All hands,
Ketika kita berbicara tentang postur Angkatan Laut negeri ini ke depan, satu di antara fokus yang harus diberikan adalah soal eksistensi kapal kombatan. Yang dimaksud dengan kapal kombatan di sini adalah kapal jenis korvet ke atas. Dalam konteks kekuatan laut Indonesia, berupa kapal korvet dan fregat. Soal mengapa harus diberikan perhatian karena sebagian besar kekuatan kapal kombatan dalam susunan tempur sekarang sudah melampaui batas usia ekonomis.
Dengan pengecualian korvet kelas Parchim yang lebih banyak berfungsi sebagai kapal patroli daripada kapal kombatan ---di Armada Timur digolongkan sebagai kapal patroli---, kekuatan kapal kombatan Angkatan Laut negeri ini bertumpu pada enam fregat kelas Van Speijk/AMY, tiga korvet kelas FTH, 1 korvet kelas KDA dan 4 korvet kelas Sigma/DPN. Dari keempat kelas itu, hanya korvet kelas Sigma yang usia bangunan kapal maupun teknologinya yang merupakan teknologi terakhir. Sedangkan dua sisanya merupakan kapal kombatan berteknologi 1960-an dan 1970-an.
Artinya, dalam waktu tidak lama lagi ---paling lama 15 tahun dari sekarang----, sebagian besar kapal kombatan itu harus dihapus dari susunan tempur. Sehingga kekuatan hanya akan bertumpu pada empat korvet kelas Sigma apabila pengadaan baru tidak direalisasikan karena berbagai alasan. Memang dalam minimum esensial force kekuatan laut Indonesia, sudah dirancang rencana pengadaan kapal kombatan baru. Namun kalau diperhatikan dari segi jumlah, pengadaan kapal kombatan baru jumlahnya tidak berimbang dengan kapal kombatan yang akan memasuki masa purna dinas.
Masalah itu bisa diatasi apabila kapal kombatan baru mengadopsi teknologi senjata yang lebih maju dan lebih mematikan daripada yang dianut oleh korvet kelas Sigma. Dengan demikian, kualitas sistem senjata lebih dikedepankan daripada kuantitas sistem senjata. Pertanyaannya, akankah demikian? Semua tergantung dari proses pengadaan itu nantinya, khususnya tentang requirement yang disusun.
Misalnya, perlu dipertimbangkan soal kapal kombatan berkemampuan AWD. Sebab itulah salah satu kelemahan krusial dari kapal kombatan yang ada saat ini. Sementara pada waktu yang sama, negara-negara di sekitar Indonesia makin banyak mengadopsi pesawat tempur sekelas Su-30 dan F/A-18E/F.
Eksistensi kapal kombatan baru perlu diprioritaskan agar tidak terjadi ketimpangan dalam postur Angkatan Laut di masa depan. Ketimpangan yang dimaksud yaitu kehadiran kapal patroli tipe KCR (dan KCT) tidak ditunjang oleh kapal kombatan yang memadai dari segi jumlah. Ketika menyentuh soal cukup atau tidak cukup, eksistensi 10 kapal kombatan dalam susunan tempur Angkatan Laut Indonesia dapat dikategorikan cukup untuk deterrence maupun daya pukul.
Ketika kita berbicara tentang postur Angkatan Laut negeri ini ke depan, satu di antara fokus yang harus diberikan adalah soal eksistensi kapal kombatan. Yang dimaksud dengan kapal kombatan di sini adalah kapal jenis korvet ke atas. Dalam konteks kekuatan laut Indonesia, berupa kapal korvet dan fregat. Soal mengapa harus diberikan perhatian karena sebagian besar kekuatan kapal kombatan dalam susunan tempur sekarang sudah melampaui batas usia ekonomis.
Dengan pengecualian korvet kelas Parchim yang lebih banyak berfungsi sebagai kapal patroli daripada kapal kombatan ---di Armada Timur digolongkan sebagai kapal patroli---, kekuatan kapal kombatan Angkatan Laut negeri ini bertumpu pada enam fregat kelas Van Speijk/AMY, tiga korvet kelas FTH, 1 korvet kelas KDA dan 4 korvet kelas Sigma/DPN. Dari keempat kelas itu, hanya korvet kelas Sigma yang usia bangunan kapal maupun teknologinya yang merupakan teknologi terakhir. Sedangkan dua sisanya merupakan kapal kombatan berteknologi 1960-an dan 1970-an.
Artinya, dalam waktu tidak lama lagi ---paling lama 15 tahun dari sekarang----, sebagian besar kapal kombatan itu harus dihapus dari susunan tempur. Sehingga kekuatan hanya akan bertumpu pada empat korvet kelas Sigma apabila pengadaan baru tidak direalisasikan karena berbagai alasan. Memang dalam minimum esensial force kekuatan laut Indonesia, sudah dirancang rencana pengadaan kapal kombatan baru. Namun kalau diperhatikan dari segi jumlah, pengadaan kapal kombatan baru jumlahnya tidak berimbang dengan kapal kombatan yang akan memasuki masa purna dinas.
Masalah itu bisa diatasi apabila kapal kombatan baru mengadopsi teknologi senjata yang lebih maju dan lebih mematikan daripada yang dianut oleh korvet kelas Sigma. Dengan demikian, kualitas sistem senjata lebih dikedepankan daripada kuantitas sistem senjata. Pertanyaannya, akankah demikian? Semua tergantung dari proses pengadaan itu nantinya, khususnya tentang requirement yang disusun.
Misalnya, perlu dipertimbangkan soal kapal kombatan berkemampuan AWD. Sebab itulah salah satu kelemahan krusial dari kapal kombatan yang ada saat ini. Sementara pada waktu yang sama, negara-negara di sekitar Indonesia makin banyak mengadopsi pesawat tempur sekelas Su-30 dan F/A-18E/F.
Eksistensi kapal kombatan baru perlu diprioritaskan agar tidak terjadi ketimpangan dalam postur Angkatan Laut di masa depan. Ketimpangan yang dimaksud yaitu kehadiran kapal patroli tipe KCR (dan KCT) tidak ditunjang oleh kapal kombatan yang memadai dari segi jumlah. Ketika menyentuh soal cukup atau tidak cukup, eksistensi 10 kapal kombatan dalam susunan tempur Angkatan Laut Indonesia dapat dikategorikan cukup untuk deterrence maupun daya pukul.
1 komentar:
bang, mo nanya... persenjataan kapal perang kelas diponegoro sudah memadai, jenis nya lengkap?? kalau trmasuk classified, cukup iya atau tidak... terus yakhont mo ikut dipasang jg?? jika berkenan terimakasih atas jawabannya... cuma gundah saja, blum mendapat info mengenai persenjataan sigma..
Posting Komentar