All hands,
Kasus yang menimpa kapal sipil bersenjata Indonesia di Laut Cina Selatan yang ditodong oleh kapal mitranya dari Cina hendaknya menjadi pelajaran bagi Indonesia. Yakni soal menghadapi Cina di Laut Cina Selatan bukan porsinya sipil bersenjata, tetapi porsinya Angkatan Laut. Soal yang dihadapi oleh Angkatan Laut nantinya hanya sekedar kapal nelayan atau kapal perang Negeri Tembok Bambu, itu urusan lain.
Ini soal penangkalan dan yang paham dan bisa melaksanakan itu di negeri ini cuma Angkatan Laut. Sebab Cina hanya paham dengan bahasa senjata yang dilakukan oleh Angkatan Laut, bukan oleh sipil bersenjata di laut. Soal keoknya sipil bersenjata Indonesia di laut ketika berhadapan dengan pihak asing sudah sering terjadi, namun pihak-pihak sipil bersenjata itu tidak mau menarik pelajaran dari situ. Beberapa tahun lalu ada kapal pihak sipil bersenjata lainnya yang ditodong oleh kapal perang Negeri Tukang Klaim dan akhirnya tidak berdaya.
Apa pesan dari kejadian-kejadian tersebut? Pesannya singkat, kapal sipil bersenjata di laut harus diatur ulang. Perlu ditinjau kembali apakah perlu kapal sipil bersenjata beroperasi di ZEE, wilayah di mana kapal perang asing dan kapal bersenjata asing non kapal perang sering beroperasi. Untuk menghadapi urusan di ZEE, secara realita yang bisa menghadapi adalah Angkatan Laut.
Soal gertak menggertak di laut, yang pantas dan mampu melakukannya adalah Angkatan Laut, bukan kapal sipil bersenjata. Justru kehadiran kapal sipil bersenjata di ZEE hanya memalukan martabat bangsa saja. Di mana martabat bangsa ini ketika kapal sipil bersenjatanya ditodong dan diusir oleh kapal bersenjata negara lain?
Kasus yang menimpa kapal sipil bersenjata di Indonesia jangan dijadikan alasan untuk meminta anggaran agar kapal mereka dipersenjatai dengan senjata lebih berat, misalnya meriam kaliber 40 mm, 57 mm atau bahkan 90 mm. Sipil bersenjata itu harus ingat bahwa mereka bukan Angkatan Laut!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar