All hands,
Kekuatan udara Angkatan Laut mempunyai ciri khas yang membedakannya dari kekuatan udara matra lainnya. Ciri khas itu adalah lingkungan operasinya pada domain maritim, termasuk beroperasi dari kapal perang ke kapal perang atau ke pangkalan di darat. Soal ini hendaknya dipahami dengan seksama, karena pemahaman ini secara tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir dalam pengadaan pesawat udara bagi pembangunan kekuatan udara Angkatan Laut.
Berangkat dari pemahaman ini, kebutuhan pesawat udara Angkatan Laut lebih dari sekedar pesawat biasa yang kemudian di-maritimized. Kekuatan udara Angkatan Laut memerlukan pesawat udara yang memang secara khusus didesain untuk beroperasi di laut, meskipun bisa saja wahana terbang tersebut mempunyai versi “darat”. Satu di antaranya adalah helikopter berkemampuan operasi maritim alias operasi-operasi guna mendukung misi Angkatan Laut, baik di tengah laut maupun dari laut ke pantai.
Helikopter yang menjadi bagian dari kekuatan udara Angkatan Laut harus menggunakan roda, bukan skid. Sebab apabila memakai skid seperti yang selama ini terjadi, mempunyai potensi tinggi untuk mengalami kerusakan ketika hard landing. Hard landing di dek heli kapal perang sulit dihindari, malah sebaliknya tindakan itu harus diambil oleh penerbang ketika mendarat di kapal perang yang tengah berlayar di tengah laut dan disertai dengan gelombang laut yang kondisinya berubah-ubah.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa penggunaan skid justru merugikan secara operasional, karena helikopter yang telah menyelesaikan misi di atas geladak kapal perang harus masuk bengkel pemeliharaan untuk keperluan kalibrasi rotor. Pemakaian skid terbukti bisa merusak posisi bilah pada rotor hub sehingga muncul vibrasi di atas ambang normal yang seharusnya. Karena harus masuk bengkel pemeliharaan setiap habis beroperasi dari kapal perang, berarti ada biaya dan waktu terbuang yang sebenarnya bisa dihindari.
Pengalaman soal pemakaian skid bukan saja dialami oleh Angkatan Laut Indonesia, tetapi dialami pula oleh kekuatan laut Negeri Tukang Klaim. Helikopter Fennec yang dioperasikan oleh Angkatan Laut Negeri Tukang Klaim terus mengalami masalah karena soal skid tersebut, Belajar dari kedua kasus itu, ke depan pengadaan helikopter anti kapal selam hendaknya memprioritaskan pada helikopter yang menggunakan roda sebagai bagian dari sistem pendaratnya.
Kekuatan udara Angkatan Laut mempunyai ciri khas yang membedakannya dari kekuatan udara matra lainnya. Ciri khas itu adalah lingkungan operasinya pada domain maritim, termasuk beroperasi dari kapal perang ke kapal perang atau ke pangkalan di darat. Soal ini hendaknya dipahami dengan seksama, karena pemahaman ini secara tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir dalam pengadaan pesawat udara bagi pembangunan kekuatan udara Angkatan Laut.
Berangkat dari pemahaman ini, kebutuhan pesawat udara Angkatan Laut lebih dari sekedar pesawat biasa yang kemudian di-maritimized. Kekuatan udara Angkatan Laut memerlukan pesawat udara yang memang secara khusus didesain untuk beroperasi di laut, meskipun bisa saja wahana terbang tersebut mempunyai versi “darat”. Satu di antaranya adalah helikopter berkemampuan operasi maritim alias operasi-operasi guna mendukung misi Angkatan Laut, baik di tengah laut maupun dari laut ke pantai.
Helikopter yang menjadi bagian dari kekuatan udara Angkatan Laut harus menggunakan roda, bukan skid. Sebab apabila memakai skid seperti yang selama ini terjadi, mempunyai potensi tinggi untuk mengalami kerusakan ketika hard landing. Hard landing di dek heli kapal perang sulit dihindari, malah sebaliknya tindakan itu harus diambil oleh penerbang ketika mendarat di kapal perang yang tengah berlayar di tengah laut dan disertai dengan gelombang laut yang kondisinya berubah-ubah.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa penggunaan skid justru merugikan secara operasional, karena helikopter yang telah menyelesaikan misi di atas geladak kapal perang harus masuk bengkel pemeliharaan untuk keperluan kalibrasi rotor. Pemakaian skid terbukti bisa merusak posisi bilah pada rotor hub sehingga muncul vibrasi di atas ambang normal yang seharusnya. Karena harus masuk bengkel pemeliharaan setiap habis beroperasi dari kapal perang, berarti ada biaya dan waktu terbuang yang sebenarnya bisa dihindari.
Pengalaman soal pemakaian skid bukan saja dialami oleh Angkatan Laut Indonesia, tetapi dialami pula oleh kekuatan laut Negeri Tukang Klaim. Helikopter Fennec yang dioperasikan oleh Angkatan Laut Negeri Tukang Klaim terus mengalami masalah karena soal skid tersebut, Belajar dari kedua kasus itu, ke depan pengadaan helikopter anti kapal selam hendaknya memprioritaskan pada helikopter yang menggunakan roda sebagai bagian dari sistem pendaratnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar