All hands,
Isu burden sharing yang berangkat dari Pasal 43 UNCLOS seringkali diangkat oleh Indonesia dalam kasus keamanan Selat Malaka. Namun yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum adalah soal perbedaan pemahaman terhadap burden sharing itu sendiri. Persepsi negara pantai, khususnya Indonesia dengan negara-negara pengguna mengenai burden sharing jurangnya terlalu jauh.
Indonesia mempersepsikan burden sharing meliputi biaya untuk memberikan jasa keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan. Biaya yang dimaksud sama sekali tidak berarti penetapan tarif bagi kapal niaga yang lewat perairan Selat Malaka, tetapi pada bantuan negara-negara pengguna kepada negara pantai untuk melengkapi dan memperbarui kelengkapan bagi keselamatan dan perlindungan lingkungan laut. Misalnya untuk perambuan dan perlengkapan untuk mencegah polusi laut akibat tumpahan minyak mentah.
Adapun negara-negara pengguna mempersepsikan burden sharing sebagai terlibatnya negara-negara itu dalam aspek operasional di laut guna menindak perompakan, pembajakan dan ancaman terorisme maritim. Jadi burden sharing di sini dipersepsikan dari aspek keamanan maritim, bukan dari aspek keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan.
Oleh sebab itu, tidak aneh bila hanya Jepang yang antusias dengan ide burden sharing yang digagas oleh Indonesia. Amerika Serikat kurang antusias soal ini, walaupun di sisi lain memberikan bantuan lewat Project 1206. Bertolak dari sini, ada baiknya Indonesia mengevaluasi sejauh mana keberhasilan gagasan burden sharing di lapangan? Berapa persentase keberhasilan dan berapa yang gagal?
Evaluasi ini dimaksudkan untuk menilai secara utuh kebijakan yang dianut. Bila memang gagasan ini dianggap kurang berhasil, perlu dicari cara lain yang tetap menempatkan kepentingan nasional Indonesia nomor satu dan sekaligus in accordance with international customary law.
Isu burden sharing yang berangkat dari Pasal 43 UNCLOS seringkali diangkat oleh Indonesia dalam kasus keamanan Selat Malaka. Namun yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum adalah soal perbedaan pemahaman terhadap burden sharing itu sendiri. Persepsi negara pantai, khususnya Indonesia dengan negara-negara pengguna mengenai burden sharing jurangnya terlalu jauh.
Indonesia mempersepsikan burden sharing meliputi biaya untuk memberikan jasa keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan. Biaya yang dimaksud sama sekali tidak berarti penetapan tarif bagi kapal niaga yang lewat perairan Selat Malaka, tetapi pada bantuan negara-negara pengguna kepada negara pantai untuk melengkapi dan memperbarui kelengkapan bagi keselamatan dan perlindungan lingkungan laut. Misalnya untuk perambuan dan perlengkapan untuk mencegah polusi laut akibat tumpahan minyak mentah.
Adapun negara-negara pengguna mempersepsikan burden sharing sebagai terlibatnya negara-negara itu dalam aspek operasional di laut guna menindak perompakan, pembajakan dan ancaman terorisme maritim. Jadi burden sharing di sini dipersepsikan dari aspek keamanan maritim, bukan dari aspek keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan.
Oleh sebab itu, tidak aneh bila hanya Jepang yang antusias dengan ide burden sharing yang digagas oleh Indonesia. Amerika Serikat kurang antusias soal ini, walaupun di sisi lain memberikan bantuan lewat Project 1206. Bertolak dari sini, ada baiknya Indonesia mengevaluasi sejauh mana keberhasilan gagasan burden sharing di lapangan? Berapa persentase keberhasilan dan berapa yang gagal?
Evaluasi ini dimaksudkan untuk menilai secara utuh kebijakan yang dianut. Bila memang gagasan ini dianggap kurang berhasil, perlu dicari cara lain yang tetap menempatkan kepentingan nasional Indonesia nomor satu dan sekaligus in accordance with international customary law.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar