All hands,
Pemahaman mengenai soft power di Indonesia mengalami degradasi dari maksud dan praktek sebenarnya di negara asal gagasan ini dimunculkan. Soft power di Indonesia identik dengan kegiatan-kegiatan seminar, konferensi dan sejenisnya yang melibatkan banyak bangsa dalam membahas isu-isu prestise seperti hubungan Islam-Barat dan masalah lingkungan, khususnya perubahan iklim. Seperti pernah ditulis sebelumnya, isu-isu terkait soft power lebih menarik untuk dieksplorasi daripada masalah-masalah hard power yang tengah dihadapi bangsa ini.
Isu soft power di Indonesia tidak ditempatkan pada posisi yang sebenarnya dalam kepentingan nasional. Sehingga muncullah persepsi anak kandung dan anak tiri. Yang tentu sulit dipahami adalah menempatkan hard power pada suatu hal yang sepertinya bukan prioritas, padahal hard power terkait dengan eksistensi bangsa ini.
Sebenarnya ada hubungan langsung antara soft power dan hard power. Kurang tepat pula mendikotomikan keduanya, namun masalahnya di Indonesia kedua isu itu dalam prakteknya didikotomikan. Kalau mencermati praktek di negeri asal penggagasnya, isu soft power senantiasa dipadukan dengan hard power.
Contoh yang jelas dan semoga masih kuat di memori bangsa Indonesia adalah kasus bencana tsunami Aceh 26 Desember 2004. Amerika Serikat merespon bencana itu dengan memamerkan soft power-nya menggunakan instrumen hard power. Soft power yang dipamerkan oleh Amerika Serikat adalah “ketulusan, kebaikan dan rasa kemanusiaan” Amerika Serikat merespon bencana maha dahsyat itu. Instrumen untuk memamerkan soft power-nya adalah hard power, yaitu Angkatan Laut lewat Grup Tempur USS Abraham Lincoln (CVN-72) melalui Operation Unified Assistance.
Dari praktek tersebut terlihat bahwa soft power bukan sebatas ide-ide cemerlang di ruang seminar atau konferensi dan sejenisnya, tetapi praktek di lapangan yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Inilah kesalahan persepsi di Indonesia, sehingga soft power berdiri sendiri dan mengakibatkan hard power kurang diperhatikan. Dan soft power di Indonesia lebih berfokus pada isu-isu “langit” dan tidak membumi.
Sebenarnya AL kita sejak lama telah mempraktekkan paduan antara soft power dengan hard power, yakni melalui Operasi Surya Baskara Jaya. Namun sayangnya operasi ini kurang dilirik oleh pemerintah untuk ditingkatkan menjadi lingkup kawasan, bukan lagi lingkup Indonesia. Apabila diangkat menjadi lingkup kawasan, pamor Indonesia baik dari segi soft power maupun hard power akan meningkat. Dan itu lebih penting karena apa yang dilakukan menyentuh kebutuhan langsung pihak-pihak yang memerlukan, bukan sebatas ide-ide “langit” di ruang seminar atau konferensi seperti yang terjadi selama ini.
Kata kunci pertama adalah perlakukan soft power dan hard power sesuai dengan kedudukannya dalam kepentingan nasional. Sedangkan kata kunci kedua yaitu soft power tidak bisa berjalan sendiri tanpa hard power. Artinya hard power harus “dirawat” dan diperlakukan sebagai anak kandung pula.
Pemahaman mengenai soft power di Indonesia mengalami degradasi dari maksud dan praktek sebenarnya di negara asal gagasan ini dimunculkan. Soft power di Indonesia identik dengan kegiatan-kegiatan seminar, konferensi dan sejenisnya yang melibatkan banyak bangsa dalam membahas isu-isu prestise seperti hubungan Islam-Barat dan masalah lingkungan, khususnya perubahan iklim. Seperti pernah ditulis sebelumnya, isu-isu terkait soft power lebih menarik untuk dieksplorasi daripada masalah-masalah hard power yang tengah dihadapi bangsa ini.
Isu soft power di Indonesia tidak ditempatkan pada posisi yang sebenarnya dalam kepentingan nasional. Sehingga muncullah persepsi anak kandung dan anak tiri. Yang tentu sulit dipahami adalah menempatkan hard power pada suatu hal yang sepertinya bukan prioritas, padahal hard power terkait dengan eksistensi bangsa ini.
Sebenarnya ada hubungan langsung antara soft power dan hard power. Kurang tepat pula mendikotomikan keduanya, namun masalahnya di Indonesia kedua isu itu dalam prakteknya didikotomikan. Kalau mencermati praktek di negeri asal penggagasnya, isu soft power senantiasa dipadukan dengan hard power.
Contoh yang jelas dan semoga masih kuat di memori bangsa Indonesia adalah kasus bencana tsunami Aceh 26 Desember 2004. Amerika Serikat merespon bencana itu dengan memamerkan soft power-nya menggunakan instrumen hard power. Soft power yang dipamerkan oleh Amerika Serikat adalah “ketulusan, kebaikan dan rasa kemanusiaan” Amerika Serikat merespon bencana maha dahsyat itu. Instrumen untuk memamerkan soft power-nya adalah hard power, yaitu Angkatan Laut lewat Grup Tempur USS Abraham Lincoln (CVN-72) melalui Operation Unified Assistance.
Dari praktek tersebut terlihat bahwa soft power bukan sebatas ide-ide cemerlang di ruang seminar atau konferensi dan sejenisnya, tetapi praktek di lapangan yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Inilah kesalahan persepsi di Indonesia, sehingga soft power berdiri sendiri dan mengakibatkan hard power kurang diperhatikan. Dan soft power di Indonesia lebih berfokus pada isu-isu “langit” dan tidak membumi.
Sebenarnya AL kita sejak lama telah mempraktekkan paduan antara soft power dengan hard power, yakni melalui Operasi Surya Baskara Jaya. Namun sayangnya operasi ini kurang dilirik oleh pemerintah untuk ditingkatkan menjadi lingkup kawasan, bukan lagi lingkup Indonesia. Apabila diangkat menjadi lingkup kawasan, pamor Indonesia baik dari segi soft power maupun hard power akan meningkat. Dan itu lebih penting karena apa yang dilakukan menyentuh kebutuhan langsung pihak-pihak yang memerlukan, bukan sebatas ide-ide “langit” di ruang seminar atau konferensi seperti yang terjadi selama ini.
Kata kunci pertama adalah perlakukan soft power dan hard power sesuai dengan kedudukannya dalam kepentingan nasional. Sedangkan kata kunci kedua yaitu soft power tidak bisa berjalan sendiri tanpa hard power. Artinya hard power harus “dirawat” dan diperlakukan sebagai anak kandung pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar