All hands,
Bagi kita yang sudah paham betul bagaimana mengeksploitasi kapal perang bagi kepentingan diplomasi, tentu tidak asing lagi dengan diplomasi Angkatan Laut. Diplomasi Angkatan Laut dilaksanakan untuk menunjukkan sikap politik suatu negara terhadap suatu atau beberapa isu yang sedang mengemukan di suatu wilayah atau kawasan dunia. Belum hilang dari ingatan kita saat Rusia berperang dengan Georgia atas perebutan wilayah Ossetia Selatan pada Agustus 2008, yang langsung disikapi oleh Amerika Serikat dengan mengirimkan USS McFaul (DDG-74) ke pelabuhan Georgia di Laut Hitam. Sebagai balasannya atas tindakan tersebut, Rusia mengirimkan satu Gugus Tugas Angkatan Lautnya ke Venezuela pada November tahun yang sama.
Ketika Perang Dingin masih berkecamuk, tindakan saling kirim kapal perang ke wilayah yang menjadi perebutan pengaruh antara Amerika Serikat vs Uni Soviet merupakan hal yang biasa. Tindakan itu bisa dikategorikan sebagai operasi rutin. Misalnya saat Uni Soviet tengah berupaya menanamkan pengaruhnya di sekitar Laut Tengah pada 1946, Amerika Serikat selain mengirimkan kapal USS Missouri (BB-63) yang sekaligus memuat jenazah Duta Besar Turki untuk Amerika Serikat, menyebarkan pula USS Fargo (CL-106) untuk berlayar di sekitar kota Trieste yang tengah menjadi ajang perebutan pengaruh.
Ketika hendak dikirim, Vice Admiral Bernhard Bieri yang ditunjuk sebagai Komandan Gugus Tugas bertanya kepada Menteri Angkatan Laut James Forrestal. Pertanyaan sang Laksamana sederhana, yakni apakah Departemen Luar Negeri telah menyetujui kunjungannya. Forrestal menjawab tidak. Kemudian dilanjutkan oleh sang Menteri, “For your own information, it is my hope that the American policy will be to have units of the American Navy sail in any waters in any part of the globe. I am anxious to get this established as a common practice so that the movements of our ships anywhere will not be a matter for excitement or speculation”.
Harapan Forrestal seperti tersurat dalam pernyataannya kepada Admiral Bieri sudah lama terwujud. Kini U.S. Navy adalah salah satu instrumen kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Kemanapun kapal perang U.S. disebar, Departemen Luar Negeri mendapat informasi dan siap membantu secara politik apabila ada masalah diplomatik.
Departemen Luar Negeri juga memberikan masukan kepada U.S. Navy perairan mana saja yang perlu kehadiran kapal perang untuk kepentingan politik. Apabila ada krisis di suatu wilayah di dunia, maka pertanyaan pertama dari para pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan para pejabat di Gedung Putih adalah “Where is our nearest warships?”. Bukan “Where is our nearest tanks?” atau “Where is our nearest fighters?”
Hal demikian belum terwujud di Indonesia. Sebab Indonesia belum mempunyai kebijakan keamanan nasional yang memadukan semua instrumen, termasuk instrumen politik dan militer. Singkatnya, belum terjalin komunikasi antara Departemen Luar Negeri dengan militer, termasuk AL, soal penyebaran kekuatan kapal perang kita.
Sebagai contoh, sepertinya kurang ada kepedulian dari instrumen politik soal kehadiran kapal perang kita di perairan strategis dan juga wilayah konflik, misalnya di Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Sunda dan Laut Sulawesi. Pernahkah ada pejabat pengambil kebijakan politik yang rutin bertanya petinggi militer dan AL negeri ini soal di mana saja saat ini posisi kapal perang kita? Saya tidak yakin akan hal tersebut. Pertanyaan itu tidak muncul rutin, hanya kadang-kadang saja kalau lagi “membutuhkan” Angkatan Laut.
Bagi kita yang sudah paham betul bagaimana mengeksploitasi kapal perang bagi kepentingan diplomasi, tentu tidak asing lagi dengan diplomasi Angkatan Laut. Diplomasi Angkatan Laut dilaksanakan untuk menunjukkan sikap politik suatu negara terhadap suatu atau beberapa isu yang sedang mengemukan di suatu wilayah atau kawasan dunia. Belum hilang dari ingatan kita saat Rusia berperang dengan Georgia atas perebutan wilayah Ossetia Selatan pada Agustus 2008, yang langsung disikapi oleh Amerika Serikat dengan mengirimkan USS McFaul (DDG-74) ke pelabuhan Georgia di Laut Hitam. Sebagai balasannya atas tindakan tersebut, Rusia mengirimkan satu Gugus Tugas Angkatan Lautnya ke Venezuela pada November tahun yang sama.
Ketika Perang Dingin masih berkecamuk, tindakan saling kirim kapal perang ke wilayah yang menjadi perebutan pengaruh antara Amerika Serikat vs Uni Soviet merupakan hal yang biasa. Tindakan itu bisa dikategorikan sebagai operasi rutin. Misalnya saat Uni Soviet tengah berupaya menanamkan pengaruhnya di sekitar Laut Tengah pada 1946, Amerika Serikat selain mengirimkan kapal USS Missouri (BB-63) yang sekaligus memuat jenazah Duta Besar Turki untuk Amerika Serikat, menyebarkan pula USS Fargo (CL-106) untuk berlayar di sekitar kota Trieste yang tengah menjadi ajang perebutan pengaruh.
Ketika hendak dikirim, Vice Admiral Bernhard Bieri yang ditunjuk sebagai Komandan Gugus Tugas bertanya kepada Menteri Angkatan Laut James Forrestal. Pertanyaan sang Laksamana sederhana, yakni apakah Departemen Luar Negeri telah menyetujui kunjungannya. Forrestal menjawab tidak. Kemudian dilanjutkan oleh sang Menteri, “For your own information, it is my hope that the American policy will be to have units of the American Navy sail in any waters in any part of the globe. I am anxious to get this established as a common practice so that the movements of our ships anywhere will not be a matter for excitement or speculation”.
Harapan Forrestal seperti tersurat dalam pernyataannya kepada Admiral Bieri sudah lama terwujud. Kini U.S. Navy adalah salah satu instrumen kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Kemanapun kapal perang U.S. disebar, Departemen Luar Negeri mendapat informasi dan siap membantu secara politik apabila ada masalah diplomatik.
Departemen Luar Negeri juga memberikan masukan kepada U.S. Navy perairan mana saja yang perlu kehadiran kapal perang untuk kepentingan politik. Apabila ada krisis di suatu wilayah di dunia, maka pertanyaan pertama dari para pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan para pejabat di Gedung Putih adalah “Where is our nearest warships?”. Bukan “Where is our nearest tanks?” atau “Where is our nearest fighters?”
Hal demikian belum terwujud di Indonesia. Sebab Indonesia belum mempunyai kebijakan keamanan nasional yang memadukan semua instrumen, termasuk instrumen politik dan militer. Singkatnya, belum terjalin komunikasi antara Departemen Luar Negeri dengan militer, termasuk AL, soal penyebaran kekuatan kapal perang kita.
Sebagai contoh, sepertinya kurang ada kepedulian dari instrumen politik soal kehadiran kapal perang kita di perairan strategis dan juga wilayah konflik, misalnya di Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Sunda dan Laut Sulawesi. Pernahkah ada pejabat pengambil kebijakan politik yang rutin bertanya petinggi militer dan AL negeri ini soal di mana saja saat ini posisi kapal perang kita? Saya tidak yakin akan hal tersebut. Pertanyaan itu tidak muncul rutin, hanya kadang-kadang saja kalau lagi “membutuhkan” Angkatan Laut.
1 komentar:
osicatemuanteb bro, inilah yg seharusnya menjadi doktrin militer suatu negara kepulauan seperti Indonesia, AL yg Kuat dengan AU yg garang, kayana pemerintah n TNI kita beri wawasan nih bro,
Posting Komentar