All hands,
Isu pembinaan dan operasi dalam organisasi pertahanan bukan semata terjadi di Indonesia, melainkan terjadi pula di negeri-negeri lain. Secara garis besar, pembinaan kekuatan militer merupakan kewenangan dan tanggung jawab Kepala Staf Angkatan, sedangkan operasi kekuatan militer merupakan kewenangan tanggung jawab Menteri Pertahanan. Konsep demikian berlaku di banyak negara, utamanya negara demokratis.
Kenapa tanggung jawab operasional diserahkan kepada Menteri Pertahanan? Sebab keputusan yang terkait dengan deployment and employment pada dasarnya merupakan keputusan politik pemerintah. Menteri Pertahanan adalah pejabat politik yang mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan, termasuk di dalamnya soal deployment and employment kekuatan militer.
Di Indonesia yang masih belum tepat adalah masalah operasi yang hingga kini merupakan tanggung jawab Panglima TNI. Soal operasi pasti terkait dengan deployment and employment of military forces, including naval forces. Karena deployment and employment of military forces merupakan ranah politik, tidak tepat bila seorang panglima militer yang berwenang dan bertanggung jawab soal itu. Wewenang dan tanggung jawab harusnya ada di pundak Menteri Pertahanan.
Mari kita lihat kembali kasus tahun 2003 menjelang diberlakukannya Darurat Militer di Aceh. Ketika pemerintah sebagai pemegang otoritas politik belum menyatakan berlakunya status Darurat Militer di wilayah yang bergolak itu, militer negeri ini telah melaksanakan deployment atas perintah dari komando atas. Alasannya, antisipasi pelaksanaan Darurat Militer.
Tindakan demikian resiko politiknya sangat besar, sebab bisa diartikan oleh kalangan sipil bahwa militer tidak paham dengan sistem demokrasi yang berlaku di negeri ini. Bahkan mungkin ada kalangan sipil yang mempersepsikan bahwa militer berjalan sendiri tanpa menunggu keputusan politik. Suka atau tidak suka, dalam negara yang menganut demokrasi, deployment and employment of military forces harus berdasarkan perintah dari Presiden atau minimal pejabat politik di bidang pertahanan.
Ekstremnya, apabila di wilayah X ada pergolakan yang mengancam kepentingan nasional bangsa ini, namun pengambil keputusan politik tidak atau belum mengeluarkan perintah untuk deployment and employment of military forces, kekuatan militer harus diam di tempat. Soal nanti ada kerugian terhadap kepentingan nasional yang di kawasan yang bergolak, itu tanggung jawab pemerintah. Panglima atau komandan militer tidak bisa dimintai tanggung jawab, sebab militer adalah instrumen negara. Sebagai instrumen, tentu panglima atau komandan militer punya atasan dalam sistem ketatanegaraan.
Wewenang dan tanggung jawab operasional yang berada pada pundak Menteri Pertahanan tentunya akan berkonsekuensi bahwa militer di bawah kendali sang menteri. Dalam pelaksanaannya sehari-hari, sang menteri bisa mendelegasikan sebagian tugasnya kepada perwira militer yang ditunjuk. Akan tetapi, hal-hal yang penting seperti deployment and employment of military forces tetap harus diputuskan oleh sang menteri.
Ketika di Amerika Serikat diadakan modifikasi terhadap National Security Act of 1947 pada tahun 1958, memang ada “perlawanan” dari militer, termasuk U.S. Navy. Modifikasi itu memberikan tanggung jawab dan kewenangan kepada Menteri Pertahanan untuk full control over strategy, operations and force planning. Ketiga bidang yang diambil alih sebelumnya sebagian besar merupakan wewenang dan tanggung jawab para Kepala Staf Angkatan. Dengan modifikasi itu, maka tanggung jawab dan kewenangan para Kepala Staf Angkatan adalah membina kekuatan, yakni menyiapkan unsur-unsur sistem senjata beserta sumber daya manusianya agar siap digunakan oleh Menteri Pertahanan.
Menurut hemat saya, masalah pembinaan dan operasi di Indonesia perlu ditinjau ulang disesuaikan dengan sistem yang dianut oleh negeri ini sekarang. Langkah itu sekaligus satu dari beberapa pekerjaan rumah yang sudah sepatutnya ditempuh agar kekuatan pertahanan Indonesia bisa lebih maju. Harap diingat bahwa kita belum melaksanakan transformasi pertahanan, padahal jaman menuntut akan hal tersebut. Transformasi pertahanan sangat berbeda dengan reformasi pertahanan.
Isu pembinaan dan operasi dalam organisasi pertahanan bukan semata terjadi di Indonesia, melainkan terjadi pula di negeri-negeri lain. Secara garis besar, pembinaan kekuatan militer merupakan kewenangan dan tanggung jawab Kepala Staf Angkatan, sedangkan operasi kekuatan militer merupakan kewenangan tanggung jawab Menteri Pertahanan. Konsep demikian berlaku di banyak negara, utamanya negara demokratis.
Kenapa tanggung jawab operasional diserahkan kepada Menteri Pertahanan? Sebab keputusan yang terkait dengan deployment and employment pada dasarnya merupakan keputusan politik pemerintah. Menteri Pertahanan adalah pejabat politik yang mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan, termasuk di dalamnya soal deployment and employment kekuatan militer.
Di Indonesia yang masih belum tepat adalah masalah operasi yang hingga kini merupakan tanggung jawab Panglima TNI. Soal operasi pasti terkait dengan deployment and employment of military forces, including naval forces. Karena deployment and employment of military forces merupakan ranah politik, tidak tepat bila seorang panglima militer yang berwenang dan bertanggung jawab soal itu. Wewenang dan tanggung jawab harusnya ada di pundak Menteri Pertahanan.
Mari kita lihat kembali kasus tahun 2003 menjelang diberlakukannya Darurat Militer di Aceh. Ketika pemerintah sebagai pemegang otoritas politik belum menyatakan berlakunya status Darurat Militer di wilayah yang bergolak itu, militer negeri ini telah melaksanakan deployment atas perintah dari komando atas. Alasannya, antisipasi pelaksanaan Darurat Militer.
Tindakan demikian resiko politiknya sangat besar, sebab bisa diartikan oleh kalangan sipil bahwa militer tidak paham dengan sistem demokrasi yang berlaku di negeri ini. Bahkan mungkin ada kalangan sipil yang mempersepsikan bahwa militer berjalan sendiri tanpa menunggu keputusan politik. Suka atau tidak suka, dalam negara yang menganut demokrasi, deployment and employment of military forces harus berdasarkan perintah dari Presiden atau minimal pejabat politik di bidang pertahanan.
Ekstremnya, apabila di wilayah X ada pergolakan yang mengancam kepentingan nasional bangsa ini, namun pengambil keputusan politik tidak atau belum mengeluarkan perintah untuk deployment and employment of military forces, kekuatan militer harus diam di tempat. Soal nanti ada kerugian terhadap kepentingan nasional yang di kawasan yang bergolak, itu tanggung jawab pemerintah. Panglima atau komandan militer tidak bisa dimintai tanggung jawab, sebab militer adalah instrumen negara. Sebagai instrumen, tentu panglima atau komandan militer punya atasan dalam sistem ketatanegaraan.
Wewenang dan tanggung jawab operasional yang berada pada pundak Menteri Pertahanan tentunya akan berkonsekuensi bahwa militer di bawah kendali sang menteri. Dalam pelaksanaannya sehari-hari, sang menteri bisa mendelegasikan sebagian tugasnya kepada perwira militer yang ditunjuk. Akan tetapi, hal-hal yang penting seperti deployment and employment of military forces tetap harus diputuskan oleh sang menteri.
Ketika di Amerika Serikat diadakan modifikasi terhadap National Security Act of 1947 pada tahun 1958, memang ada “perlawanan” dari militer, termasuk U.S. Navy. Modifikasi itu memberikan tanggung jawab dan kewenangan kepada Menteri Pertahanan untuk full control over strategy, operations and force planning. Ketiga bidang yang diambil alih sebelumnya sebagian besar merupakan wewenang dan tanggung jawab para Kepala Staf Angkatan. Dengan modifikasi itu, maka tanggung jawab dan kewenangan para Kepala Staf Angkatan adalah membina kekuatan, yakni menyiapkan unsur-unsur sistem senjata beserta sumber daya manusianya agar siap digunakan oleh Menteri Pertahanan.
Menurut hemat saya, masalah pembinaan dan operasi di Indonesia perlu ditinjau ulang disesuaikan dengan sistem yang dianut oleh negeri ini sekarang. Langkah itu sekaligus satu dari beberapa pekerjaan rumah yang sudah sepatutnya ditempuh agar kekuatan pertahanan Indonesia bisa lebih maju. Harap diingat bahwa kita belum melaksanakan transformasi pertahanan, padahal jaman menuntut akan hal tersebut. Transformasi pertahanan sangat berbeda dengan reformasi pertahanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar