All hands,
Untuk mengamankan kepentingan nasional, dibutuhkan suatu kebijakan nasional yang mengeksploitasi semua instrumen kekuatan nasional yang tersedia. Itu hukum alam yang harus diikuti oleh semua negara bila ingin eksis dan bermartabat dalam tata kehidupan antar bangsa. Kebijakan nasional harus memadukan dan menyelaraskan semua instrumen kekuatan nasional, sehingga tidak boleh ada satu instrumen pun yang bertolak belakang penggunaannya atau tidak sinkron dengan instrumen lainnya.
Di Indonesia, upaya mengamankan kepentingan nasional diwarnai oleh blunder kebijakan nasional. Salah satu contoh paling mutakhir dapat dilihat dalam kasus sengketa wilayah di Laut Sulawesi antara Indonesia versus Negeri Tukang Klaim. Blunder yang seperti apa?
Militer adalah salah satu instrumen kekuatan nasional yang semua pihak sudah paham bagaimana karakteristiknya. Instrumen ini mempunyai kekuatan untuk menekan lawan agar cara bertindak lawan sesuai dengan kehendak kita, selain tentunya kemampuan kinetik untuk merusak aset-aset sipil dan militer lawan. Dengan kata lain, militer adalah hard power dan siapapun tidak bisa membantah soal itu.
Politik, dalam hal ini politik luar negeri adalah instrumen kekuatan nasional lainnya. Instrumen ini mempunyai karakteristik yang persuasif namun mampu menekan lawan agar bertindak sesuai keinginan kita. Instrumen politik selain bisa didesain untuk bermain “halus”, dapat pula dirancang untuk bermain “kasar”. Contoh yang bagus adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat era pemerintahan George W. Bush, Jr.
Hubungan antara instrumen politik dan militer dicerminkan oleh diktum Clausewitz yang terkenal, menyatakan bahwa perang adalah kelanjutan dari diplomasi. Andaikata instrumen politik tidak mampu mengamankan kepentingan nasional dengan cara-cara yang persuasif, maka perang adalah kelanjutannya. Saat perang berlangsung, tidak berarti instrumen politik diam begitu saja, melainkan tetap melaksanakan perannya.
Selalu harus ada keterkaitan antara instrumen militer dengan instrumen politik, misalnya lewat diplomasi Angkatan Laut. Soal ini sudah berabad-abad silam dipraktekkan oleh berbagai negara yang pernah eksis di muka bumi ini. Tidak boleh ada keterputusan antara instrumen militer dengan instrumen politik dalam mengamankan kepentingan nasional. Semua bangsa yang cerdas selalu memadukan penggunaan instrumen politik dengan instrumen militer, termasuk dalam kasus Irian Barat di abad ke-20.
Blunder kebijakan di Indonesia adalah terjadinya keterputusan tersebut. Mengapa terputus? Sebab diplomasi Indonesia diarahkan untuk bergerak pada lahan soft power dan sebisa mungkin menghindari hard power. Sehingga wajar bila para diplomat republik ini sibuk dengan isu-isu soft power yang memang digemari, misalnya hubungan Islam-Barat dan isu lingkungan (termasuk lingkungan laut).
Sebaliknya, isu hard power sepertinya tidak seksi untuk dilirik. Padahal negeri Nusantara memerlukan pendekatan hard power untuk menyelesaikan sejumlah masalah dengan negeri lain. Contoh jelas dan tidak terbantahkan dari kurang diliriknya hard power adalah kebijakan pertahanan yang tidak berpihak pada penguatan kemampuan pertahanan, termasuk Angkatan Laut.
Rasanya mendekati kemustahilan menciptakan kekuatan laut yang profesional dan diperhitungkan di kawasan dengan mengandalkan pada alutsista buatan 1980-an ke bawah, didukung pula oleh pemotongan anggaran pertahanan tanpa pandang bulu dalam beberapa tahun terakhir. Kemustahilan makin mendekati sempurna ketika ditambah dengan penundaan pengadaan sistem senjata baru yang berarti tidak ada modernisasi kekuatan.
Karena para diplomat disibukkan dengan agenda soft power, sangat wajar bila mereka seperti terkondisikan untuk tidak sempat sinkronisasi kebijakan dengan pihak lain yang merupakan instrumen hard power. Dari sana kemudian timbul blunder yang dirasakan saat ini dan tahun-tahun ke depan.
Mengapa disebut blunder kebijakan? Karena tidak ada sinkronisasi kebijakan antara instrumen politik dengan instrumen militer dalam kasus Laut Sulawesi. Instrumen soft power yang selama ini dibangga-banggakan ternyata tidak bekerja alias lumpuh total dalam menghadapi agresifitas Negeri Tukang Klaim di sana. Sementara instrumen hard power yang selama ini kurang dilirik, mempunyai sejumlah keterbatasan akibat kebijakan nasional yang tidak berpihak kepadanya.
Dengan situasi begini, lalu instrumen apa lagi yang bisa diandalkan untuk mengamankan kepentingan nasional republik ini? Mungkin satu-satunya instrumen tinggal berdoa kepada Allah SWT memohon negeri ini tetap utuh walaupun martabatnya diinjak-injak.
Untuk mengamankan kepentingan nasional, dibutuhkan suatu kebijakan nasional yang mengeksploitasi semua instrumen kekuatan nasional yang tersedia. Itu hukum alam yang harus diikuti oleh semua negara bila ingin eksis dan bermartabat dalam tata kehidupan antar bangsa. Kebijakan nasional harus memadukan dan menyelaraskan semua instrumen kekuatan nasional, sehingga tidak boleh ada satu instrumen pun yang bertolak belakang penggunaannya atau tidak sinkron dengan instrumen lainnya.
Di Indonesia, upaya mengamankan kepentingan nasional diwarnai oleh blunder kebijakan nasional. Salah satu contoh paling mutakhir dapat dilihat dalam kasus sengketa wilayah di Laut Sulawesi antara Indonesia versus Negeri Tukang Klaim. Blunder yang seperti apa?
Militer adalah salah satu instrumen kekuatan nasional yang semua pihak sudah paham bagaimana karakteristiknya. Instrumen ini mempunyai kekuatan untuk menekan lawan agar cara bertindak lawan sesuai dengan kehendak kita, selain tentunya kemampuan kinetik untuk merusak aset-aset sipil dan militer lawan. Dengan kata lain, militer adalah hard power dan siapapun tidak bisa membantah soal itu.
Politik, dalam hal ini politik luar negeri adalah instrumen kekuatan nasional lainnya. Instrumen ini mempunyai karakteristik yang persuasif namun mampu menekan lawan agar bertindak sesuai keinginan kita. Instrumen politik selain bisa didesain untuk bermain “halus”, dapat pula dirancang untuk bermain “kasar”. Contoh yang bagus adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat era pemerintahan George W. Bush, Jr.
Hubungan antara instrumen politik dan militer dicerminkan oleh diktum Clausewitz yang terkenal, menyatakan bahwa perang adalah kelanjutan dari diplomasi. Andaikata instrumen politik tidak mampu mengamankan kepentingan nasional dengan cara-cara yang persuasif, maka perang adalah kelanjutannya. Saat perang berlangsung, tidak berarti instrumen politik diam begitu saja, melainkan tetap melaksanakan perannya.
Selalu harus ada keterkaitan antara instrumen militer dengan instrumen politik, misalnya lewat diplomasi Angkatan Laut. Soal ini sudah berabad-abad silam dipraktekkan oleh berbagai negara yang pernah eksis di muka bumi ini. Tidak boleh ada keterputusan antara instrumen militer dengan instrumen politik dalam mengamankan kepentingan nasional. Semua bangsa yang cerdas selalu memadukan penggunaan instrumen politik dengan instrumen militer, termasuk dalam kasus Irian Barat di abad ke-20.
Blunder kebijakan di Indonesia adalah terjadinya keterputusan tersebut. Mengapa terputus? Sebab diplomasi Indonesia diarahkan untuk bergerak pada lahan soft power dan sebisa mungkin menghindari hard power. Sehingga wajar bila para diplomat republik ini sibuk dengan isu-isu soft power yang memang digemari, misalnya hubungan Islam-Barat dan isu lingkungan (termasuk lingkungan laut).
Sebaliknya, isu hard power sepertinya tidak seksi untuk dilirik. Padahal negeri Nusantara memerlukan pendekatan hard power untuk menyelesaikan sejumlah masalah dengan negeri lain. Contoh jelas dan tidak terbantahkan dari kurang diliriknya hard power adalah kebijakan pertahanan yang tidak berpihak pada penguatan kemampuan pertahanan, termasuk Angkatan Laut.
Rasanya mendekati kemustahilan menciptakan kekuatan laut yang profesional dan diperhitungkan di kawasan dengan mengandalkan pada alutsista buatan 1980-an ke bawah, didukung pula oleh pemotongan anggaran pertahanan tanpa pandang bulu dalam beberapa tahun terakhir. Kemustahilan makin mendekati sempurna ketika ditambah dengan penundaan pengadaan sistem senjata baru yang berarti tidak ada modernisasi kekuatan.
Karena para diplomat disibukkan dengan agenda soft power, sangat wajar bila mereka seperti terkondisikan untuk tidak sempat sinkronisasi kebijakan dengan pihak lain yang merupakan instrumen hard power. Dari sana kemudian timbul blunder yang dirasakan saat ini dan tahun-tahun ke depan.
Mengapa disebut blunder kebijakan? Karena tidak ada sinkronisasi kebijakan antara instrumen politik dengan instrumen militer dalam kasus Laut Sulawesi. Instrumen soft power yang selama ini dibangga-banggakan ternyata tidak bekerja alias lumpuh total dalam menghadapi agresifitas Negeri Tukang Klaim di sana. Sementara instrumen hard power yang selama ini kurang dilirik, mempunyai sejumlah keterbatasan akibat kebijakan nasional yang tidak berpihak kepadanya.
Dengan situasi begini, lalu instrumen apa lagi yang bisa diandalkan untuk mengamankan kepentingan nasional republik ini? Mungkin satu-satunya instrumen tinggal berdoa kepada Allah SWT memohon negeri ini tetap utuh walaupun martabatnya diinjak-injak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar