All hands,
Salah satu masalah krusial dalam anggaran pertahanan Negeri Nusantara adalah penyelarasan antara anggaran pengadaan sistem senjata dengan anggaran pemeliharaan sistem senjata. Pengadaan sistem senjata biasanya didanai lewat kredit ekspor dan atau sejenisnya. Sedangkan pemeliharaan sistem senjata didukung oleh APBN murni.
Yang menjadi masalah yakni tidak ada korelasi berbanding lurus antara masuknya sistem senjata baru dalam susunan tempur dengan peningkatan anggaran pemeliharaan. Bahkan seringkali untuk tahun pertama masa dinas sebuah sistem senjata baru, tidak ada pengalokasian anggaran pemeliharaan. Sebab para penyusun anggaran berpendapat bahwa sistem senjata itu masih baru dan masih ada jaminan purna jual dari pabrik.
Masalah ini klasik dan sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam anggaran pertahanan yang dikucurkan oleh pemerintah, pada setiap TA tidak semua sistem senjata yang ada dalam susunan tempur diprioritaskan untuk dipelihara. Artinya setiap TA pasti ada sistem senjata yang tidak dipelihara, karena prioritas diberikan kepada sistem senjata lain.
Tidak heran apabila waktu kasus L-100-30 Hercules AU jatuh menjelang mendarat di Lanud Iswahyudi, konon ada pihak tertentu di negeri ini yang bertanggung jawab soal alokasi anggaran pemerintah tidak merasa bersalah. Alasannya, pesawat yang jatuh adalah pesawat yang dialokasikan anggaran pemeliharaannya dalam APBN, bukan pesawat yang tidak dialokasikan anggarannya.
Apabila para petinggi pertahanan negeri ini tidak pernah menyatakan bahwa tingkat kesiapan alutsista mencapai 80%-90%, hal itu karena anggaran pemeliharaan yang dikucurkan hanya diprioritaskan pada sistem senjata tertentu. Misalnya ada 10 kapal perang kelas X, maka paling banyak cuma enam kapal perang yang didukung anggaran pemeliharaannya dalam satu TA.
Pada sisi lain, kebijakan pemerintah yang masih mempertahankan sistem senjata yang sudah tidak ekonomis juga berkontribusi pada anggaran pemeliharaan. Sebab sistem senjata itu semakin tahun semakin rewel, sehingga menuntut anggaran yang tidak sedikit. Kalau dihitung secara ekonomis, biaya pemeliharaannya hampir mendekati pembelian sistem senjata baru.
Apabila sebagian sistem senjata yang sudah tidak ekonomis dihapus dari susunan tempur, sedikit banyak hal itu akan membantu pemeliharaan sistem senjata yang lebih baru. Namun tidak berarti bahwa penambahan anggaran pertahanan tidak dibutuhkan. Penambahan anggaran pertahanan tetap dibutuhkan, sebab sistem senjata yang dibeli dalam 5 tahun terakhir memerlukan pemeliharaan sesuai ketentuan dari pabrikan apabila kita masih ingin menggunakannya hingga 25 tahun ke depan.
Salah satu masalah krusial dalam anggaran pertahanan Negeri Nusantara adalah penyelarasan antara anggaran pengadaan sistem senjata dengan anggaran pemeliharaan sistem senjata. Pengadaan sistem senjata biasanya didanai lewat kredit ekspor dan atau sejenisnya. Sedangkan pemeliharaan sistem senjata didukung oleh APBN murni.
Yang menjadi masalah yakni tidak ada korelasi berbanding lurus antara masuknya sistem senjata baru dalam susunan tempur dengan peningkatan anggaran pemeliharaan. Bahkan seringkali untuk tahun pertama masa dinas sebuah sistem senjata baru, tidak ada pengalokasian anggaran pemeliharaan. Sebab para penyusun anggaran berpendapat bahwa sistem senjata itu masih baru dan masih ada jaminan purna jual dari pabrik.
Masalah ini klasik dan sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam anggaran pertahanan yang dikucurkan oleh pemerintah, pada setiap TA tidak semua sistem senjata yang ada dalam susunan tempur diprioritaskan untuk dipelihara. Artinya setiap TA pasti ada sistem senjata yang tidak dipelihara, karena prioritas diberikan kepada sistem senjata lain.
Tidak heran apabila waktu kasus L-100-30 Hercules AU jatuh menjelang mendarat di Lanud Iswahyudi, konon ada pihak tertentu di negeri ini yang bertanggung jawab soal alokasi anggaran pemerintah tidak merasa bersalah. Alasannya, pesawat yang jatuh adalah pesawat yang dialokasikan anggaran pemeliharaannya dalam APBN, bukan pesawat yang tidak dialokasikan anggarannya.
Apabila para petinggi pertahanan negeri ini tidak pernah menyatakan bahwa tingkat kesiapan alutsista mencapai 80%-90%, hal itu karena anggaran pemeliharaan yang dikucurkan hanya diprioritaskan pada sistem senjata tertentu. Misalnya ada 10 kapal perang kelas X, maka paling banyak cuma enam kapal perang yang didukung anggaran pemeliharaannya dalam satu TA.
Pada sisi lain, kebijakan pemerintah yang masih mempertahankan sistem senjata yang sudah tidak ekonomis juga berkontribusi pada anggaran pemeliharaan. Sebab sistem senjata itu semakin tahun semakin rewel, sehingga menuntut anggaran yang tidak sedikit. Kalau dihitung secara ekonomis, biaya pemeliharaannya hampir mendekati pembelian sistem senjata baru.
Apabila sebagian sistem senjata yang sudah tidak ekonomis dihapus dari susunan tempur, sedikit banyak hal itu akan membantu pemeliharaan sistem senjata yang lebih baru. Namun tidak berarti bahwa penambahan anggaran pertahanan tidak dibutuhkan. Penambahan anggaran pertahanan tetap dibutuhkan, sebab sistem senjata yang dibeli dalam 5 tahun terakhir memerlukan pemeliharaan sesuai ketentuan dari pabrikan apabila kita masih ingin menggunakannya hingga 25 tahun ke depan.
1 komentar:
Sampe separah itukah?!?
Posting Komentar