09 Juni 2009

Menggugat Efektivitas Minimum Essential Force

All hands,
Kebijakan minimum essential force dilahirkan karena adalah keterbatasan anggaran. Akibat anggaran yang terbatas, program modernisasi TNI terhambat. Begitulah logika yang dipakai oleh para perencana kebijakan pertahanan.
Logika itu menurut hemat saya salah besar, sebab bertentangan dengan ilmu perencanaan kekuatan alias force planning. Ilmu itu menyatakan bahwa anggaran adalah konsekuensi dari program. Program itu sendiri merupakan turunan dari strategi. Apabila strategi menuntut x kapal perang, y pesawat tempur dan z tank, maka harus disusun program pengadaan untuk memenuhi hal tersebut.
Sebagai konsekuensi dari program, dibutuhkan anggaran. Soal bagaimana pemenuhan anggaran, manusia dikarunia akal dan budi oleh Allah SWT. Artinya, bisa dicari cara agar program itu terlaksana. Yang penting yaitu tersedianya kemauan alias the will. Suka atau tidak suka, kita harus jujur, jernih dan kritis melihat kebijakan minimum essential force.
Akankah kebijakan itu menciptakan kekuatan TNI yang mampu menimbulkan dampak penangkalan? Kalau kebijakan minimum essential force lebih menekankan pada kuantitas alutsista yang mengandalkan pada sistem senjata buatan 1980-an, saya pribadi berpendapat kebijakan itu tidak akan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kenapa demikian?
Pertama, perhitungan ekonomis. Mempertahankan operasional sistem senjata buatan 1980-an dan era sebelumnya akan menguras anggaran yang tidak sedikit. Dapat dipastikan pengurasan anggaran itu mencapai titik tidak ekonomis, sebab usia ekonomis alutsista yang dipertahankan sudah lewat.
Kedua, perhitungan operasional. Karena sudah melewati usia ekonomis, kondisi kesiapan tempur sistem senjata itu tidak akan mencapai titik yang diharapkan. Sistem senjata itu akan lebih banyak menuntut perhatian, sehingga kesiapan operasionalnya patut dipertanyakan.
Perlu dikaji lebih lanjut apakah kesiapan operasional atau tepatnya kesiapan tempur sistem senjata buatan 1980-an minimal mampu menyamai sistem senjata yang dibeli 10-15 tahun terakhir. Tentu saja tidak adil membandingkannya dengan sistem senjata yang baru dibeli dalam kurun 5 tahun terakhir. Kesiapan operasional akan mempengaruhi pula dampak penangkalan yang diharapkan.
Kebijakan minimum essential force bisa mencapai tujuan yang ditetapkan apabila ada dua syarat yang dipenuhi. Pertama, pendekatan kualitas pada sistem senjata. Sebagai contoh, untuk AL kita mungkin akan lebih baik bila kita dibelikan 10 PKR baru daripada mempertahankan 10 PKR dan 16 PK lama yang usia ekonomisnya sudah lewat.
Dari 10 PKR baru, setidaknya dalam susunan tempur saat ini sudah terpenuhi empat PKR. Tinggal menambah enam PKR, yang dengan demikian semua kapal itu dapat dioperasikan paling tidak sampai 2030.
Kedua, pendekatan pengadaan. Pengadaan alusista TNI saat ini sifatnya sudah sangat mendesak, sebab usia ekonomis alutsista sudah banyak yang terlampaui. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut, salah satu cara yang bisa ditempuh adalah lewat crash program. Menurut hemat saya, tidak ada cara lain kecuali lewat crash program. Sebab apabila menempuh cara normal, sulit untuk mewujudkan minimum essential force sesuai target yang ditetapkan.
Ada baiknya bila kita berkaca pada sejarah bangsa ini. Pengadaan kapal selam kelas U-209, korvet kelas FTH, pesawat tempur F-5E/F dan A-4, C-130 H/HS, begitu pula dengan sejumlah tank dan APC pada akhir 1970-an merupakan contoh adanya crash program di masa lalu. Program itu ditempuh pemerintah saat itu sebab alutsista buatan Soviet sebagian besar sudah tidak dapat digunakan lagi.
Saat itu sumber dananya adalah oil boom. Di masa sekarang, pemerintah bisa mencari sumber dana khusus untuk itu apabila memang ada kemauan untuk menjadikan Indonesia menjadi salah satu aktor hard power di kawasan, bukan sebatas soft power yang terbukti tidak bernilai apa-apa di Laut Sulawesi.

Tidak ada komentar: