All hands,
Tak lama setelah Perang Dunia Kedua berakhir, rivalitas antar Angkatan di Amerika Serikat makin menguat. U.S. Army Air Force yang telah membuktikan kebenaran sebagian doktrin air power merasa posisinya harus sejajar dengan dua Angkatan lainnya yang telah eksis sejak lebih seratus tahun sebelumnya. Dengan berfungsinya nuklir sebagai senjata dengan rusak yang amat sangat luar biasa, U.S. Army Air Force berpendapat bahwa perang cukup dapat dilakukan oleh mereka saja. Dengan kata lain, peran U.S. Navy dan U.S. Army cenderung dinegasikan sama sekali.
U.S. Army Air Force juga menggugat eksistensi Naval Air Wing di U.S. Navy. Menurut pendapatnya, Naval Air Wing sudah seharusnya dilebur dalam U.S. Army Air Force. Bertolak dari keyakinan diri yang besar, U.S. Army Air Force menuntut kesejajaran dengan dua Angkatan lainnya. Aspirasi itu dikabulkan oleh Kongres pada 1947 dengan menyetujui pembentukan U.S. Air Force yang sejajar dengan U.S. Navy dan U.S. Army.
Apabila U.S. Army Air Force menggugat keberadaan Naval Air Wing, maka U.S. Army menggugat eksistensi U.S. Marine Corps. Menurut U.S. Army, U.S. Marine Corps sudah tidak dibutuhkan lagi sebab medan tempur yang akan datang berada di dataran Eropa, bukan di wilayah Pasifik yang didominasi oleh perairan luas.
Masa-masa antara 1946-1950 adalah suatu era yang berat bagi U.S. Navy dan juga U.S. Marine Corps. Setelah menunjukkan baktinya kepada Amerika Serikat dalam Perang Dunia Kedua, setelah itu keberadaan mereka sebagai suatu Angkatan tersendiri digugat. Namun pada akhirnya mereka mampu melewati masa-masa penuh cobaan itu dengan intact. U.S. Navy dan U.S. Marine Corps tetap eksis hingga sekarang.
Mengapa mereka bisa melewatinya? Sebab mereka mempunyai argumen yang cerdas dan dapat diterima oleh para politisi, yaitu eksistensi mereka untuk mengamankan kepentingan nasional Amerika Serikat. Untuk mengamankan kepentingan itu, penegasian kedua Angkatan sama saja dengan tindakan yang merugikan kepentingan itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, ada pula upaya menegasikan peran AL kita dan juga Korps Marinir. Misalnya ada pihak yang berupaya memperluas perannya di laut, dengan beralasan bahwa laut adalah wilayah yurisdiksi Indonesia sehingga dia berhak untuk menegakkan hukum di laut. Alasan bahwa laut adalah wilayah yurisdiksi Indonesia tidak ada yang bisa bantah, namun ketika berbicara soal penegakan hukum ceritanya menjadi lain.
Di laut hukum nasional tidak berlaku sepenuhnya, tetapi harus pula mengacu pada hukum internasional. Itulah sebabnya para pelaut niaga asing tidak pernah mau kapalnya dihentikan oleh pihak lain selain AL dan KPLP, sebab mereka tahu pihak di luar keduanya tidak berhak menghentikan dan memeriksa mereka. Yang berhak cuma AL dan KPLP yang saat ini baru melaksanakan setengah dari fungsi Coast Guard.
Konon kabarnya, pihak tertentu itu tengah memesan sebuah kapal berukuran 100 meter lebih bagi kepentingannya. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pengambil kebijakan politik cenderung tidak bisa mengendalikan pihak itu. Setiap kebijakan mereka seharusnya dikontrol oleh pemerintah, bukan diloloskan begitu saja. Apalagi pemerintah terikat dengan rezim hukum internasional di laut, yang mana pemerintah harus patuh melaksanakan ketentuan dalam rezim itu.
Rencana eksistensi Coast Guard sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran juga dipandang sebagian pihak sebagai ancaman terhadap eksistensi AL. Apabila kita mau berpikir jernih, ada perbedaan fungsi antara AL dengan Coast Guard. Coast Guard berfungsi menegakkan hukum, sedangkan AL berfungsi mengamankan kepentingan nasional.
Mengamankan kepentingan nasional spektrumnya luas, termasuk penegakan hukum. Sebaiknya mari kita pahami bahwa sekalipun suatu saat nanti Indonesia mempunyai Coast Guard, akan tetapi hal itu tidak akan menggugurkan dasar hukum yang menjadi pegangan bagi AL untuk menegakkan hukum di laut. Justru sedikit banyak beban tugas penegakan hukum oleh AL akan berkurang karena dibantu oleh Coast Guard.
Memang kita tidak menutup mata terhadap contoh beberapa negara yang Coast Guard-nya dominan, seperti Jepang, Amerika Serikat dan India. Kenapa dominan? Penyebabnya adalah kebijakan pemerintah masing-masing yang pada intinya sama, yaitu AL harus melaksanakan proyeksi kekuatan. Pelaksanaan proyeksi kekuatan adalah implementasi dari kebijakan politik untuk menjadi aktor global dan regional. Kata kuncinya terletak pada kebijakan politik pemerintah.
Selain itu, negara-negara itu sebagian besar menganut Posse Commitatus. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia tidak menganut Posse Commitatus. Namun politik pemerintah negeri ini belum mengeksploitasi penuh potensi kemampuan AL.
AL kita bisa saja melaksanakan proyeksi kekuatan secara terbatas, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Ulangi, secara terbatas!!! Contohnya bisa dilihat dalam kasus KRI Diponegoro ke Lebanon.
Dengan kata lain, fokus operasi AL kita masih pada mengamankan kepentingan nasional di perairan yurisdiksi. Artinya AL kita belum akan diproyeksikan keluar wilayah Indonesia secara permanen. Proyeksi kekuatan hanya akan dilakukan secara temporer. Eksistensi AL kita adalah untuk mengamankan kepentingan nasional, termasuk di perairan yurisdiksi sendiri.
Tentu sangat aneh bin janggal bila negeri kepulauan seperti Indonesia tidak mempunyai Angkatan Laut. Aneh pula bila eksistensi Angkatan Laut dipelihara hanya karena tercantum dalam UUD 1945, namun pengembangannya tidak didukung dengan sepenuh hati oleh para pengambil kebijakan.
Tak lama setelah Perang Dunia Kedua berakhir, rivalitas antar Angkatan di Amerika Serikat makin menguat. U.S. Army Air Force yang telah membuktikan kebenaran sebagian doktrin air power merasa posisinya harus sejajar dengan dua Angkatan lainnya yang telah eksis sejak lebih seratus tahun sebelumnya. Dengan berfungsinya nuklir sebagai senjata dengan rusak yang amat sangat luar biasa, U.S. Army Air Force berpendapat bahwa perang cukup dapat dilakukan oleh mereka saja. Dengan kata lain, peran U.S. Navy dan U.S. Army cenderung dinegasikan sama sekali.
U.S. Army Air Force juga menggugat eksistensi Naval Air Wing di U.S. Navy. Menurut pendapatnya, Naval Air Wing sudah seharusnya dilebur dalam U.S. Army Air Force. Bertolak dari keyakinan diri yang besar, U.S. Army Air Force menuntut kesejajaran dengan dua Angkatan lainnya. Aspirasi itu dikabulkan oleh Kongres pada 1947 dengan menyetujui pembentukan U.S. Air Force yang sejajar dengan U.S. Navy dan U.S. Army.
Apabila U.S. Army Air Force menggugat keberadaan Naval Air Wing, maka U.S. Army menggugat eksistensi U.S. Marine Corps. Menurut U.S. Army, U.S. Marine Corps sudah tidak dibutuhkan lagi sebab medan tempur yang akan datang berada di dataran Eropa, bukan di wilayah Pasifik yang didominasi oleh perairan luas.
Masa-masa antara 1946-1950 adalah suatu era yang berat bagi U.S. Navy dan juga U.S. Marine Corps. Setelah menunjukkan baktinya kepada Amerika Serikat dalam Perang Dunia Kedua, setelah itu keberadaan mereka sebagai suatu Angkatan tersendiri digugat. Namun pada akhirnya mereka mampu melewati masa-masa penuh cobaan itu dengan intact. U.S. Navy dan U.S. Marine Corps tetap eksis hingga sekarang.
Mengapa mereka bisa melewatinya? Sebab mereka mempunyai argumen yang cerdas dan dapat diterima oleh para politisi, yaitu eksistensi mereka untuk mengamankan kepentingan nasional Amerika Serikat. Untuk mengamankan kepentingan itu, penegasian kedua Angkatan sama saja dengan tindakan yang merugikan kepentingan itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, ada pula upaya menegasikan peran AL kita dan juga Korps Marinir. Misalnya ada pihak yang berupaya memperluas perannya di laut, dengan beralasan bahwa laut adalah wilayah yurisdiksi Indonesia sehingga dia berhak untuk menegakkan hukum di laut. Alasan bahwa laut adalah wilayah yurisdiksi Indonesia tidak ada yang bisa bantah, namun ketika berbicara soal penegakan hukum ceritanya menjadi lain.
Di laut hukum nasional tidak berlaku sepenuhnya, tetapi harus pula mengacu pada hukum internasional. Itulah sebabnya para pelaut niaga asing tidak pernah mau kapalnya dihentikan oleh pihak lain selain AL dan KPLP, sebab mereka tahu pihak di luar keduanya tidak berhak menghentikan dan memeriksa mereka. Yang berhak cuma AL dan KPLP yang saat ini baru melaksanakan setengah dari fungsi Coast Guard.
Konon kabarnya, pihak tertentu itu tengah memesan sebuah kapal berukuran 100 meter lebih bagi kepentingannya. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pengambil kebijakan politik cenderung tidak bisa mengendalikan pihak itu. Setiap kebijakan mereka seharusnya dikontrol oleh pemerintah, bukan diloloskan begitu saja. Apalagi pemerintah terikat dengan rezim hukum internasional di laut, yang mana pemerintah harus patuh melaksanakan ketentuan dalam rezim itu.
Rencana eksistensi Coast Guard sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran juga dipandang sebagian pihak sebagai ancaman terhadap eksistensi AL. Apabila kita mau berpikir jernih, ada perbedaan fungsi antara AL dengan Coast Guard. Coast Guard berfungsi menegakkan hukum, sedangkan AL berfungsi mengamankan kepentingan nasional.
Mengamankan kepentingan nasional spektrumnya luas, termasuk penegakan hukum. Sebaiknya mari kita pahami bahwa sekalipun suatu saat nanti Indonesia mempunyai Coast Guard, akan tetapi hal itu tidak akan menggugurkan dasar hukum yang menjadi pegangan bagi AL untuk menegakkan hukum di laut. Justru sedikit banyak beban tugas penegakan hukum oleh AL akan berkurang karena dibantu oleh Coast Guard.
Memang kita tidak menutup mata terhadap contoh beberapa negara yang Coast Guard-nya dominan, seperti Jepang, Amerika Serikat dan India. Kenapa dominan? Penyebabnya adalah kebijakan pemerintah masing-masing yang pada intinya sama, yaitu AL harus melaksanakan proyeksi kekuatan. Pelaksanaan proyeksi kekuatan adalah implementasi dari kebijakan politik untuk menjadi aktor global dan regional. Kata kuncinya terletak pada kebijakan politik pemerintah.
Selain itu, negara-negara itu sebagian besar menganut Posse Commitatus. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia tidak menganut Posse Commitatus. Namun politik pemerintah negeri ini belum mengeksploitasi penuh potensi kemampuan AL.
AL kita bisa saja melaksanakan proyeksi kekuatan secara terbatas, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Ulangi, secara terbatas!!! Contohnya bisa dilihat dalam kasus KRI Diponegoro ke Lebanon.
Dengan kata lain, fokus operasi AL kita masih pada mengamankan kepentingan nasional di perairan yurisdiksi. Artinya AL kita belum akan diproyeksikan keluar wilayah Indonesia secara permanen. Proyeksi kekuatan hanya akan dilakukan secara temporer. Eksistensi AL kita adalah untuk mengamankan kepentingan nasional, termasuk di perairan yurisdiksi sendiri.
Tentu sangat aneh bin janggal bila negeri kepulauan seperti Indonesia tidak mempunyai Angkatan Laut. Aneh pula bila eksistensi Angkatan Laut dipelihara hanya karena tercantum dalam UUD 1945, namun pengembangannya tidak didukung dengan sepenuh hati oleh para pengambil kebijakan.
1 komentar:
Kebijakan pemerintah negri ini menyangkut AL sejak ORBA hingga sekarang selalu inward looking daripada outward looking. Ibarat katanya, sebuah rumah yang dijaga sejumlah satpam yang posnya ada di dalam rumah dan punggung mereka menghadap luar. Fakta itu sama saja artinya dengan menyatakan jika keberadaan AL (dan juga AU) di Republik Indonesia adalah tidak lebih dari sekedar formalitas dan basa-basi belaka. Wah, negara ini sudah rusak dipimpin orang-orang bodoh yang mengaku pintar.
Dan sejujurnya jalan keluar dari permasalahan ini mungkin hanya menunggu sampai "sesuatu" terjadi in last minutes, karena semua jalan konstitusional sudah buntu sama sekali.
Posting Komentar