31 Maret 2010

Obligasi Pertahanan

All hands,
Berdasarkan proyeksi anggaran pertahanan hingga 15 tahun ke depan, kebutuhan minimum essential force (MEF) hanya dapat ditutupi sekitar 60 persen oleh anggaran pertahanan. Dengan demikian, terdapat 40 persen potensi kekurangan anggaran untuk mencapai postur yang sesuai dengan MEF. Tentu saja harus dicari alternatif bagaimana menutupi kekurangan yang 40 persen ini, sehingga kekuatan pertahanan Indonesia tidak semakin mundur dan ketinggalan dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Salah satu alternatif yang tersedia adalah melalui penerbitan obligasi, baik obligasi konvensional maupun sukuk alias obligasi syariah. Kedua obligasi itu telah ada aturannya di Indonesia dan kini telah digunakan oleh pemerintah untuk mendanai beberapa kegiatan yang tidak terkait dengan bidang pertahanan. Dengan penerbitan obligasi, pemerintah akan mendapatkan dana segar yang dapat digunakan untuk kepentingan modernisasi kekuatan pertahanan negeri ini.
Perlu diketahui bahwa penggunaan obligasi untuk kepentingan pertahanan di dunia internasional sebenarnya bukan suatu hal yang baru sama sekali. Ketika Perang Dunia Kedua tengah berkecamuk, Amerika Serikat menerbitkan War Bond untuk membiayai perang tersebut. Dalam perkembangan terkini, beberapa negara berkembang tengah mengarah pada penggunaan obligasi sebagai alat pembayaran bagi pengadaan sistem senjata baru.
Indonesia hendaknya tidak ketinggalan dengan kecenderungan terbaru itu. Di tengah keterbatasan dukungan anggaran, harus dicari sejumlah alternatif agar kemampuan pertahanan negeri ini tidak semakin menurun. Kata kunci dari semua itu adalah kemauan politik dan pengaturan alokasi anggaran bagi pertahanan tidak ditentukan sepenuhnya oleh kinerja ekonomi, tetapi lebih ditentukan oleh kemauan politik.

30 Maret 2010

Hidro Oseanografi Angkatan Laut Mau Kemana?

All hands,
Beberapa waktu lalu Bakosurtanal meresmikan kapal survei pertamanya. Dengan memiliki kapal survei ini, lembaga itu berambisi mengadakan survei dan pemetaan di laut untuk kepentingan keselamatan pelayaran. Ambisi lembaga itu harus diakui merupakan ancaman terhadap eksistensi Dinas Hidro Oseanografi Angkatan Laut yang berdiri berdasarkan Keppres No.164 Tahun 1960.
Berdasarkan Keppres itu, dinas ini membina dan melaksanakan fungsi survei dan pemetaan laut Indonesia yang meliputi survei, penelitian, pemetaan laut, publikasi, penerapan lingkungan laut dan keselamatan navigasi pelayaran untuk kepentingan nasional dan internasional serta kepentingan militer. Organisasi yang dulunya merupakan penggabungan dari lembaga hidrografi sipil dan Angkatan Laut ini juga merupakan wakil Indonesia di IHO.
Fungsi Dishidros adalah ganda, yaitu untuk kepentingan sipil dan militer. Kini fungsi untuk kepentingan sipil itu hendak diambil alih oleh Bakosurtanal, meskipun sebenarnya kompetensi lembaga itu dipertanyakan soal masalah keselamatan pelayaran. Kalau mau jujur, Departemen Perhubungan lebih berkompeten dan kuat secara hukum (nasional dan internasional) untuk melaksanakan urusan pemerintahan terkait keselamatan pelayaran di laut daripada Bakosurtanal. Silakan periksa Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dengan kondisi seperti ini, lalu langkah apa yang akan dilaksanakan oleh Dishidros? Apakah berbisnis seperti biasa dan baru akan bereaksi ketika kewenangan itu sudah direbut oleh Bakorsurtanal? Ataukah memang sudah siap untuk “dikebiri” menjadi lembaga survei dan pemetaan untuk kepentingan militer saja, meskipun Keppres No.164 Tahun 1960 masih berlaku?
Perlu refleksi mendalam soal ini pada rekan-rekan yang berdinas di satuan tersebut, sebelum arah ke depan ditentukan. Penentuannya tentu harus dilakukan oleh hirarki yang lebih tinggi dari lembaga itu. Apapun itu, keputusan dari hirarki yang lebih tinggi akan sangat tergantung masukan yang diberikan oleh Dishidros itu sendiri. Satu pertanyaan penting yang harus dijawab adalah apakah kinerja selama ini dalam survei dan pemetaan untuk kepentingan sipil dan militer sudah berimbang?
Untuk bisa mempertahankan kewenangan yang melekat pada Dishidros dari incaran lembaga lain yang tidak berkompeten, diperlukan refleksi atas apa yang telah dilakukan selama ini sebelum melangkah lebih jauh. Jangan sampai apa yang telah dilakukan selama ini justru menjadi amunisi bagi pihak lain untuk mengebiri fungsi Dishidros.

29 Maret 2010

Ancaman UAV Terhadap Kapal Atas Air

All hands,
Dalam peperangan di Afghanistan dan Irak, UAV memainkan suatu peranan baru yang tidak pernah disaksikan sebelumnya. Selain sebagai wahana pengintai, UAV kini telah bertransformasi sebagai alat pembunuh yang ekonomis dan murah dibandingkan sistem senjata konvensional. Untuk di mandala Afghanistan dan Pakistan saja, sudah berapa dedengkot kelompok perlawanan anti Amerika Serikat dan Pakistan yang tewas karena dihantam oleh rudal yang diluncurkan oleh UAV. Dari situ bisa dipastikan bahwa dalam konflik-konflik di masa depan yang melibatkan negara-negara maju, UAV akan semakin mengambil peran dan secara langsung ataupun tidak langsung merebut lahan yang selama ini didominasi oleh pesawat tempur berawak.
Bertolak dari pelajaran di Afghanistan dan Irak, perlu diantisipasi penggunaan UAV bagi kepentingan konflik di laut. Singkatnya, sangat terbuka peluang bahwa untuk melumpuhkan kapal atas air lawan maka penggunaan UAV akan semakin diintensifkan. Artinya, ancaman terhadap pertahanan kapal perang akan bertambah satu lagi yaitu UAV.
Karena RCS-nya yang kecil, sulit untuk membedakan UAV dengan benda lainnya di langit dalam radar pengamatan kapal perang. Berbeda misalnya dengan pesawat tempur konvensional yang diawaki. Dengan kecilnya RCS, UAV mampu memberikan pendadakan terhadap kapal perang atas air yang menjadi sasarannya.
Untuk menghadapi ancaman demikian, salah satu alternatif yang harus dikembangkan adalah memperkuat sistem pertahanan anti rudal pada setiap kapal permukaan. Cara ini sepertinya yang paling efektif dan ekonomis menghadapi kemungkinan ancaman UAV. Ketika menyentuh soal ini, kini banyak Angkatan Laut yang tengah memperkuat sistem pertahanan anti rudal kapal atas airnya. Meskipun tidak dimunculkan secara spesifik soal ancaman UAV, namun sebenarnya hal itu tidak dikesampingkan sama sekali. Sebab UAV hanyalah salah satu wahana peluncurnya, sementara fokusnya adalah pada rudal yang diluncurkan.

28 Maret 2010

Pemutakhiran Data Hidrografi Dan Oseanografi

All hands,
Dalam melaksanakan operasi, Angkatan Laut harus senantiasa didukung oleh data geografis yang mutakhir. Misalnya data hidrografi dan oseanograsi seperti peta laut yang senantiasa diperbarui. Dengan adanya pembaruan suatu peta laut, hal itu meminimalkan kemungkinan terjadinya kecelakaan seperti kapal kandas dan lain sebagainya. Masalah pemutakhiran data hidrografi dan oseanografi inilah yang kini dihadapi oleh kekuatan laut Indonesia.
Pemutakhiran data hidrografi dan oseanografi perairan Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang sangat besar. Tidak sedikit peta laut belum dimutakhirkan dalam waktu yang lama, terlebih lagi di perairan Indonesia timur. Dahulu Belanda butuh waktu puluhan tahun untuk bisa memetakan seluruh perairan Indonesia.
Dengan demikian, pihak yang bertanggungjawab atas masalah survei dan pemetaan laut di Indonesia (dan Angkatan Laut) memerlukan waktu puluhan tahun pula untuk bisa memutakhirkan seluruh peta laut yang ada. Di samping itu, dibutuhkan pula dukungan dana yang tidak sedikit pula bagi pemutakhiran tersebut. Pertanyaannya, apakah kini pekerjaan rumah tersebut sudah menjadi prioritas?
Tantangan lain dalam pemutakhiran peta laut adalah kemampuan unsur pelaksana. Seperti peralatan survei yang memadai dan modern dan dukungan kapal survei yang cukup. Dua isu itu masih menjadi pekerjaan rumah bagi pihak yang bertanggungjawab atas masalah survei dan pemetaan laut di Indonesia. Kapal survei yang benar-benar kapal survei tinggal satu, itu pun peralatannya sudah ketinggalan. Sementara rencana pengadaan kapal survei baru hingga kini belum ada kata akhir.
Keandalan Indonesia dalam memutakhirkan peta lautnya merupakan pertaruhan di dunia internasional. Bila dinilai tidak andal, tidak heran bila pihak asing lebih suka membeli peta laut yang diterbitkan oleh UKHO, walaupun peta itu tentang perairan Indonesia.

27 Maret 2010

Pengawalan Konvoi Di Somalia

All hands,
Pengawalan konvoi merupakan bisnis Angkatan Laut sepanjang masa. Setelah pengawalan konvoi besar-besaran digelar di perairan Teluk Persia semasa Perang Tanker di tahun 1987-1988, kini operasi serupa digelar di perairan Somalia dan sekitarnya. Kapal perang negara-negara NATO, Uni Eropa dan beberapa negara lain memberikan pengawalan konvoi terhadap kapal niaga yang melintas di perairan sekitar negara yang terus bergejolak sejak 1991 itu.
Kondisi itu secara tidak langsung memberikan pelajaran kepada Indonesia, dalam hal ini kekuatan lautnya. Pelajaran tersebut adalah perlu terus dipeliharanya kemampuan melaksanakan pengawalan konvoi. Mengingat ancaman terhadap pengawalan konvoi bisa datang dari dimensi bawah air, permukaan dan udara, suka atau tidak suka kapal perang Angkatan Laut dituntut mempunyai kemampuan menghadapi tiga dimensi ancaman tersebut.
Sebab meskipun dalam kasus Somalia ancaman yang dihadapi bersifat asimetris dari sisi persenjataan, namun tetap harus diingat bahwa ancaman tradisional terhadap konvoi adalah kemampuan peperangan laut konvensional lawan. Dengan demikian, mempunyai dan memelihara kemampuan yang terkait dengan pengawalan konvoi merupakan keharusan. Artinya, kapal perang yang disiapkan untuk melaksanakan tugas tersebut harus diperkuat dengan persenjataan yang memadai dan senjata tersebut dapat berfungsi.
Tentu menjadi pertanyaan apakah mungkin kekuatan laut negeri ini akan melaksanakan pengawalan konvoi? Jawabannya mungkin saja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri misalnya sudah sering dipraktekkan dalam latihan-latihan yang digelar, meskipun kadang kala skenarionya kurang sesuai dengan kenyataan. Adapun di luar bisa pula dilaksanakan apabila pemerintah berpikir luas dan berjangka panjang, misalnya mengamankan kepentingan Indonesia di perairan Somalia dan sekitarnya.

26 Maret 2010

Peran Departemen Pertahanan

All hands,
Di Amerika Serikat, perang Departemen Pertahanan adalah to field, sustain, and employ the military capabilities needed to protect the United States and its allies and to advance our interests. Dari situ jelas bahwa bisnis yang dimainkan oleh Departemen Pertahanan adalah soal mempersiapkan dan mengerahkan kekuatan militer untuk mengamankan Amerika Serikat, sekutu dan memajukan kepentingan nasional. Departemen Pertahanan Amerika Serikat berbisnis dengan urusan perang, bukan urusan lainnya termasuk urusan bencana alam.
Di Indonesia, sempat muncul kesan bahwa peran Departemen Pertahanan di negeri ini adalah urusan bencana alam. Sebab sistem senjata militer yang diprioritaskan untuk disiapkan adalah yang bersifat angkutan. Sehingga terkesan bahwa Angkatan Laut mau diubah menjadi Angkutan Laut, begitu pula Angkatan Udara hendak ditransformasikan menjadi Angkutan Udara. Semua itu karena bencana alam yang sering terjadi dalam skala besar, khususnya jumlah korban dan luasan daerah yang terpengaruh.
Untunglah kesan adanya peran sebagai pengurus bencana alam kini sudah mulai terhapus, karena Departemen Pertahanan kini mulai serius mendalami bisnisnya yaitu memperkuat pertahanan melalui pengadaan berbagai jenis sistem senjata baru untuk kebutuhan mengamankan kepentingan nasional, bukan untuk menghadapi bencana alam. Keseriusan itu bisa terlihat terlihat dalam menangani minimum essential force.
Ke depan, Departemen Pertahanan hendaknya tidak mengulangi kekeliruan tersebut lagi. Bagaimanapun, eksistensi departemen ini adalah untuk urusan terkait dengan pertahanan, bukan mengurus masalah sosial.

25 Maret 2010

Geopolitik, Militer Dan Ekonomi

All hands,
Instrumen kekuatan nasional terdiri dari beberapa unsur, di antaranya adalah militer dan ekonomi. Hubungan antar keduanya terlalu sederhana bila sekedar ditinjau dari seberapa mampu instrumen ekonomi mendukung pembangunan kekuatan militer. Relasi ekonomi dengan militer sangat luas, termasuk pula di dalamnya tentang peran instrumen ekonomi untuk melumpuhkan kekuatan ekonomi lawan.
Dalam era globalisasi, instrumen ekonomi sangat sering digunakan untuk menghadapi negara lain yang dikategorikan sebagai ancaman. Bentuk penggunaannya bukan sekedar penjatuhan mata uang negara lain, tidak saja berupa penerapan sanksi ekonomi, tetapi mencakup pula penguasaan mesin ekonomi negara yang dipersepsikan sebagai ancaman tersebut. Lihat saja kebijakan Indonesia yang membuka pintu bagi penguasaan industri perbankan dan telekomunikasinya oleh negeri penampung koruptor dan Negeri Tukang Klaim, begitu pula tindakan Cina memborong surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika Serikat.
Celakanya, di Indonesia tidak ada kebijakan kepada para pemain ekonomi nasional ---BUMN khususnya--- untuk meniru langkah yang dilakukan oleh Singapura dan beberapa negara lainnya. Sebagian besar BUMN lebih sibuk berekspansi di dalam negeri dengan alasan pasar dalam negeri sendiri sangat besar. Alasan tersebut tidak salah, namun pemerintah juga harus berpikir strategis dan visioner dalam mengarahkan BUMN.
Masalahnya, apakah pemerintah mampu berpikir strategis dan visioner? Kalau wawasan strategisnya kurang, sulit untuk berhadap. Wawasan strategis bukan saja soal ekonomi, tetapi bagaimana keterkaitan ekonomi dengan geopolitik, geostrategi, pertahanan dan lain sebagainya. Nampaknya percuma negeri ini mempunyai Wawasan Nusantara, tetapi tidak paham bagaimana mengimplementasikannya.

24 Maret 2010

Pengembangan Kapal Selam Midget

All hands,
Apa yang ditakutkan oleh Armada Ketujuh Amerika Serikat di perairan sekitar Semenanjung Korea? Jawabannya bukan rudal anti kapal Korea Utara, tidak pula rudal nuklir negeri yang dijuluki sebagai Hermit Kingdom itu. Yang ditakuti oleh U.S. Navy adalah armada kapal selam midget.
Mengapa ditakuti? Karena dengan dimensinya yang kecil, kapal selam ini mampu melaksanakan pendadakan dengan torpedo sebagai andalannya. Dalam konflik dengan Seoul sejak dahulu, Pyongyang tercatat pernah beberapa kali melaksanakan infiltrasi pasukan komandonya ke wilayah Korea Selatan menggunakan kapal selam midget.
Selain Korea Utara, Pakistan lewat Angkatan Lautnya juga menggunakan kapal selam midget. Tentu tidak sulit menebak siapa yang menjadi sasaran kapal selam midget negeri kelahiran Mohammad Iqbal tersebut. Eksistensi kapal selam midget Islamabad selama ini memang jarang diekspose.
Kekuatan laut Indonesia membutuhkan berbagai jenis senjata yang mematikan, di antaranya untuk menggelar strategi anti akses. Sebenarnya sejak dahulu sudah sempat dimunculkan konsep kapal selam midget di negeri ini, namun sangat disayangkan konsep itu belum mendapat sambutan yang memadai. Padahal eksistensi kapal selam midget diyakini akan meningkatkan kemampuan peperangan bawah air Indonesia dengan tidak mengabaikan sama sekali kapal selam ukuran besar yang juga merupakan senjata ampuh.
Perlu dipertimbangkan secara matang apakah benar kekuatan laut Indonesia tidak perlu dipersenjatai dengan kapal selam midget? Soal di mana kapal selam tersebut akan digunakan, tidak perlu dipertanyakan. Sebab dengan kondisi geografis kawasan Indonesia dan Asia Tenggara, tak sulit mengidentifikasi wilayah operasionalnya nanti.

23 Maret 2010

Implikasi Eksistensi Landing Helicopter Deck Ship Australia

All hands,
LHD Australia kelas Canberra yang akan dimiliki oleh RAN dalam beberapa tahun ke depan dirancang untuk mampu melaksanakan proyeksi kekuatan. Tiap LHD didesain untuk mengangkut seribu pasukan pendarat beserta perlengkapan tempurnya, termasuk helikopter. Dengan demikian, adanya tiga LHD berarti sama dengan kemampuan memproyeksi sekitar satu brigade pasukan Angkatan Darat. Hitungan tersebut di luar fasilitas untuk para kru LHD.
Dari situ bisa ditebak bahwa eksistensi LHD dalam susunan tempur RAN akan memberikan implikasi terhadap negara-negara di sekitarnya, khususnya negara-negara yang tidak selamanya sejalan dengan pandangan dan aspirasi politik Australia. Termasuk di dalamnya adalah Indonesia yang merupakan pintu keluar masuk Australia dari arah utara. Apa implikasi bagi Indonesia dari eksistensi LHD?
Jawabannnya singkat, yaitu Australia mempunyai kemampuan yang lebih meningkat dibandingkan saat ini untuk merespon kontinjensi yang terjadi di wilayah Indonesia, baik karena konflik maupun bencana alam. Konflik bisa berupa konflik antar negara, dapat pula konflik dalam negara. Wilayah yang rawan konflik dalam negara di Indonesia adalah kawasan Indonesia Timur yang dianggap oleh Canberra sebagai wilayah pengaruhnya.
Bertolak dari kondisi ini, dibutuhkan strategi untuk menghadapi skenario terburuk. Salah satunya di bidang militer, sehingga menjadi pertanyaan strategi apa yang hendak dikembangkan? Apakah penguatan kembali kemampuan anti akses? Penguatan kemampuan anti akses layak jadi pertimbangan, dengan catatan pemerintah harus siap dengan konsekuensi biayanya.

22 Maret 2010

Kerangka Cina Sebagai Pesaing Amerika Serikat

All hands,
Memperhatikan kecenderungan dalam beberapa waktu terakhir di lingkungan U.S. Navy, arus utamanya berfokus membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan Angkatan Laut Negeri Tembok Bambu alias Cina. Sebagai contoh, dalam jurnal milik U.S. NWC, salah satu temanya mengupas tentang perkembangan terakhir ambisi pembangunan kapal induk Cina. Belum lagi di jurnal militer lainnya, juga berfokus pada pembangunan kekuatan militer Cina.
Lalu apa makna dalam semua itu? Jawabannya sederhana dan singkat, yakni Amerika Serikat telah memandang bahwa kebangkitan militer Cina kini telah mempunyai kerangka. Walaupun kerangka itu belum diisi dengan daging, namun kondisi itu sudah cukup mengusik kemapanan yang selama ini dinikmati oleh Washington.
Amerika Serikat mengikuti dengan cermat operasi Angkatan Laut Cina di perairan sekitar Somalia. Hal itu terkait dengan kemampuan PLAN melaksanakan operasi Angkatan Laut jarak jauh. Lalu apa temuan Amerika Serikat dari pengamatan tersebut?
Satu di antara temuan itu adalah menyangkut logistik. Angkatan Laut Cina mengkombinasi dua pendekatan untuk logistik kapal perangnya, yaitu RAS dan bunker di pelabuhan-pelabuhan “negara sahabat” Cina.
Untuk bergantung pada RAS sepenuhnya, masih sulit buat PLAN. Sehingga membuat bunker bahan bakar dan logistik lainnya di sejumlah negara yang dianggap sebagai “sahabat” adalah pendekatan lain yang dipilih oleh Cina. Perkembangan ini menarik untuk diikuti kelanjutannya.
Pertanyaannya, apakah kini PLAN telah mampu melaksanakan operasi Angkatan Laut jarak jauh? Untuk kemampuan terbatas Angkatan Laut Cina sudah mampu, namun untuk kemampuan penuh masih butuh waktu minimal 19-20 tahun lagi. Apabila mendasarkan diri pada kemampuan penuh, maka PLAN harus mampu beroperasi tanpa dukungan bunker di sejumlah “negara sahabat”.
Tentu menarik pula apa langkah pendekatan yang akan dilakukan oleh Washington secara politik terhadap “negara-negara sahabat” Beijing untuk mengurangi kemampuan akses negeri penyensor internet, khususnya akses ke pelabuhan-pelabuhan laut yang memfasilitasi bunker bagi Angkatan Laut Cina.

21 Maret 2010

Meragukan Ambisi Kapal Selam Australia

All hands,
Pengadaan 12 kapal selam konvensional baru bagi RAN untuk menggantikan enam kapal selam diesel elektrik kelas Collins telah dinyatakan dalam Buku Putih Pertahanan Australia 2009 dan dijabarkan secara rinci Defence Capability Plan. Pertanyaannya, realistiskah pengadaan 12 kapal selam itu dikaitkan dengan kondisi dan kemampuan Australia saat ini? Guna menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang harus ditinjau.
Pertama, aspek anggaran. Menurut perkiraan Andrew Davies dari ASPI, biaya yang harus dikeluarkan dari kantong pemerintah Australia untuk pembelian 12 kapal selam itu lebih dari AU$ 36 milyar. Meskipun Australia adalah negara maju, namun perekonomian mereka tetap tergantung pada kondisi global sebagai dampak dari kebijakan mengintegrasikan ekonominya ke dalam ekonomi global. Dengan kata lain, masih ada ketidakpastian hingga 2030 tentang kemampuan ekonomi Australia mendukung program akuisisi 12 kapal selam baru.
Kedua, aspek teknologi. Kebijakan pertahanan Australia menggariskan bahwa 12 kapal selam itu harus dibangun di galangan kapal dalam negeri. Kemampuan galangan kapal nasional Australia dalam membuat kapal selam tidak diragukan, meskipun masih jauh dibandingkan kemampuan galangan Jerman yang dimotori oleh TKMS (induk HDW). Tantangan terbesar bagi galangan kapal Australia untuk menyediakan 12 kapal selam baru adalah kemampuan desain dan pengembangan, sebab mengacu pada opsreq yang minta oleh RAN, ukuran kapal selam konvensional itu 30 persen lebih besar daripada kelas Collins.
Kapal selam kelas Collins tonasenya 3.300 ton, sehingga tonase kapal selam baru sekitar 4.290 ton. Dengan tonase yang demikian, dibutuhkan sejumlah teknologi yang mampu memenuhi opsreq RAN. Terkait dengan hal itu, mau tidak mau negeri di mana kaum Aborigin tertindas ini membutuhkan bantuan dari Amerika Serikat. Kemampuan Amerika Serikat dalam soal teknologi kapal selam tidak perlu diragukan lagi, hanya saja Sam pengetahuan Uwak soal pengembangan kapal selam diesel elektrik tidak sekaya Jerman.
Masih terkait dengan teknologi, jangan dilewatkan pula pengalaman RAN mengoperasikan kapal selam kelas Collins. Seperti diketahui, kapal selam ini merupakan pembesaran dimensi dari kapal selam rancangan Swedia. Pembesaran itu pula yang dituding sebagai penyebab mengapa Collins seringkali sakit dalam masa hidupnya di armada kapal selam Australia. Kasus Collins dapat dikaitkan langsung dengan ambisi RAN mengoperasikan kapal selam diesel elektrik yang jauh lebih besar daripada Collins.
Ketiga, sumber daya manusia. Dibandingkan dengan di Angkatan Laut Indonesia, arus take in dan take out personel di RAN jauh lebih tinggi. Untuk pensiun dini atau keluar dari dinas di Angkatan Laut Australia jauh lebih mudah daripada aturan serupa yang berlaku di kekuatan laut Indonesia. Pada sisi lain, minat warga Australia untuk menjadi anggota militer ---termasuk RAN--- jauh lebih rendah dibandingkan minat warga Indonesia.
Hingga sekarang, hanya dua dari enam kapal selam kelas Collins yang siap dioperasikan oleh Australia. Penyebabnya tak lain adalah kekurangan personel berkualifikasi kapal selam. Bercermin dari situ, bisa dihitung berapa kebutuhan personel minimal untuk mengoperasikan 12 kapal selam baru nantinya. Sementara ke depan diperkirakan minat warga Negeri Kangguru untuk mengabdi di Angkatan Lautnya tidak akan lebih baik dari kondisi saat ini.

20 Maret 2010

Konstelasi Baru Kapal Selam Di Asia Tenggara

All hands,
Kecenderungan Indonesia mengakuisisi kapal selam jenis tertentu yang dilengkapi dengan AIP tidak banyak mengubah konstelasi kapal selam di kawasan Asia Tenggara yang sudah eksis saat ini. Sebab teknologi kapal selam yang ada masih berkisar pada teknologi Jerman, Swedia dan Prancis. Itu pun dengan catatan bahwa teknologi Swedia bukanlah berdiri sendiri, tetapi berakar pada teknologi Jerman.
Masih tetapnya konstelasi itu jelas menyenangkan Amerika Serikat yang merasa terancam apabila lebih banyak negara di Asia yang mengandalkan kapal selam produksi negara bukan sekutunya sebagai tulang punggung kekuatan kapal selamnya. Namun di sisi lain, bukan berarti kehadiran kapal selam asal negara sekutunya di Asia Tenggara sepenuhnya menyenangkan buat Broer Sam, sebab U.S. Navy sampai sekarang masih merasa bahwa salah satu ancaman terbesar baginya adalah kapal selam konvensional.
Dengan tidak adanya perubahan signifikan dalam konstelasi kapal selam di kawasan ini, berarti pertarungan yang terjadi ke depan bukan lagi soal teknologi. Ranah pertarungan beralih menjadi kemampuan taktik dan teknis peperangan kapal selam. Ketika memasuki domain itu, selain intensitas latihan, hal lain yang secara signifikan menentukan adalah pengalaman operasional penggunaan kapal selam. Soal pengalaman ini tidak bisa diby pass oleh negara-negara yang baru mengoperasikan kapal selam, seberapa canggihnya pun kapal selam yang dipunyai.
Armada kapal selam Indonesia mempunyai keunggulan pada ranah pengalaman pengoperasian kapal selam. Pengalaman itulah yang sudah seharusnya dieksploitasi dalam pengoperasian kapal selam, termasuk kapal selam berteknologi AIP nantinya. Adapun hal yang harus dibenahi dalam kemampuan peperangan kapal selam negeri ini adalah dukungan data dan informasi soal hidrografi dan oseanografi. Satuan kerja Angkatan Laut yang bertanggungjawab di bidang hidrografi dan oseanografi merupakan pihak yang bertanggung jawab soal yang terakhir itu.

19 Maret 2010

Penangkalan Dan Diplomasi

All hands,
Kebijakan pertahanan Singapura menganut 4 D, yaitu deterrence, diplomacy, defense and development. Pembahasan di sini akan dibatasi pada aspek penangkalan dan diplomasi. Kalau mengacu pada teori penangkalan, antara penangkalan dan diplomasi tidak dapat dipisahkan. Keduanya bagaikan dua sisi dari sebuah koin yang sama.
Instrumen penangkalan masa kini telah meluas sehingga instrumen militer bukan satu-satuna perangkat untuk kepentingan tersebut. Pendekatan seperti itu juga diadopsi oleh Singapura. Salah satu instrumen penangkalan yang digunakan oleh negeri di mana Puak Melayu sebagai pemilik asli pulau itu tersingkir oleh etnis lainnya adalah ekonomi. Disadari atau tidak, Temasek yang dipunyai oleh keluarga penguasa Singapura adalah pemain utama dalam instrumen ekonomi guna kepentingan penangkalan. Bahkan kebijakan ekonomi Indonesia dengan senang hati membuka pintu lebar bagi penetrasi Temasek beserta guritanya ke berbagai sektor ekonomi dan komunikasi Indonesia tanpa sadar bahwa kebijakan itu sebenarnya menggadaikan negeri yang luasnya berkali-kali lipat dari Singapura.
Di samping penangkalan, negeri yang kekuatan militernya belum pernah melahirkan seorang Jenderal dari Puak Melayu ini juga memanfaatkan instrumen diplomasi. Para diplomat mereka sangat paham dengan pertahanan, bisa jadi karena mereka juga anggota cadangan kekuatan militer negerinya. Karena paham dan fasih soal pertahanan, mereka tidak alergi dengan rekan-rekan mereka yang berdinasi di kemiliteran. Sebaliknya, selalu ada kesatuan langkah antara instrumen militer dengan instrumen diplomasi.
Militer adalah salah satu instrumen penangkalan yang diandalkan oleh negeri yang mengimpor air dari Negeri Tukang Klaim tersebut. Sesuai dengan tugasnya, militer Singapura antara lain melaksanakan penangkalan. Kegiatan penangkalan itu berada dalam satu paduan dengan instrumen diplomasi. Hasilnya, daya tawar Singapura diperhitungkan di kawasan.
Bandingkan dengan Indonesia. Meskipun nantinya kekuatan militer Negeri Nusantara bisa dipulihkan sehingga kembali mempunyai otot penangkalan, otot itu tidak akan berkontribusi optimal apabila tidak dipadukan dengan instrumen diplomasi. Ketika menyentuh soal ini, justru masalah muncul di sini. Sebab pemikiran antara para perencana militer/pertahanan di negeri ini selalu bertolak belakang dengan pemikiran para diplomat. Kondisi diperparah dengan kurang menonjolnya kepemimpinan nasional mengatur soal krusial ini.

18 Maret 2010

Pemahaman Terhadap Strategi Militer

All hands,
Strategi militer di masa lalu dirancang untuk menghadapi situasi perang. Seiring dengan berjalannya waktu, eksistensi strategi militer kini bukan saja untuk menghadapi situasi perang, tetapi eksis pula pada masa damai. Sebab dalam masa damai kekuatan militer tetap melaksanakan berbagai macam operasi.
Dengan adanya berbagai perubahan di dunia, sekarang penyusunan strategi militer tidak lagi didominasi oleh para perwira militer itu sendiri. Mengapa demikian? Karena setiap aksi militer masa kini dipastikan akan berimplikasi luas dan menyentuh aspek-aspek di luar militer seperti politik, ekonomi, lingkungan dan lain sebagainya. Itulah alasan mengapa sekarang penyusunan strategi militer melibatkan unsur-unsur sipil terkait.
Di negara-negara maju, para perwira militer duduk bersama di ruangan yang sama dengan para pejabat sipil dari Dewan Keamanan Nasional atau sejenisnya, Departemen Pertahanan, Departemen Luar Negeri dan lain sebagainya untuk menyusun strategi militer. Mereka yang duduk di ruang tersebut ---lepas dari dikotomi militer atau sipil--- mempunyai pemahaman yang sama tentang bagaimana penggunaan kekuatan militer untuk mengamankan kepentingan nasional. Tidak jarang pula, para pejabat sipil tersebut paham dengan seluk beluk pemikiran militer, bahkan mungkin beberapa di antara mereka dulunya adalah perwira militer.
Di Indonesia, kekuatan militer negeri ini melaksanakan operasi setiap hari. Lihat saja kapal perang Angkatan Laut yang tiap hari hadir di beberapa kawasan perairan yang dinilai strategis, hal itu menunjukkan bahwa mereka tengah menggelar operasi. Namun aneh bin ajaib, sampai sekarang militer Indonesia belum mempunyai strategi militer. Tentu menjadi pertanyaan menggelitik yakni apa acuan yang dijadikan dasar dari operasi yang dilaksanakan sehari-hari tersebut.
Tak dapat dibantah ada beberapa acuan yang bisa dijadikan alasan, tetapi tanpa didukung pula oleh acuan yang bernama strategi militer maka segalanya menjadi aneh. Laksana konser musik klasik, tidak kehadiran dirijen akan menyebabkan suara yang dihasilkan oleh berbagai alat musik menjadi tidak enak didengar di telinga. Strategi militer adalah dirijen dalam menggelar operasi, baik di masa damai, krisis maupun konflik/perang.
Konon sejak beberapa tahun lalu sudah ada wacana untuk menyusun strategi militer Indonesia. Yang sangat disayangkan, nampaknya wacana itu masih menganut paradigma lama yaitu penyusunan strategi militer merupakan domain militer. Paradigma seperti itu sudah seharusnya ditinggalkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Nanti kasus-kasus di masa lalu di mana seorang Duta Besar Indonesia di suatu negara akreditasi dipanggil ke Departemen Luar Negeri negara akreditasi karena suatu aksi militer Indonesia ---misalnya kapal ikannya ditembak oleh kapal perang Indonesia--- dan sang Duta Besar tidak tahu kronologis kejadian beserta informasi lengkapnya, akan kembali terus terulang.

17 Maret 2010

Memperkuat Perimeter Pertahanan

All hands,
Strategi pertahanan negeri para penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia telah lama berubah dari Strategi Udang Beracun menjadi Strategi Landak. Kenapa berubah? Sebab menurut para petinggi negeri itu, udang hanya punya dua pilihan yaitu menyerah atau mati. Sementara kalau landak, pilihan untuk hidup (dan tidak menyerah) masih ada.
Dengan menganut strategi landak, Singapura tidak berharap negara yang lawannya mati terkena sengatan “racun”, tetapi negara lawan itu harus menanggung kerugian yang besar karena berani melawan negeri di mana Puak Melayu tidak terlalu dipercaya untuk berkarir di dunia militer hingga pangkat tertinggi. Untuk menimbulkan kerugian yang besar itu maka pembangunan kekuatan militer Singapura terus dipacu.
Clausewitz menyatakan bahwa “the best form of defense is attack”. Terkait dengan implementasi Strategi Landak, dapat dipastikan bahwa negeri penampung koruptor itu akan menyerang terlebih dahulu dan bukan menunggu di negerinya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila sebagian sistem senjata negeri itu ditempatkan di luar negeri. Asumsinya, sistem senjata tersebut diharapkan mampu memberikan second strike.
Dikaitkan dengan Indonesia, Singapura mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pre-emptive strike. Serangan itu bisa terjadi apabila kedua negara mempunyai masalah yang tidak bisa diselesaikan secara diplomatik dan Singapura memandang hal itu mengancam kelangsungan hidupnya. Lalu muncul pertanyaan yaitu bagaimana mengantisipasi pre-emptive strike?
Salah satu kebijakan yang bisa ditempuh adalah memperkuat pertahanan di wilayah-wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negeri penampung koruptor itu. Kemampuan pre-emptive strike-nya harus dilumpuhkan dari perimeter terluar Indonesia, bukan menunggu pre-emptive strike tersebut mencapai Jakarta sebagai salah satu center of gravity Indonesia. Artinya, kemampuan pertahanan di wilayah Riau dan Kepulauan Riau harus digenjot alias ditingkatkan dari kondisi saat ini. Pada sisi lain, harus diwaspadai pula ancaman serupa dari sistem senjata negeri yang dikuasai oleh satu keluarga turun temurun itu yang berada di sekitar Indonesia, khususnya dari Australia.
Indonesia sejak dini harus bisa mengidentifikasi isu-isu apa saja yang potensial memicu konflik dengan negeri tempat pelarian para koruptor tersebut. Misalnya isu air bersih, isu FIR, isu keamanan maritim di sekitar negara pulau tersebut, isu pasokan gas dari Natuna dan Pulau Sumatera dan lain sebagainya. Dengan identifikasi tersebut, diharapkan semua pihak terkait di Indonesia khususnya pengambil keputusan siap dengan kontinjensi.

16 Maret 2010

Kemenangan Dan Harga Yang Harus Dibayar

All hands,
Ketika membahas soal kemenangan, semua pihak harus bisa membagi dan mendefinisikan kemenangan. Apakah kemenangan dalam arti taktis, strategis atau politis? Ketiga jenis kemenangan tersebut tidak selamanya selama berbanding lurus, bahkan seringkali berbanding terbalik. Sebelum lebih jauh mengupas soal itu, ada baiknya bila kita melihat definisi kemenangan menurut beberapa praktisi militer.
Jenderal Douglas MacArthur ketika Perang Korea tengah berkobar mengeluarkan ucapannya yang terkenal hingga sekarang. “There is no substitute for victory!” Begitu kata sang Panglima Tertinggi Sekutu di Timur Jauh menanggapi upaya perundingan antara Sekutu versus Korea Utara-Cina.
Lebih dari satu abad sebelum MacArthur menitahkan ucapannya tersebut, Jenderal Carl Von Clausewitz asal Prusia menuliskan pendapatnya dalam Vom Kriege, yaitu “Blood is the price of victory”. Pendapat Clausewitz itu dikeluarkan setelah dia mengalami sendiri dan kemudian menuangkan pengalamannya dalam Perang Napoleon dalam buku yang nantinya terkenal setelah dia meninggal pada 1831.
Kembali kepada soal kemenangan, perlu dipahami betul. Mengacu pada pengalaman Amerika Serikat di Vietnam, secara taktis kekuatan militer Broer Sam selalu meraih kemenangan dalam banyak pertempuran dengan menimbulkan kerugian jiwa dan material yang jauh lebih besar pada pihak lawannya. Namun dari aspek strategis dan politik, tentara Amerika Serikat berada di pihak yang kalah. Sebab perang itu sangat tidak populer di dalam negeri Broer Sam sendiri.
Bahkan tidak sedikit pihak di Amerika Serikat yang berpendapat bahwa Perang Vietnam sebenarnya adalah perangnya McNamara. McNamara yang dimaksud di sini adalah Robert McNamara Menteri Pertahanan 1961-1968 di masa dua administrasi yaitu Kennedy dan Johson. Kalkulasi perang yang digunakan oleh McNamara menggunakan pendekatan yang ilmiah, sementara situasi di lapangan di Vietnam tidak dapat diprediksi dengan pendekatan ilmiah. Tidak heran bila McNamara dan para pengikutnya di Pentagon dijuluki sebagai Whizzkid dan seringkali mereka berbeda pendapat dengan para Jenderal dan Laksamana yang sudah merasakan asam garamnya perang.
Harga yang harus dibayar oleh Amerika Serikat dari Vietnam sangat mahal. Di dalam negeri terjadi perpecahan antara pemerintah dengan warga, para veteran yang pulang dari Vietnam ---apalagi kalau menderita cacat seumur hidup--- dilecehkan oleh para aktivis anti perang, meningkatnya anggaran pertahanan yang ditujukan untuk merawat para cacat veteran dan lain sebagainya. Khusus terkait dengan militer, kepercayaan dan kebanggaan warga Broer Sam terhadap Angkatan Bersenjatanya menurun jauh dan baru bisa dipulihkan secara total lewat petualangan ke Panama 1988 dan ke Kuwait-Irak 1990.
Terkait soal kemenangan, sejarah perang Indonesia menunjukkan bahwa militer negeri ini lebih banyak meraih kemenangan strategis dan politik, tetapi tidak pada kemenangan taktis. Namun tidak jarang pula Indonesia loss pada tingkat strategis dan politis, seperti terlihat di Timor Timur. Semua kemenangan dan kegagalan itu harus dibayar dengan mahal oleh Indonesia.
Dari kasus Timor Timur saja, bayarannya antara lain adalah embargo senjata dan penetapan sejumlah petinggi militer oleh pihak-pihak tertentu dalam daftar hitam mereka. Tentu saja ada harga lain yang harus dibayar, misalnya di bidang ekonomi dan sosial yang tidak perlu dirinci di sini.
Singkatnya, meskipun dalam perang tetap berlaku diktum Clausewitz yaitu fog and friction, akan tetapi kita harus tetap siap dengan biaya alias cost yang akan ditanggung. Seperti titah MacArthur yaitu “there is no substitute for victory!”, maka kemenangan itu harus diraih. Khusus bagi militer, tugasnya adalah to fight and win!!! Soal kemenangan politis, itu bukan domain militer.
Namun harus diingat, meskipun Clausewitz menyatakan bahwa “blood is the price for victory”, bukan berarti personel negeri ini tidak dilindungi secara maksimal untuk meraih kemenangan itu. Pernyataan sang Jenderal asal Prusia bukan alasan untuk tidak melengkapi personel militer dengan perlengkapan pelindung diri, seperti rompi anti peluru, kendaraan lapis baja dan lain sebagainya.

15 Maret 2010

Pembagian Kapling Pasar Senjata Dunia

All hands,
Pasar senjata dunia sudah dikapling-kapling oleh negara-negara maju. Pembagian kapling itu didasarkan pada wilayah pengaruh masing-masing. Suatu negara pembuat senjata yang akan memasarkan produknya ke suatu negara di luar kaplingnya akan sulit dan membutuhkan waktu panjang, walaupun hal itu bukan kemustahilan. Sebagai contoh tidak perlu melihat jauh, cukup amati saja kawasan Asia Tenggara.
Sistem senjata di kawasan ini masih didominasi oleh Amerika Serikat. Upaya negara-negara lain untuk masuk dikapling ini sungguh tidak mudah dan melalui jalan berliku. Lihatlah upaya Prancis menjual fregat kelas Formidable kepada Singapura yang diimbangi Singapura dengan terus memperkuat kekuatan udaranya dengan sumber pasokan dari Amerika Serikat. Hal itu karena kawasan ini merupakan kapling Amerika Serikat.
Begitu pula dengan upaya Indonesia memperoleh sejumlah sistem persenjataan dari Rusia yang melewati lautan berombak dan penuh badai. Sebab kehadiran sistem senjata asal Moskow akan mengganggu keseimbangan di kawasan, di samping tentu saja masuknya sistem senjata dari negara non sekutu Washington. Perhatikan bahwa mayoritas kapal perang yang memperkuat Angkatan Laut di Asia Tenggara adalah buatan negara-negara sekutu Amerika Serikat, sementara pesawat tempurnya mayoritas masih didominasi oleh keluaran pabrik-pabrik milik Broer Sam.
Selain Negeri Om Putin, Negeri Om Mao pun mulai memperkuat kehadirannya di kapling Amerika Serikat. Kalau dulu Om Mao masih hadir dengan malu-malu di Thailand dan Birma alias Myanmar, sekarang Om Mao tidak malu-malu lagi untuk melebarkan jangkauan pasarnya ke negara Asia Tenggara lainnya. Dalam konteks Angkatan Laut, kehadiran produk senjata buatan Om Mao lebih banyak pada jenis senjata pemukul seperti rudal daripada kapal perang secara utuh. Bisa jadi hal itu disebabkan kualitas kapal perang buatan Om Mao masih setara dengan kualitas sepeda motornya, seperti yang dialami oleh Angkatan Laut Negeri Gajah Putih.
Indonesia penting untuk memahami soal pembagian kapling pasar senjata dunia ini. Sebab meskipun kemandirian industri pertahanan dalam negeri sudah dicanangkan, pasokan sistem senjata asing masih akan menjadi primadona pada kekuatan laut (dan udara). Kecuali bila kekuatan laut negeri ini disuruh untuk berpuasa belanja sistem senjata alias moratorium sampai industri dalam negeri bisa membuatnya sendiri yang entah kapan baru bisa terwujud.

14 Maret 2010

Menciptakan Effect-Based Approach Bekerja

All hands,
Dalam operasi militer masa kini, pendekatan yang dilakukan adalah effect-based approach. Dengan pendekatan itu, diharapkan pihak lawan berpikir kembali terhadap tekadnya untuk meneruskan perang. Effect-based approach merupakan suatu pendekatan yang rumit sehingga butuh waktu yang tidak sedikit untuk bisa memahaminya secara tuntas.
Memang kalau ditinjau dari sejarah ilmu militer, sejak dari dulu sudah ada upaya agar bagaimana pihak lawan segera berpikir ulang soal perang digelar setelah mengetahui besarnya kekuatan laut. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendekatan itu pada dasarnya masih digunakan. Hanya saja kini penerapannya jauh lebih maju, karena menggabungkan antara kemajuan teknologi militer, pendekatan psikologis, pendekatan politik/diplomasi dan tak lupa pula menggunakan media massa sebagai ajang pertunjukan kekuatan.
Dengan demikian, effect-based approach mempunyai elemen yang tidak sedikit dan mayoritas elemen itu didominasi oleh unsur non militer. Terkait dengan unsur militer sendiri, salah satu elemen yang harus diperhatikan adalah kesiapan sistem senjata. Sebab hal itu selain soal kemampuan menghancurkan kekuatan lawan, juga terkait dengan aspek psikologis yang nantinya akan digarap lewat bentuk psy war menggunakan media massa. Sasarannya bukan semata kekuatan militer lawan dan masyarakat sipil lawan, tetapi termasuk pula para pengambil keputusan lawan ---baik di eksekutif maupun parlemen---.
Effect-based approach digelar dengan nyaris sempurna dalam Perang Irak. Namun pada kasus Afghanistan, masih diragukan apakah pendekatan itu mencapai tujuan yang diharapkan atau tidak. Sebab meskipun militer Om Sam telah meruntuhkan rezim Taliban hampir sembilan tahun silam, tetapi kelompok itu plus Al Qaida masih terus melawan keperkasaan tentara Amerika Serikat. Sehingga kemudian muncul surge berupa pengiriman secara bertahap pasukan tambahan sebesar 30.000 personel ke negeri tandus dan berbatu tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana menerapkan effect-based approach di Indonesia, khususnya dalam konteks Angkatan Laut? Jalan untuk itu masih panjang dan terdapat banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Salah satunya adalah modernisasi kekuatan Angkatan Laut. Sebab mustahil bisa mengadopsi pendekatan itu bila sistem persenjataannya saja tidak “menakutkan”.

13 Maret 2010

Berperang Untuk Nilai Filosofis Politik

All hands,
Ketika suatu negara memutuskan untuk berperang, alasan yang ada di balik keputusan tersebut bukan semata kepentingan nasional ---seberapa pun biasnya suatu kepentingan nasional---, tetapi meliputi pula nilai filosofis politik atau kadang lebih dikenal sebagai core values. Negara-negara maju ketika ditanyakan mengapa mereka berperang atau terlibat perang, salah satu jawaban utamanya adalah untuk menjaga kebebasan alias freedom dan demokrasi. Baik di masa lalu maupun di masa kini, freedom dan demokrasi adalah mantra yang ampuh. Mantra itu tidak saja untuk menghadapi Hitler, Mussolini ataupun konfrontasi terhadap negara-negara komunis pasca Perang Dunia Kedua, tetapi digunakan pula saat menggempur kelompok Taliban dan Al Qaida, juga saat meruntuhkan kekuasaan Saddam Hussein.
Kebebasan dan demokrasi merupakan core values yang dianut oleh negara-negara Barat. Demi memperjuangkan kebebasan, pemerintah dan negara Barat berani mempertaruhkan sumber daya yang terbatas untuk digunakan dalam suatu perang. Demi kebebasan pula, tidak jarang mereka tak ragu menginjak nilai-nilai kemanusiaan yang lainnya yang sebenarnya juga fundamental.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah core values bangsa ini sebatas kemerdekaan? Kalau sebatas kemerdekaan, nampaknya cakupannya terbatas pada bangsa ini. Kalau kita (masih) sepakat bahwa core values bangsa Indonesia adalah Pancasila, sepertinya bukan cuma urusan kemerdekaan yang terkandung dalam core values tersebut. Di sana terkandung pula nilai harkat kemanusiaan, nilai demokrasi, nilai keadilan sosial bahkan nilai Ketuhanan.
Pertanyaannya, apakah kekuatan militer negeri ini ---termasuk Angkatan Laut--- telah dibangun secara optimal untuk mengamankan core values tersebut? Pengamanan core values merupakan tugas yang tak bisa ditawar-tawar, sehingga semua instrumen kekuatan nasional harus digunakan. Kalau menjadikan kasus penyanderaan warga negeri ini oleh kelompok bajak laut di Somalia pada awal 2010, rasanya belum ada hasrat yang kuat dari para pengambil keputusan negeri ini untuk mengamankan core values yang berlaku. Apabila untuk menerapkan core values pada bangsa sendiri saja masih diragukan, lalu bagaimana dengan menyebarkan core values itu ke luar ---minimal kawasan Asia Tenggara---?

12 Maret 2010

Perang Adalah Pilihan

All hands,
Bernard Brodie ---seorang ahli strategi maritim di abad ke-20--- menyatakan bahwa war is an act of choice. Apakah suatu negara mau berperang atau tidak, itu adalah sebuah pilihan. Apakah kita akan berperang di wilayah sendiri atau membawa perang menjauh dari wilayah sendiri, itu adalah pilihan. Perang akan selalu terkait dengan kepentingan nasional suatu bangsa, sehingga suatu bangsa bisa saja melibatkan diri dalam perang orang lain karena merasa kepentingan nasionalnya terancam.
Hal itu bisa menjadi penjelasan mengapa Inggris bersikeras ikut berperang di Irak dan Afghanistan yang sebenarnya merupakan perangnya Amerika Serikat. Sementara Berlin dan Paris menjaga jarak dengan Washington dalam Perang Irak, meskipun pada kasus Afghanistan Jerman dan Prancis mengirimkan kekuatan daratnya.
Karena perang merupakan pilihan, banga Indonesia hendaknya mendefinisikan kembali untuk apa negeri ini didirikan oleh para Bapak Pendiri? Kaitannya dengan bagaimana sebenarnya sikap bangsa ini terhadap perang. Apakah kita akan memilih perang ataukah tidak ketika kepentingan nasional yang vital terganggu? Ataukah bangsa ini lebih mengutamakan soft power dalam mengamankan kepentingan nasional tersebut?
Clausewitz menyatakan bahwa war is a continuation of policy by other means. Kalau mengacu pada diktum Jenderal asal Prussia tersebut, perang bukanlah tindakan yang tidak terhormat. Memilih berperang bukanlah pelanggaran terhadap tata krama internasional, apalagi pelanggaran terhadap hukum internasional.
Negeri ini sejak berdiri telah mempunyai Angkatan Bersenjata. Organisasi itu dirancang untuk mengamankan kepentingan nasional, termasuk melalui cara perang. Sampai kini, kekuatan militer Indonesia masih dirancang untuk berperang, bukan untuk berdiplomasi di suatu ruangan yang nyaman disertai makanan dan minuman yang mengundang selera. Kalau demikian adanya, tidak berlebihan bila berasumsi bahwa pilihan perang masih belum dikesampingkan dalam kehidupan nasional bangsa ini.
Bertolak dari situ, pertanyaan berikutnya adalah apakah kita ingin meraih kemenangan atau kekalahan dalam perang? Bila jawabannya ingin meraih kemenangan, lantas apakah Angkatan Bersenjata negeri ini sudah dirancang dengan benar untuk to fight and win the war? Sebab percuma mengeluarkan biaya banyak tiap tahun untuk memelihara kekuatan militer namun kekuatan itu sebenarnya sekedar simbolis saja, tidak dirancang untuk to fight and win the war.

11 Maret 2010

Mematangkan Konsep Peperangan Kepulauan

All hands,
Tahun 2004 merupakan awal munculnya konsep peperangan kepulauan di negeri ini di lingkungan Angkatan Laut. Namun dengan berjalannya waktu, konsep itu sempat lama “tenggelam” sebelum kemudian dimunculkan kembali beberapa waktu lalu. Semangat dan aspirasi untuk mengembangkan konsep peperangan kepulauan patut untuk dihargai, akan tetapi banyak hal dari konsep peperangan itu yang harus dikaji secara detail dan mendalam.
Mengapa demikian? Tidak lain karena untuk mengembangkan suatu konsep peperangan tak bisa hanya dikonsepkan hanya satu, belasan atau beberapa puluh malam saja. Konsep itu memerlukan waktu ratusan malam untuk menjadi sebuah konsep yang membumi dan dapat dioperasionalkan.
Lihat saja konsep peperangan littoral yang kini dianut oleh Angkatan Laut negara-negara maju, konsep itu dibahas sejak pertengahan 1990-an mengambil pelajaran dari sejumlah operasi Angkatan Laut pasca Perang Dingin. Konsep peperangan littoral lahir dari sejumlah pengalaman operasional yang mutakhir.
Pertanyaannya, apakah konsep peperangan kepulauan juga lahir dari jalur serupa? Penting untuk dipahami bahwa baik konsep, doktrin, strategi dan lain sebagainya mempunyai landasan pengalaman operasional, selain tentunya landasan ilmiah dan juga kebutuhan operasional. Bagaimana kita meyakini bahwa asumsi atau skenario yang dikembangkan dalam konsep peperangan kepulauan itu benar dan dapat dipertanggungjawabkan apabila kurang mempunyai landasan pengalaman operasional yang memadai?
Selain itu, kita harus berpikir bahwa moda peperangan masa kini dan ke depan adalah operasi gabungan. Artinya, peran kekuatan udara tidak dapat dinafikan atau digampangkan dalam konsep tersebut. Kekuatan udara negeri ini harus diajak duduk satu meja apabila kita ingin mengembangkan konsep peperangan kepulauan yang membumi dan dapat dioperasionalkan.

10 Maret 2010

Memanfaatkan Quadrilateral Initiative

All hands,
Nilai strategis Laut Cina Selatan dalam tahun-tahun mendatang akan semakin tinggi. Penyebabnya bukan karena soal klaim beberapa negara soal dua kepulauan di perairan itu, tetapi dikarenakan oleh pertarungan geopolitik India versus Cina. Laut Cina Selatan kini telah resmi menjadi lapis kedua pertahanan India, sebab hal itu telah dinyatakan dalam Doktrin Maritim India yang diterbitkan tahun lalu.
Kehadiran Angkatan Laut India di perairan tersebut dapat dilihat dari beberapa Latihan Malabar yang berbasis pada Quadrilateral Initiative. Quadrilateral Initiative terdiri dari kekuatan laut India, Amerika Serikat, Jepang dan Australia. Tidak sedikit pihak yang berpandangan bahwa Quadrilateral Initiative merupakan aliansi untuk membendung gerak maju Cina yang berhasrat mengembangkan kekuatan laut yang mampu beroperasi jarak jauh, termasuk ke Samudera India yang dipandang sebagai wilayah pengaruh New Delhi.
Suatu hal yang wajar bila Beijing sangat hirau dengan manuver India ke halaman belakangnya memanfaatkan Quadrilateral Initiative. Sehingga tidak berlebihan pula kalau Cina berupaya meluaskan pengaruhnya ke Samudera India lewat kerjasama dengan Pakistan, Bangladesh dan Burma alias Myanmar yang berbatasan langsung dengan laut tersebut. Kerjasama itu akan menjadi basis bila dalam 20 tahun ke depan negeri yang suka menyensor internet itu mempunyai Angkatan Laut dengan kemampuan operasi jarak jauh, termasuk pula memiliki kapal induk medium.
Singkatnya, pertarungan geopolitik India-Cina di laut sungguh kompleks. Apabila India merasa risau dengan upaya Cina untuk meluaskan pengaruhnya di kawasan Samudera India, Beijing pun risau dengan upaya serupa oleh New Delhi guna menyebar pengaruh ke Laut Cina Selatan. Ini ibarat pertanyaan soal ayam atau telur.
Pertarungan kian bertambah rumit dengan masuknya Washington sebagai pihak ketiga, yang mana kini Amerika Serikat berupaya merangkul New Delhi sebagai mitranya di kawasan Asia Pasifik menghadapi Cina. India memerlukan dukungan Amerika Serikat dalam pertarungan geopolitik melawan Cina. Akan tetapi di sisi lain ada pula dilema, yaitu New Delhi kini dan ke depan tidak mau dianggap sebagai proksi dari Washington sebagaimana yang kini dilihat oleh Beijing.
Bagi Indonesia, menjadi pertanyaan bagus bagaimana sikap dan posisi Indonesia dalam dinamika itu? Jawaban normatif seperti “bebas dan aktif” merupakan sebuah jawaban yang mencerminkan betapa rendahnya kadar intelektualitas pihak yang menjawab pertanyaan itu dikaitkan dengan pemahamannya terhadap pertarungan geopolitik kawasan pada satu sisi dan kepentingan nasional Indonesia pada sisi lainnya.

09 Maret 2010

Kapal Perang Baru-Doktrin Baru

All hands
Seiring dengan kemajuan teknologi, perkembangan taktis dan strategi dan perkembangan lingkungan keamanan, kebutuhan akan doktrin baru bagi kekuatan laut negeri ini merupakan hal yang tidak bisa dihindari lagi. Disadari atau tidak, pengadaan beberapa kapal perang baru untuk memperkuat Armada Angkatan Laut sebenarnya telah menciptakan pekerjaan rumah baru yaitu mengubah doktrin. Contohnya adalah pembelian kapal LPD yang dipastikan akan mempengaruhi doktrin yang sudah eksis selama puluhan tahun.
Isu kapal perang baru-doktrin baru sebenarnya bukan cuma dihadapi oleh Angkatan Laut Indonesia. Kekuatan laut negara-negara lain pun menghadapi isu yang sama, misalnya pengadaan kapal LHD oleh Angkatan Laut Spanyol. Kapal tersebut berfungsi sebagai kapal induk mini dan sekaligus kapal markas dalam melaksanakan proyeksi kekuatan. Perkembangan seperti itu dipastikan akan mempengaruhi doktrin yang selama ini mereka anut.
Masuknya kapal seperti LPD akan mengubah cara kita untuk melaksanakan power projection from the sea. Misalnya, tidak mutlak lagi diperlukan pembentukan tumpuan pantai. Berikutnya, diperlukan armada helikopter yang cukup untuk GKK Lintas Heli sekaligus helikopter yang mempunyai kemampuan AKS dan juga heli escort. Selanjutnya, dibutuhkan wahana pendarat yang dapat melaksanakan disembarkasi dengan kapasitas muat besar dan kecepatan tinggi.
Seiring dengan realisasi pembangunan kekuatan ke depan, hendaknya sejak dini perlu diantisipasi pula dampak dari pengadaan sistem senjata tersebut terhadap doktrin yang dianut sekarang. Seandainya menurut kajian atau penilaian bahwa sistem senjata baru yang akan memperkuat Angkatan Laut nantinya akan mempengaruhi doktrin yang sudah eksis, tentu merupakan langkah yang tepat untuk melakukan tinjauan ulang terhadap doktrin itu. Penting untuk dipahami, kemajuan teknologi tidak dapat dibendung dan doktrin harus menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi itu.

08 Maret 2010

Tantangan Peperangan Anti Udara Di Masa Depan

All hands,
Kekuatan laut Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam urusan peperangan anti udara di masa depan, setidaknya hingga 15 tahun ke depan. Mengapa dikatakan tidak mudah? Secara eksternal, kekuatan udara negara-negara di sekitar republik ini akan terus meningkat daya rusaknya dengan rudal-rudal anti permukaan (stand off weapons) yang melengkapi pesawat tempur seperti Su-30 MK, F/A-18 E/F, F-15 SG dan F-35. Sedangkan secara internal, nampaknya arah pembangunan kekuatan laut yang terkait dengan peperangan anti udara belum menunjukkan suatu kemajuan berarti dibandingkan saat ini. Singkatnya, pengadaan sistem senjata untuk menghadapi peperangan anti udara masih berfokus pada rudal jarak pendek.
Konflik sulit diprediksi kapan muncul, meskipun gejalanya dapat dideteksi. Dengan kata lain, dalam lingkungan keamanan Asia Tenggara yang masih rawan meskipun Komunitas ASEAN sudah eksis, konflik antar negara pada suatu wilayah tertentu dan dalam durasi waktu yang pendek tetap tidak dapat dinafikan. Ketika konflik seperti itu terjadi, dipastikan kekuatan utama yang akan terlibat adalah Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Negara-negara di sekitar Indonesia dengan seksama mengantisipasi pembangunan kekuatan udara Negeri Nusantara, khususnya pengadaan pesawat Su-27/30 yang dipersenjatai dengan sejumlah rudal BVR. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kekuatan udara Indonesia dilengkapi dengan BVR, sebab sebelumnya hanya dilengkapi dengan rudal jarak pendek. Rudal BVR itu dipastikan akan mencari sasaran seperti fregat kelas Formidable atau kapal perusak kelas Hobart. Itulah sebabnya Australia membangun kapal AWD, sebab kekuatan laut negeri itu akan diproyeksikan jauh dari wilayahnya sehingga sekaligus tidak dapat mengandalkan payung udara RAAF.
Dalam konteks Indonesia, wilayah yang mungkin dapat berpotensi konflik hingga 15 tahun ke depan secara umum adalah kawasan yang dapat dicapai oleh endurance pesawat-pesawat tempur generasi 4+. Dengan demikian salah satu ancaman terhadap kapal atas air Angkatan Laut negeri ini adalah serangan udara lawan. Di situlah nilai krusial peperangan anti udara. Terkait dengan hal tersebut, sangat disayangkan bahwa dalam perencanaan pembangunan kekuatan ke depan belum direncanakan pengadaan rudal anti pesawat dengan jarak jangkau yang lebih jauh.

07 Maret 2010

Pemeliharaan Rudal

All hands,
Rudal merupakan salah satu sistem senjata yang melengkapi Angkatan Laut, khususnya pada kapal perang. Secara umum, suatu rudal biasanya mempunyai life time sekitar 15 tahun. Di atas usia tersebut, dapat diduga komponen yang melengkapinya seperti motor roket, baterai, hulu ledak, giro, komputer digital dan lain sebagainya sudah mengalami anomali. Untuk bisa mencapai usia 15 tahun, dibutuhkan pemeliharaan periodik terhadap semua komponen yang ada dalam rudal itu. Pemeliharaan periodik untuk tiap rudal berbeda jangka waktunya, akan tetapi secara umum berkisar antara tiap tiga sampai lima tahun.
Di masa lalu, pengadaan rudal permukaan ke permukaan bagi kekuatan laut Indonesia seringkali tidak dilengkapi dalam satu paket, misalnya soal bench test. Akibatnya, pemeliharaan periodik masih harus mengandalkan pada negara produsen dengan cara mengirim rudal itu ke pabrikan. Pola demikian tentunya kurang menguntungkan Indonesia, sebab selain masalah biaya pengiriman dan pemeliharaan di luar negeri, mempengaruhi pula jumlah rudal yang siap di arsenal dan lamanya waktu pemeliharaan di negara pembuat. Belum lagi apabila terkait masalah politik seperti penetapan embargo sehingga rudal Indonesia tidak bisa dikirimkan ke pabrikan untuk menjalani pemeliharaan periodik tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, sebaiknya pengadaan rudal permukaan ke permukaan kini dan ke depan paketnya meliputi pula bench test. Bukan sekadar fire control system dan combat management system, selain rudal itu sendiri. Di samping itu, tentu saja harus disiapkan personel yang nantinya akan melaksanakan pemeliharaan tersebut. Dengan demikian, ketergantungan terhadap pemeliharaan asing dapat dikurangi.

06 Maret 2010

Berkaca Dari Royal Navy

All hands,
Royal Navy alias Angkatan Laut Inggris merupakan salah satu Angkatan Laut tertua di dunia. Oleh sebab itu, bukan suatu hal yang aneh bila Royal Navy mempunyai tradisi ke-Angkatan Laut-an yang sangat kuat dan mengakar sebagai bagian dari tradisi maritim bangsa Inggris. Tidak heran pula bila sebagian pihak berpendapat bahwa Royal Navy lebih patut dijadikan sebagai suatu role model Angkatan Laut dibandingkan dengan U.S. Navy.
Ada satu hal penting yang bisa ditarik dari Royal Navy. Seperti sering ditulis di sini, eksistensi Angkatan Laut utamanya adalah untuk mengamankan perdagangan. Bahwa seiring dengan perjalanan waktu alasan eksistensi Angkatan Laut diperluas menjadi instrumen untuk mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim, hal itu tidak menggugurkan cause awal tentang pengamanan perdagangan. Royal Navy sepanjang sejarahnya mempunyai peran utama untuk defending trade and market access. Bahkan salah satu pahlawan dari Royal Navy yaitu Admiral Horatio Nelson mengakui bahwa the fundamental justification for the Royal Navy was to defend trade.
Situasi dunia ketika Royal Navy berjaya pada abad ke 17 sampai awal abad ke-20 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan masa sekarang. Perdagangan terus meningkat lewat globalisasi, kolonialisme telah mengambil bentuk baru, eksploitasi negara maju terhadap negara berkembang terus terjadi, penentangan terhadap dominasi negara-negara kuat oleh pihak-pihak yang lebih lemah masih terus berkobar dan lain sebagainya. Dikaitkan dengan perdagangan, peran Angkatan Laut sebenarnya masih sama yaitu mengamankan perdagangan.
Lihat saja penyebaran kekuatan Royal Navy dan U.S. Navy di kawasan Teluk Persia dan sekitarnya. Semua itu terkait dengan urusan perdagangan meskipun bertajuk perang terhadap terorisme, menjaga keamanan maritim dan lain sebagainya. Belum lagi penyebaran kekuatan Angkatan Laut kedua negara di kawasan lainnya di dunia yang dinilai strategis.
Terkait dengan Indonesia, pelajaran yang bisa ditarik di situ adalah kekuatan laut negeri ini harus diberdayakan untuk mengamankan kepentingan negeri ini, antara lain di bidang perdagangan. Sebagai negara kepulauan, ada dua agenda penting yang terkait ekonomi negeri ini yang mempunyai relevansi dengan Angkatan Laut. Pertama, mengamankan SLOC di dalam negeri yang menghubungkan antar pulau. Kedua, mengamankan SLOC di luar negeri yang menghubungkan Indonesia dengan negara-negara lain.
Kedua agenda itu bisa dipenuhi oleh Angkatan Laut Indonesia apabila ada endorsement dari pengambil keputusan politik. Tanpa itu, sulit untuk mewujudkan kekuatan laut negeri ini sebagai kekuatan yang menjaga kelangsungan perdagangan (ekonomi) Indonesia. Masalahnya adalah banyak pihak tidak paham bahwa Angkatan Laut negeri ini dengan segala keterbatasannya memberikan kontribusi tidak sedikit terhadap lancarnya kelangsungan ekonomi Indonesia.
Mungkin mereka akan paham ketika SLOC Indonesia di luar negeri terganggu, sehingga pasokan minyak dan bahan baku lainnya mengalami gangguan. Baru di saat itulah mereka akan melirik kepada Angkatan Laut, sebab sadar bahwa soft power yang dianakemaskan selama ini ternyata tidak bisa berbuat apa-apa.

05 Maret 2010

Anak Emas Tanpa Instrumen

All hands,
Ekonomi Indonesia pada dasarnya mengalami interdependensi dengan ekonomi kawasan dan global. Penyakit yang diderita oleh ekonomi kawasan dan global akan dirasakan pula dampaknya oleh ekonomi Indonesia, bahkan sangat mungkin ekonomi Indonesia akan turut menjadi sakit pula. Karena menjadi bagian dari ekonomi global, maka ekonomi Indonesia sebagian mengandalkan pada pasokan bahan baku dan pasar dunia agar tetap bisa sehat dan eksis.
Sejarah mengajarkan bahwa eksistensi Angkatan Laut awalnya adalah untuk melindungi kapal dagang negara yang bersangkutan. Seperti diketahui, ancaman terhadap kapal dagang di masa lalu tidak berbeda dengan di saat sekarang, antara lain berupa pembajakan dan perompakan di laut. Belum lagi ketika itu upaya dari negara-negara lain untuk merebut kapal dagang suatu negara yang tidak dianggap sebagai sahabat atau sekutu. Untuk itulah kemudian dibentuk Angkatan Laut.
Di masa kini dalam era globalisasi, roda ekonomi bukan sekedar urusan perdagangan. Kelangsungan pasokan bahan baku industri juga merupakan isu pokok yang tidak dapat diabaikan. Sangat sering bahwa bahan baku itu tersedia di negara lain ---tidak tersedia di negara sendiri---, sehingga impor bahan baku merupakan pilihan yang paling realistis.
Pasokan bahan baku dari negara pemasok ke negara pengguna menggunakan moda transportasi laut. Apabila pasokan itu tidak lancar, maka kelangsungan ekonomi negara pengimpor juga terancam. Kalau alasan ketidaklancaran pasokan itu bersifat politis---misalnya embargo---, tidak tertutup kemungkinan akan memicu konflik antar negara. Ketidaklancaran pasokan dapat pula karena kondisi keamanan maritim sepanjang jalur pelayaran yang tidak aman.
Pada situasi demikian, terlihat jelas benang merah antara ekonomi suatu bangsa dengan Angkatan Laut. Aspirasi Cina mengembangkan kapal induk tidak lepas dari pertimbangan kepentingan ekonomi, selain tentunya upaya membangun hegemoni Cina. Sebagai informasi, untuk biji besi saja negeri kelahiran Tsun Yat Sen itu sangat tergantung pada negeri yang didirikan oleh kaum kriminal. Apabila negeri penindas kaum Aborigin itu menghentikan pasokan biji besi atau setidaknya memperlambat pasokan, ekonomi Cina akan mengalami pergolakan.
Indonesia merupakan negeri pengimpor minyak. Di samping itu, masih ada banyak bahan baku industri yang harus didatangkan dari luar negeri untuk menjamin jalannya mesin-mesin pabrik di negeri ini. Jalannya mesin-mesin pabrik berarti secercah harapan bagi para pekerja di pabrik-pabrik tersebut.
Selain itu, kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari lebih 17 ribu pulau membuat arti strategis perhubungan laut. Keterputusan transportasi antar pulau selain akan membahayakan keutuhan bangsa, juga berdampak tidak kecil terhadap ekonomi nasional. Sebab roda ekonomi nasional antara lain ditentukan pula oleh transportasi manusia dan barang antar pulau.
Dengan kondisi seperti itu ---baik internal maupun hubungan dengan dunia internasional---, adakah instrumen yang terbaik selain Angkatan Laut untuk mengamankannya? Kalau kini pemerintah menganakemaskan soft power, mampukah soft power mengamankan roda perekonomian Indonesia secara fisik? Kalau memang soft power bisa mengamankan, instrumen apa yang digunakan untuk mengamankan?

04 Maret 2010

Menghargai Nyawa Personel

All hands,
Militer merupakan suatu profesi yang penuh dengan bahaya. Oleh karena itu, setiap kekuatan militer berupaya sebisa mungkin melindungi personelnya dari kemungkinan kerugian, baik cacat fisik maupun kehilangan nyawa. Untuk mencapai hal tersebut, berbagai macam upaya perlindungan terhadap personel diberikan, khususnya pada personel yang bertugas di wilayah operasi.
Misalnya penyediaan rompi anti peluru untuk digunakan oleh setiap personel, penyediaan kendaraan angkut lapis baja, penyediaan senjata tanpa pengawak (dikendalikan dari jarak jauh), seragam anti api dan lain sebagainya. Investasi untuk itu semua tentu tidak murah, akan tetapi hal demikian dilakukan untuk menekan kemungkinan kerugian personel seoptimal mungkin.
Kerugian personel akan memberikan kerugian kepada militer, sebab tidak mudah untuk membentuk personel sesuai dengan kebutuhan. Investasi buat personel bukan suatu yang murah. Sehingga wajar bila mereka dilindungi secara maksimal dari berbagai ancaman kerugian.
Perlindungan personel bukan cuma isu bagi kekuatan darat, tetapi juga isu bagi Angkatan Laut di berbagai negara. Lihatlah bagaimana para awak kapal perang Inggris dan Australia yang menggunakan penutup muka ketika mereka tengah bertugas di kapal perang, baik di ruang PIT maupun mengawaki senapan mesin berat. Lihat pula personel Angkatan Laut negara-negara maju yang melaksanakan VBSS di perairan Laut Arab dan Teluk Persia, rompi anti peluru melekat pada tubuh mereka ---bukan life jacket---.
Masalah perlindungan terhadap kemungkinan kerugian terhadap personel di Indonesia belum menjadi isu pokok. Sebab di sini resiko kematian terhadap personel dianggap suatu hal yang biasa, sehingga tidak ada upaya khusus untuk meminimalkan resiko tersebut. Menjadi personel militer di Indonesia identik dengan berani mati, padahal kehilangan personel merupakan kerugian besar bagi organisasi militer secara keseluruhan.

03 Maret 2010

Eksistensi Kapal Kombatan Dalam Postur Angkatan Laut Ke Depan

All hands,
Ketika kita berbicara tentang postur Angkatan Laut negeri ini ke depan, satu di antara fokus yang harus diberikan adalah soal eksistensi kapal kombatan. Yang dimaksud dengan kapal kombatan di sini adalah kapal jenis korvet ke atas. Dalam konteks kekuatan laut Indonesia, berupa kapal korvet dan fregat. Soal mengapa harus diberikan perhatian karena sebagian besar kekuatan kapal kombatan dalam susunan tempur sekarang sudah melampaui batas usia ekonomis.
Dengan pengecualian korvet kelas Parchim yang lebih banyak berfungsi sebagai kapal patroli daripada kapal kombatan ---di Armada Timur digolongkan sebagai kapal patroli---, kekuatan kapal kombatan Angkatan Laut negeri ini bertumpu pada enam fregat kelas Van Speijk/AMY, tiga korvet kelas FTH, 1 korvet kelas KDA dan 4 korvet kelas Sigma/DPN. Dari keempat kelas itu, hanya korvet kelas Sigma yang usia bangunan kapal maupun teknologinya yang merupakan teknologi terakhir. Sedangkan dua sisanya merupakan kapal kombatan berteknologi 1960-an dan 1970-an.
Artinya, dalam waktu tidak lama lagi ---paling lama 15 tahun dari sekarang----, sebagian besar kapal kombatan itu harus dihapus dari susunan tempur. Sehingga kekuatan hanya akan bertumpu pada empat korvet kelas Sigma apabila pengadaan baru tidak direalisasikan karena berbagai alasan. Memang dalam minimum esensial force kekuatan laut Indonesia, sudah dirancang rencana pengadaan kapal kombatan baru. Namun kalau diperhatikan dari segi jumlah, pengadaan kapal kombatan baru jumlahnya tidak berimbang dengan kapal kombatan yang akan memasuki masa purna dinas.
Masalah itu bisa diatasi apabila kapal kombatan baru mengadopsi teknologi senjata yang lebih maju dan lebih mematikan daripada yang dianut oleh korvet kelas Sigma. Dengan demikian, kualitas sistem senjata lebih dikedepankan daripada kuantitas sistem senjata. Pertanyaannya, akankah demikian? Semua tergantung dari proses pengadaan itu nantinya, khususnya tentang requirement yang disusun.
Misalnya, perlu dipertimbangkan soal kapal kombatan berkemampuan AWD. Sebab itulah salah satu kelemahan krusial dari kapal kombatan yang ada saat ini. Sementara pada waktu yang sama, negara-negara di sekitar Indonesia makin banyak mengadopsi pesawat tempur sekelas Su-30 dan F/A-18E/F.
Eksistensi kapal kombatan baru perlu diprioritaskan agar tidak terjadi ketimpangan dalam postur Angkatan Laut di masa depan. Ketimpangan yang dimaksud yaitu kehadiran kapal patroli tipe KCR (dan KCT) tidak ditunjang oleh kapal kombatan yang memadai dari segi jumlah. Ketika menyentuh soal cukup atau tidak cukup, eksistensi 10 kapal kombatan dalam susunan tempur Angkatan Laut Indonesia dapat dikategorikan cukup untuk deterrence maupun daya pukul.

02 Maret 2010

Kekuatan Angkatan Laut Yang Ekonomis

All hands,
Arah pembangunan kekuatan laut Indonesia ke depan sebagian sudah mulai tampak. Postur Angkatan Laut ke depan nampaknya akan bertumpu pada kapal-kapal patroli berpeluru kendali dan didukung oleh sejumlah fregat dan korvet dengan persenjataan yang (diharapkan) memadai. Dalam postur itu, jumlah kapal patroli berpeluru kendali akan jauh lebih banyak daripada kapal kombatan.
Postur demikian menurut hemat saya merupakan pendekatan yang tepat. Seperti pernah ditulis di sini beberapa tahun silam, postur Angkatan Laut ke depan hendaknya diperkuat oleh kapal patroli berpeluru kendali dan juga kapal patroli bersenjatakan torpedo serta ditunjang oleh kapal kombatan yang jumlahnya jauh lebih kecil. Eksistensi sekitar 10 kapal kombatan ---akan lebih baik bila bertipe fregat--- sudah cukup untuk menciptakan deterrence dan daya pukul di kawasan Asia Tenggara, asalkan kapal-kapal itu mengadopsi teknologi persenjataan dan perkapalan mutakhir.
Kini pengadaan kapal patroli berpeluru kendali telah masuk dalam Renstra 2010-2014. Terkait dengan hal tersebut, isu krusialnya adalah pengadaan sistem senjata. Sebab kapal itu dibangun di dalam negeri, sementara sistem senjatanya suka atau tidak suka masih mengandalkan pada pasokan asing. Artinya, dukungan anggaran dari pemerintah sangat krusial dalam pengadaan sistem senjata tersebut. Bila tidak, praktis kapal patroli yang diproduksi di galangan perkapalan nasional akan tidak bergigi karena tidak dilengkapi dengan senjata yang memadai.
Pekerjaaan rumah berikutnya yang harus dipikirkan dalam pembangunan kekuatan laut negeri ini adalah eksistensi kapal patroli tipe KCT. Eksistensi KCT sangat perlu dalam susunan tempur Angkatan Laut, sebab KCT apabila dikombinasikan dengan KCR dengan menggunakan taktik tempur yang brilyan akan dapat berubah menjadi senjata mematikan bagi kapal kombatan jenis fregat atau yang lebih besar. Singkatnya, KCR dan KCT bisa dieksploitasi untuk menghadapi kapal fregat kelas Formidable atau sejenisnya.

01 Maret 2010

Butuh Pengalaman Operasional

All hands,
Mengacu pada pengalaman negara-negara lain, seringkali konsep dan doktrin operasi militer senantiasa berubah seiring dengan perubahan ancaman dan tantangan. Bertolak dari ancaman dan tantangan itu beserta lesson learned yang ada, maka terjadilah perubahan konsep dan doktrin operasi militer. Di situlah terjadi transformasi pertahanan yang sebenarnya.
Masalahnya di Indonesia adalah militer negeri ini amat sangat miskin pengalaman operasional. Akibatnya konsep dan doktrin operasi militer sebatas mengadopsi konsep yang telah lama ditinggalkan oleh militer negara-negara lain. Seringkali pula konsep dan doktrin itu belum teruji di Indonesia.
Militer Australia, Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya mengubah konsep dan doktrin operasi mereka karena adanya lesson learned dari operasi-operasi yang mereka jalankan. Lepas dari pandangan dari kacamata politik bahwa operasi-operasi itu seringkali dipandang sebagai petualangan militer belaka.
Pertanyaannya, bagaimana agar pengalaman operasional militer negeri ini bertambah sehingga bisa melakukan evaluasi terhadap konsep dan doktrin yang dianut? Karena tidak ada operasi militer perang yang digelar, hal itu hanya bisa dilaksanakan melalui latihan serta eksperimen. Dengan catatan bahwa latihan dan eksperimen dilaksanakan mendekati kondisi nyata, bukan mengecilkan kekuatan lawan sehingga dengan mudah ditaklukkan secara militer.