All hands,
Ketika membahas soal kemenangan, semua pihak harus bisa membagi dan mendefinisikan kemenangan. Apakah kemenangan dalam arti taktis, strategis atau politis? Ketiga jenis kemenangan tersebut tidak selamanya selama berbanding lurus, bahkan seringkali berbanding terbalik. Sebelum lebih jauh mengupas soal itu, ada baiknya bila kita melihat definisi kemenangan menurut beberapa praktisi militer.
Jenderal Douglas MacArthur ketika Perang Korea tengah berkobar mengeluarkan ucapannya yang terkenal hingga sekarang. “There is no substitute for victory!” Begitu kata sang Panglima Tertinggi Sekutu di Timur Jauh menanggapi upaya perundingan antara Sekutu versus Korea Utara-Cina.
Lebih dari satu abad sebelum MacArthur menitahkan ucapannya tersebut, Jenderal Carl Von Clausewitz asal Prusia menuliskan pendapatnya dalam Vom Kriege, yaitu “Blood is the price of victory”. Pendapat Clausewitz itu dikeluarkan setelah dia mengalami sendiri dan kemudian menuangkan pengalamannya dalam Perang Napoleon dalam buku yang nantinya terkenal setelah dia meninggal pada 1831.
Kembali kepada soal kemenangan, perlu dipahami betul. Mengacu pada pengalaman Amerika Serikat di Vietnam, secara taktis kekuatan militer Broer Sam selalu meraih kemenangan dalam banyak pertempuran dengan menimbulkan kerugian jiwa dan material yang jauh lebih besar pada pihak lawannya. Namun dari aspek strategis dan politik, tentara Amerika Serikat berada di pihak yang kalah. Sebab perang itu sangat tidak populer di dalam negeri Broer Sam sendiri.
Bahkan tidak sedikit pihak di Amerika Serikat yang berpendapat bahwa Perang Vietnam sebenarnya adalah perangnya McNamara. McNamara yang dimaksud di sini adalah Robert McNamara Menteri Pertahanan 1961-1968 di masa dua administrasi yaitu Kennedy dan Johson. Kalkulasi perang yang digunakan oleh McNamara menggunakan pendekatan yang ilmiah, sementara situasi di lapangan di Vietnam tidak dapat diprediksi dengan pendekatan ilmiah. Tidak heran bila McNamara dan para pengikutnya di Pentagon dijuluki sebagai Whizzkid dan seringkali mereka berbeda pendapat dengan para Jenderal dan Laksamana yang sudah merasakan asam garamnya perang.
Harga yang harus dibayar oleh Amerika Serikat dari Vietnam sangat mahal. Di dalam negeri terjadi perpecahan antara pemerintah dengan warga, para veteran yang pulang dari Vietnam ---apalagi kalau menderita cacat seumur hidup--- dilecehkan oleh para aktivis anti perang, meningkatnya anggaran pertahanan yang ditujukan untuk merawat para cacat veteran dan lain sebagainya. Khusus terkait dengan militer, kepercayaan dan kebanggaan warga Broer Sam terhadap Angkatan Bersenjatanya menurun jauh dan baru bisa dipulihkan secara total lewat petualangan ke Panama 1988 dan ke Kuwait-Irak 1990.
Terkait soal kemenangan, sejarah perang Indonesia menunjukkan bahwa militer negeri ini lebih banyak meraih kemenangan strategis dan politik, tetapi tidak pada kemenangan taktis. Namun tidak jarang pula Indonesia loss pada tingkat strategis dan politis, seperti terlihat di Timor Timur. Semua kemenangan dan kegagalan itu harus dibayar dengan mahal oleh Indonesia.
Dari kasus Timor Timur saja, bayarannya antara lain adalah embargo senjata dan penetapan sejumlah petinggi militer oleh pihak-pihak tertentu dalam daftar hitam mereka. Tentu saja ada harga lain yang harus dibayar, misalnya di bidang ekonomi dan sosial yang tidak perlu dirinci di sini.
Singkatnya, meskipun dalam perang tetap berlaku diktum Clausewitz yaitu fog and friction, akan tetapi kita harus tetap siap dengan biaya alias cost yang akan ditanggung. Seperti titah MacArthur yaitu “there is no substitute for victory!”, maka kemenangan itu harus diraih. Khusus bagi militer, tugasnya adalah to fight and win!!! Soal kemenangan politis, itu bukan domain militer.
Namun harus diingat, meskipun Clausewitz menyatakan bahwa “blood is the price for victory”, bukan berarti personel negeri ini tidak dilindungi secara maksimal untuk meraih kemenangan itu. Pernyataan sang Jenderal asal Prusia bukan alasan untuk tidak melengkapi personel militer dengan perlengkapan pelindung diri, seperti rompi anti peluru, kendaraan lapis baja dan lain sebagainya.
Ketika membahas soal kemenangan, semua pihak harus bisa membagi dan mendefinisikan kemenangan. Apakah kemenangan dalam arti taktis, strategis atau politis? Ketiga jenis kemenangan tersebut tidak selamanya selama berbanding lurus, bahkan seringkali berbanding terbalik. Sebelum lebih jauh mengupas soal itu, ada baiknya bila kita melihat definisi kemenangan menurut beberapa praktisi militer.
Jenderal Douglas MacArthur ketika Perang Korea tengah berkobar mengeluarkan ucapannya yang terkenal hingga sekarang. “There is no substitute for victory!” Begitu kata sang Panglima Tertinggi Sekutu di Timur Jauh menanggapi upaya perundingan antara Sekutu versus Korea Utara-Cina.
Lebih dari satu abad sebelum MacArthur menitahkan ucapannya tersebut, Jenderal Carl Von Clausewitz asal Prusia menuliskan pendapatnya dalam Vom Kriege, yaitu “Blood is the price of victory”. Pendapat Clausewitz itu dikeluarkan setelah dia mengalami sendiri dan kemudian menuangkan pengalamannya dalam Perang Napoleon dalam buku yang nantinya terkenal setelah dia meninggal pada 1831.
Kembali kepada soal kemenangan, perlu dipahami betul. Mengacu pada pengalaman Amerika Serikat di Vietnam, secara taktis kekuatan militer Broer Sam selalu meraih kemenangan dalam banyak pertempuran dengan menimbulkan kerugian jiwa dan material yang jauh lebih besar pada pihak lawannya. Namun dari aspek strategis dan politik, tentara Amerika Serikat berada di pihak yang kalah. Sebab perang itu sangat tidak populer di dalam negeri Broer Sam sendiri.
Bahkan tidak sedikit pihak di Amerika Serikat yang berpendapat bahwa Perang Vietnam sebenarnya adalah perangnya McNamara. McNamara yang dimaksud di sini adalah Robert McNamara Menteri Pertahanan 1961-1968 di masa dua administrasi yaitu Kennedy dan Johson. Kalkulasi perang yang digunakan oleh McNamara menggunakan pendekatan yang ilmiah, sementara situasi di lapangan di Vietnam tidak dapat diprediksi dengan pendekatan ilmiah. Tidak heran bila McNamara dan para pengikutnya di Pentagon dijuluki sebagai Whizzkid dan seringkali mereka berbeda pendapat dengan para Jenderal dan Laksamana yang sudah merasakan asam garamnya perang.
Harga yang harus dibayar oleh Amerika Serikat dari Vietnam sangat mahal. Di dalam negeri terjadi perpecahan antara pemerintah dengan warga, para veteran yang pulang dari Vietnam ---apalagi kalau menderita cacat seumur hidup--- dilecehkan oleh para aktivis anti perang, meningkatnya anggaran pertahanan yang ditujukan untuk merawat para cacat veteran dan lain sebagainya. Khusus terkait dengan militer, kepercayaan dan kebanggaan warga Broer Sam terhadap Angkatan Bersenjatanya menurun jauh dan baru bisa dipulihkan secara total lewat petualangan ke Panama 1988 dan ke Kuwait-Irak 1990.
Terkait soal kemenangan, sejarah perang Indonesia menunjukkan bahwa militer negeri ini lebih banyak meraih kemenangan strategis dan politik, tetapi tidak pada kemenangan taktis. Namun tidak jarang pula Indonesia loss pada tingkat strategis dan politis, seperti terlihat di Timor Timur. Semua kemenangan dan kegagalan itu harus dibayar dengan mahal oleh Indonesia.
Dari kasus Timor Timur saja, bayarannya antara lain adalah embargo senjata dan penetapan sejumlah petinggi militer oleh pihak-pihak tertentu dalam daftar hitam mereka. Tentu saja ada harga lain yang harus dibayar, misalnya di bidang ekonomi dan sosial yang tidak perlu dirinci di sini.
Singkatnya, meskipun dalam perang tetap berlaku diktum Clausewitz yaitu fog and friction, akan tetapi kita harus tetap siap dengan biaya alias cost yang akan ditanggung. Seperti titah MacArthur yaitu “there is no substitute for victory!”, maka kemenangan itu harus diraih. Khusus bagi militer, tugasnya adalah to fight and win!!! Soal kemenangan politis, itu bukan domain militer.
Namun harus diingat, meskipun Clausewitz menyatakan bahwa “blood is the price for victory”, bukan berarti personel negeri ini tidak dilindungi secara maksimal untuk meraih kemenangan itu. Pernyataan sang Jenderal asal Prusia bukan alasan untuk tidak melengkapi personel militer dengan perlengkapan pelindung diri, seperti rompi anti peluru, kendaraan lapis baja dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar