All hands,
Mengacu pada SSAT, penyebaran unsur kapal perang selalu didukung oleh kehadiran pesawat udara. Begitu pula dalam Ops Balat Sakti, yang mana unsur kapal perang didukung oleh unsur udara yang berfungsi sebagai pengintai alias mata dan telinga. Ops Balat Sakti yang digelar di Laut Sulawesi sekali lagi menunjukkan bahwa unsur penerbangan Angkatan Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari kekuatan Angkatan Laut secara keseluruhan.
Dibandingkan dengan kapal perang, terkadang peran unsur penerbangan Angkatan Laut agak luput dari pandangan publik, termasuk pengambil keputusan politik. Sebab Angkatan Laut identik dengan kapal perang. Mungkin karena berangkat dari pola pikir demikian, maka program modernisasi penerbangan Angkatan Laut kurang mendapat sorotan.
Seperti diketahui, tulang punggung kekuatan udara AL kita saat ini bertumpu pada pesawat N-22/24 Nomad. Pesawat ini yang menjadi andalan dalam operasi di berbagai tempat, termasuk di Laut Sulawesi. Memang ada tiga pesawat NC-212 MPA yang perlengkapannya jauh lebih maju dibandingkan N-22/24 Nomad, akan tetapi karena luasnya sektor patroli (maritim), maka kehadirannya harus disebar ke wilayah lain. Mengingat bahwa N-22/24 Nomad sudah berumur, direncanakan kekuatan udara AL kita akan diperkuat oleh CN-235 ASW beberapa tahun ke depan.
Langkah demikian suatu hal yang bagus, sebab CN-235 ASW dimensi pesawatnya lebih besar, daya muat lebih besar dan tentu saja endurance-nya lebih tinggi dibandingkan dengan NC-212. Kehadiran pesawat itu nantinya diharapkan mampu menggeliatkan kembali peran penerbangan udara Angkatan Laut dalam peperangan anti kapal selam.
Menarik pelajaran dari kasus Laut Sulawesi, penerbangan Angkatan Laut mempunyai peran tersendiri dalam operasi maritim. Peran itu tidak bisa digantikan oleh AU, sebab AU kurang memahami karakteristik operasi di laut. Selain itu, dalam kondisi kekinian, sepertinya sulit untuk menciptakan interoperability antar matra, khususnya AL dan AU, bila tidak diperintahkan dari komando yang lebih atas.
Sehingga tidak salah bila unsur kapal perang masih mengandalkan dan lebih percaya pada peran unsur penerbangan Angkatan Laut dalam patroli yang digelar. Sebab karena merupakan satu matra, tidak sulit berbagai informasi untuk kepentingan taktis operasional. Bandingkan apabila beroperasi dengan matra lain, pembagian informasinya pasti birokratis sekali.
Bertolak dari itu semua, penerbangan Angkatan Laut hendaknya tidak luput dari program modernisasi, agar mempunyai pula daya pukul. Termasuk di Laut Sulawesi, yang mana sebentar lagi kekuatan laut Negeri Tukang Klaim akan mengoperasionalkan kapal selam di wilayahnya. Situasi demikian merupakan tantangan bagi Indonesia, khususnya penerbangan Angkatan Laut.
Mengacu pada SSAT, penyebaran unsur kapal perang selalu didukung oleh kehadiran pesawat udara. Begitu pula dalam Ops Balat Sakti, yang mana unsur kapal perang didukung oleh unsur udara yang berfungsi sebagai pengintai alias mata dan telinga. Ops Balat Sakti yang digelar di Laut Sulawesi sekali lagi menunjukkan bahwa unsur penerbangan Angkatan Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari kekuatan Angkatan Laut secara keseluruhan.
Dibandingkan dengan kapal perang, terkadang peran unsur penerbangan Angkatan Laut agak luput dari pandangan publik, termasuk pengambil keputusan politik. Sebab Angkatan Laut identik dengan kapal perang. Mungkin karena berangkat dari pola pikir demikian, maka program modernisasi penerbangan Angkatan Laut kurang mendapat sorotan.
Seperti diketahui, tulang punggung kekuatan udara AL kita saat ini bertumpu pada pesawat N-22/24 Nomad. Pesawat ini yang menjadi andalan dalam operasi di berbagai tempat, termasuk di Laut Sulawesi. Memang ada tiga pesawat NC-212 MPA yang perlengkapannya jauh lebih maju dibandingkan N-22/24 Nomad, akan tetapi karena luasnya sektor patroli (maritim), maka kehadirannya harus disebar ke wilayah lain. Mengingat bahwa N-22/24 Nomad sudah berumur, direncanakan kekuatan udara AL kita akan diperkuat oleh CN-235 ASW beberapa tahun ke depan.
Langkah demikian suatu hal yang bagus, sebab CN-235 ASW dimensi pesawatnya lebih besar, daya muat lebih besar dan tentu saja endurance-nya lebih tinggi dibandingkan dengan NC-212. Kehadiran pesawat itu nantinya diharapkan mampu menggeliatkan kembali peran penerbangan udara Angkatan Laut dalam peperangan anti kapal selam.
Menarik pelajaran dari kasus Laut Sulawesi, penerbangan Angkatan Laut mempunyai peran tersendiri dalam operasi maritim. Peran itu tidak bisa digantikan oleh AU, sebab AU kurang memahami karakteristik operasi di laut. Selain itu, dalam kondisi kekinian, sepertinya sulit untuk menciptakan interoperability antar matra, khususnya AL dan AU, bila tidak diperintahkan dari komando yang lebih atas.
Sehingga tidak salah bila unsur kapal perang masih mengandalkan dan lebih percaya pada peran unsur penerbangan Angkatan Laut dalam patroli yang digelar. Sebab karena merupakan satu matra, tidak sulit berbagai informasi untuk kepentingan taktis operasional. Bandingkan apabila beroperasi dengan matra lain, pembagian informasinya pasti birokratis sekali.
Bertolak dari itu semua, penerbangan Angkatan Laut hendaknya tidak luput dari program modernisasi, agar mempunyai pula daya pukul. Termasuk di Laut Sulawesi, yang mana sebentar lagi kekuatan laut Negeri Tukang Klaim akan mengoperasionalkan kapal selam di wilayahnya. Situasi demikian merupakan tantangan bagi Indonesia, khususnya penerbangan Angkatan Laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar