All hands,
Salah satu tuntutan yang harus dimiliki oleh kekuatan pertahanan, khususnya militer, di era kini adalah interoperability. Interoperability bisa dalam bingkai antar matra militer, bisa pula antar militer negara-negara yang berbeda. Interoperability mencakup antar alutsista dan juga antar kemampuan. Untuk mampu melaksanakan interoperability, dalam prakteknya tidak segampang yang dibayangkan.
Interoperability menjadi sesuatu yang mutlak ketika pencapaian tujuan strategis politik dan militer tidak dapat lagi mengandalkan pada satu matra tertentu. Interoperability senantiasa berada dalam bingkai operasi gabungan. Setiap unsur matra yang alutsistanya dapat dipastikan berbeda diharuskan mampu interoperable dengan unsur-unsur matra lainnya.
Dalam konteks Indonesia, interoperability bukan sekedar penyamaan frekuensi radio yang digunakan. Bukan pula suatu unsur matra dapat beroperasi dengan mengandalkan dukungan alutsista dari matra lain. Interoperability juga berarti kemauan dan ketulusan untuk berbagi demi tercapainya tujuan operasi tanpa ada keinginan salah satu pihak untuk menjadi pahlawan kesiangan.
Dengan kata lain, interoperability harus tertanam dalam benak setiap personil militer. Interoperability harus menjadi paradigma yang tertanam di setiap pikiran personel militer, khususnya para perwira. Sebab para perwiralah yang selain memimpin operasi, juga menyusun rencana operasi yang akan dilaksanakan.
Saling mengenal perwira dari matra berbeda, baik karena penugasan maupun sebab pernah berkumpul ketika masih menjadi kadet/taruna di Magelang bukanlah modal dasar interoperability. Modal dasar interoperability adalah paradigma berpikir para perwira mengenai operasi gabungan. Operasi gabungan adalah suatu tuntutan dan dalam operasi itu dituntut kerelaan, keikhlasan dan ketulusan bila dalam ruang dan waktu tertentu, ada matra lain yang lebih menonjol karena tuntutan operasi.
Dengan kata lain, untuk mewujudkan interoperability dalam arti sesungguhnya diperlukan adanya budaya jointness di militer Indonesia. Budaya itu belum ada saat ini, sehingga harus dilahirkan bila kita tidak mau ngene-ngene ae. Budaya itu bisa dilahirkan lewat kurikulum pendidikan perwira sejak awal. Keliru kalau mulai membangun budaya interoperability ketika sudah di tingkat sesko gabungan, seperti yang selama ini terjadi.
Budaya itu diperlukan, selain tentu saja adanya transformasi pertahanan itu sendiri. Sebab interoperability harus dikaitkan dengan transformasi pertahanan. Transformasi pertahanan adalah suatu program yang belum berjalan di Indonesia.
Salah satu tuntutan yang harus dimiliki oleh kekuatan pertahanan, khususnya militer, di era kini adalah interoperability. Interoperability bisa dalam bingkai antar matra militer, bisa pula antar militer negara-negara yang berbeda. Interoperability mencakup antar alutsista dan juga antar kemampuan. Untuk mampu melaksanakan interoperability, dalam prakteknya tidak segampang yang dibayangkan.
Interoperability menjadi sesuatu yang mutlak ketika pencapaian tujuan strategis politik dan militer tidak dapat lagi mengandalkan pada satu matra tertentu. Interoperability senantiasa berada dalam bingkai operasi gabungan. Setiap unsur matra yang alutsistanya dapat dipastikan berbeda diharuskan mampu interoperable dengan unsur-unsur matra lainnya.
Dalam konteks Indonesia, interoperability bukan sekedar penyamaan frekuensi radio yang digunakan. Bukan pula suatu unsur matra dapat beroperasi dengan mengandalkan dukungan alutsista dari matra lain. Interoperability juga berarti kemauan dan ketulusan untuk berbagi demi tercapainya tujuan operasi tanpa ada keinginan salah satu pihak untuk menjadi pahlawan kesiangan.
Dengan kata lain, interoperability harus tertanam dalam benak setiap personil militer. Interoperability harus menjadi paradigma yang tertanam di setiap pikiran personel militer, khususnya para perwira. Sebab para perwiralah yang selain memimpin operasi, juga menyusun rencana operasi yang akan dilaksanakan.
Saling mengenal perwira dari matra berbeda, baik karena penugasan maupun sebab pernah berkumpul ketika masih menjadi kadet/taruna di Magelang bukanlah modal dasar interoperability. Modal dasar interoperability adalah paradigma berpikir para perwira mengenai operasi gabungan. Operasi gabungan adalah suatu tuntutan dan dalam operasi itu dituntut kerelaan, keikhlasan dan ketulusan bila dalam ruang dan waktu tertentu, ada matra lain yang lebih menonjol karena tuntutan operasi.
Dengan kata lain, untuk mewujudkan interoperability dalam arti sesungguhnya diperlukan adanya budaya jointness di militer Indonesia. Budaya itu belum ada saat ini, sehingga harus dilahirkan bila kita tidak mau ngene-ngene ae. Budaya itu bisa dilahirkan lewat kurikulum pendidikan perwira sejak awal. Keliru kalau mulai membangun budaya interoperability ketika sudah di tingkat sesko gabungan, seperti yang selama ini terjadi.
Budaya itu diperlukan, selain tentu saja adanya transformasi pertahanan itu sendiri. Sebab interoperability harus dikaitkan dengan transformasi pertahanan. Transformasi pertahanan adalah suatu program yang belum berjalan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar