All hands,
Bila ditanyakan kepada para diplomat tentang efektivitas confidence building measures di Asia Tenggara, jawabannya dapat dipastikan positif. Sebaliknya bila pertanyaan yang sama diajukan kepada perwira militer, khususnya AL, sepertinya jawabannya berbeda dengan “jawaban resmi” para diplomat. Kasus di Laut Sulawesi merupakan salah satu bukti bahwa confidence building measures di kawasan ini sebatas seremonial belaka.
Masih banyak kasus serupa di lapangan yang menunjukkan bahwa confidence building measures masih sebatas seremonial. Situasi demikian menunjukkan bahwa tingkat rasa saling tidak percaya di antara militer Asia Tenggara masih tinggi. Tentu perlu dicari apa akar masalahnya sehingga confidence building measures belum terwujud sesuai harapan?
Menurut pendapat saya, ada beberapa jawaban soal itu. Pertama, latar belakang sejarah hubungan antar negara di kawasan ini. Para pejabat di Indonesia ataupun Malaysia boleh saja bilang bahwa Konfrontasi adalah masa lalu, namun hal itu masih membekas di mindset pengambil kebijakan dan militer kedua negara. Begitu pula dalam hubungan antara Malaysia dengan Singapura yang mempunyai sejarah tersendiri.
Kedua, masih adanya sejumlah masalah antar negara yang belum selesai. Entah masalah perbatasan, isu perlindungan warga negara maupun kepentingan ekonomis. Masalah-masalah itu sangat mudah untuk dieksploitasi menjadi ketegangan dan atau ketidakpercayaan antar negara.
Ketiga, adanya aktor ekstra kawasan. Kehadiran aktor ekstra kawasan untuk mengurus keamanan wilayah Asia Tenggara membuat sebagian negara tidak nyaman. Terlebih lagi kehadiran aktor itu berkontribusi pula pada terciptanya ketimpangan balance of power.
Keempat, soal balance of power. Negara-negara maju yang berkepentingan di Asia Tenggara sengaja menciptakan ketimpangan balance of power di antara negara-negara kawasan. Terciptanya ketimpangan balance of power ternyata bukan melahirkan rasa aman bagi sebagian negara kawasan, sebaliknya menimbulkan rasa tidak aman. Penciptaan ketimpangan balance of power dapat dilihat dari perlakuan diskriminatif dalam syarat dan ketentuan penjualan senjata ke kawasan ini.
Dengan situasi seperti yang telah diuraikan, lalu bagaimana menciptakan confidence building measures? Masihkan cara-cara tradisional manjur dan ampuh? Terlalu naif bila parameter confidence building measures adalah seberapa sering pertemuan diplomatik ---pada semua tingkat--- antar negara dan seberapa akrab hubungan pribadi dari pihak-pihak yang terlibat. Bukti dari confidence building measures hanya bisa dilihat di lapangan.
Bila ditanyakan kepada para diplomat tentang efektivitas confidence building measures di Asia Tenggara, jawabannya dapat dipastikan positif. Sebaliknya bila pertanyaan yang sama diajukan kepada perwira militer, khususnya AL, sepertinya jawabannya berbeda dengan “jawaban resmi” para diplomat. Kasus di Laut Sulawesi merupakan salah satu bukti bahwa confidence building measures di kawasan ini sebatas seremonial belaka.
Masih banyak kasus serupa di lapangan yang menunjukkan bahwa confidence building measures masih sebatas seremonial. Situasi demikian menunjukkan bahwa tingkat rasa saling tidak percaya di antara militer Asia Tenggara masih tinggi. Tentu perlu dicari apa akar masalahnya sehingga confidence building measures belum terwujud sesuai harapan?
Menurut pendapat saya, ada beberapa jawaban soal itu. Pertama, latar belakang sejarah hubungan antar negara di kawasan ini. Para pejabat di Indonesia ataupun Malaysia boleh saja bilang bahwa Konfrontasi adalah masa lalu, namun hal itu masih membekas di mindset pengambil kebijakan dan militer kedua negara. Begitu pula dalam hubungan antara Malaysia dengan Singapura yang mempunyai sejarah tersendiri.
Kedua, masih adanya sejumlah masalah antar negara yang belum selesai. Entah masalah perbatasan, isu perlindungan warga negara maupun kepentingan ekonomis. Masalah-masalah itu sangat mudah untuk dieksploitasi menjadi ketegangan dan atau ketidakpercayaan antar negara.
Ketiga, adanya aktor ekstra kawasan. Kehadiran aktor ekstra kawasan untuk mengurus keamanan wilayah Asia Tenggara membuat sebagian negara tidak nyaman. Terlebih lagi kehadiran aktor itu berkontribusi pula pada terciptanya ketimpangan balance of power.
Keempat, soal balance of power. Negara-negara maju yang berkepentingan di Asia Tenggara sengaja menciptakan ketimpangan balance of power di antara negara-negara kawasan. Terciptanya ketimpangan balance of power ternyata bukan melahirkan rasa aman bagi sebagian negara kawasan, sebaliknya menimbulkan rasa tidak aman. Penciptaan ketimpangan balance of power dapat dilihat dari perlakuan diskriminatif dalam syarat dan ketentuan penjualan senjata ke kawasan ini.
Dengan situasi seperti yang telah diuraikan, lalu bagaimana menciptakan confidence building measures? Masihkan cara-cara tradisional manjur dan ampuh? Terlalu naif bila parameter confidence building measures adalah seberapa sering pertemuan diplomatik ---pada semua tingkat--- antar negara dan seberapa akrab hubungan pribadi dari pihak-pihak yang terlibat. Bukti dari confidence building measures hanya bisa dilihat di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar