All hands,
Sebagian dari isu keamanan maritim yang dihadapi kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia di dalamnya, adalah karena propaganda kemakmuran. Propaganda kemakmuran itu dipancarkan lewat radio, televisi dan film yang substansinya adalah kemakmuran masyarakat suatu negara. Pancaran propanganda itu melintasi batas cakrawala, bukan sekedar batas negara. Akibatnya, muncullah isu keamanan maritim seperti migran ilegal yang menggunakan perairan Asia Tenggara untuk menuju negara yang gencar mempropagandakan kemakmurannya.
Para migran ilegal itu bukan orang miskin, mereka orang yang secara ekonomi mampu di negara asalnya. Karena mampu mengakses sarana informasi dan telekomunikasi di negaranya, mereka pun terbujuk oleh proganda tersebut. Lahirlah isu migran ilegal sebagai masalah keamanan maritim, karena mereka berupaya masuk negara tujuan tanpa menggunakan persyaratan yang ditetapkan.
Celakanya, negara yang gencar berpropaganda soal kemakmurannya menolak mentah-mentah kehadiran para migran ilegal tersebut. Secara cara ditempuh oleh negeri itu agar jangan sampai para pencari kemakmuran mencapai wilayah teritorialnya, sebab apabila telah sampai di wilayah teritorialnya maka negara propagandis itu harus menerima dan memproses mereka.
Indonesia yang berbatasan dengan negeri yang gencar berpropaganda soal kemakmurannya itu akhirnya kena getahnya. Negeri ini ditekan agar menangkap para migran ilegal yang melintasi perairan Indonesia, padahal secara hukum Indonesia tidak bisa menangkap mereka yang tengah berlayar melintasi perairan itu. Pertanyaannya, sampai kapan Indonesia mau menjadi bumper dari proganda kemakmuran itu?
2 komentar:
Saya jadi ingat pembicaraan tentang AMIS dengan salah satu profesor dari Wollongong University, beliau bilang negara Down Under ini memang sangat berkepentingan dengan Indonesia terkait dengan human&drugs trafficking dan akan terus mengembangkan AMIS. Buktinya AMIS ampuh sudah tampak, dari beberapa kali human trafficking kita selalu kalah cepat dapat informasi dari aparat sendiri, terus semua pada terkejut ketika kapal Customs mereka sudah di Selat Sunda bahkan ke Laut Natuna menghadang "manusia perahu" dari Srilangka. Meskipun jelas-jelas kejadian ini merupakan pelanggaran wilayah kedaulatan, tidak ada nada protes disuarakan para diplomat kita.
Jika hal ini dibiarkan saja, tidak lama lagi dimata mereka kita sama saja dengan PNG yang cukup dengan bilang "G'day mate" mereka bisa langsung masuk ke wilayah kita.
Salam.
Martin Tsamenyi atau Chris Rahman? Soal kapal mereka "nyasar" sebenarnya masalah gampang, cuma lagi-lagi faktor kultur tertentu lebih diutamakan daripada kepentingan nasional. Sebagian pengambil keputusan di negeri ini masih terbelenggu oleh faktor kultur, padahal dalam hubungan antar bangsa faktor kultur bukan pertimbangan no.1. Yang no.1 adalah kepentingan nasional. Sorry to say, some of the people of this nation cant say frankly "no" to others, include to foreign governments.
Posting Komentar