatuan militer di Indonesia terjadi desakralisasi baret. Setidaknya sampai pertengahan 1990-an, pemakaian baret hanya diperuntukkan bagi satuan khusus atau satuan elit. Biasanya yang menggunakan penutup kepala jenis ini adalah satuan tempur, semisal Marinir atau Kopaska di Angkatan Laut. Namun seiring dengan berjalannya waktu, baret dipakai secara meluas di lingkungan satuan militer reguler. Sehingga disadari atau tidak, kebanggaan menggunakan baret yang sebelumnya terkesan sakral mengalami desakralisasi. Di luar lingkungan Angkatan Laut misalnya, ada satuan-satuan yang selama ini tidak dipandang elit kini diperbolehkan menggunakan baret sebagai penutup kepala mereka.
Sebenarnya desakralisasi baret bukan cuma terjadi di tubuh militer Indonesia, tetapi melanda pula di organisasi Angkatan Bersenjata negara maju seperti Amerika Serikat. Sebagai ilustrasi, sejak awal 2000-an pasukan reguler Angkatan Darat Uwak Sam menggunakan baret hitam. Pemakaian itu mendapat kritik keras dari para mantan personel U.S. Army Special Forces yang dikenal sebagai The Green Berets. Kebijakan demikian dipandang oleh para eks anggota pasukan khusus itu sebagai menurunkan nilai pemakaian baret yang sebelumnya identik dengan pasukan khusus atau pasukan elit.
Adapun di Angkatan Laut Amerika Serikat, sepengetahuan saya mereka tidak menggunakan baret, setidaknya di kapal perang. Yang dimaksud dengan Angkatan Laut Amerika Serikat di sini adalah di luar U.S. Marine Corps. Tidak adanya pemakaian baret itu bisa jadi karena pertimbangan operasional, di mana pemakaian baret di kapal perang akan merepotkan, khususnya ketika harus melakukan kegiatan di dek bagian laur yang bersinggungan langsung dengan kencangnya hembusan angin laut. Tentu akan merepotkan antara mengurusi baret di tengah hembusan angin kencang dengan berkonsentrasi pada tugas-tugas yang diperankan.
Sebagai ganti dari baret, para pelaut Amerika Serikat biasanya menggunakan dop sebagai ciri khas Angkatan Laut pada saat menjalankan kegiatan di dek bagian luar yang bersinggungan langsung dengan angin laut. Bagi perwira dan NCO, mereka menggunakan pet Angkatan Laut yang dilengkapi dengan tali yang dikaitkan pada dagu untuk mencegah pet mereka terbawa angin. Tidak jarang pula mereka menggunakan pet lapangan untuk beberapa peran di kapal, seperti peran lambung.
Ditinjau dari aspek filosofis desain busana, pemilihan suatu jenis seragam ---termasuk di dalamnya penutup kepala--- dilakukan berdasarkan pertimbangan kenyamanan pemakaian, lingkungan kerjanya di mana, pertimbangan keselamatan dan lain sebagainya. Sebaiknya hal demikian juga diperhatikan di Indonesia.

26 Juli 2010

Desakralisasi Mitos Non Intervensi Militer Cina

All hands,
Ketika ada berbagai kritikan terhadap pembangunan kekuatan militer Cina, terdapat satu jawaban klasik yang disampaikan oleh Beijing. Beijing berkilah bahwa di masa lalu, maksudnya di masa berbentuk kerajaan, Cina tidak pernah melakukan intervensi (baca: invasi) ke negara-negara lain. Sejarah Cina di masa lalu, masih menurut jawaban ini, berbeda dengan sejarah Barat yang penuh dengan catatan hitam kolonialisme terhadap bangsa kulit berwarna.
Pertanyaannya, benarkah jawaban klasik yang selalu digemakan oleh Beijing tersebut? Setiap bangsa pasti ingin mempertahankan eksistensinya selama mungkin dan itu adalah hukum alam. Untuk mempertahankan eksistensinya, maka dirumuskan hal-hal yang strategis dan vital menyangkut kehidupan bangsa tersebut. Dalam ilmu politik, hal itu dikenal sebagai kepentingan nasional.
Demi kepentingan nasional, suatu bangsa rela menempuh jalan apapun, meskipun dikutuk dan dimaki oleh umat manusia di luar bangsa itu. Lihat saja perilaku Amerika Serikat dan Israel misalnya dalam mempertahankan eksistensi mereka. Afghanistan, Irak, Iran dan Palestina adalah beberapa deret bangsa lain yang menjadi tumbal kepentingan nasional Washington dan Tel Aviv.
Cina tidak dapat pula menghindar dari hukum alam itu. Demi kepentingan nasionalnya, apapun akan ditempuh, termasuk intervensi militer ke negara-negara lain. Soal intervensi ini bukan sebatas Taiwan, tetapi juga akan menjangkau kawasan Laut Cina Selatan dan Asia Tenggara. Yang menjadi pertanyaan hanya soal kapan waktu intervensi tersebut akan terjadi, bukan apakah akan ada intervensi atau tidak. Soal faktor pendorong intervensi bisa berupa soal sengketa wilayah, dapat pula soal keamanan SLOC-nya, boleh pula untuk melindungi keturunan Cina di Asia Tenggara.

25 Juli 2010

Cina Dan Ekuilibrium Kawasan Asia Pasifik

All hands,
Dalam urusan sengketa wilayah dengan negara-negara lain, Cina dikenal selalu bersikap asertif. Hal itu telah berlangsung sejak lama dan bukan baru beberapa tahun terakhir. Sikap asertif Cina tersebut perlu diwaspadai seiring meningkatnya pembangunan kekuatan militer negeri itu, termasuk pembangunan kekuatan laut.
Pembangunan kekuatan laut Cina harus dinilai secara berhati-hati agar jangan sampai terjebak pada sikap melebih-lebihkan. Misalnya, apabila Beijing telah selesai melakukan perbaikan terhadap bekas kapal induk eks Rusia dan melengkapi kapal itu dengan pesawat tempur, maka secara teoritis kemampuan proyeksi kekuatannya meningkat. Namun dalam praktek, peningkatan kemampuan proyeksi itu diragukan ketika membahas proyeksi kekuatan menggunakan kapal induk.
Sebab di situ harus melakukan penilaian kembali terhadap bagaimana kemampuan melindungi konvoi kapal induk itu. Yang tercakup dengan kemampuan itu antara lain peperangan permukaan dan anti permukaan, peperangan anti kapal selam anti kapal selam, peperangan udara dan anti udara dan peperangan elektronika dan anti elektronika. Begitu pula dengan soal kodal konvoi tersebut, baik antar unsur dalam konvoi maupun dengan markas operasional di daratan Cina.
Lepas dari itu semua, terkait dengan sikap asertif Cina maka ke depan ekuilibrium kawasan akan terganggu. Mengapa terganggu? Laju pembangunan kekuatan militer Cina tidak bisa diimbangi secara proporsional oleh negara-negara lain di Asia Pasifik, kecuali Amerika Serikat dan Jepang. Ketidakmampuan itu akan menimbulkan ketidakseimbangan kekuatan di kawasan, karena Cina merasa dirinya lebih superior sehingga semakin asertif terhadap negara-negara lain yang mempunyai sengketa wilayah dengannya.
Dalam konteks Indonesia, negeri ini hendaknya mewaspadai pembangunan kekuatan militer Cina. Dalam 10-15 tahun ke depan, menurut hemat saya Cina akan menjadi ancaman potensial terhadap Indonesia. Harap diingat soal kasus sembilan garis putus-putus di Laut Cina Selatan dan tindakan kapal perikanan Cina di ZEE Indonesia di perairan tersebut.
Lalu bagaimana menghadapi potensi ancaman Cina? Pertama, laksanakan secara konsisten pembangunan kekuatan yang telah disetujui (MEF). Kedua, mainkan kartu Amerika Serikat. Memainkan kartu Amerika Serikat bukan berarti Indonesia menjadi subordinat dari Washington, tetapi sebagai salah satu upaya untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia sendiri.

24 Juli 2010

Sembilan Garis Putus-putus Harus Segera Diselesaikan

All hands,
Jakarta hendaknya tidak terbuai dengan "kebaikan hati" Beijing selama ini, baik di bidang politik, ekonomi maupun keamanan. Terjalinnya perdagangan bebas ASEAN-Cina maupun pasokan Beijing terhadap kebutuhan rudal anti kapal kekuatan laut Indonesia hendaknya tidak meninabobokan Indonesia soal sembilan garis putus-putus pada peta Cina yang mencakup perairan Laut Natuna. Masalah ini muncul sejak awal 1990-an, sekitar 1991 atau 1992, namun hingga kini Jakarta belum pernah mendapatkan jawaban memuaskan dari Beijing soal tersebut. Beijing setiap ditanya soal itu selalu memberi jawaban diplomatis yaitu tidak ada masalah antara Jakarta dengannya.
Terkait dengan soal ini, hendaknya Jakarta mengintensifkan lagi soal klarifikasi peta buatan Beijing tersebut. Klaim Beijing terhadap Laut Natuna yang berada sekitar 1.000 mil laut dari daratannya jelas tidak berdasar. Kalau klaim Beijing berdasarkan pada sejarah bahwa nenek moyang mereka pernah sampai di sana di jaman dahulu, Jakarta pun bisa menggunakan alasan yang sama untuk mengklaim wilayah Australia dan Madagaskar. Hanya karena Jakarta berakal sehat dan suka mengklaim hal yang tidak masuk akal seperti halnya kelakuan Negeri Tukang Klaim, maka hal itu tidak dilakukan.
Masalah sembilan garis putus-putus tersebut harus segera diselesaikan. Harap dipahami bahwa Beijing akan semakin menghindari penyelesaian isu tersebut apabila Angkatan Lautnya makin kuat. Perkuatan Angkatan Laut Beijing akan menjadi ancaman bagi Jakarta ke depan. Lebih baik Jakarta segera meminta klarifikasi kembali soal itu dan meminta jawaban yang mengikat secara hukum dari Cina. Yang diharapkan bukan jawaban-jawaban klise ala para diplomat.

23 Juli 2010

Kapal Sipil Bersenjata Di Laut Harus Diatur Ulang

All hands,
Kasus yang menimpa kapal sipil bersenjata Indonesia di Laut Cina Selatan yang ditodong oleh kapal mitranya dari Cina hendaknya menjadi pelajaran bagi Indonesia. Yakni soal menghadapi Cina di Laut Cina Selatan bukan porsinya sipil bersenjata, tetapi porsinya Angkatan Laut. Soal yang dihadapi oleh Angkatan Laut nantinya hanya sekedar kapal nelayan atau kapal perang Negeri Tembok Bambu, itu urusan lain.
Ini soal penangkalan dan yang paham dan bisa melaksanakan itu di negeri ini cuma Angkatan Laut. Sebab Cina hanya paham dengan bahasa senjata yang dilakukan oleh Angkatan Laut, bukan oleh sipil bersenjata di laut. Soal keoknya sipil bersenjata Indonesia di laut ketika berhadapan dengan pihak asing sudah sering terjadi, namun pihak-pihak sipil bersenjata itu tidak mau menarik pelajaran dari situ. Beberapa tahun lalu ada kapal pihak sipil bersenjata lainnya yang ditodong oleh kapal perang Negeri Tukang Klaim dan akhirnya tidak berdaya.
Apa pesan dari kejadian-kejadian tersebut? Pesannya singkat, kapal sipil bersenjata di laut harus diatur ulang. Perlu ditinjau kembali apakah perlu kapal sipil bersenjata beroperasi di ZEE, wilayah di mana kapal perang asing dan kapal bersenjata asing non kapal perang sering beroperasi. Untuk menghadapi urusan di ZEE, secara realita yang bisa menghadapi adalah Angkatan Laut.
Soal gertak menggertak di laut, yang pantas dan mampu melakukannya adalah Angkatan Laut, bukan kapal sipil bersenjata. Justru kehadiran kapal sipil bersenjata di ZEE hanya memalukan martabat bangsa saja. Di mana martabat bangsa ini ketika kapal sipil bersenjatanya ditodong dan diusir oleh kapal bersenjata negara lain?
Kasus yang menimpa kapal sipil bersenjata di Indonesia jangan dijadikan alasan untuk meminta anggaran agar kapal mereka dipersenjatai dengan senjata lebih berat, misalnya meriam kaliber 40 mm, 57 mm atau bahkan 90 mm. Sipil bersenjata itu harus ingat bahwa mereka bukan Angkatan Laut!!!

22 Juli 2010

Keuntungan Dari Kunjungan Robert Gates

All hands,
Penguasa Pentagon Robert Gates hari ini dijadwalkan mengunjungi Jakarta dalam rangkaian turnya ke Asia. Sebelumnya eks orang no.1 di Langley, Virginia ini berkunjung ke Asia Timur untuk membahas perilaku Pyongyang terkait isu nuklir dan penenggelam kapal korvet milik Seoul. Kunjungan orang no.1 di Pentagon sebenarnya merupakan hal yang rutin di Indonesia, tetapi tentu saja Indonesia harus bisa mendapat keuntungan dari kunjungan kali ini.
Bisa atau tidaknya meraih keuntungan tergantung pada kejelian penentu kebijakan, khususnya di Departemen Pertahanan. Ada baiknya daripada merindukan bulan, lebih baik keuntungan yang diraih realistis saja. Misalnya, daripada sibuk melobi Pentagon soal pengadaan pesawat tempur baru, mengapa tak meminta peningkatan kerjasama keamanan maritim yang selama ini sudah terjalin. Kalau pada fase pertama Uwak Sam sudah "berbaik hati" menghibahkan sejumlah radar pengamatan maritim di Selat Malaka dan Laut Sulawesi, belum terlambat bagi Jakarta untuk meminta "kebaikan hati" Washington seri kedua.
Yaitu mewujudkan kerjasama intelligence sharing di bidang keamanan maritim yang secara formal sudah disepakati antar para petinggi pertahanan dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya. Toh kalau realisasi kerjasama itu terwujud, akan menguntungkan Indonesia dan Amerika Serikat juga. Meningkatnya kemampuan Indonesia menjaga keamanan maritim di wilayahnya berarti meringankan beban Amerika Serikat. Hendaknya dipahami bahwa sejak Perang Dingin, Washington sangat gemar dengan tema burden sharing di bidang pertahanan. Lihat saja berapa APBN Jepang dan Korea Selatan setiap tahunnya yang harus dialokasikan untuk menanggung keberadaan militer Broer Sam di wilayah mereka.
Harus diingat bahwa kedua negara terikat dalam Comprehensive Partnership, yang harus diterjemahkan dengan cerdas oleh Indonesia. Jangan sampai Comprehensive Partnership tidak bisa direalisasikan, khususnya dalam bidang pertahanan, karena pikiran "tidak sesuai kekinian" dari pihak tertentu yang sudah terdogma dengan politik bebas aktif. Demi kepentingan nasional, apapun harus ditempuh Indonesia dan posisi kepentingan nasional adalah di atas dari politik bebas aktif.
Kepentingan nasional adalah segalanya bagi setiap bangsa, termasuk bangsa Indonesia, sehingga kebijakan luar negeri harus diabdikan pada kepentingan nasional. Bukan sebaliknya kepentingan nasional disubordinasikan demi kepentingan nostalgia kebijakan yang sudah tidak mengandung makna kekinian lagi.

21 Juli 2010

Pesan Politik RIMPAC 2010

All hands,
Saat ini di perairan Samudera Pasifik dekat Hawaii sedang berlangsung latihan dua tahunan bersandi RIMPAC 2010, mulai 23 Juni 2010 sampai 1 Agustus 2010. Latihan ini merupakan latihan besar-besar Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik yang dimotori oleh Amerika Serikat dan diikuti oleh Angkatan Laut sekutu, kawan dan mitra Broer Sam di kawasan ini. Setiap tahunnya, sekitar 40 kapal perang berbagai jenis terlibat dalam latihan ini. Sejak beberapa tahun terakhir, Angkatan Laut Indonesia juga terlibat dalam RIMPAC yang sejauh ini baru sebatas pengiriman satuan Marinir.
Di antara berbagai skenario yang dilatihkan dalam RIMPAC, skenario peperangan kapal selam dan anti kapal selam selalu menarik perhatian berbagai pihak. Sebab selain sebagai ajang menguji kemampuan jenis peperangan ini bagi Angkatan Laut negara-negara yang terlibat, skenario ini juga dimaksudkan untuk mengirimkan pesan politik kepada Cina. Pembangunan kekuatan militer Negeri Tembok Bambu dinilai tidak transparan oleh Washington dan sekutunya.
Dalam dua tahun terakhir, terdapat beberapa aksi kapal selam Kamerad Mao yang dianggap mengancam konvoi armada U.S. Navy di Samudera Pasifik. Oleh karena itu, ajang RIMPAC senantiasa digunakan oleh Washington untuk mengirimkan pesan kepada Beijing bahwa otot militernya siap menghadapi tindakan tidak bersahabat dari PLAN di laut. RIMPAC merupakan ajang pertunjukkan kedigdayaan strategi, taktik, teknik dan prosedur U.S. Navy terhadap PLAN.
Dipastikan PLAN pasti mengintai latihan itu dengan mengutus kapal selamnya ke wilayah perairan sekitar Hawaii. U.S. Navy pasti tidak bodoh soal itu, sebaliknya siaga dengan kemungkinan instrusi kapal selam Cina. Encounter antar kapal perang kedua Angkatan Laut pasti sangat menarik untuk dicermati dari segi taktik, teknik dan prosedur, akan tetapi sayangnya seringkali terjadinya kontak dirahasiakan hingga beberapa waktu tertentu.
Bagi Indonesia, untuk jangka menengah ada baiknya mengkaji pengiriman kapal perang untuk terlibat dalam RIMPAC. Baik kapal kombatan permukaan maupun kapal selam, selain pula pesawat patroli maritim. Ajang latihan seperti RIMPAC bisa menjadi wadah menguji taktik, teknik dan prosedur kekuatan laut Indonesia, karena manuver itu lebih hidup daripada latihan unilateral di Indonesia.

20 Juli 2010

Konsep Logistik Angkatan Laut

All hands,
Berbagai masalah yang melingkupi pemeliharaan kapal perang beserta subsistemnya berangkat dari belum matangnya konsep logistik. Konsep logistik hendaknya bukan saja mencakup pengadaan logistik, tetapi meliputi pula penggunaan logistik itu dalam operasi. Untuk logistik yang di luar sistem senjata, hal itu selama ini nampaknya bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah logistik sistem senjata, misalnya rudal dan torpedo. Apakah kedua sistem senjata itu disimpan saja di arsenal sampai daur hidupnya habis ataukah ditembakkan secara rutin? Hal ini terkait pula dengan pengadaan sistem senjata pengganti secara periodik, misalnya 10 tahun sekali sehingga setiap rudal atau torpedo yang ditembakkan dipastikan akan mempunyai pengganti.
Memang masalah logistik sistem senjata terkait pula dengan populasi. Populasi rudal atau torpedo tidak banyak dibandingkan dengan populasi peluru meriam berbagai kaliber. Tentu saja harus dihitung dengan cermat berapa rudal atau torpedo yang dipanggul oleh kapal perang, berapa pula yang tersimpan di arsenal. Namun apabila ditata dengan baik, semua sistem senjata itu akan lebih berguna kehadirannya dalam hitungan masa daur hidupnya. Maksudnya, penembakan rudal atau torpedo secara periodik tidak akan mengurangi populasi keduanya di arsenal apabila secara rutin ada pengadaan baru sistem senjata itu.
Untuk menata semua itu, konsep logistiknya perlu dimatangkan. Harus ada kolaborasi antara konsep logistik dengan konsep operasi, sebab penembakan rudal atau torpedo merupakan domain komunitas operasi. Kolaborasi harus terjalin pula dengan komunitas perencanaan yang menyusun daftar belanja Angkatan Laut selama jangka waktu tertentu, biasanya tiap lima tahun.

19 Juli 2010

MLM Versus SLEP

All hands,
Selama ini banyak pihak di negeri ini yang tidak bisa membedakan MLM dan SLEP. Program MLM yang dilaksanakan pada kapal perang seringkali tidak dapat dikategorikan sebagai MLM, setiap nyaris tidak ada pergantian pada subsistem kapal perang secara keseluruhan. Padahal filosofinya MLM adalah penggantian subsistem kapal perang dengan mengadopsi teknologi yang lebih baru ketika usia kapal sudah separuh dari daur hidupnya. MLM biasanya dilaksanakan ketika usia kapal perang berkisar 10-15 tahun dari 25-30 usia yang didesain.
Adapun SLEP adalah perpanjangan usia pakai kapal perang dan dalam program itu tidak ada penggantian subsistem. SLEP ditempuh biasanya untuk menunggu masuknya kapal perang pengganti yang sudah terjadwal. Misalnya, kapal perang pengganti dipastikan baru akan masuk jajaran armada lima tahun lagi, maka kapal perang yang akan digantikan biasanya akan menjalani SLEP. SLEP hanya jembatan agar tidak terjadi kemunduran operasional Angkatan Laut akibat dihapusnya satu tipe kapal perang.
Perbedaan antara MLM dengan SLEP mesti dipahami agar tidak terjadi salah kaprah dalam penerapannya. Sebab apabila terjadi salah kapal dalam penerapannya, berarti mengurangi ketersediaan sumber daya yang pada dasarnya sudah terbatas.

18 Juli 2010

Simpan Atau Tembakkan

All hands,
Biaya pengadaan rudal anti kapal tidak murah, dalam kondisi sekarang di pasaran berkisar antara US$ 3-5 juta per buah yang tergantung pada spesifikasinya. Belum lagi bila dihitung total dengan sistem pendukungnya. Oleh karena itu, ada perasaan yang sangat kuat untuk "sayang" menembakkan rudal dalam periode tertentu dan lebih memilih menyimpannya di arsenal.
Masalahnya adalah apakah benar biaya menyimpan rudal lebih murah daripada menembakkan rudal secara periodik? Dengan asumsi satu rudal bernilai US$ 3 juta, ketika ditembakkan maka musnahlah uang US$ 3 juta. Lalu apabila tidak ditembakkan, apakah tetap akan ada penghematan sebesar US$ 3 juta?
Setiap rudal mempunyai masa hidup, yang berkisar antara 10-15 tahun. Kalau suatu rudal disimpan dalam arsenal begitu saja, tetap saja ada biaya untuk memelihara rudal itu. Entah itu kalibrasi giro kompas dan sistem komputer pemandunya, pemeliharaan sistem pendorong dan lain sebagainya. Menurut perhitungan, biaya yang dibutuhkan setiap rudal dalam masa daur hidupnya untuk pemeliharaan adalah setengah dari harga belinya. Jadi kalau satu rudal berharga US$ 3 juta, maka biaya pemeliharaan dalam daur hidupnya adalah US$ 1.5 juta.
Terkait dengan soal itu, perlu dipertimbangkan dengan seksama lebih menguntungkan mana apakah rudal ditembakkan secara periodik ataukah disimpan di arsenal sampai daur hidupnya habis dan kemudian menjadi pajangan di pintu masuk satuan-satuan Angkatan Laut? Menyimpan rudal di arsenal sampai daur hidupnya habis mengeluarkan biaya, sementara menembakkan rudal sebenarnya menghemat biaya, yaitu biaya pemeliharaan yang nilainya setengah dari harga rudal itu.
Dengan menembakkan rudal secara periodik, berarti menjaga keterampilan personel Angkatan Laut dalam hal penembakan rudal, mulai dari proses tracking sasaran hingga penembakan rudal. Semakin jarang menembakkan rudal, dapat dipastikan keterampilan personel Angkatan Laut akan menurun. Apalagi bila pengawak rudalnya adalah personel baru yang belum pernah mempunyai pengalaman menembakkan rudal. Pergantian personel pengawak adalah hal pasti, sebab setiap personel pasti akan mengalami mutasi.
Terkait dengan penembakan rudal secara rutin, hendaknya maksimal setiap 10 tahun ada program pengadaan rudal baru. Dengan demikian rudal lama yang telah ditembakkan akan ada penggantinya. Selain itu, perlu diingat bahwa setiap 10 tahun teknologi rudal mengalami evolusi. Sebagai contoh lihat saja evolusi rudal Exocet.

17 Juli 2010

Sistem Pendorong Kapal Perang

All hands,
Dalam sistem senjata Angkatan Laut, khususnya kapal perang, keandalan sistem pendorong merupakan salah satu faktor menentukan. Sebab sistem pendorong itu yang akan menentukan salah satu kinerja kapal perang dalam misi, baik di masa damai maupun konflik, termasuk perang di dalamnya. Misalnya keandalan kapal perang dalam mengejar kapal perang lain yang terdeteksi. Begitu pula dengan perhitungan cost effectiveness.
Jenis sistem pendorong kapal perang umumnya berkisar pada CODAG, CODOG, COGAG dan CODAD. Setiap jenis sistem pendorong itu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing dan setiap pemilihan salah satu jenis pasti didasarkan pada pertimbangan berbagai aspek.
Salah satu hal yang sering menjadi perdebatan hingga kini adalah efektivitas CODAD dibandingkan dengan jenis lainnya, khususnya CODAG dan CODOG. Benarkah biaya operasional keseluruhan dalam penggunaan CODAD lebih murah daripada CODAG atau CODOG? Kalau dihitung biaya operasional harian, memang sulit dibantah CODAD lebih murah. Namun apabila dikalkulasi dengan life cycle cost, menurut beberapa pihak yang berkompeten, biaya keseluruhan penggunaan CODAG atau CODOG jauh lebih murah daripada CODAD.
Soal itu baru dari sisi biaya operasional secara keseluruhan selama daur hidup suatu kapal perang. Belum lagi ditinjau dari aspek operasional, misalnya saat kapal perang harus mengejar sasaran yang berkecepatan tinggi atau waktu kapal perang harus sampai di suatu perairan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Di sini dibutuhkan sistem pendorong yang mempunyai daya dorong yang kuat. Ketika menyentuh masalah ini, CODAG dan atau CODOG jauh lebih dapat diandalkan daripada CODAD.
Ke depan nampaknya perlu dikaji dengan seksama dan matang soal pemilihan sistem pendorong kapal perang, khususnya di Indonesia. Kebutuhan operasional dan life cycle cost hendaknya lebih diutamakan dalam pertimbangan daripada hal-hal lain, termasuk lebih murah bila dihitung secara operasional harian.

16 Juli 2010

Miniatur Kapal Perang

All hands,
Di negeri yang dengan bangga memproklamasikan dirinya sebagai negara kepulauan ini, sangat sulit untuk menemukan koleksi miniatur kapal perang. Khususnya kapal perang yang pernah dan tengah dioperasikan oleh Angkatan Laut Indonesia. Miniatur yang ada biasanya hanya bisa ditemukan di pendirian darat Angkatan Laut tertentu, seperti Markas Besar Angkatan Laut. Itu pun pemberian dari produsen kapal perang dan dapat dipastikan dibuat di luar negeri. Di dalam negeri, sepengetahuan saya, belum ada pihak yang menekuni pembuatan miniatur kapal perang.
Bandingkan misalnya dengan miniatur pesawat udara, baik pesawat sipil maupun pesawat militer. Tidak sulit bagi kita untuk memesan miniatur berbagai jenis pesawat udara yang dioperasikan oleh Angkatan Laut negeri ini, sebab perajinnya sudah ada di beberapa kota di Pulau Jawa. Tetapi tidak demikian halnya dengan miniatur kapal perang.
Kondisi tersebut merupakan gambaran kecil betapa kecintaan terhadap dunia maritim masih menjadi barang mewah di Indonesia. Kecintaaan terhadap dunia maritim tidak selalu identik dengan Angkatan Laut, dapat pula lewat dunia seni dan lain sebagainya. Justru dunia seni merupakan media yang ampuh untuk membangun kecintaan itu, karena tanpa sadar akan merasuki jiwa penikmatnya. Termasuk pula dengan miniatur kapal perang, sangat mungkin akan menarik minat generasi muda yang baru tumbuh untuk tahu, peduli dan cinta terhadap dunia maritim sebagai identitas dan karakter bangsanya.

15 Juli 2010

Proliferasi Rudal Penjelajah

All hands,
Dewasa ini negara-negara maju yang telah puluhan tahun mendominasi teknologi rudal kian khawatir dengan proliferasi rudal penjelajah ke negara-negara berkembang. Proliferasi itu bukan saja menyangkut senjata, tetapi terkait pula dengan teknologi yang dikandung oleh senjata itu. Oleh karena itu, dengan segala daya dan upaya negara-negara itu berupaya membatasi proliferasi tersebut.
Kekhawatiran itu antara lain didorong oleh keandalan rudal penjelajah sebagai senjata anti akses. Rudal itu dalam konteks operasi maritim bisa menjadi ancaman bagi kapal perang yang beroperasi di lepas pantai. Contohnya adalah kasus INS Ahi Hanit pada 14 Juli 2006 di lepas pantai Lebanon.
Upaya pembatasan proliferasi rudal penjelajah bukan saja dengan pengetatan izin ekspor rudal jenis itu maupun teknologinya ke negara-negara berkembang, tetapi mencakup pula pembatasan ekspor subsistem yang mendukung kinerja rudal tersebut, misalnya radar OTHR. Dengan tidak mempunyai radar yang sesuai, maka eksistensi rudal itu di suatu kapal perang menjadi tidak berarti sebab tidak ada penuntunnya.
Indonesia telah mempunyai beberapa rudal penjelajah yang dibeli dari negara non Barat bagi modernisasi sistem senjata Angkatan Laut dan sebagian telah diujicoba secara terbuka dalam latihan militer yang digelar. Sebelumnya kekuatan laut negeri ini mengoperasikan rudal penjelajah buatan Amerika Serikat yang kini telah lewat masa aktifnya. Eksistensi rudal penjelajah itu pada satu sisi meningkatkan daya pukul Angkatan Laut negeri ini, namun di sisi lain berpotensi tidak dapat digunakan secara optimal apabila subsistem pendukungnya sulit diperoleh di pasaran internasional sebagai dampak dari pengetatan kendali ekspor oleh negara-negara maju.
Untuk menghadapi situasi ini, sebaiknya dijajaki pengadaan subsistem pendukung dari negara-negara yang tidak menerapkan kendali ekspor terlalu ketat. Soal masalah interface, hal itu masalah teknis yang bisa dipecahkan apabila antara negara produsen subsistem tidak sama dengan negara pembuat rudal jelajah. Bagaimanapun, kekuatan laut Indonesia membutuhkan rudal jelajah dalam asetnya.

14 Juli 2010

Rudal Dan Strategi Anti Akses

All hands,
Rudal adalah salah satu senjata anti akses yang sangat diperhitungkan oleh Angkatan Laut negara-negara maju. Kelompok Hizbullah Lebanon yang tergolong aktor non negara telah membuktikan bagaimana eksploitasi rudal dalam strategi anti akses memberikan pengaruh pada jalannya perang atau konflik. Oleh karena itu, penyebaran rudal makin diperketat oleh negara-negara maju sebagai produsen sistem senjata itu.
Apabila diteliti lebih jauh, terdapat dua jenis rudal Angkatan Laut yang diklasifikasikan sebagai senjata anti akses. Pertama adalah rudal anti kapal, yang jarak efektifnya sekitar 100 km. Kedua adalah rudal jelajah dengan jarak efektif antara 100 km-300 km. C-802, Harpoon dan Exocet adalah contoh rudal jenis pertama, sedangkan Yakhont, Moskit dan Tomahawk merupakan rudal jenis kedua.
Entah didesain atau hanya kebetulan belaka, kekuatan laut Indonesia mempunyai kedua jenis senjata anti akses itu. Bila di masa lalu rudal anti kapalnya adalah Exocet, kini C-802 dioperasikan sebagai rudal anti kapal. Adapun Yakhont merupakan aset Angkatan Laut Indonesia yang berkategori rudal jelajah. Pertanyaannya, apa arti semua itu?
Pada satu sisi, terdapat peluang besar bagi Indonesia untuk mengeksploitasi kehadiran kedua jenis rudal dalam sistem senjata Angkatan Lautnya. Kedua, pasti ada upaya dari negara-negara yang merasa terancam dengan kehadiran rudal itu untuk mengurangi keefektifan kinerja kedua rudal. Misalnya tidak memberikan lisensi ekspor untuk radar pengamatan yang dapat memenuhi kebutuhan operasional rudal jelajah. Menghadapi semua itu, tentu saja selalu tersedia jalan keluar selama mampu kreatif dan berpikir out of the box.

13 Juli 2010

Menjaga Good Order Di Laut

All hands,
Salah satu tantangan tugas yang dihadapi oleh berbagai Angkatan Laut di dunia saat ini adalah menjaga good order di laut. Cakupannya bukan saja soal menjaga laut dari ancaman perompakan, pembajakan, terorisme maritim dan penyelundupan senjata, tetapi sampai pula pada menjaga perdamaian dunia di domain maritim. Menjaga good order di laut pada dasarnya mempunyai benang merah dengan globalisasi, karena ancaman terhadap good order di laut sama dengan ancaman terhadap globalisasi.
Good order di laut berarti lebih banyak berfokus pada ancaman asimetris. Bagi setiap Angkatan Laut, situasi demikian merupakan tantangan, sebab Angkatan Laut dituntut untuk menjaga keseimbangan antara kemampuan menghadapi ancaman asimetris dengan ancaman simetris. Meskipun tidak diketahui dengan pasti suatu Angkatan Laut akan menghadapi konflik simetris, akan tetapi kemampuan-kemampuan yang terkait keterampilan tempur harus tetap dipelihara.
Tugas menjaga good order acap kali menentukan pula postur Angkatan Laut yang dibangun. Biasanya terjadi perdebatan sengit antara aliran yang menekankan pada asimetris versus arus simetris. Dasar pemikiran dari aliran asimetris tidak keliru, namun tantangannya adalah bagaimana memprediksi situasi ke depan. Sebaliknya, pemikiran dari arus simetris sesungguhnya realistis, akan tetapi di sisi lain harus pula membumi dengan kondisi kekinian (termasuk dukungan anggaran).

12 Juli 2010

Menimbang Helikopter Buatan Cina

All hands,
Negeri Kamerad Mao terus berupaya memperluas pasar produk militernya ke Indonesia. Salah satunya dengan mempromosikan helikopter buatan dalam negeri namun sebenarnya hasil fotokopi helikopter produksi Eropa. Keunggulan produk militer Cina, khususnya helikopter, terletak pada harga. Tetapi apakah harga tersebut berbanding lurus dengan kualitas, hal itu masih menjadi pertanyaan besar.
Pengguna asing helikopter militer keluaran Cina belum banyak dan rata-rata adalah negara-negara Afrika. Tentu dapat ditebak bagaimana atau sampai di tingkat apa kebutuhan negara-negara Afrika akan helikopter sehingga rela menggelontorkan dana buat membeli produk dari Negeri Kamerad Mao. Harus diakui secara jujur bahwa keandalan helikopter asal Cina belum teruji, baik dari aspek operasional, pemeliharaan maupun logistik.
Dua unsur yang terakhir disebut perlu digarisbawahi apabila mempertimbangkan helikopter keluaran Negeri Tembok Bambu itu. Unsur pemeliharaan dan logistik akan lancar bukan saja kalau negara pembeli mempunyai uang untuk membeli suku cadang, namun juga oleh tersedianya kantor perwakilan kawasan dari pabrikan. Sebagai contoh, di Asia Tenggara Eurocopter mempunyai kantor perwakilan di Indonesia dan Singapura guna mendukung konsumen di wilayah ini. Lalu bagaimana dengan Negeri Tembok Bambu?
Dalam pengadaan pesawat udara, hendaknya masalah jumlah populasi pesawat sejenis di kawasan harus dipertimbangkan pula. Dengan jumlah populasi yang banyak, dipastikan pabrikan akan membuka kantor perwakilan di suatu kawasan. Dengan mengoperasikan helikopter jenis yang sama dengan beberapa negara lain, terbuka pula peluang tukar menukar informasi dan pengalaman mengenai pengoperasian helikopter tersebut.
Sepanjang pemahaman penulis, dukungan purna jual Cina belum mampu menyaingi produsen tradisional helikopter seperti Eurocopter atau AgustaWestland. Hal-hal seperti ini yang terlihat sepele perlu dipertimbangkan pula dengan matang, bukan sekedar berkutat pada harga helikopter yang lebih murah dibandingkan produsen asal Eropa.

11 Juli 2010

Kebutuhan Helikopter Angkatan Laut

All hands,
Kekuatan udara Angkatan Laut mempunyai ciri khas yang membedakannya dari kekuatan udara matra lainnya. Ciri khas itu adalah lingkungan operasinya pada domain maritim, termasuk beroperasi dari kapal perang ke kapal perang atau ke pangkalan di darat. Soal ini hendaknya dipahami dengan seksama, karena pemahaman ini secara tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir dalam pengadaan pesawat udara bagi pembangunan kekuatan udara Angkatan Laut.
Berangkat dari pemahaman ini, kebutuhan pesawat udara Angkatan Laut lebih dari sekedar pesawat biasa yang kemudian di-maritimized. Kekuatan udara Angkatan Laut memerlukan pesawat udara yang memang secara khusus didesain untuk beroperasi di laut, meskipun bisa saja wahana terbang tersebut mempunyai versi “darat”. Satu di antaranya adalah helikopter berkemampuan operasi maritim alias operasi-operasi guna mendukung misi Angkatan Laut, baik di tengah laut maupun dari laut ke pantai.
Helikopter yang menjadi bagian dari kekuatan udara Angkatan Laut harus menggunakan roda, bukan skid. Sebab apabila memakai skid seperti yang selama ini terjadi, mempunyai potensi tinggi untuk mengalami kerusakan ketika hard landing. Hard landing di dek heli kapal perang sulit dihindari, malah sebaliknya tindakan itu harus diambil oleh penerbang ketika mendarat di kapal perang yang tengah berlayar di tengah laut dan disertai dengan gelombang laut yang kondisinya berubah-ubah.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa penggunaan skid justru merugikan secara operasional, karena helikopter yang telah menyelesaikan misi di atas geladak kapal perang harus masuk bengkel pemeliharaan untuk keperluan kalibrasi rotor. Pemakaian skid terbukti bisa merusak posisi bilah pada rotor hub sehingga muncul vibrasi di atas ambang normal yang seharusnya. Karena harus masuk bengkel pemeliharaan setiap habis beroperasi dari kapal perang, berarti ada biaya dan waktu terbuang yang sebenarnya bisa dihindari.
Pengalaman soal pemakaian skid bukan saja dialami oleh Angkatan Laut Indonesia, tetapi dialami pula oleh kekuatan laut Negeri Tukang Klaim. Helikopter Fennec yang dioperasikan oleh Angkatan Laut Negeri Tukang Klaim terus mengalami masalah karena soal skid tersebut, Belajar dari kedua kasus itu, ke depan pengadaan helikopter anti kapal selam hendaknya memprioritaskan pada helikopter yang menggunakan roda sebagai bagian dari sistem pendaratnya.

10 Juli 2010

Tantangan Operasional Di Laut Arafura

All hands,
Isu keamanan di Laut Arafura selain terkait dengan ancaman dan tantangan asimetris seperti pencurian sumberdaya laut, terkait pula dengan ancaman dan tantangan simetris. Hal yang terakhir ini antara lain patroli kekuatan laut dan udara Australia yang menjangkau perairan tersebut. Bukan sekali atau dua kali pesawat patroli maritim P-3 Orion memasuki wilayah perairan Indonesia di laut tersebut. Situasi ini akan terus berulang apabila Indonesia tidak meningkatkan kualitas kehadirannya di perairan itu.
Untuk menghadapi situasi di Laut Arafura, dibutuhkan keterpaduan patroli antara unsur kekuatan laut Indonesia dan unsur kekuatan udara negeri ini. Selama ini, keterpaduan itu belum ada. Patroli yang digelar kedua unsur berjalan sendiri-sendiri.
Lalu bagaimana caranya? Pertama, kedua belah pihak harus duduk bersama. Kedua, turunkan kadar egoisme sektoral. Ketiga, susun rencana operasi secara bersama.
Ketika duduk bersama, salah satu isu yang muncul pasti soal keterbatasan unsur patroli. Untuk menjawab isu ini, perlu adanya unsur yang setiap saat didedikasi khusus untuk patroli di perairan itu. Soal unsur itu nantinya akan dirotasi dalam waktu tertentu, bukan menjadi suatu masalah sepanjang unsur itu segera diganti oleh unsur yang lain dalam waktu singkat.
Laut Arafura mempunyai nilai strategis, sebab merupakan penghubung antara Australia dan Asia Timur sekaligus bagian dari ALKI III. Kondisi di perairan itu akan menentukan pula kualitas hubungan Indonesia dengan negeri yang didirikan oleh para kriminal tersebut. Perairan tersebut juga merupakan pintu masuk bagi militer Australia untuk proyeksi kekuatan ke kawasan Indonesia Timur.

09 Juli 2010

Peralatan Bantu Navigasi Di Kapal Perang

All hands,
Dalam Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) Angkatan Laut, pesawat udara merupakan salah satu bagian integral di dalamnya. Oleh karena itu, interoperability antara pesawat udara dengan unsur SSAT lainnya merupakan suatu keharusan. Satu di antaranya adalah interoperability antara pesawat udara dengan kapal perang, termasuk di dalamnya kemampuan pesawat udara untuk beroperasi ke dan dari atas kapal perang, dalam hal ini kapal permukaan.
Untuk bisa mewujudkan kemampuan itu secara optimal, selain dibutuhkan penerbang Angkatan Laut yang berkualifikasi mampu beroperasi ke dan dari atas kapal perang, juga diperlukan sistem navigasi di kapal perang yang memadai. Satu di antara sistem navigasi itu adalah alat penuntun bagi pesawat udara ketika approaching kapal perang di tengah laut atau di wilayah lainnya, termasuk di pangkalan. Meskipun bisa, tetapi mencari secara manual posisi kapal perang di tengah laut atau di tengah sejumlah kapal perang yang tengah sandar atau lego jangkar di pangkalan akan membutuhkan waktu lebih lama.
Sehingga eksistensi alat bantu navigasi di kapal perang untuk menuntun pesawat udara yang approaching mutlak dibutuhkan. Pertanyaannya alat bantu navigasi apa yang sebaiknya dipasang pada kapal perang yang mempunyai dek heli? Mengacu pada sistem navigasi penerbangan, alat yang terpasang minimal NDB untuk membantu navigasi pesawat udara mencari kapal perang yang dimaksud. Akan lebih bagus apabila yang terpasang adalah TACAN, karena secara teknologi TACAN lebih kompleks sehingga bisa memberikan data navigasi yang jauh lebih lengkap dibandingkan NDB.
Dengan adanya peralatan navigasi penerbangan di kapal perang, operasi penerbangan dapat dilakukan 24 jam dan tidak tergantung ada tidaknya sinar matahari yang menerangi bumi. Kebutuhan nyata operasi di laut tidak mengenal siang atau malam dan di situlah pentingnya alat bantu navigasi bagi pesawat udara yang beroperasi di dek kapal perang.

08 Juli 2010

Gelar Pangkalan Udara Angkatan Laut

All hands,
Kekuatan udara Angkatan Laut dalam melaksanakan tugas pokoknya mutlak harus didukung oleh eksistensi pangkalan udara. Di setiap sektor patroli, selalu terdapat satu atau beberapa Lanudal terdekat. Dalam gelar kekuatan Lanudal saat ini, terdapat pandangan bahwa masih ada beberapa sektor patroli yang belum diliput oleh eksistensi pangkalan udara. Misalnya di pantai barat Pulau Sumatera dan sepanjang antara Lombok sampai dengan Kupang.
Di Kupang memang sudah terdapat Lanudal, namun tidak demikian halnya di pulau-pulau yang terbentang antara Pulau Lombok sampai Pulau Timor. Padahal sektor perairan tersebut juga strategis untuk gelar kekuatan udara secara rutin, karena “berhadapan” langsung dengan Australia. Selain itu, terkait pula dengan pengendalian ALKI II dan ALKI III yang sebagian di antaranya mempunyai relevansi dengan ambisi proyeksi kekuatan negeri yang didirikan oleh para narapidana.
Adapun di pantai barat Pulau Sumatera juga demikian, diperlukan kehadiran patroli maritim secara rutin. Pelayaran yang menggunakan perairan pantai barat Pulau Sumatera dapat “berujung” pada Selat Sunda, salah satu chokepoint, bagian dari ALKI I dan jalur pendekat ke Laut Jawa.
Selain terkait isu proyeksi kekuatan Angkatan Laut negara-negara lain, nilai strategis gelar Lanudal di kedua wilayah terkait pula dengan makin bertambah ramainya penggunaan kapal ULCC. Kapal ULCC yang mempunyai panjang sekitar 405 meter dengan draft lebih dari 30 m dipastikan tidak mampu melalui Selat Malaka dan Selat Singapura, khususnya One Fathom Bank. Sehingga pilihannya tinggal Selat Sunda atau Selat Lombok. Di situlah pentingnya gelar kekuatan Lanudal di pantai barat Pulau Sumatera dan antara Pulau Lombok sampai dengan Pulau Timor.

07 Juli 2010

Propaganda Kemakmuran Dan Keamanan Maritim

All hands,
Sebagian dari isu keamanan maritim yang dihadapi kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia di dalamnya, adalah karena propaganda kemakmuran. Propaganda kemakmuran itu dipancarkan lewat radio, televisi dan film yang substansinya adalah kemakmuran masyarakat suatu negara. Pancaran propanganda itu melintasi batas cakrawala, bukan sekedar batas negara. Akibatnya, muncullah isu keamanan maritim seperti migran ilegal yang menggunakan perairan Asia Tenggara untuk menuju negara yang gencar mempropagandakan kemakmurannya.
Para migran ilegal itu bukan orang miskin, mereka orang yang secara ekonomi mampu di negara asalnya. Karena mampu mengakses sarana informasi dan telekomunikasi di negaranya, mereka pun terbujuk oleh proganda tersebut. Lahirlah isu migran ilegal sebagai masalah keamanan maritim, karena mereka berupaya masuk negara tujuan tanpa menggunakan persyaratan yang ditetapkan.
Celakanya, negara yang gencar berpropaganda soal kemakmurannya menolak mentah-mentah kehadiran para migran ilegal tersebut. Secara cara ditempuh oleh negeri itu agar jangan sampai para pencari kemakmuran mencapai wilayah teritorialnya, sebab apabila telah sampai di wilayah teritorialnya maka negara propagandis itu harus menerima dan memproses mereka.
Indonesia yang berbatasan dengan negeri yang gencar berpropaganda soal kemakmurannya itu akhirnya kena getahnya. Negeri ini ditekan agar menangkap para migran ilegal yang melintasi perairan Indonesia, padahal secara hukum Indonesia tidak bisa menangkap mereka yang tengah berlayar melintasi perairan itu. Pertanyaannya, sampai kapan Indonesia mau menjadi bumper dari proganda kemakmuran itu?

06 Juli 2010

Operasi Penerbangan Malam Hari

All hands,
Operasi penerbangan di malam hari bagi kepentingan Angkatan Laut bersifat mutlak. Sebab operasi Angkatan Laut tidak mengenai siang atau malam, ketika dibutuhkan pesawat udara Angkatan Laut harus siap mengudara. Termasuk pula beroperasi di atas kapal perang yang tengah berlayar di tengah laut.
Salah satu alasan pentingnya operasi penerbangan di malam hari terkait dengan peperangan anti kapal selam. Kapal selam konvensional perilakunya adalah melakukan pengisian baterai di malam hari di tengah kegelapan malam dengan muncul ke permukaan laut. Itulah waktu yang ideal bagi heli anti kapal selam untuk berburu mangsa, baik di masa damai maupun konflik.
Mengoperasikan pesawat udara di malam hari bukan suatu hal yang mudah, apalagi beroperasi di atas kapal perang. Diperlukan latihan penerbangan malam yang intensif dan berkelanjutan untuk mendapatkan dan memelihara keterampilan tersebut. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi kekuatan laut Indonesia, khususnya kekuatan udara Angkatan Laut.
Operasi penerbangan malam hari di atas geladak kapal perang akan lancar terlaksana apabila dibantu oleh sarana navigasi yang memadai. Sebab alat navigasi itu yang akan menuntun pesawat udara untuk approaching ke kapal perang. Tanpa alat navigasi tersebut, pesawat udara dipastikan akan kesulitan menemukan “induknya” di tengah lautan yang luas.

05 Juli 2010

Midlife Modernization Dan Suku Cadang Kritis

All hands,
Program midlife modernization (MLM) yang dilaksanakan oleh kekuatan laut Indonesia menghadapi berbagai tantangan, satu di antaranya tentang suku cadang kritis untuk berbagai komponen kapal perang. Tantangan tersebut muncul karena dalam program itu, tidak semua subsistem diganti dengan teknologi yang lebih baru. Akibatnya subsistem kapal perang keluaran program MLM merupakan campuran antara subsistem yang menggunakan teknologi yang lebih baru dengan subsistem yang masih mengandalkan pada teknologi awal yang disandang oleh kapal perang tersebut. Di situlah muncul isu suku cadang kritis bagi subsistem lama yang tidak mengalami penggantian selama program MLM dilaksanakan.
Munculnya isu tersebut karena subsistem itu tidak lagi didukung oleh pabrikannya, dalam bentuk produksi suku cadang. Suku cadang kritis seringkali secara nominal tergolong murah, namun dapat berakibat kerugian besar apabila tidak tersedia. Ketiadaan suku cadang itu atau setidaknya kelangkaan suku cadang tersebut dapat berpengaruh pada kinerja kapal perang secara keseluruhan. Sehingga pada akhirnya berujung pada kerugian dalam mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim.
Bertolak dari isu seperti ini, program MLM ke depan perlu disempurnakan pelaksanaannya. Maksudnya, semua subsistem yang secara teknologi terus berevolusi sebaiknya diganti sekaligus dalam program itu. Jadi bukan sekedar sistem pendorong yang diganti, tetapi juga sewaco dan lain sebagainya. Bila biaya penggantian semua subsistem itu dinilai harganya mendekati harga membeli kapal perang baru, tentu akan lebih bijaksana bila melakukan pengadaan kapal perang baru sekaligus.

04 Juli 2010

Konstelasi Penguasaan Pasar Rudal Dunia

All hands,
Rudal merupakan salah satu sistem senjata Angkatan Laut. Pertanyaannya kini, siapa saja penguasa pangsa pasar rudal dunia saat ini? Sebanyak 70 persen pasar rudal dunia dikuasai oleh trio MBDA, Raytheon dan Lockheed Martin. Sisanya sebesar 30 persen dibagi-bagi oleh negara-negara lain, termasuk negara-negara yang tengah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi dan militer dunia. Misalnya Rusia, Cina, India, Israel dan lain sebagainya.
Konstelasi itu mempunyai implikasi terhadap pembangunan kekuatan laut Indonesia, khususnya pengadaan rudal permukaan ke permukaan dan permukaan ke udara. Indonesia tidak mempunyai pilihan banyak dalam belanja rudal di pasar internasional. Negeri ini juga tidak akan punya pangsa pasar yang besar apabila memaksakan diri membuat rudal sendiri berdasarkan semangat kemandirian tanpa berhitung pada faktor ekonomi yaitu skala keekonomian. Sebab tidak mungkin semua rudal yang dibuat di dalam negeri mampu diserap oleh militer negeri ini, kecuali kebijakan pemerintah Indonesia meniru Uwak Sam yaitu menggelar petualangan militer kemana-mana.
Dari tiga besar penguasa pangsa pasar rudal dunia tersebut, Indonesia dalam hal ini Angkatan Laut merupakan pengguna setia rudal buatan MBDA. Di luar tiga besar itu, kekuatan laut Indonesia juga mengadopsi rudal buatan Rusia dan Cina. Dari ketiga pemasok suplai rudal bagi Indonesia, perlu senantiasa diwaspadai rudal buatan MBDA karena dapat kelancaran dukungan suku cadangnya tergantung sikap politik Uni Eropa. MBDA adalah produsen rudal milik negara-negara Uni Eropa yang menyatukan beberapa industri rudal yang telah eksis sebelumnya seperti Aerospatiale.
Walaupun sistem senjata Angkatan Laut tidak tergantung pada rudal buatan Amerika Serikat, akan tetapi hendaknya tetap diwaspadai soal adanya komponen buatan Amerika Serikat pada rudal buatan MBDA. Secara politik, Amerika Serikat masih mempunyai kemampuan menekan Uni Eropa, meskipun dalam satu dekade ini secara perlahan organisasi supranasional negara-negara itu terus berupaya membangun kemandirian politik yang berjarak dengan Washington.

03 Juli 2010

Kelompok Lobi Angkatan Laut

All hands,
Angkatan Laut di banyak negara dipandang sebagai aset nasional, sehingga banyak pihak di luar Angkatan Laut yang sangat berkepentingan dalam pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Sebab pembangunan kekuatan tersebut akan berkontribusi positif terhadap ekonomi nasional, entah itu adanya pesanan buat pabrik kapal beserta vendornya maupun meningkatnya kemampuan Angkatan Laut menjaga keamanan maritim dan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim.
Oleh karena itu, tidak heran bila di negara-negara maju banyak kelompok lobi Angkatan Laut. Kelompok lobi itu tidak digalang secara khusus oleh Angkatan Laut, tetapi justru pihak-pihak yang berkepentingan membantu Angkatan Laut untuk meloloskan program pembangunan kekuatannya melewati proses politik di pemerintahan dan parlemen. Kelompok lobi itu bisa jadi kumpulan eks Angkatan Laut yang tergabung dalam Navy League, dapat pula industri perkapalan, bisa juga industri elektronika, vendor-vendor lainnya yang terkait, bahkan lembaga think tank.
Peran kelompok lobi itu dalam menggolkan program pembangunan kekuatan Angkatan Laut sangat signifikan. Apabila suatu program Angkatan Laut tidak lolos pada proses politik, yang akan keras berteriak bukan Angkatan Laut tetapi kelompok lobi itu. Sebab yang dirugikan dengan kegagalan itu tidak terbatas pada Angkatan Laut, tetapi semua pihak yang terkait dengan pembangunan kekuatan Angkatan Laut.

02 Juli 2010

Pembangunan Kekuatan Dan Lobi

All hands,
Pembangunan kekuatan Angkatan Laut, suka atau tidak suka, harus melalui proses politik di pemerintah dan DPR. Karena proses tersebut, dalam kasus di Indonesia seringkali program yang telah disusun tidak terwujud atau setidaknya perwujudannya mundur beberapa tahun dari jadwal semula. Semua itu karena proses politik yang rumit, mungkin menjemukan dan seringkali “tidak sesuai akal sehat”.
Lalu bagaimana agar ke depan pembangunan kekuatan Angkatan Laut lebih lancar dan mulus melewati proses politik? Salah satu pendekatan yang sebaiknya ditempuh adalah lewat proses lobi di belakang layar. Secara normatif, proses lobi dalam politik sebenarnya normal-normal saja dan lumrah. Namun dalam perkembangannya, proses lobi seringkali identik dengan trade off yang tidak sehat bagi sistem politik, sehingga persepsi masyarakat terhadap lobi menjadi negatif.
Selama ini, menurut hemat saya pribadi, proses lobi politik dalam rangka mensukseskan pembangunan kekuatan Angkatan Laut masih jauh dari optimal. Banyak pendapat soal penyebabnya, namun menurut saya salah satunya adalah karena masih lebih banyak mengandalkan pendekatan formal. Hal itu bisa jadi karena dari dulu karakter Angkatan Laut negeri ini pada dasarnya adalah tentara profesional, dalam arti tidak tergoda politik. Beda halnya dengan Angkatan Darat yang sejak lahir sudah mempunyai karakter tentara politik dan hingga kini pun karakter itu belum sepenuhnya pupus.
Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju yang demokrasinya telah dewasa dan mapan, di negeri ini Angkatan Laut masih harus berjuang sendiri untuk memperjuangkan pembangunan kekuatannya. Dengan kata lain, Angkatan Laut harus merancang sendiri pembangunan kekuatannya dan memperjuangkan sendiri rancangan itu pada ranah politik. Memang secara formal ada Departemen Pertahanan, tetapi dalam prakteknya Departemen Pertahanan belum mampu merancang sendiri pembangunan Angkatan Laut. Berangkat dari kondisi di Indonesia yang demikian, pilihan logis yang tersedia adalah Angkatan Laut memperkuat lobinya di pemerintahan dan DPR agar pembangunan kekuatan dapat terwujud sesuai rencana dan tepat waktu.

01 Juli 2010

Ancaman Terhadap Operasi Amfibi

All hands,
Operasi amfibi tetap menjadi salah satu jenis operasi Angkatan Laut di dunia, meskipun teknologi telah maju. Yang membedakannya mungkin hanya soal tidak mutlaknya yaitu tumpuan pantai seiring dengan metode STOM. Namun demikian, STOM hanya bisa dilaksanakan oleh Angkatan Laut dengan armada heli angkut yang banyak dan dikawal oleh kekuatan tempur udara yang memadai. Bagi Angkatan Laut negara-negara berkembang, pelaksanaan STOM masih butuh waktu lama. Dengan demikian, operasi amfibi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut negara-negara itu masih akan menghadapi sejumlah ancaman dari pantai. Salah satunya datang dari pantai berupa rudal anti kapal kapal.
Dalam istilah lain, sistem senjata anti akses merupakan ancaman terhadap operasi amfibi. Secara teoritis, untuk menetralisasi ancaman tersebut maka harus dilakukan “penyapuan” sampai beberapa puluh kilometer di belakang garis pantai sebelum pendaratan amfibi pertama dilakukan. Di masa lalu upaya ini “tidak sulit”, karena saat itu senjata anti akses yang dapat dapat digelar dari daratan dan mempunyai daya rusak besar hanyalah meriam pantai. Kini dengan adanya rudal mobil khususnya, tidak menutup kemungkinan “penyapuan” lewat bombardemen dari laut dan udara tidak akan menghancurkan kekuatan senjata lawan secara keseluruhan.
Inilah ancaman nyata terhadap Gugus Tugas Amfibi. Kasus di Lebanon pada Juli 2006 dapat dijadikan contoh, meskipun konteksnya bukan operasi amfibi. Seperti diketahui, ketika itu gerilyawan Hizbullah berhasil menembak kapal perang INS Ahi Hanit menggunakan rudal mobil yang berpangkalan di daratan. Hal seperti itu bisa terjadi pula pada operasi amfibi. Dengan proliferasi senjata saat ini, sangat mungkin senjata-senjata canggih akan jatuh ke tangan aktor non negara, sebagaimana kasus di Lebanon.
Untuk menghadapi ancaman rudal dari pantai, salah satu kemampuan yang harus dipunyai oleh Gugus Tugas Amfibi adalah peperangan elektronika. Peperangan elektronika merupakan satu di antara beberapa pekerjaan besar kekuatan laut Indonesia.