30 Juni 2009

Kesamaan Strategi Pertahanan Amerika Serikat Dengan Indonesia

All hands,
Tahun 1947 merupakan masa-masa awal Perang Dingin, strategi pertahanan Amerika Serikat bersifat defensif. Dengan kawasan pelibatan di daratan Eropa, peran U.S. Navy adalah mengangkut pasukan U.S. Army dari CONUS ke Eropa Barat. Pasukan itu nantinya yang akan melaksanakan lawan ofensif terhadap serangan Uni Soviet.
Untuk melaksanakan peran tersebut, para perancang strategi U.S. Navy menekankan pentingnya pengendalian laut. Walaupun Stalin’s Big Fleet saat itu bukan merupakan ancaman yang seimbang terhadap armada kapal atas air U.S. Navy, namun tidak demikian dengan kekuatan bawah air Voenno-morskoj flot SSSR alias Angkatan Laut USSR. Kekuatan kapal selam VMF yang diproyeksikan untuk melindungi lambung gerakan kekuatan darat Uni Soviet dari laut, diyakini merupakan ancaman yang seimbang terhadap kapal atas air U.S. Navy.
Seperti diketahui, doktrin VMF saat itu adalah mendukung gerakan Raboche-Krest'yanskaya Krasnaya Armiya alias AD Uni Soviet, sehingga VMF seolah-olah subordinat dari RKKA. Baru ketika Fleet Admiral of the Soviet Union Sergei Georgiyevich Gorshkov diangkat menjadi C-in-C of VMF dari 1956-1985, VMF berkembang menjadi kekuatan laut global dan lepas dari bayang-bayang RKKA.
Kembali ke isu strategi pertahanan Amerika Serikat, saat itu memang berkembang pemahaman di U.S. Army bahwa dalam perang yang mungkin pecah di Eropa, peran U.S. Navy lebih banyak sebagai satuan pengangkut dan pengawal konvoi. Para Laksamana di Washington tentu saja tidak suka dengan peran itu, karena menempatkan Angkatan Laut pada peran pinggiran.
Perubahan strategi pertahanan Amerika Serikat mulai terjadi beberapa tahun kemudian melalui forward deployment. Untuk kekuatan laut, sebagian kekuatan U.S. Atlantic Fleet disebarkan secara permanen di beberapa pangkalan di Eropa dan Mediterania. Dengan forward deployment, kemampuan mereka merespon krisis yang muncul lebih cepat dibandingkan apabila semua kekuatan Angkatan Laut dipusatkan di Norfolk, Virginia.
Kalau diteliti, ada kesamaan antara strategi pertahanan Amerika Serikat 1947 dengan strategi pertahanan Indonesia 2009. Strategi pertahanan Indonesia saat ini masih bertumpu pada pulau besar dengan Pulau Jawa sebagai COG-nya. Apabila ada serangan terhadap pulau lain, maka kekuatan utama akan dikirim dari Pulau Jawa seperti tercermin dalam Latihan Gabungan TNI 2008. Tantangan utamanya tentu juga sama, yaitu bagaimana melaksanakan pengendalian laut dan sekaligus merespon krisis secara cepat.
Isu pengendalian laut merupakan pekerjaan rumah bagi kita saat ini. Begitu pula soal merespon krisis secara cepat. Pekerjaan rumah bukan saja bagi AL kita, tetapi bagi bangsa ini khususnya para pengambil keputusan di negeri ini.
Meskipun invasi terhadap Indonesia probabilitasnya kecil, tetapi kita hendaknya tidak mengabaikan potensi surgical strike. Surgical strike bisa muncul kapal saja, misalnya ketika ada kekuatan laut yang melintas di perairan yurisdiksi Indonesia merasa “terganggu” dan sebagai balasannya mereka diperintahkan oleh Presidennya untuk melaksanakan surgical strike terhadap Jakarta dan beberapa COG lainnya. Siapkah Indonesia dengan skenario surgical strike?

29 Juni 2009

Strategi Maritim Dan Kepentingan Nasional

All hands,
Perancangan strategi maritim suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari kepentingan nasional bangsa itu. Akar dari strategi maritim adalah kepentingan nasional. Meskipun elemen dari strategi maritim setiap bangsa nyaris sama yaitu sea control, sea denial dan power projection, akan tetapi realisasinya di lapangan berbeda-beda. Perbedaan terjadi karena kepentingan nasional tiap bangsa tidak sama persis, khususnya pada aspek ruang dan waktu.
Sebagai contoh, kepentingan nasional Amerika Serikat di era Presiden G.W. Bush di antaranya adalah strengthen alliances to defeat global terrorism and work to prevent attacks against us and our friends dan work with others to defuse regional conflicts. Untuk mendukung tercapainya kepentingan itu, maka dirumuskanlah A Cooperative Strategy for 21st Century Sea Power. Strategi itu elemennya adalah forward presence, deterrence, sea control, power projection, maritime security operations dan humanitarian assistance and disaster relief. Karena kepentingan nasional negeri itu berada pada lingkup global, maka kapal perang Amerika Serikat dihadirkan di seluruh perairan dunia.
Indonesia sebagai bangsa juga mempunyai kepentingan nasional. Memang masalah perumusan kepentingan nasional Indonesia masih berbeda pendapat, sebab sebagian pihak kurang sependapat bila kepentingan itu dicantumkan dalam Peraturan Presiden No.7 Tahun 2008. Menurut pendapat itu, semestinya kepentingan nasional dirumuskan pada aturan hukum yang lebih tinggi dan penyusunannya tidak saja melibatkan unsur eksekutif.
Karena mayoritas wilayah yurisdiksi Indonesia adalah perairan, berarti sebagian kepentingan nasional mempunyai keterkaitan dengan domain maritim. Ancaman dan tantangan pada domain maritim sampai pada tingkat tertentu dapat dikategorikan sebagai ancaman dan tantangan terhadap kepentingan nasional. Misalnya terancamnya SLOC Indonesia dari kawasan barat ke wilayah timur.
Mengantisipasi situasi demikian, dibutuhkan suatu strategi maritim. Strategi maritim itu harus mengatur semua pihak yang terkait dengan domain maritim, bukan hanya mengatur Angkatan Laut. Dan siapa pun harus tulus, rela dan ikhlas melihat besarnya peran Angkatan Laut dalam strategi maritim itu, sebab di manapun di dunia Angkatan Laut adalah komponen utama dan ujung tombak dalam strategi maritim.
Pertanyaannya, kapan Indonesia akan mempunyai strategi maritim? Jawaban atas pertanyaan itu akan sangat tergantung pada pertanyaan apakah bangsa ini, khususnya pengambil keputusan, merasa perlu akan hadirnya strategi maritim Indonesia atau tidak. Kasus-kasus seperti sengketa di Laut Sulawesi, Timor Timur 1999, Aceh 2000-2005 dan Lombok Agreement belum cukup menyadarkan para pengambil keputusan di negeri ini akan strategis dan vitalnya kehadiran strategi maritim nasional.

28 Juni 2009

Strategi Maritim Dan Desain Kapal Perang

All hands,
Strategi maritim pasca Perang Dingin telah berubah dari On The Sea menjadi From The Sea. Dulu strategi maritim dirancang untuk melaksanakan fleet on fleet engagement on high seas, sekarang didesain guna melakukan power projection from the sea to shore. Dengan perubahan strategi itu, Angkatan Laut negara-negara maju mengembangkan konsep littoral warfare.
Konsep littoral warfare menuntut Angkatan Laut untuk mampu beroperasi di wilayah littoral yang tantangan operasionalnya jauh lebih rumit daripada di tengah laut. Misalnya rawan terhadap serangan rudal anti kapal permukaan dari daratan, ancaman ranjau, ancaman kapal selam diesel elektrik, tidak efektifnya fungsi-fungsi sensor pada kapal perang karena lingkungan littoral yang kompleks dan lain sebagainya.
Di antara konsekuensi berubahnya strategi maritim adalah perubahan pada desain kapal perang, khususnya kapal atas air. Kapal atas air masa kini, apapun jenisnya dituntut mampu untuk beroperasi di lingkungan littoral yang penuh tantangan sekaligus kompleks. Apabila memperhatikan desain kapal perang keluaran lima tahun terakhir asal negara-negara Eropa dan juga LCS Amerika Serikat, filosofi rancang bangunnya berbeda dengan kapal buatan tahun 1990-an ke bawah. Misalnya material platform-nya merupakan bahan yang menyerap sebagian gelombang radio sehingga RCS-nya kecil, kemagnetan kecil, penguatan pada bagian-bagian platform yang vital terhadap ancaman berbagai jenis senjata (survivability), sistem pendorong yang menggunakan water jet sehingga mampu bermanuver hingga perairan dangkal, hull dan sistem stabilitas yang lebih maju dan lain sebagainya.
Implementasi filosofi rancang bangun kapal perang untuk beroperasi di littoral bukan semata pada kapal kombatan seperti fregat, korvet dan atau FPB, tetapi juga diterapkan pada kapal amfibi dan kapal lainnya. Singkatnya, sebagian dari pembangunan kekuatan Angkatan Laut di negara-negara maju difokuskan pada kemampuan littoral warfare tanpa melupakan kemampuan tradisional untuk beroperasi di tengah lautan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pertanyaan ini baru bisa dijawab apabila negeri ini sudah merumuskan strategi maritimnya. Strategi maritim seperti apa yang dibutuhkan oleh Negeri Nusantara hingga 20-25 tahun ke depan?
Apakah salah satu elemen dari strategi maritim Indonesia adalah littoral warfare yang merupakan bagian dari power projection? Ataukah anti acces strategy yang merupakan bagian dari sea denial? Atau cukup hanya sebatas sea control saja? Jawaban-jawaban dari pertanyaan itu akan mempengaruhi desain kapal perang seperti apa yang dibutuhkan oleh kekuatan laut Indonesia.

27 Juni 2009

Paranoid Terhadap Konsekuensi Status Negara Kepulauan

All hands,
Melintasnya USS Ronald Reagan (CVN-76) dari Laut Cina Selatan menuju Samudera India di perairan Laut Natuna pada 24 Juni 2009 merupakan praktek biasa. Sehingga kurang tepat bila ada pihak di Indonesia yang mempunyai peran dalam menentukan kebijakan di negeri ini justru ribut dan terkesan paranoid. Itulah konsekuensi dari pengakuan hukum internasional terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan. Negara kepulauan wajib menyediakan jalur perairannya bagi kepentingan lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut kepulauan bagi kapal perang negara manapun.
Laut Natuna merupakan bagian dari ALKI I. Jadi merupakan hal yang wajar bila ada kapal perang asing, termasuk milik U.S. Navy yang melintas di sana. Yang semestinya disorot oleh pihak-pihak yang paranoid itu adalah bagaimana kemampuan Indonesia selama ini mengamankan perairannya, khususnya ALKI.
Pengamanan ALKI merupakan tanggung jawab AL dan AU negeri ini yang diwujudkan dalam Ops Pam ALKI. Yang perlu diperhatikan dalam pengamanan ALKI selama ini adalah masih adanya beberapa masalah. Masalah itu tentu saja harus diperbaiki agar kemampuan Indonesia meningkat dalam mengamankan perairannya sendiri.
Pertama, operasi berjalan sendiri-sendiri. Ops Pam ALKI meskipun berada di bawah komando dan kendali Mabes TNI, namun dilaksanakan secara tidak terpadu oleh AL dan AU. Tidak ada komando operasi gabungan yang melaksanakan operasi itu. Soal mengapa tidak ada komando itu, karena perangkat lunak TNI menyatakan bahwa komando operasi gabungan hanya bisa dibentuk bila ada ancaman terhadap keutuhan dan keselamatan negeri ini.
Kedua, fokus operasi. Fokus Ops Pam ALKI lebih pada memantau pergerakan kapal perang di permukaan, selain pesawat udara militer yang lewat di atasnya. Belum ada fokus untuk mampu pula mengamati pergerakan kapal selam di bawah air. Akibatnya, Indonesia belum mampu memantau semua pergerakan kapal perang di ALKI.
Ketiga, durasi operasi. Meskipun Ops PAM ALKI komando dan kendalinya di bawah Mabes TNI, namun durasi operasinya tidak sepanjang tahun alias 24 jam x 365 hari. Ops Pam ALKI hanya dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu saja. Bahkan kadang tidak sinkron jadwalnya antara operasi yang dilaksanakan oleh AL dengan yang digelar oleh AU. Tidak aneh bila sering pesawat Patmar AU tidak bisa bertindak apa-apa terhadap hasil pantauannya, karena tidak ada unsur laut terdekat dari sasaran yang dicurigai di bawah.
Soal durasi operasi bandingkan dengan Ops Balat Sakti. Ops Balat Sakti adalah satu-satunya operasi di bawah komando dan kendali Mabes TNI yang dilaksanakan oleh AL kita yang berlangsung 24 jam x 365 hari. Ops Balat Sakti durasinya sama dengan Ops Kamla yang komando dan kendalinya berada di AL kita, dalam hal ini di Armada.
Kembali ke kasus melintasnya USS Ronald Reagan (CVN-76), yang seharusnya diperhatikan oleh pihak-pihak yang paranoid itu adalah bagaimana mereka bisa mendorong pemerintah melahirkan kebijakan dan sekaligus mengawasi pelaksanaan kebijakaan itu untuk meningkatkan kemampuan AL negeri ini mengamankan ALKI. Kesiapsiagaan AL kita dalam kasus melintasnya USS Ronald Reagan (CVN-76) sudah sepatutnya untuk dihargai meskipun perhatian para pengambil kebijakan terhadap pembangunan kekuatan AL masih setengah hati. Harap dipahami bahwa kemampuan AL kita memantau pergerakan kapal perang di ALKI saja sudah membuat pengguna ALKI merasa tidak nyaman. Tentu mereka akan tidak nyaman lagi bila pergerakan kapal selam bisa diawasi pula.

26 Juni 2009

Meninjau Ulang Masalah Pembinaan Dan Operasi

All hands,
Isu pembinaan dan operasi dalam organisasi pertahanan bukan semata terjadi di Indonesia, melainkan terjadi pula di negeri-negeri lain. Secara garis besar, pembinaan kekuatan militer merupakan kewenangan dan tanggung jawab Kepala Staf Angkatan, sedangkan operasi kekuatan militer merupakan kewenangan tanggung jawab Menteri Pertahanan. Konsep demikian berlaku di banyak negara, utamanya negara demokratis.
Kenapa tanggung jawab operasional diserahkan kepada Menteri Pertahanan? Sebab keputusan yang terkait dengan deployment and employment pada dasarnya merupakan keputusan politik pemerintah. Menteri Pertahanan adalah pejabat politik yang mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan, termasuk di dalamnya soal deployment and employment kekuatan militer.
Di Indonesia yang masih belum tepat adalah masalah operasi yang hingga kini merupakan tanggung jawab Panglima TNI. Soal operasi pasti terkait dengan deployment and employment of military forces, including naval forces. Karena deployment and employment of military forces merupakan ranah politik, tidak tepat bila seorang panglima militer yang berwenang dan bertanggung jawab soal itu. Wewenang dan tanggung jawab harusnya ada di pundak Menteri Pertahanan.
Mari kita lihat kembali kasus tahun 2003 menjelang diberlakukannya Darurat Militer di Aceh. Ketika pemerintah sebagai pemegang otoritas politik belum menyatakan berlakunya status Darurat Militer di wilayah yang bergolak itu, militer negeri ini telah melaksanakan deployment atas perintah dari komando atas. Alasannya, antisipasi pelaksanaan Darurat Militer.
Tindakan demikian resiko politiknya sangat besar, sebab bisa diartikan oleh kalangan sipil bahwa militer tidak paham dengan sistem demokrasi yang berlaku di negeri ini. Bahkan mungkin ada kalangan sipil yang mempersepsikan bahwa militer berjalan sendiri tanpa menunggu keputusan politik. Suka atau tidak suka, dalam negara yang menganut demokrasi, deployment and employment of military forces harus berdasarkan perintah dari Presiden atau minimal pejabat politik di bidang pertahanan.
Ekstremnya, apabila di wilayah X ada pergolakan yang mengancam kepentingan nasional bangsa ini, namun pengambil keputusan politik tidak atau belum mengeluarkan perintah untuk deployment and employment of military forces, kekuatan militer harus diam di tempat. Soal nanti ada kerugian terhadap kepentingan nasional yang di kawasan yang bergolak, itu tanggung jawab pemerintah. Panglima atau komandan militer tidak bisa dimintai tanggung jawab, sebab militer adalah instrumen negara. Sebagai instrumen, tentu panglima atau komandan militer punya atasan dalam sistem ketatanegaraan.
Wewenang dan tanggung jawab operasional yang berada pada pundak Menteri Pertahanan tentunya akan berkonsekuensi bahwa militer di bawah kendali sang menteri. Dalam pelaksanaannya sehari-hari, sang menteri bisa mendelegasikan sebagian tugasnya kepada perwira militer yang ditunjuk. Akan tetapi, hal-hal yang penting seperti deployment and employment of military forces tetap harus diputuskan oleh sang menteri.
Ketika di Amerika Serikat diadakan modifikasi terhadap National Security Act of 1947 pada tahun 1958, memang ada “perlawanan” dari militer, termasuk U.S. Navy. Modifikasi itu memberikan tanggung jawab dan kewenangan kepada Menteri Pertahanan untuk full control over strategy, operations and force planning. Ketiga bidang yang diambil alih sebelumnya sebagian besar merupakan wewenang dan tanggung jawab para Kepala Staf Angkatan. Dengan modifikasi itu, maka tanggung jawab dan kewenangan para Kepala Staf Angkatan adalah membina kekuatan, yakni menyiapkan unsur-unsur sistem senjata beserta sumber daya manusianya agar siap digunakan oleh Menteri Pertahanan.
Menurut hemat saya, masalah pembinaan dan operasi di Indonesia perlu ditinjau ulang disesuaikan dengan sistem yang dianut oleh negeri ini sekarang. Langkah itu sekaligus satu dari beberapa pekerjaan rumah yang sudah sepatutnya ditempuh agar kekuatan pertahanan Indonesia bisa lebih maju. Harap diingat bahwa kita belum melaksanakan transformasi pertahanan, padahal jaman menuntut akan hal tersebut. Transformasi pertahanan sangat berbeda dengan reformasi pertahanan.

25 Juni 2009

Pengendalian Laut Bukan Prioritas Bangsa

All hands,
Pengendalian laut merupakan salah satu isu fundamental dalam strategi maritim. Tanpa pengendalian laut, suatu Angkatan Laut hanya akan menjadi pecundang, baik di masa damai, konflik maupun perang. Terciptanya pengendalian laut bukan saja akan menguntungkan secara militer bagi Angkatan Laut, tetapi juga keuntungan ekonomis bagi pihak-pihak yang tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan Angkatan Laut.
Tantangan bagi Indonesia untuk menciptakan pengendalian laut cukup besar, baik di masa damai, apalagi saat konflik dan perang. Sebab garis perhubungan laut Indonesia selain sangat panjang, juga sangat banyak. Mungkin di masa damai masalah itu tidak terlalu menonjol, sebab sejauh ini tantangan dan ancaman yang muncul masih bisa diatasi dengan kekuatan yang tersedia.
Namun akan menjadi masalah besar ketika terjadi konflik dan atau bahkan perang. Sebab banyaknya garis perhubungan laut yang harus diamankan menuntut dispersi kekuatan Angkatan Laut, baik kapal atas air, kapal selam maupun pesawat udara ke beberapa perairan strategis sekaligus. Sebagai contoh, apabila muncul konflik soal akses terhadap ALKI II dengan pihak lain, kekuatan laut negeri ini dituntut harus tetap bisa mengendalikan perairan Selat Malaka.
Yang menjadi masalah adalah para pengambil keputusan di negeri ini tidak paham dengan kritis dan krusialnya isu pengendalian laut. Seolah-olah isu pengendalian laut tidak ada hubungan dengan eksis tidaknya Indonesia di dalam pergaulan antar bangsa. Jangankan pada saat konflik dan atau perang, apabila garis perhubungan laut dari Pulau Jawa ke kawasan Indonesia Timur terancam putus pada masa damai, implikasi politik, ekonomi dan militernya sangat besar. Bisa dibayangkan berapa nilai jual ke konsumen harga kebutuhan pokok di kawasan Indonesia Timur yang masih harus dipasok dari Pulau Jawa. Itu baru dari aspek ekonomi yang dampaknya akan dirasakan oleh semua rakyat tanpa memandang tingkatan kemampuan ekonomi mereka.
Para pengambil keputusan negeri ini sepertinya tidak pusing dengan kritis dan krusialnya isu pengendalian laut. Tidak heran bila mereka tidak pusing dengan tidak adanya strategi maritim. Mereka berpendapat bahwa strategi maritim adalah bisnis Angkatan Laut saja. Padahal Angkatan Laut meskipun bagian terpenting dalam suatu strategi maritim, tetap saja harus mengikuti keputusan politik pemerintah. Strategi maritim merupakan suatu keputusan politik dan mengikat semua pihak terkait, bukan saja Angkatan Laut.
Karena tidak pusing dengan tidak adanya strategi maritim, maka wajar saja bila mereka lebih tidak pusing dengan modernisasi kekuatan laut. Mungkin mereka berpikir bahwa negeri ini masih bisa dipertahankan dengan bambu runcing sambil bersembunyi di hutan. Atau cukup dengan melakukan penerobosan laut lewat kapal-kapal kecil seperti di tahun 1945-1949 ketika Indonesia belum mempunyai kapal perang.

24 Juni 2009

Kekuatan Laut Dan Aspirasi Politik Di Kawasan

All hands,
Berbicara mengenai konsep peperangan asimetris, satu dari empat wujud asimetris adalah pada persenjataan. Tiga lainnya adalah kekuatan, organisasi dan moral alias semangat juang. Kalau kita teliti dengan cermat, asimetris pada aspek persenjataan tidak identik dengan aktor negara versus aktor non negara. Justru kategori aktor negara lawan aktor negara lebih sering masuk di dalam aspek asimetris tersebut.
Asimetris pada aspek persenjataan juga terjadi pada Angkatan Laut di Asia Tenggara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Angkatan Laut Singapura jenis persenjataannya banyak sekali, yang kalau didalami sudah berlebihan untuk melindungi negeri penampung para koruptor dan uang haram itu. Bayangkan saja, sejumlah fregat kelas Formidable dan empat kapal selam (belum terhitung dua kapal selam kelas Vastergotland) terlalu sesak untuk beroperasi di perairan negeri penampung barang selundupan yang Puak Melayu menjadi warga negara kelas di dunia di kampungnya sendiri.
Kekuatan asimetris terjadi ketika dibandingkan dengan kekuatan laut Indonesia. Negeri ini justru kekuatan lautnya sedikit dan tidak proporsional dengan luas perairannya. Kekuatan kapal atas air, kapal selam dan pesawat udara Angkatan Lautnya tidak imbang dengan wilayah tanggung jawabnya.
Memang ada yang lebih parah kondisi Angkatan Lautnya dibandingkan dengan Indonesia, yaitu Filipina. Akan tetapi hebatnya negeri yang stabilitasnya seringkali guncang ini tidak ada yang berani menganggu, bahkan Negeri Tukang Klaim sekalipun yang tabiatnya sejak dikasih hadiah kemerdekaan oleh Inggris adalah suka mengklaim segala sesuatu yang sesungguhnya milik orang lain. Sekali lagi, bandingkan dengan Indonesia.
Dengan kondisi asimetris seperti ini, apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Aspirasi kita untuk kembali menjadi primus inter pares di Asia Tenggara, termasuk dalam aspek kekuatan militer, hanya bisa diwujudkan apabila kekuatan hard power negeri ini dibangun. Mustahil menjadi primus inter pares tanpa didukung oleh hard power, sebab kancah pergaulan internasional bukanlah ruang pesta diplomat yang penuh dengan basa-basi kesopanan, melainkan hutan rimba yang hanya mengenal siapa yang kuat dan siapa yang lemah.
Jangan pernah beranggapan bahwa ketika Indonesia menjadi primus inter pares di era Orde Baru sama sekali tanpa kontribusi hard power. Harap diketahui hingga awal 1990-an AL kita menempati peringkat pertama di kawasan Asia Tenggara dari segi persenjataan. Indonesia hendaknya tidak naif dengan soft power yang tidak berguna sama sekali ketika menyentuh isu kepentingan nasional di bidang keamanan. Daripada sibuk berkutat dengan isu soft power yang tidak jelas hasilnya itu, lebih baik secepatnya membenahi kekuatan pertahanan negeri ini, termasuk Angkatan Laut.
Jangan pernah ragukan kebenaran tesis bahwa mempunyai Angkatan Laut yang kuat akan membantu mencapai aspirasi politik suatu negara. Hal itu sudah dibuktikan selama ratusan tahun oleh banyak negara. Dengan kata lain, sudah terbukti pada tataran empiris. Bandingkan dengan teori soft power yang usianya masih muda, sehingga kebenarannya pun masih sangat dipertanyakan.

23 Juni 2009

Proliferation Security Initiative Dan Resolusi DK PBB No.1874

All hands,
Proliferation Security Initiative (PSI) yang digagas oleh Amerika Serikat pada Mei 2003 ditujukan untuk mencegah penyebaran senjata pemusnah massal ke negara-negara yang dipandang sebagai ancaman terhadap kepentingan Amerika Serikat. Negara-negara yang menjadi sasaran PSI di antaranya adalah Iran dan Korea Utara, oleh Amerika Serikat dan sekutunya dijuluki sebagai rogue states. Untuk menerapkan PSI, kegiatannya meliputi tekanan politik, tekanan ekonomi, operasi intelijen terhadap sasaran yang dicurigai, interdiksi di laut dan kerjasama dengan negara-negara lain di dunia.
Korea Utara merupakan salah satu negara yang “nakal” di mata Amerika Serikat. “Kenakalan” itu dipelihara oleh Om Sam untuk membenarkan kehadirannya di Asia Timur. Semakin Korea Utara bertingkah, misalnya melalui ujicoba nuklir dan rudal, Amerika Serikat semakin “senang”.
Tingkah laku Korea Utara ---yang mungkin sebagian adalah reaksi terhadap skenario yang dimainkan oleh Amerika Serikat--- dalam beberapa bulan terakhir ini pulalah yang mendorong lahirnya Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1874 pada 12 Juni 2009. Resolusi itu merupakan penegasan dari Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1718 tanggal 14 Oktober 2006. Substansinya adalah “cekik” Korea Utama dalam semua aspek, sampai negeri itu patuh pada tuntutan Amerika Serikat dan sekutunya.
Salah satu amanat dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1874 adalah penegasan perintah kepada semua negara anggota PBB untuk menginspeksi kapal yang berlayar dari dan ke Korea Utara yang dicurigai membawa material-material yang dicurigai. Dengan kata lain, resolusi itu sebagian isinya adalah pelaksanaan dari PSI.
Pertanyaannya, akankah Indonesia comply terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1874? Sebab di sisi lain Indonesia adalah salah satu negara yang gigih menolak PSI. Apabila Amerika Serikat meminta kepada Indonesia untuk menginterdiksi suatu kapal yang berlayar dari dan atau ke Korea Utara yang dicurigai membawa material-material yang ada kaitannya dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1718 dan No.1874, akankah Indonesia mengiyakan permintaan itu? Meskipun yang meminta adalah Amerika Serikat dan bukan Dewan Keamanan PBB, namun tetap harus dilihat bahwa Amerika Serikat adalah pihak yang bisa mengatur agenda Dewan Keamanan PBB.
Di forum internasional Indonesia boleh saja dengan gagah menolak PSI. Tapi bagaimana dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1874 dan No.1718? Bisakah di lapangan Indonesia menolaknya? Bila Indonesia masih dengan gagah berani menolak, bisa jadi armada U.S. Navy atau armada Singapura yang akan menginterdiksi kapal yang dicurigai di perairan Indonesia.
Memang kemudian masalah pasti akan diarahkan oleh Indonesia kepada isu kedaulatan. Tapi sebaiknya harus tetap diingat bahwa ujung pangkalnya bukan pada isu kedaulatan, tetapi pada penegakan resolusi Dewan Keamanan PBB. Apakah Indonesia comply atau tidak?

22 Juni 2009

Fokus Terhadap Ancaman Dan Tantangan

All hands,
Bagi suatu kekuatan militer, termasuk Angkatan Laut, tidak mudah untuk fokus terhadap ancaman dan tantangan yang muncul dalam suatu masa. Fokus terhadap hal tersebut bukan saja pada struktur kekuatan yang dibangun agar mampu menghadapinya, tetapi mengenali pula secara lengkap karakter pihak yang dikategorikan sebagai ancaman dan tantangan tersebut. Dengan kata lain, karakter dan tindak tanduk calon lawan dicermati dengan benar.
Sebagai contoh adalah U.S. Navy yang memandang bahwa kekuatan laut Cina akan menjadi calon lawannya di masa depan. Persepsi demikian kemudian muncul dalam aspek-aspek terkait, baik operasi, intelijen, logistik maupun pendidikan dan pengkajian. Kalau mencermati kurikulum di lembaga pendidikan U.S. Navy, khususnya untuk perwira, sebagian dari kurikulum itu dirancang untuk mengenali karakter dan tindak tanduk Cina. Begitu pula dengan hasil-hasil pengkajian di U.S. Navy, termasuk seminar-seminar, sebagian fokusnya diarahkan ke kekuatan laut Cina, meliputi aspek operasi, intelijen, logistik maupun personel.
Kegiatan operasi dan intelijen pun demikian. Berlalu lalangnya kapal perang dan kapal Angkatan Laut Amerika Serikat di perairan ZEE Cina membuktikan kebenaran akan fokus itu. Apabila kita berangkat dari pemahaman demikian, tentu saja bukan suatu hal yang aneh alias janggal dengan insiden seperti USNS Impeccable (T-AGOS 23) atau tabrakan antara pesawat intai EP-3 Aries dengan pesawat tempur Cina.
Indonesia secara resmi belum pernah mendeklarasikan siapa lawannya dan atau calon lawannya. Namun melihat perkembangan kontemporer di Laut Sulawesi, tidak sedikit pihak di negeri ini berpendapat bahwa Malaysia lebih besar probabilitasnya menjadi calon lawan Indonesia suatu ketika dibandingkan dengan Singapura atau Australia misalnya. Selanjutnya muncul pertanyaan, sudah seberapa dalam pengetahuan kita mengenai Negeri Tukang Klaim itu, khususnya kekuatanya lautnya?
Sudahkah fokus militer negeri ini diarahkan ke sana, dalam segala aspek baik operasi, intelijen, logistik dan lain sebagainya? Pahamkah kita dengan doktrin operasi militer Negeri Tukang Klaim? Mengertikah kita dengan karakter dan kehidupan dalam organisasi militer mereka?
Masih banyak pertanyaan serupa yang relevan untuk diajukan. Semua itu pada dasarnya konsekuensi bila kita menilai bahwa suatu negara atau aktor merupakan calon lawan kita di masa depan.

21 Juni 2009

Penyebaran Kapal Perang Dan Kebijakan Luar Negeri

All hands,
Bagi kita yang sudah paham betul bagaimana mengeksploitasi kapal perang bagi kepentingan diplomasi, tentu tidak asing lagi dengan diplomasi Angkatan Laut. Diplomasi Angkatan Laut dilaksanakan untuk menunjukkan sikap politik suatu negara terhadap suatu atau beberapa isu yang sedang mengemukan di suatu wilayah atau kawasan dunia. Belum hilang dari ingatan kita saat Rusia berperang dengan Georgia atas perebutan wilayah Ossetia Selatan pada Agustus 2008, yang langsung disikapi oleh Amerika Serikat dengan mengirimkan USS McFaul (DDG-74) ke pelabuhan Georgia di Laut Hitam. Sebagai balasannya atas tindakan tersebut, Rusia mengirimkan satu Gugus Tugas Angkatan Lautnya ke Venezuela pada November tahun yang sama.
Ketika Perang Dingin masih berkecamuk, tindakan saling kirim kapal perang ke wilayah yang menjadi perebutan pengaruh antara Amerika Serikat vs Uni Soviet merupakan hal yang biasa. Tindakan itu bisa dikategorikan sebagai operasi rutin. Misalnya saat Uni Soviet tengah berupaya menanamkan pengaruhnya di sekitar Laut Tengah pada 1946, Amerika Serikat selain mengirimkan kapal USS Missouri (BB-63) yang sekaligus memuat jenazah Duta Besar Turki untuk Amerika Serikat, menyebarkan pula USS Fargo (CL-106) untuk berlayar di sekitar kota Trieste yang tengah menjadi ajang perebutan pengaruh.
Ketika hendak dikirim, Vice Admiral Bernhard Bieri yang ditunjuk sebagai Komandan Gugus Tugas bertanya kepada Menteri Angkatan Laut James Forrestal. Pertanyaan sang Laksamana sederhana, yakni apakah Departemen Luar Negeri telah menyetujui kunjungannya. Forrestal menjawab tidak. Kemudian dilanjutkan oleh sang Menteri, “For your own information, it is my hope that the American policy will be to have units of the American Navy sail in any waters in any part of the globe. I am anxious to get this established as a common practice so that the movements of our ships anywhere will not be a matter for excitement or speculation”.
Harapan Forrestal seperti tersurat dalam pernyataannya kepada Admiral Bieri sudah lama terwujud. Kini U.S. Navy adalah salah satu instrumen kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Kemanapun kapal perang U.S. disebar, Departemen Luar Negeri mendapat informasi dan siap membantu secara politik apabila ada masalah diplomatik.
Departemen Luar Negeri juga memberikan masukan kepada U.S. Navy perairan mana saja yang perlu kehadiran kapal perang untuk kepentingan politik. Apabila ada krisis di suatu wilayah di dunia, maka pertanyaan pertama dari para pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan para pejabat di Gedung Putih adalah “Where is our nearest warships?”. Bukan “Where is our nearest tanks?” atau “Where is our nearest fighters?”
Hal demikian belum terwujud di Indonesia. Sebab Indonesia belum mempunyai kebijakan keamanan nasional yang memadukan semua instrumen, termasuk instrumen politik dan militer. Singkatnya, belum terjalin komunikasi antara Departemen Luar Negeri dengan militer, termasuk AL, soal penyebaran kekuatan kapal perang kita.
Sebagai contoh, sepertinya kurang ada kepedulian dari instrumen politik soal kehadiran kapal perang kita di perairan strategis dan juga wilayah konflik, misalnya di Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Sunda dan Laut Sulawesi. Pernahkah ada pejabat pengambil kebijakan politik yang rutin bertanya petinggi militer dan AL negeri ini soal di mana saja saat ini posisi kapal perang kita? Saya tidak yakin akan hal tersebut. Pertanyaan itu tidak muncul rutin, hanya kadang-kadang saja kalau lagi “membutuhkan” Angkatan Laut.

20 Juni 2009

Mengapa Angkatan Laut Eksis?

All hands,
Tak lama setelah Perang Dunia Kedua berakhir, rivalitas antar Angkatan di Amerika Serikat makin menguat. U.S. Army Air Force yang telah membuktikan kebenaran sebagian doktrin air power merasa posisinya harus sejajar dengan dua Angkatan lainnya yang telah eksis sejak lebih seratus tahun sebelumnya. Dengan berfungsinya nuklir sebagai senjata dengan rusak yang amat sangat luar biasa, U.S. Army Air Force berpendapat bahwa perang cukup dapat dilakukan oleh mereka saja. Dengan kata lain, peran U.S. Navy dan U.S. Army cenderung dinegasikan sama sekali.
U.S. Army Air Force juga menggugat eksistensi Naval Air Wing di U.S. Navy. Menurut pendapatnya, Naval Air Wing sudah seharusnya dilebur dalam U.S. Army Air Force. Bertolak dari keyakinan diri yang besar, U.S. Army Air Force menuntut kesejajaran dengan dua Angkatan lainnya. Aspirasi itu dikabulkan oleh Kongres pada 1947 dengan menyetujui pembentukan U.S. Air Force yang sejajar dengan U.S. Navy dan U.S. Army.
Apabila U.S. Army Air Force menggugat keberadaan Naval Air Wing, maka U.S. Army menggugat eksistensi U.S. Marine Corps. Menurut U.S. Army, U.S. Marine Corps sudah tidak dibutuhkan lagi sebab medan tempur yang akan datang berada di dataran Eropa, bukan di wilayah Pasifik yang didominasi oleh perairan luas.
Masa-masa antara 1946-1950 adalah suatu era yang berat bagi U.S. Navy dan juga U.S. Marine Corps. Setelah menunjukkan baktinya kepada Amerika Serikat dalam Perang Dunia Kedua, setelah itu keberadaan mereka sebagai suatu Angkatan tersendiri digugat. Namun pada akhirnya mereka mampu melewati masa-masa penuh cobaan itu dengan intact. U.S. Navy dan U.S. Marine Corps tetap eksis hingga sekarang.
Mengapa mereka bisa melewatinya? Sebab mereka mempunyai argumen yang cerdas dan dapat diterima oleh para politisi, yaitu eksistensi mereka untuk mengamankan kepentingan nasional Amerika Serikat. Untuk mengamankan kepentingan itu, penegasian kedua Angkatan sama saja dengan tindakan yang merugikan kepentingan itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, ada pula upaya menegasikan peran AL kita dan juga Korps Marinir. Misalnya ada pihak yang berupaya memperluas perannya di laut, dengan beralasan bahwa laut adalah wilayah yurisdiksi Indonesia sehingga dia berhak untuk menegakkan hukum di laut. Alasan bahwa laut adalah wilayah yurisdiksi Indonesia tidak ada yang bisa bantah, namun ketika berbicara soal penegakan hukum ceritanya menjadi lain.
Di laut hukum nasional tidak berlaku sepenuhnya, tetapi harus pula mengacu pada hukum internasional. Itulah sebabnya para pelaut niaga asing tidak pernah mau kapalnya dihentikan oleh pihak lain selain AL dan KPLP, sebab mereka tahu pihak di luar keduanya tidak berhak menghentikan dan memeriksa mereka. Yang berhak cuma AL dan KPLP yang saat ini baru melaksanakan setengah dari fungsi Coast Guard.
Konon kabarnya, pihak tertentu itu tengah memesan sebuah kapal berukuran 100 meter lebih bagi kepentingannya. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pengambil kebijakan politik cenderung tidak bisa mengendalikan pihak itu. Setiap kebijakan mereka seharusnya dikontrol oleh pemerintah, bukan diloloskan begitu saja. Apalagi pemerintah terikat dengan rezim hukum internasional di laut, yang mana pemerintah harus patuh melaksanakan ketentuan dalam rezim itu.
Rencana eksistensi Coast Guard sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran juga dipandang sebagian pihak sebagai ancaman terhadap eksistensi AL. Apabila kita mau berpikir jernih, ada perbedaan fungsi antara AL dengan Coast Guard. Coast Guard berfungsi menegakkan hukum, sedangkan AL berfungsi mengamankan kepentingan nasional.
Mengamankan kepentingan nasional spektrumnya luas, termasuk penegakan hukum. Sebaiknya mari kita pahami bahwa sekalipun suatu saat nanti Indonesia mempunyai Coast Guard, akan tetapi hal itu tidak akan menggugurkan dasar hukum yang menjadi pegangan bagi AL untuk menegakkan hukum di laut. Justru sedikit banyak beban tugas penegakan hukum oleh AL akan berkurang karena dibantu oleh Coast Guard.
Memang kita tidak menutup mata terhadap contoh beberapa negara yang Coast Guard-nya dominan, seperti Jepang, Amerika Serikat dan India. Kenapa dominan? Penyebabnya adalah kebijakan pemerintah masing-masing yang pada intinya sama, yaitu AL harus melaksanakan proyeksi kekuatan. Pelaksanaan proyeksi kekuatan adalah implementasi dari kebijakan politik untuk menjadi aktor global dan regional. Kata kuncinya terletak pada kebijakan politik pemerintah.
Selain itu, negara-negara itu sebagian besar menganut Posse Commitatus. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia tidak menganut Posse Commitatus. Namun politik pemerintah negeri ini belum mengeksploitasi penuh potensi kemampuan AL.
AL kita bisa saja melaksanakan proyeksi kekuatan secara terbatas, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Ulangi, secara terbatas!!! Contohnya bisa dilihat dalam kasus KRI Diponegoro ke Lebanon.
Dengan kata lain, fokus operasi AL kita masih pada mengamankan kepentingan nasional di perairan yurisdiksi. Artinya AL kita belum akan diproyeksikan keluar wilayah Indonesia secara permanen. Proyeksi kekuatan hanya akan dilakukan secara temporer. Eksistensi AL kita adalah untuk mengamankan kepentingan nasional, termasuk di perairan yurisdiksi sendiri.
Tentu sangat aneh bin janggal bila negeri kepulauan seperti Indonesia tidak mempunyai Angkatan Laut. Aneh pula bila eksistensi Angkatan Laut dipelihara hanya karena tercantum dalam UUD 1945, namun pengembangannya tidak didukung dengan sepenuh hati oleh para pengambil kebijakan.

19 Juni 2009

Interdependensi Keamanan Kawasan Terhadap Indonesia

All hands,
Keterbatasan sumber daya merupakan salah satu diktum dalam ilmu perencanaan kekuatan. Sumber daya yang dimaksud tidak terbatas pada kemampuan ekonomi, tetapi juga manusia dan lain sebagainya. Artinya negara manapun di dunia menghadapi keterbatasan sumber daya dalam membangun kekuatan pertahanannya. Sehingga kurang tepat bila pengambil keputusan pertahanan di negeri ini beralasan bahwa penguatan kemampuan pertahanan dibatasi oleh anggaran.
Semua pihak paham bahwa kondisi pertahanan Indonesia sekarang dalam kondisi darurat, sehingga memerlukan langkah-langkah responsif dengan mempertimbangkan faktor waktu. Percepatan modernisasi kekuatan tidak bisa ditunda lagi, sebab semakin hari semakin banyak pula tantangan yang dihadapi dalam memelihara dan mengoperasikan sistem senjata yang sudah lewat masa ekonomisnya.
Memang percepatan modernisasi itu belum akan mampu mengamankan semua wilayah Indonesia, yang sebagian besar adalah perairan. Akan tetapi hal itu lebih baik daripada tidak melakukan modernisasi sama sekali. Pertanyaannya, bagaimana mengisi gap yang belum terjawab oleh percepatan modernisasi kekuatan itu?
Salah satu peluang yang tersedia adalah menghidupkan instrumen politik, sebab instrumen politik merupakan salah satu bagian dari instrumen kekuatan nasional. Peran seperti apa yang harus dilakukan oleh instrumen politik? Kata kuncinya adalah bagaimana instrumen politik bisa menciptakan situasi di mana instabilitas Indonesia akibat ancaman dan tantangan dari luar berarti instabilitas terhadap keamanan kawasan.
Dengan kata lain, ciptakan interdependensi antara stabilitas kawasan dengan stabilitas Indonesia. Apabila Indonesia “diganggu” oleh pihak lain, negara-negara di kawasan akan “berteriak” dan in favor of Indonesia. Situasi demikian harus diciptakan oleh Indonesia untuk mengisi gap pada kemampuan pertahanannya.
Berangkat dari kasus di Laut Sulawesi, interdependensi itu belum tercipta. Artinya instrumen politik selama ini belum melaksanakan perannya. Mengapa belum melaksanakan perannya?
Setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, tidak ada arahan dari pengambil keputusan politik. Kedua, masih belum padunya persepsi antara instrumen politik dengan instrumen pertahanan/militer.

18 Juni 2009

Tinjauan Ulang Terhadap Minimum Essential Force

All hands,
Adanya kebijakan pemerintah untuk menghapus sejumlah sistem senjata yang sudah lewat usia ekonomisnya berkonsekuensi terhadap konsep minimum essential force. Sebab kebijakan demikian berimplikasi terhadap kuantitas sistem senjata dalam konsep tersebut. Maksudnya, berdasarkan rumusan minimum essential force saat ini dari segi jumlah, akan terjadi pengurangan kuantitas sistem senjata. Sehingga jumlah kekuatan dalam minimum essential force harus dihitung ulang.
Dalam minimum essential force, pendekatan yang dianut adalah ancaman plus anggaran. Masalah kualitas sistem senjata nampaknya bukan menjadi perhatian utama, sebab yang didahulukan lebih pada kuantitas. Di situlah masalahnya terletak, yakni meskipun kuantitas sistem senjata dalam minimum essential force terhitung banyak, namun secara kuantitas tidak berbanding lurus. Sebab tulang punggung kekuatan pada konsep itu adalah sistem senjata buatan 1980-an ke bawah yang usia ekonomisnya telah terlampaui.
Sekarang menjadi pertanyaan apakah dengan kebijakan pemerintah untuk menghapus sejumlah sistem senjata buatan 1980-an ke bawah, lalu pendekatan dalam penyusunan minimum essential force masih akan tetap mengandalkan pada kuantitas sistem senjata? Sebaiknya ada perimbangan antara kuantitas sistem senjata dengan kualitas sistem senjata.
Untuk menciptakan perimbangan, realisasi pengadaan sistem senjata baru sebagaimana dicantumkan dalam Renstra harus sesuai jadwal. Selain itu, nampaknya perlu penambahan kuantitas pengadaan sistem senjata baru dalam Renstra. Pendapat ini berangkat dari basis pemikiran mendasar yaitu kepentingan nasional. Kepentingan nasional harus mendasari perencanaan kekuatan, bukan anggaran yang mendasari perencanaan kekuatan.
Paradigma inilah yang banyak tidak dipahami oleh pihak-pihak terkait di negeri ini. Kepentingan nasional Indonesia yang menyangkut survival dan important adalah menjaga perairan yurisdiksi, sebab di perairan itu terjadi kegiatan politik dan ekonomi yang menyangkut hajat hidup bangsa ini. Anggaran adalah turunan paling akhir dalam perencanaan kekuatan, sebab anggaran adalah anak dari program dan great-great grand son dari kepentingan nasional.

17 Juni 2009

Political Will Kebijakan Alutsista

All hands,
Karena adanya sejumlah masalah berat dalam hal kesiapan sistem senjata beberapa waktu belakangan, pemerintah mulai mengambil kebijakan baru untuk menghadapi masalah itu. Salah satunya dengan memerintahkan kepada Departemen Pertahanan dan TNI untuk menyusun daftar alutsista yang akan dihapus dalam Renstra 2010-2014. Kebijakan pemerintah untuk memasukkan sejumlah alutsista untuk dihapus merupakan pendekatan yang bagus apabila dilakukan secara berimbang dan adil.
Sebab isu utamanya kini sudah bergeser dari penggunaan sistem senjata yang usia ekonomisnya sudah lewat menjadi apakah ada penggantian dari alutsista yang direncanakan dihapus tersebut. Isu ini krusial bila dikaitkan dengan realisasi pembangunan kekuatan sesuai Renstra 2005-2009. Sebab dalam renstra yang hampir berakhir ini, sebagian pengadaan alutsista baru belum berjalan sesuai rencana.
Bertolak dari kenyataan ini, menjadi perhatian tersendiri bagaimana realisasi pengadaan alutsista dalam Renstra 2010-2014, sebab pada saat yang sama akan ada sejumlah sistem senjata yang dipastikan akan dihapus. Karena semua pihak juga paham bahwa menghapus alutsista lama lebih mudah dan murah daripada membeli alutsista baru. Lebih mudah dan murah bukan saja dari aspek ekonomis, tetapi juga aspek politik.
Tentu bukan suatu kondisi yang diharapkan bila TNI diperintahkan menghapus alutsistanya, namun di sisi lain pemerintah selaku pemegang otoritas politik dalam kebijakan pertahanan tidak mengimbangnya dengan pengadaan alutsista baru sebagai penggantinya. Rencana pengadaan alutsista baru dalam renstra patut dihargai, namun akan lebih dihargai lagi bila rencana itu diwujudkan ke dalam bentuk nyata dan bukan sekedar rencana yang tidak didukung dengan political will.
Political will-lah yang akan menentukan keluarnya dukungan anggaran. Seberapa besar pun anggaran yang tersedia bagi modernisasi kekuatan pertahanan, namun apabila tidak didukung oleh political will maka hasilnya akan nol di lapangan.

16 Juni 2009

Masalah Krusial Dalam Anggaran Pertahanan

All hands,
Salah satu masalah krusial dalam anggaran pertahanan Negeri Nusantara adalah penyelarasan antara anggaran pengadaan sistem senjata dengan anggaran pemeliharaan sistem senjata. Pengadaan sistem senjata biasanya didanai lewat kredit ekspor dan atau sejenisnya. Sedangkan pemeliharaan sistem senjata didukung oleh APBN murni.
Yang menjadi masalah yakni tidak ada korelasi berbanding lurus antara masuknya sistem senjata baru dalam susunan tempur dengan peningkatan anggaran pemeliharaan. Bahkan seringkali untuk tahun pertama masa dinas sebuah sistem senjata baru, tidak ada pengalokasian anggaran pemeliharaan. Sebab para penyusun anggaran berpendapat bahwa sistem senjata itu masih baru dan masih ada jaminan purna jual dari pabrik.
Masalah ini klasik dan sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam anggaran pertahanan yang dikucurkan oleh pemerintah, pada setiap TA tidak semua sistem senjata yang ada dalam susunan tempur diprioritaskan untuk dipelihara. Artinya setiap TA pasti ada sistem senjata yang tidak dipelihara, karena prioritas diberikan kepada sistem senjata lain.
Tidak heran apabila waktu kasus L-100-30 Hercules AU jatuh menjelang mendarat di Lanud Iswahyudi, konon ada pihak tertentu di negeri ini yang bertanggung jawab soal alokasi anggaran pemerintah tidak merasa bersalah. Alasannya, pesawat yang jatuh adalah pesawat yang dialokasikan anggaran pemeliharaannya dalam APBN, bukan pesawat yang tidak dialokasikan anggarannya.
Apabila para petinggi pertahanan negeri ini tidak pernah menyatakan bahwa tingkat kesiapan alutsista mencapai 80%-90%, hal itu karena anggaran pemeliharaan yang dikucurkan hanya diprioritaskan pada sistem senjata tertentu. Misalnya ada 10 kapal perang kelas X, maka paling banyak cuma enam kapal perang yang didukung anggaran pemeliharaannya dalam satu TA.
Pada sisi lain, kebijakan pemerintah yang masih mempertahankan sistem senjata yang sudah tidak ekonomis juga berkontribusi pada anggaran pemeliharaan. Sebab sistem senjata itu semakin tahun semakin rewel, sehingga menuntut anggaran yang tidak sedikit. Kalau dihitung secara ekonomis, biaya pemeliharaannya hampir mendekati pembelian sistem senjata baru.
Apabila sebagian sistem senjata yang sudah tidak ekonomis dihapus dari susunan tempur, sedikit banyak hal itu akan membantu pemeliharaan sistem senjata yang lebih baru. Namun tidak berarti bahwa penambahan anggaran pertahanan tidak dibutuhkan. Penambahan anggaran pertahanan tetap dibutuhkan, sebab sistem senjata yang dibeli dalam 5 tahun terakhir memerlukan pemeliharaan sesuai ketentuan dari pabrikan apabila kita masih ingin menggunakannya hingga 25 tahun ke depan.

15 Juni 2009

Kepentingan Sektoral Dalam Bingkai Kepentingan Nasional

All hands,
Kerjasama keamanan Indonesia-Australia diikat dalam The Lombok Agreement. Terdapat sembilan bidang kerjasama yang disepakati kedua negara, yang mana untuk Angkatan Bersenjata mencakup counter terrorism, maritime security, intelligence, humanitarian assistance and disaster relief dan peacekeeping. Kesepakatan mengenai kerjasama militer kedua negara disepakati pada Januari 2009 antara kedua petinggi Angkatan Bersenjata masing-masing.
Soal kerjasama keamanan dengan Australia merupakan suatu hal yang taken for granted bagi militer Indonesia, sebab hal itu merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Namun bagaimana realisasinya di lapangan, itu suatu hal yang mesti dicermati dengan benar. Sebab pertanyaan utamanya adalah siapa yang diuntungkan dari kerjasama itu. Apakah Australia atau Indonesia atau kedua-duanya.
Mengukur derajat kepentingan nasional masing-masing negara, nampaknya Australia lebih diuntungkan dengan kerjasama ini. Misalnya dalam bidang counter terrorism, maritime security, humanitarian assistance and disaster relief, begitu pula dengan intelligence dan peacekeeping. Dalam soal counter terrorism dan maritime security, Indonesia sepertinya akan lebih banyak berfungsi sebagai bumper. Negeri ini akan lebih ditempatkan sebagai pelaksana lapangan yang akan menginterdiksi ancaman terhadap Australia tepat di jalur pendekat maritim.
Mengenai kerjasama bidang humanitarian assistance and disaster relief, Australia lebih siap dari aspek sumber daya. Sedangkan Indonesia lebih akan menjadi “sasaran” operasi humanitarian assistance and disaster relief Australia. Probabilitas terjadinya bencana alam di Indonesia jauh lebih besar daripada di Australia.
Begitu pula dengan intelligence. Australia mempunyai sumber daya untuk mengumpulkan informasi intelijen yang sangat sulit ditandingi oleh Indonesia. Artinya Indonesia akan lebih sebagai penerima informasi, sebab apa yang akan terjadi di Indonesia sudah diketahui terlebih dahulu oleh intelijen Australia. Dan informasi yang dibagi oleh negeri di selatan itu tentu saja yang lebih menguntungkan dia.
Berangkat dari situ, perlu kehati-hatian Indonesia dalam mengimplementasikan kerjasama itu. Jangan terlalu banyak janji terhadap Australia, sebab sekali berjanji mereka akan mengejar terus realisasi janji dimaksud. Harus jelas apa keuntungan yang akan diraih Indonesia dalam suatu kerjasama terlebih dahulu, baru kemudian kerjasama itu direalisasikan. Keuntungan yang dimaksud tentu saja harus bersifat strategis dan politis, bukan keuntungan taktis belaka.
Keinginan pihak tertentu di Negeri Nusantara untuk menempatkan penasehat dari institusi pertahanan negeri di selatan di suatu lembaga tertentu dalam rangka perwujudan The Lombok Treaty mesti ditelaah dengan benar. Jangan sampai hanya demi kepentingan sektoral yang sempit maka kepentingan yang lebih besar dikorbankan. Sebab apabila kepentingan sektoral itu pun tidak direalisasikan, republik ini insya Allah akan tetap eksis dalam percaturan antar bangsa.

14 Juni 2009

Soft Power Dan Penggunaan Instrumen Hard Power

All hands,
Pemahaman mengenai soft power di Indonesia mengalami degradasi dari maksud dan praktek sebenarnya di negara asal gagasan ini dimunculkan. Soft power di Indonesia identik dengan kegiatan-kegiatan seminar, konferensi dan sejenisnya yang melibatkan banyak bangsa dalam membahas isu-isu prestise seperti hubungan Islam-Barat dan masalah lingkungan, khususnya perubahan iklim. Seperti pernah ditulis sebelumnya, isu-isu terkait soft power lebih menarik untuk dieksplorasi daripada masalah-masalah hard power yang tengah dihadapi bangsa ini.
Isu soft power di Indonesia tidak ditempatkan pada posisi yang sebenarnya dalam kepentingan nasional. Sehingga muncullah persepsi anak kandung dan anak tiri. Yang tentu sulit dipahami adalah menempatkan hard power pada suatu hal yang sepertinya bukan prioritas, padahal hard power terkait dengan eksistensi bangsa ini.
Sebenarnya ada hubungan langsung antara soft power dan hard power. Kurang tepat pula mendikotomikan keduanya, namun masalahnya di Indonesia kedua isu itu dalam prakteknya didikotomikan. Kalau mencermati praktek di negeri asal penggagasnya, isu soft power senantiasa dipadukan dengan hard power.
Contoh yang jelas dan semoga masih kuat di memori bangsa Indonesia adalah kasus bencana tsunami Aceh 26 Desember 2004. Amerika Serikat merespon bencana itu dengan memamerkan soft power-nya menggunakan instrumen hard power. Soft power yang dipamerkan oleh Amerika Serikat adalah “ketulusan, kebaikan dan rasa kemanusiaan” Amerika Serikat merespon bencana maha dahsyat itu. Instrumen untuk memamerkan soft power-nya adalah hard power, yaitu Angkatan Laut lewat Grup Tempur USS Abraham Lincoln (CVN-72) melalui Operation Unified Assistance.
Dari praktek tersebut terlihat bahwa soft power bukan sebatas ide-ide cemerlang di ruang seminar atau konferensi dan sejenisnya, tetapi praktek di lapangan yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Inilah kesalahan persepsi di Indonesia, sehingga soft power berdiri sendiri dan mengakibatkan hard power kurang diperhatikan. Dan soft power di Indonesia lebih berfokus pada isu-isu “langit” dan tidak membumi.
Sebenarnya AL kita sejak lama telah mempraktekkan paduan antara soft power dengan hard power, yakni melalui Operasi Surya Baskara Jaya. Namun sayangnya operasi ini kurang dilirik oleh pemerintah untuk ditingkatkan menjadi lingkup kawasan, bukan lagi lingkup Indonesia. Apabila diangkat menjadi lingkup kawasan, pamor Indonesia baik dari segi soft power maupun hard power akan meningkat. Dan itu lebih penting karena apa yang dilakukan menyentuh kebutuhan langsung pihak-pihak yang memerlukan, bukan sebatas ide-ide “langit” di ruang seminar atau konferensi seperti yang terjadi selama ini.
Kata kunci pertama adalah perlakukan soft power dan hard power sesuai dengan kedudukannya dalam kepentingan nasional. Sedangkan kata kunci kedua yaitu soft power tidak bisa berjalan sendiri tanpa hard power. Artinya hard power harus “dirawat” dan diperlakukan sebagai anak kandung pula.


13 Juni 2009

Soft Power Dalam Kepentingan Nasional

Allhands,
Menurut Richmond M. Lloyd dari U.S. Naval War College, kepentingan nasional terbagi atas vital, secondary, marginal dan peripheral. Mengacu pada pembagian itu, sangat jelas bahwa segala suatu yang terkait dalam kehidupan suatu bangsa harus dilihat posisinya dari kacamata kepentingan nasional. Begitu pula soal isu soft power yang dalam beberapa waktu terakhir digemari oleh sebagian pihak pada bangsa ini dan sebaliknya kurang melirik hard power. Dengan kata lain, soft power bagaikan anak kandung dan hard power seperti anak tiri.
Kembali pada klasifikasi yang ditetapkan oleh Lloyd, kepentingan nasional yang vital adalah hal-hal yang menyangkut mati hidupnya suatu bangsa. Mulai dari keutuhan wilayah, national values hingga ketersediaan akses terhadap energi untuk menggerakkan roda ekonomi bangsa. Apabila kepentingan nasional yang vital ini terganggu atau terancam, maka akan terkait langsung dengan eksistensi bangsa itu di dunia. Pilihannya tinggal dua, yakni hidup atau matinya bangsa itu.
Tanpa perlu melangkah ke kepentingan nasional yang secondary, marginal dan peripheral, kita tentu dapat menerka di mana posisi hard power dan soft power harus ditempatkan. Sulit untuk dibantah bahwa posisi hard power berada pada kepentingan nasional yang vital. Sedangkan soft power posisinya bukan berada pada kepentingan nasional yang vital. Bisa saja berada di secondary, marginal atau bahkan peripheral.
Pertanyaannya kini, apakah penempatan hard power yang selama ini lebih rendah daripada soft power sudah tepat? Apakah sejumlah kesulitan yang tengah dihadapi oleh kekuatan pertahanan negeri ini merupakan faktor yang berdiri sendiri atau terkait dengan masalah penempatan hard power yang tidak tepat? Anda pasti mempunyai jawaban sendiri-sendiri.

12 Juni 2009

Soft Power Dan Masa Depan Indonesia

All hands,
Untuk mengamankan kepentingan nasional, dibutuhkan suatu kebijakan nasional yang mengeksploitasi semua instrumen kekuatan nasional yang tersedia. Itu hukum alam yang harus diikuti oleh semua negara bila ingin eksis dan bermartabat dalam tata kehidupan antar bangsa. Kebijakan nasional harus memadukan dan menyelaraskan semua instrumen kekuatan nasional, sehingga tidak boleh ada satu instrumen pun yang bertolak belakang penggunaannya atau tidak sinkron dengan instrumen lainnya.
Di Indonesia, upaya mengamankan kepentingan nasional diwarnai oleh blunder kebijakan nasional. Salah satu contoh paling mutakhir dapat dilihat dalam kasus sengketa wilayah di Laut Sulawesi antara Indonesia versus Negeri Tukang Klaim. Blunder yang seperti apa?
Militer adalah salah satu instrumen kekuatan nasional yang semua pihak sudah paham bagaimana karakteristiknya. Instrumen ini mempunyai kekuatan untuk menekan lawan agar cara bertindak lawan sesuai dengan kehendak kita, selain tentunya kemampuan kinetik untuk merusak aset-aset sipil dan militer lawan. Dengan kata lain, militer adalah hard power dan siapapun tidak bisa membantah soal itu.
Politik, dalam hal ini politik luar negeri adalah instrumen kekuatan nasional lainnya. Instrumen ini mempunyai karakteristik yang persuasif namun mampu menekan lawan agar bertindak sesuai keinginan kita. Instrumen politik selain bisa didesain untuk bermain “halus”, dapat pula dirancang untuk bermain “kasar”. Contoh yang bagus adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat era pemerintahan George W. Bush, Jr.
Hubungan antara instrumen politik dan militer dicerminkan oleh diktum Clausewitz yang terkenal, menyatakan bahwa perang adalah kelanjutan dari diplomasi. Andaikata instrumen politik tidak mampu mengamankan kepentingan nasional dengan cara-cara yang persuasif, maka perang adalah kelanjutannya. Saat perang berlangsung, tidak berarti instrumen politik diam begitu saja, melainkan tetap melaksanakan perannya.
Selalu harus ada keterkaitan antara instrumen militer dengan instrumen politik, misalnya lewat diplomasi Angkatan Laut. Soal ini sudah berabad-abad silam dipraktekkan oleh berbagai negara yang pernah eksis di muka bumi ini. Tidak boleh ada keterputusan antara instrumen militer dengan instrumen politik dalam mengamankan kepentingan nasional. Semua bangsa yang cerdas selalu memadukan penggunaan instrumen politik dengan instrumen militer, termasuk dalam kasus Irian Barat di abad ke-20.
Blunder kebijakan di Indonesia adalah terjadinya keterputusan tersebut. Mengapa terputus? Sebab diplomasi Indonesia diarahkan untuk bergerak pada lahan soft power dan sebisa mungkin menghindari hard power. Sehingga wajar bila para diplomat republik ini sibuk dengan isu-isu soft power yang memang digemari, misalnya hubungan Islam-Barat dan isu lingkungan (termasuk lingkungan laut).
Sebaliknya, isu hard power sepertinya tidak seksi untuk dilirik. Padahal negeri Nusantara memerlukan pendekatan hard power untuk menyelesaikan sejumlah masalah dengan negeri lain. Contoh jelas dan tidak terbantahkan dari kurang diliriknya hard power adalah kebijakan pertahanan yang tidak berpihak pada penguatan kemampuan pertahanan, termasuk Angkatan Laut.
Rasanya mendekati kemustahilan menciptakan kekuatan laut yang profesional dan diperhitungkan di kawasan dengan mengandalkan pada alutsista buatan 1980-an ke bawah, didukung pula oleh pemotongan anggaran pertahanan tanpa pandang bulu dalam beberapa tahun terakhir. Kemustahilan makin mendekati sempurna ketika ditambah dengan penundaan pengadaan sistem senjata baru yang berarti tidak ada modernisasi kekuatan.
Karena para diplomat disibukkan dengan agenda soft power, sangat wajar bila mereka seperti terkondisikan untuk tidak sempat sinkronisasi kebijakan dengan pihak lain yang merupakan instrumen hard power. Dari sana kemudian timbul blunder yang dirasakan saat ini dan tahun-tahun ke depan.
Mengapa disebut blunder kebijakan? Karena tidak ada sinkronisasi kebijakan antara instrumen politik dengan instrumen militer dalam kasus Laut Sulawesi. Instrumen soft power yang selama ini dibangga-banggakan ternyata tidak bekerja alias lumpuh total dalam menghadapi agresifitas Negeri Tukang Klaim di sana. Sementara instrumen hard power yang selama ini kurang dilirik, mempunyai sejumlah keterbatasan akibat kebijakan nasional yang tidak berpihak kepadanya.
Dengan situasi begini, lalu instrumen apa lagi yang bisa diandalkan untuk mengamankan kepentingan nasional republik ini? Mungkin satu-satunya instrumen tinggal berdoa kepada Allah SWT memohon negeri ini tetap utuh walaupun martabatnya diinjak-injak.

11 Juni 2009

Sekarang Atau Tidak Sama Sekali!!!

All hands,
Kita tentu saja tidak asing lagi dengan istilah windows of opportunity. Windows of opportunity seringkali muncul di saat-saat sempit dan waktunya kemunculannya singkat. Oleh sebab itu, windows of opportunity harus dimanfaatkan apabila tidak ingin kehilangan kesempatan atau momentum.
Windows of opportunity pembangunan kekuatan Angkatan Laut adalah sekarang, sebab masalah di Laut Sulawesi belum selesai. Dalam masalah ini, preferensi masyarakat sangat jelas mendukung pembangunan kekuatan Angkatan Laut agar Indonesia tidak lagi dilecehkan oleh Negeri Tukang Klaim. Rasa patriotisme dan nasionalisme masyarakat Indonesia mendorong mereka merasa perlu untuk memiliki kekuatan Angkatan Laut yang diperhitungkan oleh negara-negara lain di kawasan.
Artinya masyarakat tidak lagi terdikotomi oleh pola pikir yang selama ini dikembangkan oleh pengambil kebijakan di negeri ini, yaitu pilih antara ekonomi atau pertahanan. Masyarakat tidak lagi bisa ditakut-takuti dengan kalimat seperti senjata mutakhir tapi ekonomi melarat. Masyarakat butuh keduanya, ekonomi kuat dan Angkatan Laut yang juga kuat.
Itulah windows of opportunity yang tersedia bagi pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Tinggal sekarang bagaimana pengambil kebijakan negeri ini, mau mengikuti aspirasi masyarakat yang memilihnya atau tidak? Aspirasi masyarakat itu bisa dijadikan salah satu alasan bila ada negara lain yang mempertanyakan pembangunan kekuatan Angkatan Laut.
Harus diingat bahwa soft power tidak dapat mengamankan kepentingan nasional yang bersifat fisik, seperti integritas wilayah. Sehingga belum terlambat untuk tidak menempatkan soft power di atas segalanya. Soal kepentingan nasional yang bersifat fisik, pilihannya adalah hard power!!!

10 Juni 2009

Persepsi Terhadap Burden Sharing Keamanan Maritim

All hands,
Isu burden sharing yang berangkat dari Pasal 43 UNCLOS seringkali diangkat oleh Indonesia dalam kasus keamanan Selat Malaka. Namun yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum adalah soal perbedaan pemahaman terhadap burden sharing itu sendiri. Persepsi negara pantai, khususnya Indonesia dengan negara-negara pengguna mengenai burden sharing jurangnya terlalu jauh.
Indonesia mempersepsikan burden sharing meliputi biaya untuk memberikan jasa keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan. Biaya yang dimaksud sama sekali tidak berarti penetapan tarif bagi kapal niaga yang lewat perairan Selat Malaka, tetapi pada bantuan negara-negara pengguna kepada negara pantai untuk melengkapi dan memperbarui kelengkapan bagi keselamatan dan perlindungan lingkungan laut. Misalnya untuk perambuan dan perlengkapan untuk mencegah polusi laut akibat tumpahan minyak mentah.
Adapun negara-negara pengguna mempersepsikan burden sharing sebagai terlibatnya negara-negara itu dalam aspek operasional di laut guna menindak perompakan, pembajakan dan ancaman terorisme maritim. Jadi burden sharing di sini dipersepsikan dari aspek keamanan maritim, bukan dari aspek keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan.
Oleh sebab itu, tidak aneh bila hanya Jepang yang antusias dengan ide burden sharing yang digagas oleh Indonesia. Amerika Serikat kurang antusias soal ini, walaupun di sisi lain memberikan bantuan lewat Project 1206. Bertolak dari sini, ada baiknya Indonesia mengevaluasi sejauh mana keberhasilan gagasan burden sharing di lapangan? Berapa persentase keberhasilan dan berapa yang gagal?
Evaluasi ini dimaksudkan untuk menilai secara utuh kebijakan yang dianut. Bila memang gagasan ini dianggap kurang berhasil, perlu dicari cara lain yang tetap menempatkan kepentingan nasional Indonesia nomor satu dan sekaligus in accordance with international customary law.

09 Juni 2009

Menggugat Efektivitas Minimum Essential Force

All hands,
Kebijakan minimum essential force dilahirkan karena adalah keterbatasan anggaran. Akibat anggaran yang terbatas, program modernisasi TNI terhambat. Begitulah logika yang dipakai oleh para perencana kebijakan pertahanan.
Logika itu menurut hemat saya salah besar, sebab bertentangan dengan ilmu perencanaan kekuatan alias force planning. Ilmu itu menyatakan bahwa anggaran adalah konsekuensi dari program. Program itu sendiri merupakan turunan dari strategi. Apabila strategi menuntut x kapal perang, y pesawat tempur dan z tank, maka harus disusun program pengadaan untuk memenuhi hal tersebut.
Sebagai konsekuensi dari program, dibutuhkan anggaran. Soal bagaimana pemenuhan anggaran, manusia dikarunia akal dan budi oleh Allah SWT. Artinya, bisa dicari cara agar program itu terlaksana. Yang penting yaitu tersedianya kemauan alias the will. Suka atau tidak suka, kita harus jujur, jernih dan kritis melihat kebijakan minimum essential force.
Akankah kebijakan itu menciptakan kekuatan TNI yang mampu menimbulkan dampak penangkalan? Kalau kebijakan minimum essential force lebih menekankan pada kuantitas alutsista yang mengandalkan pada sistem senjata buatan 1980-an, saya pribadi berpendapat kebijakan itu tidak akan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kenapa demikian?
Pertama, perhitungan ekonomis. Mempertahankan operasional sistem senjata buatan 1980-an dan era sebelumnya akan menguras anggaran yang tidak sedikit. Dapat dipastikan pengurasan anggaran itu mencapai titik tidak ekonomis, sebab usia ekonomis alutsista yang dipertahankan sudah lewat.
Kedua, perhitungan operasional. Karena sudah melewati usia ekonomis, kondisi kesiapan tempur sistem senjata itu tidak akan mencapai titik yang diharapkan. Sistem senjata itu akan lebih banyak menuntut perhatian, sehingga kesiapan operasionalnya patut dipertanyakan.
Perlu dikaji lebih lanjut apakah kesiapan operasional atau tepatnya kesiapan tempur sistem senjata buatan 1980-an minimal mampu menyamai sistem senjata yang dibeli 10-15 tahun terakhir. Tentu saja tidak adil membandingkannya dengan sistem senjata yang baru dibeli dalam kurun 5 tahun terakhir. Kesiapan operasional akan mempengaruhi pula dampak penangkalan yang diharapkan.
Kebijakan minimum essential force bisa mencapai tujuan yang ditetapkan apabila ada dua syarat yang dipenuhi. Pertama, pendekatan kualitas pada sistem senjata. Sebagai contoh, untuk AL kita mungkin akan lebih baik bila kita dibelikan 10 PKR baru daripada mempertahankan 10 PKR dan 16 PK lama yang usia ekonomisnya sudah lewat.
Dari 10 PKR baru, setidaknya dalam susunan tempur saat ini sudah terpenuhi empat PKR. Tinggal menambah enam PKR, yang dengan demikian semua kapal itu dapat dioperasikan paling tidak sampai 2030.
Kedua, pendekatan pengadaan. Pengadaan alusista TNI saat ini sifatnya sudah sangat mendesak, sebab usia ekonomis alutsista sudah banyak yang terlampaui. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut, salah satu cara yang bisa ditempuh adalah lewat crash program. Menurut hemat saya, tidak ada cara lain kecuali lewat crash program. Sebab apabila menempuh cara normal, sulit untuk mewujudkan minimum essential force sesuai target yang ditetapkan.
Ada baiknya bila kita berkaca pada sejarah bangsa ini. Pengadaan kapal selam kelas U-209, korvet kelas FTH, pesawat tempur F-5E/F dan A-4, C-130 H/HS, begitu pula dengan sejumlah tank dan APC pada akhir 1970-an merupakan contoh adanya crash program di masa lalu. Program itu ditempuh pemerintah saat itu sebab alutsista buatan Soviet sebagian besar sudah tidak dapat digunakan lagi.
Saat itu sumber dananya adalah oil boom. Di masa sekarang, pemerintah bisa mencari sumber dana khusus untuk itu apabila memang ada kemauan untuk menjadikan Indonesia menjadi salah satu aktor hard power di kawasan, bukan sebatas soft power yang terbukti tidak bernilai apa-apa di Laut Sulawesi.

08 Juni 2009

Efektivitas Confidence Building Measures Di Asia Tenggara

All hands,
Bila ditanyakan kepada para diplomat tentang efektivitas confidence building measures di Asia Tenggara, jawabannya dapat dipastikan positif. Sebaliknya bila pertanyaan yang sama diajukan kepada perwira militer, khususnya AL, sepertinya jawabannya berbeda dengan “jawaban resmi” para diplomat. Kasus di Laut Sulawesi merupakan salah satu bukti bahwa confidence building measures di kawasan ini sebatas seremonial belaka.
Masih banyak kasus serupa di lapangan yang menunjukkan bahwa confidence building measures masih sebatas seremonial. Situasi demikian menunjukkan bahwa tingkat rasa saling tidak percaya di antara militer Asia Tenggara masih tinggi. Tentu perlu dicari apa akar masalahnya sehingga confidence building measures belum terwujud sesuai harapan?
Menurut pendapat saya, ada beberapa jawaban soal itu. Pertama, latar belakang sejarah hubungan antar negara di kawasan ini. Para pejabat di Indonesia ataupun Malaysia boleh saja bilang bahwa Konfrontasi adalah masa lalu, namun hal itu masih membekas di mindset pengambil kebijakan dan militer kedua negara. Begitu pula dalam hubungan antara Malaysia dengan Singapura yang mempunyai sejarah tersendiri.
Kedua, masih adanya sejumlah masalah antar negara yang belum selesai. Entah masalah perbatasan, isu perlindungan warga negara maupun kepentingan ekonomis. Masalah-masalah itu sangat mudah untuk dieksploitasi menjadi ketegangan dan atau ketidakpercayaan antar negara.
Ketiga, adanya aktor ekstra kawasan. Kehadiran aktor ekstra kawasan untuk mengurus keamanan wilayah Asia Tenggara membuat sebagian negara tidak nyaman. Terlebih lagi kehadiran aktor itu berkontribusi pula pada terciptanya ketimpangan balance of power.
Keempat, soal balance of power. Negara-negara maju yang berkepentingan di Asia Tenggara sengaja menciptakan ketimpangan balance of power di antara negara-negara kawasan. Terciptanya ketimpangan balance of power ternyata bukan melahirkan rasa aman bagi sebagian negara kawasan, sebaliknya menimbulkan rasa tidak aman. Penciptaan ketimpangan balance of power dapat dilihat dari perlakuan diskriminatif dalam syarat dan ketentuan penjualan senjata ke kawasan ini.
Dengan situasi seperti yang telah diuraikan, lalu bagaimana menciptakan confidence building measures? Masihkan cara-cara tradisional manjur dan ampuh? Terlalu naif bila parameter confidence building measures adalah seberapa sering pertemuan diplomatik ---pada semua tingkat--- antar negara dan seberapa akrab hubungan pribadi dari pihak-pihak yang terlibat. Bukti dari confidence building measures hanya bisa dilihat di lapangan.

07 Juni 2009

Kasus Laut Sulawesi: Deklarasi Wilayah Pelibatan

All hands,
Seandainya kondisi di Laut Sulawesi mengarah pada konfrontasi militer, salah satu hal yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah pengumuman atau deklarasi Maritime Exclusion Zone (MEZ) atau Total Exclusion Zone (TEZ). Dengan penetapan MEZ atau TEZ, maka sekian ratus mil laut sepanjang 360 derajat dari titik referensi tertentu merupakan wilayah yang tidak boleh dimasuki oleh pihak manapun. Barang siapa yang masuk ke MEZ atau TEZ, akan dianggap sebagai kekuatan lawan yang langsung akan ditindak secara koersif tanpa peringatan apapun juga.
Di antara contoh terkenal soal MEZ atau TEZ adalah dalam Perang Malvinas 1982 yang menghadapkan Inggris versus Argentina. Inggris mengumumkan bahwa zona sepanjang 200 mil laut dari Kepulauan Malvinas alias Falkland sebagai TEZ. Namun ada kontroversi di sini, yaitu kapal penjelajah ARA Belgrano ditorpedo oleh kapal selam HMS Conqueror di luar TEZ.
Masalah penetapan MEZ atau TEZ sangat penting dan jangan pernah dianggap sepele. Sebab ini menyangkut keselamatan dan keamanan pelayaran kapal niaga dan pesawat udara negara-negara netral dan atau yang tidak terlibat dalam konflik. Dan pada akhirnya akan menyentuh aspek hubungan Indonesia dengan negara-negara lain, khususnya pengguna ruang laut dan udara Indonesia.
Penetapan MEZ atau TEZ terkait dengan area of operations dalam major operations. Area of operations terdiri atas maritime area of operations, air area of operations dan land area of operations. Dalam perkembangan terkini, seiring dengan mengedepannya operasi gabungan, biasanya yang ditetapkan adalah joint operations area. Dalam joint operations area, kekuatan yang beroperasi lebih dari dua Angkatan.
Pertanyaannya, sudahkah dirancang MEZ atau TEZ sebagai antisipasi situasi di Laut Sulawesi? Untuk menjawab pertanyaan ini, bisa diperiksa di dokumen terkait. Adakah MEZ atau TEZ di situ?

06 Juni 2009

Kasus Laut Sulawesi: Mempertahankan Kepentingan Nasional Tanpa Strategi

All hands,
Carut-marutnya penanganan kasus Laut Sulawesi menunjukkan bahwa pengambil keputusan nasional tidak mempunyai strategi. Strategi memiliki tiga unsur, yaitu ends, means dan ways. Ends dari strategi sudah sangat jelas, yaitu mempertahankan kedaulatan Indonesia di perairan tersebut. Means-nya sudah jelas pula, tetap tidak digunakan secara maksimal. Ways-nya sudah ada, tetapi tidak dieksploitasi secara maksimal demi kepentingan nasional.
Tidak mudah untuk membantah pendapat bahwa pemerintah tak memiliki strategi dalam menyelesaikan masalah di Laut Sulawesi. Pemerintah tidak menggunakan semua instrumen kekuatan nasional untuk mengamankan kepentingan nasional di sana. Instrumen militer yang merupakan salah satu instrumen kekuatan nasional digunakan secara parsial. Sangat mudah untuk menunjukkan buktinya, yaitu dalam Ops Balat Sakti sejak 2005 sampai detik ini, yang dieksploitasi cuma kekuatan laut Indonesia. Sementara kekuatan udara sama sekali tidak dieksploitasi, makanya di sana tidak ada operasi serupa Ops Balat Sakti yang dilaksanakan oleh kekuatan udara negeri ini.
Di sana tidak ada pula On Scene Commander yang bertanggung jawab bila terjadi kontinjensi. Kalau terjadi kontinjensi, sulit untuk mencari siapa On Scene Commander-nya. Apakah Danguspurlatim bertugas sebagai On Scene Commander di sana? Sulit untuk menjawabnya, sebab tidak ada hitam di atas putih soal itu. On Scene Commander bertanggung jawab atas penggunaan semua kekuatan militer di wilayah tersebut.
Itu baru dari aspek instrumen kekuatan militer. Bagaimana pula dari instrumen kekuatan politik? Apa yang dilakukan oleh Kementerian Polhukam di sana?
Sejauh mana keberhasilan Departemen Luar Negeri dalam diplomasi? Apakah ada panduan dan pengawasan dari pengambil keputusan politik terhadap kegiatan diplomasi Departemen Luar Negeri? Bagaimana pula pelaksanaan koordinasi antara Departemen Luar Negeri dengan pihak Departemen Pertahanan dan TNI?
Apa kerja Departemen Dalam Negeri dalam masalah kasus Laut Sulawesi? Adakah arahan khusus ke pemerintah daerah di wilayah sengketa? Apabila ada, sejauh mana pengawasan terhadap pelaksanaan arahan itu? Harus diingat bahwa peran Departemen Dalam Negeri penting dalam masalah sengketa, karena mereka harus mempersiapkan daerah beserta sumber dayanya, termasuk penduduk. Bukankah di departemen itu ada satuan kerja yang bertanggung jawab terhadap kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat?
Bagaimana pula kinerja instrumen ekonomi? Apakah faktor kelapa sawit sudah dieksploitasi untuk menghadapi Negeri Tukang Klaim? Yang dieksploitasi bisa berupa harga, bisa pula pasokan ke negeri itu, bisa pula aspek kerjasama soal kelapa sawit yang sudah terjalin dengan negeri yang sebagian pahlawannya adalah perompak.
Jangan lupa pula soal penguasaan bank-bank nasional oleh perbankan dari negeri yang nenek moyangnya perompak itu. Apakah pengambil keputusan pada instrumen ekonomi masih akan membiarkan perbankan nasional dikuasai oleh turunan para perompak? Apakah kebijakan membiarkan penguasaan asing terhadap perbankan nasional senantiasa selaras dengan kepentingan nasional?
Apabila diteliti satu persatu semua instrumen kekuatan nasional dan apa yang mereka lakukan dalam masalah Laut Sulawesi, sangat jelas bahwa Indonesia tidak mempunyai strategi untuk mengamankan kepentingan nasional di sana. Negeri ini mempunyai pemimpin, tetapi tidak mempunyai strategi nasional. Itulah Indonesia…

05 Juni 2009

Penerbangan Angkatan Laut: Kasus Laut Sulawesi

All hands,
Mengacu pada SSAT, penyebaran unsur kapal perang selalu didukung oleh kehadiran pesawat udara. Begitu pula dalam Ops Balat Sakti, yang mana unsur kapal perang didukung oleh unsur udara yang berfungsi sebagai pengintai alias mata dan telinga. Ops Balat Sakti yang digelar di Laut Sulawesi sekali lagi menunjukkan bahwa unsur penerbangan Angkatan Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari kekuatan Angkatan Laut secara keseluruhan.
Dibandingkan dengan kapal perang, terkadang peran unsur penerbangan Angkatan Laut agak luput dari pandangan publik, termasuk pengambil keputusan politik. Sebab Angkatan Laut identik dengan kapal perang. Mungkin karena berangkat dari pola pikir demikian, maka program modernisasi penerbangan Angkatan Laut kurang mendapat sorotan.
Seperti diketahui, tulang punggung kekuatan udara AL kita saat ini bertumpu pada pesawat N-22/24 Nomad. Pesawat ini yang menjadi andalan dalam operasi di berbagai tempat, termasuk di Laut Sulawesi. Memang ada tiga pesawat NC-212 MPA yang perlengkapannya jauh lebih maju dibandingkan N-22/24 Nomad, akan tetapi karena luasnya sektor patroli (maritim), maka kehadirannya harus disebar ke wilayah lain. Mengingat bahwa N-22/24 Nomad sudah berumur, direncanakan kekuatan udara AL kita akan diperkuat oleh CN-235 ASW beberapa tahun ke depan.
Langkah demikian suatu hal yang bagus, sebab CN-235 ASW dimensi pesawatnya lebih besar, daya muat lebih besar dan tentu saja endurance-nya lebih tinggi dibandingkan dengan NC-212. Kehadiran pesawat itu nantinya diharapkan mampu menggeliatkan kembali peran penerbangan udara Angkatan Laut dalam peperangan anti kapal selam.
Menarik pelajaran dari kasus Laut Sulawesi, penerbangan Angkatan Laut mempunyai peran tersendiri dalam operasi maritim. Peran itu tidak bisa digantikan oleh AU, sebab AU kurang memahami karakteristik operasi di laut. Selain itu, dalam kondisi kekinian, sepertinya sulit untuk menciptakan interoperability antar matra, khususnya AL dan AU, bila tidak diperintahkan dari komando yang lebih atas.
Sehingga tidak salah bila unsur kapal perang masih mengandalkan dan lebih percaya pada peran unsur penerbangan Angkatan Laut dalam patroli yang digelar. Sebab karena merupakan satu matra, tidak sulit berbagai informasi untuk kepentingan taktis operasional. Bandingkan apabila beroperasi dengan matra lain, pembagian informasinya pasti birokratis sekali.
Bertolak dari itu semua, penerbangan Angkatan Laut hendaknya tidak luput dari program modernisasi, agar mempunyai pula daya pukul. Termasuk di Laut Sulawesi, yang mana sebentar lagi kekuatan laut Negeri Tukang Klaim akan mengoperasionalkan kapal selam di wilayahnya. Situasi demikian merupakan tantangan bagi Indonesia, khususnya penerbangan Angkatan Laut.

04 Juni 2009

Kasus Laut Sulawesi:Masih Kurang?

All hands,
Pertanyaan utama yang wajib diajukan adalah perlu berapa kasus lagi serupa kasus Laut Sulawesi agar AL kita dibangun oleh pemerintah? Salah satu indikator pembangunan Angkatan Laut adalah modernisasi kapal perang, sebab eksistensi Angkatan Laut dilihat dari kehadiran unsur kapal perang di laut (naval presence). Bukan kapal perang yang tambat di pangkalan, tak juga bertebarannya pangkalan Angkatan Laut di mana-mana, tidak pula banyaknya personel Angkatan Laut.
Saat masalah di Laut Sulawesi muncul pertama kali pada Februari-Maret 2005, pengambil keputusan politik di eksekutif dan yudikatif menjanjikan modernisasi kekuatan AL kita. Ketika masalah yang sama mencuat kembali pada Mei-Juni 2009 dan masa jabatan mereka hampir selesai, agak sulit mencari bukti bahwa janji-janji itu sudah dipenuhi atau tengah dipenuhi. Betul terhitung sejak 2005 sampai sekarang ada beberapa kapal perang baru di susunan tempur AL kita, akan tetapi itu merupakan realisasi kontrak yang ditandantangani sebelum 2005.
Dari situlah muncul pertanyaan perlu berapa kasus lagi serupa kasus Laut Sulawesi agar AL kita dibangun oleh pemerintah? Sepertinya kasus Laut Sulawesi masih belum bisa menggedor kebijakan pemerintah untuk membangun AL. Berarti diperlukan masalah-masalah serupa agar gedoran tersebut lebih kuat.
Indonesia masih mempunyai beberapa masalah klaim maritim dengan negara lain di sekitarnya. Negeri ini masih pula berbeda pendapat dengan beberapa negara soal ALKI, termasuk permintaan ALKI Timur-Barat. Sepertinya masalah-masalah seperti itu harus dipicu agar muncul ketegangan seperti di Laut Sulawesi. Biar Indonesia menghadapi dua atau tiga wilayah kontinjensi sekaligus.
Dari situ bisa dilihat bagaimana reaksi pengambil keputusan politik. Apakah masih akan bersuara dengan nada-nada yang normatif dan membosankan ataukah buru-buru merealisasikan modernisasi kekuatan laut? Ada pihak di luar sana yang berpikiran nakal, berpendapat bahwa mungkin AL perlu meniru cara AD di masa lalu, yaitu merekayasa konflik agar ada alasan untuk pembangunan kekuatan. Sebab dengan cara-cara yang normal, bahkan ketika muncul masalah di Laut Sulawesi, tetap saja pembangunan kekuatan laut sebatas retorika politik dan program di atas kertas yang tidak ada bukti di alam nyata.

03 Juni 2009

Kasus Laut Sulawesi: Masalah Angkatan Laut Atau Masalah Bangsa?

All hands,
Belum lama ini Panglima U.S. Pacom Laksamana Timothy Keating berucap, “You can do all the video teleconferences you want and you have instantaneous global communications, but nothing replaces boots on the ground, jets in the air, and ships in the harbor. You have to have forces presents”. Dikaitkan dengan masalah di Laut Sulawesi, kehadiran unsur Angkatan Laut di sana jauh lebih penting daripada sekedar pernyataan politik seperti "Ambalat Harga Mati" dan lain sebagainya. Politisi dan pengambil keputusan boleh bersuara apa saja soal masalah klaim di Laut Sulawesi itu, tapi yang lebih penting adalah kehadiran di wilayah konflik tersebut.
Setelah kasus ini muncul lagi di berita media cetak dan elektronik, muncul pertanyaan apakah masalah ini merupakan masalah Angkatan Laut atau masalah bangsa? Pertanyaan ini timbul sebab banyak pihak yang terkait dengan pengambilan keputusan politik terkesan setengah hati menyikapi isu ini. Sementara AL kita, termasuk beberapa rekan yang sedang beroperasi di perairan sengketa, bekerja keras untuk menegaskan klaim, kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia atas perairan tersebut.
Mengapa saya nilai setengah hati? Sebab pengambil keputusan politik tidak memberikan jalan keluar bagi masalah yang dihadapi oleh unsur-unsur laut di lapangan. Semua dikembalikan ke jalur diplomatik. Unsur-unsur laut di lapangan sepertinya dibiarkan untuk memainkan terus model Tom and Jerry, entah sampai kapan. Siapapun yang terlibat dalam permainan model Tom and Jerry pasti akan sampai pada titik-titik yang kritis bila tidak ada jalan keluar lain yang diberikan oleh pengambil keputusan politik.
Seperti pernah saya tulis, jalan keluar lain itu tidak identik dengan perang terbuka. Masih ada sejumlah pilihan bagi jalan keluar lain tersebut, apabila pengambil keputusan politik berani mengimplementasikan sikap politiknya bahwa Ambalat Harga Mati. Dalam negara demokratis, deployment and employment kekuatan militer merupakan keputusan politik pemerintah. Begitu pula saat ini, dibutuhkan keputusan pemerintah agar provokasi dari Negeri Tukang Klaim tidak terulang lagi.
Kecuali memang kalau masalah kasus Laut Sulawesi dipandang sebagai masalah Angkatan Laut saja. Merupakan hal yang sangat menyedihkan bila masalah sebesar ini direduksi seolah-olah masalah bagi Angkatan Laut saja. Padahal Angkatan Laut merupakan bagian dari sistem nasional, bukan aktor independen yang berdiri sendiri.

02 Juni 2009

Pilih Martabat Bangsa Atau Kerugian Ekonomi

All hands,
Masalah sengketa batas maritim di Laut Sulawesi harus dilihat dengan jernih. Masalah ini merupakan persilangan antara kepentingan politik dengan ekonomi. Ketika kekuatan laut Negeri Tukang Klaim melakukan pelanggaran berulang-ulang, menangkap dan memukul nelayan kita yang mencari nafkah di wilayah perairan Indonesia yang diklaim oleh Negeri Tukang Klaim, masalahnya jadi melebar ke masalah martabat kita sebagai bangsa. Pesannya jelas, kita tidak ingin dilecehkan oleh negeri yang bisanya cuma mengklaim berbagai macam hal.
Ketika menyentuh masalah martabat bangsa, apapun akan dilakukan untuk menjaga martabat itu. Bahwa mungkin saja ada kerugian ekonomi dalam upaya menjaga martabat tersebut, itu sesuatu yang kadang tidak bisa dihindari. Yang penting adalah bagaimana potensi kerugian ekonomi diminimalisasi sekecil mungkin.
Oleh karena itu, sangat disayangkan bila apa pengambil keputusan di negeri ini yang takut akan terjadinya kerugian ekonomi saat kita ingin menegakkan martabat kita sebagai bangsa. Pola pikir demikian sangat disayangkan, sebab seorang manusia maupun suatu bangsa menjadi tidak bernilai ketika tidak bermartabat lagi.
Mungkin karena pola pikir demikian pula maka dunia pertahanan kita tidak mengalami modernisasi berarti dalam beberapa tahun terakhir. Sebab hitung-hitungan ekonomi lebih mengedepan daripada martabat bangsa. Padahal di sisi lain dunia pertahanan negeri ini desperating, malah mungkin mau dying. Kalau pertahanan negeri ini demikian, lalu bagaimana mengharapkan ekonomi bagus?
Harap diingat, masalah klaim di Laut Sulawesi terkait dengan ketamakan dan kerakusan Negeri Tukang Klaim terhadap kandungan gas di sana. Kandungan gas itu apabila dieksploitasi oleh Indonesia akan memberikan keuntungan ekonomis yang besar. Tapi bagaimana pihak asing yang diberi lisensi oleh pemerintah Indonesia bisa mengeksploitasi bila militer kita tidak bisa memberikan jaminan keamanan?
Di situlah titik temu alias konvergensi antara ekonomi dengan pertahanan dalam masalah di Laut Sulawesi. Masalahnya adalah apakah para pengambil keputusan di negeri ini paham soal konvergensi itu?

01 Juni 2009

Kerjasama Indonesia-Rusia Dan Perimbangan Kekuatan Kawasan

All hands,
Tidak gampang untuk dibantah bahwa beberapa negara di sekitar Indonesia melihat dengan penuh kewaspadaan dan kekhawatiran tentang kerjasama Indonesia-Rusia di bidang pertahanan. Sebab dalam kerjasama itu Rusia tidak kikir untuk meminjamkan uangnya kepada Indonesia untuk dibelikan sejumlah senjata modern buatan Rusia guna modernisasi kekuatan pertahanan Indonesia. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang terlalu banyak syarat ketika ingin menjual senjatanya kepada Indonesia.
Tak aneh bila ada upaya-upaya di belakang layar di Indonesia dari pihak tertentu untuk menghambat laju kerjasama pertahanan Indonesia-Rusia. Contoh yang sangat jelas dan kasat mata adalah berlarutnya rencana pengadaan kapal selam yang dibiayai oleh kredit dari Rusia. Kondisi demikian mencerminkan bahwa ada pihak di dalam negeri dan di luar negeri yang tidak senang bila AL kita kondisinya lebih kuat daripada saat ini.
Kerjasama pertahanan Indonesia-Rusia, apabila terwujudnya penuh melalui penggunaan kredit US$ 1 milyar akan menimbulkan keseimbangan baru di kawasan. Sebab selama ini Amerika Serikat telah mengizinkan Malaysia, Singapura dan Australia yang tergabung dalam FPDA mempunyai senjata modern dan jarak jauh yang lebih mematikan dalam arsenal mereka. Kebijakan sama tidak diterapkan kepada Indonesia karena dianggap akan mengganggu kepentingan nasional Amerika Serikat.
Ketidakseimbangan itu sesungguhnya tidak menguntungkan stabilitas kawasan, sebab secara langsung atau tidak langsung menempatkan Indonesia pada posisi tidak nyaman. Situasi demikian dibaca dengan jeli oleh Rusia dan dimanfaatkan dengan cerdas dengan menawarkan sistem senjatanya yang secara kualitas mampu disandingkan dengan senjata serupa buatan Amerika Serikat maupun NATO.
Janji Menteri Pertahanan Amerika Serikat kepada sejawatnya dari Indonesia dalam The 8th Shangrila Dialogue di Singapura 29-30 Mei 2009 di Singapura hendaknya tidak disikapi dengan berlebihan. Bila syarat-syaratnya tidak merugikan Indonesia, boleh-boleh saja tawaran itu diterima. Namun jangan sampai kredit US$ 1 milyar dari Rusia diabaikan, sebab hal itu akan memberikan dampak negatif terhadap Indonesia. Orang seringkali mengatakan bahwa kesempatan tidak datang dua kali.