All hands,
Operasi amfibi tetap menjadi salah satu jenis operasi Angkatan Laut di dunia, meskipun teknologi telah maju. Yang membedakannya mungkin hanya soal tidak mutlaknya yaitu tumpuan pantai seiring dengan metode STOM. Namun demikian, STOM hanya bisa dilaksanakan oleh Angkatan Laut dengan armada heli angkut yang banyak dan dikawal oleh kekuatan tempur udara yang memadai. Bagi Angkatan Laut negara-negara berkembang, pelaksanaan STOM masih butuh waktu lama. Dengan demikian, operasi amfibi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut negara-negara itu masih akan menghadapi sejumlah ancaman dari pantai. Salah satunya datang dari pantai berupa rudal anti kapal kapal.
Dalam istilah lain, sistem senjata anti akses merupakan ancaman terhadap operasi amfibi. Secara teoritis, untuk menetralisasi ancaman tersebut maka harus dilakukan “penyapuan” sampai beberapa puluh kilometer di belakang garis pantai sebelum pendaratan amfibi pertama dilakukan. Di masa lalu upaya ini “tidak sulit”, karena saat itu senjata anti akses yang dapat dapat digelar dari daratan dan mempunyai daya rusak besar hanyalah meriam pantai. Kini dengan adanya rudal mobil khususnya, tidak menutup kemungkinan “penyapuan” lewat bombardemen dari laut dan udara tidak akan menghancurkan kekuatan senjata lawan secara keseluruhan.
Inilah ancaman nyata terhadap Gugus Tugas Amfibi. Kasus di Lebanon pada Juli 2006 dapat dijadikan contoh, meskipun konteksnya bukan operasi amfibi. Seperti diketahui, ketika itu gerilyawan Hizbullah berhasil menembak kapal perang INS Ahi Hanit menggunakan rudal mobil yang berpangkalan di daratan. Hal seperti itu bisa terjadi pula pada operasi amfibi. Dengan proliferasi senjata saat ini, sangat mungkin senjata-senjata canggih akan jatuh ke tangan aktor non negara, sebagaimana kasus di Lebanon.
Untuk menghadapi ancaman rudal dari pantai, salah satu kemampuan yang harus dipunyai oleh Gugus Tugas Amfibi adalah peperangan elektronika. Peperangan elektronika merupakan satu di antara beberapa pekerjaan besar kekuatan laut Indonesia.
Operasi amfibi tetap menjadi salah satu jenis operasi Angkatan Laut di dunia, meskipun teknologi telah maju. Yang membedakannya mungkin hanya soal tidak mutlaknya yaitu tumpuan pantai seiring dengan metode STOM. Namun demikian, STOM hanya bisa dilaksanakan oleh Angkatan Laut dengan armada heli angkut yang banyak dan dikawal oleh kekuatan tempur udara yang memadai. Bagi Angkatan Laut negara-negara berkembang, pelaksanaan STOM masih butuh waktu lama. Dengan demikian, operasi amfibi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut negara-negara itu masih akan menghadapi sejumlah ancaman dari pantai. Salah satunya datang dari pantai berupa rudal anti kapal kapal.
Dalam istilah lain, sistem senjata anti akses merupakan ancaman terhadap operasi amfibi. Secara teoritis, untuk menetralisasi ancaman tersebut maka harus dilakukan “penyapuan” sampai beberapa puluh kilometer di belakang garis pantai sebelum pendaratan amfibi pertama dilakukan. Di masa lalu upaya ini “tidak sulit”, karena saat itu senjata anti akses yang dapat dapat digelar dari daratan dan mempunyai daya rusak besar hanyalah meriam pantai. Kini dengan adanya rudal mobil khususnya, tidak menutup kemungkinan “penyapuan” lewat bombardemen dari laut dan udara tidak akan menghancurkan kekuatan senjata lawan secara keseluruhan.
Inilah ancaman nyata terhadap Gugus Tugas Amfibi. Kasus di Lebanon pada Juli 2006 dapat dijadikan contoh, meskipun konteksnya bukan operasi amfibi. Seperti diketahui, ketika itu gerilyawan Hizbullah berhasil menembak kapal perang INS Ahi Hanit menggunakan rudal mobil yang berpangkalan di daratan. Hal seperti itu bisa terjadi pula pada operasi amfibi. Dengan proliferasi senjata saat ini, sangat mungkin senjata-senjata canggih akan jatuh ke tangan aktor non negara, sebagaimana kasus di Lebanon.
Untuk menghadapi ancaman rudal dari pantai, salah satu kemampuan yang harus dipunyai oleh Gugus Tugas Amfibi adalah peperangan elektronika. Peperangan elektronika merupakan satu di antara beberapa pekerjaan besar kekuatan laut Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar