All hands,
Strategi maritim pasca Perang Dingin telah berubah dari On The Sea menjadi From The Sea. Dulu strategi maritim dirancang untuk melaksanakan fleet on fleet engagement on high seas, sekarang didesain guna melakukan power projection from the sea to shore. Dengan perubahan strategi itu, Angkatan Laut negara-negara maju mengembangkan konsep littoral warfare.
Konsep littoral warfare menuntut Angkatan Laut untuk mampu beroperasi di wilayah littoral yang tantangan operasionalnya jauh lebih rumit daripada di tengah laut. Misalnya rawan terhadap serangan rudal anti kapal permukaan dari daratan, ancaman ranjau, ancaman kapal selam diesel elektrik, tidak efektifnya fungsi-fungsi sensor pada kapal perang karena lingkungan littoral yang kompleks dan lain sebagainya.
Di antara konsekuensi berubahnya strategi maritim adalah perubahan pada desain kapal perang, khususnya kapal atas air. Kapal atas air masa kini, apapun jenisnya dituntut mampu untuk beroperasi di lingkungan littoral yang penuh tantangan sekaligus kompleks. Apabila memperhatikan desain kapal perang keluaran lima tahun terakhir asal negara-negara Eropa dan juga LCS Amerika Serikat, filosofi rancang bangunnya berbeda dengan kapal buatan tahun 1990-an ke bawah. Misalnya material platform-nya merupakan bahan yang menyerap sebagian gelombang radio sehingga RCS-nya kecil, kemagnetan kecil, penguatan pada bagian-bagian platform yang vital terhadap ancaman berbagai jenis senjata (survivability), sistem pendorong yang menggunakan water jet sehingga mampu bermanuver hingga perairan dangkal, hull dan sistem stabilitas yang lebih maju dan lain sebagainya.
Implementasi filosofi rancang bangun kapal perang untuk beroperasi di littoral bukan semata pada kapal kombatan seperti fregat, korvet dan atau FPB, tetapi juga diterapkan pada kapal amfibi dan kapal lainnya. Singkatnya, sebagian dari pembangunan kekuatan Angkatan Laut di negara-negara maju difokuskan pada kemampuan littoral warfare tanpa melupakan kemampuan tradisional untuk beroperasi di tengah lautan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pertanyaan ini baru bisa dijawab apabila negeri ini sudah merumuskan strategi maritimnya. Strategi maritim seperti apa yang dibutuhkan oleh Negeri Nusantara hingga 20-25 tahun ke depan?
Apakah salah satu elemen dari strategi maritim Indonesia adalah littoral warfare yang merupakan bagian dari power projection? Ataukah anti acces strategy yang merupakan bagian dari sea denial? Atau cukup hanya sebatas sea control saja? Jawaban-jawaban dari pertanyaan itu akan mempengaruhi desain kapal perang seperti apa yang dibutuhkan oleh kekuatan laut Indonesia.
Strategi maritim pasca Perang Dingin telah berubah dari On The Sea menjadi From The Sea. Dulu strategi maritim dirancang untuk melaksanakan fleet on fleet engagement on high seas, sekarang didesain guna melakukan power projection from the sea to shore. Dengan perubahan strategi itu, Angkatan Laut negara-negara maju mengembangkan konsep littoral warfare.
Konsep littoral warfare menuntut Angkatan Laut untuk mampu beroperasi di wilayah littoral yang tantangan operasionalnya jauh lebih rumit daripada di tengah laut. Misalnya rawan terhadap serangan rudal anti kapal permukaan dari daratan, ancaman ranjau, ancaman kapal selam diesel elektrik, tidak efektifnya fungsi-fungsi sensor pada kapal perang karena lingkungan littoral yang kompleks dan lain sebagainya.
Di antara konsekuensi berubahnya strategi maritim adalah perubahan pada desain kapal perang, khususnya kapal atas air. Kapal atas air masa kini, apapun jenisnya dituntut mampu untuk beroperasi di lingkungan littoral yang penuh tantangan sekaligus kompleks. Apabila memperhatikan desain kapal perang keluaran lima tahun terakhir asal negara-negara Eropa dan juga LCS Amerika Serikat, filosofi rancang bangunnya berbeda dengan kapal buatan tahun 1990-an ke bawah. Misalnya material platform-nya merupakan bahan yang menyerap sebagian gelombang radio sehingga RCS-nya kecil, kemagnetan kecil, penguatan pada bagian-bagian platform yang vital terhadap ancaman berbagai jenis senjata (survivability), sistem pendorong yang menggunakan water jet sehingga mampu bermanuver hingga perairan dangkal, hull dan sistem stabilitas yang lebih maju dan lain sebagainya.
Implementasi filosofi rancang bangun kapal perang untuk beroperasi di littoral bukan semata pada kapal kombatan seperti fregat, korvet dan atau FPB, tetapi juga diterapkan pada kapal amfibi dan kapal lainnya. Singkatnya, sebagian dari pembangunan kekuatan Angkatan Laut di negara-negara maju difokuskan pada kemampuan littoral warfare tanpa melupakan kemampuan tradisional untuk beroperasi di tengah lautan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pertanyaan ini baru bisa dijawab apabila negeri ini sudah merumuskan strategi maritimnya. Strategi maritim seperti apa yang dibutuhkan oleh Negeri Nusantara hingga 20-25 tahun ke depan?
Apakah salah satu elemen dari strategi maritim Indonesia adalah littoral warfare yang merupakan bagian dari power projection? Ataukah anti acces strategy yang merupakan bagian dari sea denial? Atau cukup hanya sebatas sea control saja? Jawaban-jawaban dari pertanyaan itu akan mempengaruhi desain kapal perang seperti apa yang dibutuhkan oleh kekuatan laut Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar