All hands,
Sudah saatnya AL kita aktif melaksanakan proyeksi kekuatan, sebab proyeksi kekuatan adalah satu dari unsur dalam penggunaan laut. Dua unsur lainnya adalah pengendalian laut dan sea denial. Seiring dengan situasi globalisasi saat ini, pemahaman tentang penggunaan laut dari perspektif operasi maritim sudah mengalami perluasan. Jikalau di masa lalu isu penggunaan laut terkait dengan pihak lawan, dalam arti melakukan pengendalian dan sea denial agar lawan tidak bisa memanfaatkan laut bagi kepentingannya, kini pemahaman tersebut meluas. Lawan yang di masa lalu identik dengan aktor negara kini meluas pada aktor non negara.
Tidak berarti bahwa aktor negara tidak diperhitungkan lagi, akan tetapi situasi menunjukkan bahwa peluang terjadinya perang atau konflik terbuka di laut antar dua negara atau lebih kecil. Namun pada saat yang sama, munculnya konflik di laut antara aktor negara dengan aktor non negara peluangnya lebih besar. Itulah salah satu alasan mengapa isu keamanan maritim saat ini mengedepan. Sebab isu keamanan maritim mempunyai keterkaitan dengan stabilitas kawasan dan globalisasi.
Untuk menjaga stabilitas kawasan, tidak cukup hanya dalam bentuk mengamankan wilayah perairan sendiri. Banyak AL yang di masa lalu sangat jarang melakukan proyeksi kekuatan, saat ini justru telah mengalihkan salah satu fokusnya operasinya pada proyeksi kekuatan. Proyeksi itu dilaksanakan untuk menjaga keamanan maritim melalui kerjasama multilateral.
Disadari atau tidak, AL Indonesia yang akan segera menyebarkan kapal perangnya ke Lebanon untuk bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force, tengah mengalami perubahan paradigma menyangkut proyeksi kekuatan. Partisipasi tersebut menandakan bahwa ada pergeseran paradigma dalam memandang peran Angkatan Laut terhadap stabilitas keamanan kawasan dan dunia. Pergeseran paradigma demikian tentu saja sudah sepatutnya diacungi jempol.
Karena proses itu tidak berlangsung dalam semalam, melainkan diawali beberapa tahun silam. Apa yang terjadi saat ini merupakan kulminasi dari gagasan yang dilontarkan sejak beberapa tahun sebelumnya oleh pihak-pihak atau individu-individu yang concern. Secara pribadi, dengan segala kerendahan hati tanpa bermaksud melebih-lebihkan ataupun merasa berjasa, saya telah menyuarakan gagasan soal partisipasi AL kita dalam maritime peacekeeping operations sejak 2004.
Perubahan paradigma yang terjadi saat ini merupakan hasil sinergi semua pihak atau individu yang concern terhadap kemajuan AL kita. Sangat tidak pantas mengatakan bahwa perubahan ini hanya karena jasa seseorang, apalagi saya sebagai individu. Tidak mungkin seseorang, siapa pun dia, dapat mengubah paradigma di dalam organisasi besar tanpa bersinergi dengan pihak-pihak lain dalam organisasi itu yang satu pemahaman atau satu paradigma.
Lesson learned yang dapat ditarik dari kasus perubahan paradigma tentang proyeksi kekuatan, dalam hal ini menyangkut operasi perdamaian maritim yaitu perubahan hanya dapat dilakukan melalui perjuangan yang panjang, pantang menyerah, penuh kesabaran dan harus dilakukan bersama-sama. Perubahan paradigma lebih sulit daripada perubahan-perubahannya lainnya, sebab paradigma itu yang akan “menyetir” individu-individu yang menggerakkan organisasi.
Sudah saatnya AL kita aktif melaksanakan proyeksi kekuatan, sebab proyeksi kekuatan adalah satu dari unsur dalam penggunaan laut. Dua unsur lainnya adalah pengendalian laut dan sea denial. Seiring dengan situasi globalisasi saat ini, pemahaman tentang penggunaan laut dari perspektif operasi maritim sudah mengalami perluasan. Jikalau di masa lalu isu penggunaan laut terkait dengan pihak lawan, dalam arti melakukan pengendalian dan sea denial agar lawan tidak bisa memanfaatkan laut bagi kepentingannya, kini pemahaman tersebut meluas. Lawan yang di masa lalu identik dengan aktor negara kini meluas pada aktor non negara.
Tidak berarti bahwa aktor negara tidak diperhitungkan lagi, akan tetapi situasi menunjukkan bahwa peluang terjadinya perang atau konflik terbuka di laut antar dua negara atau lebih kecil. Namun pada saat yang sama, munculnya konflik di laut antara aktor negara dengan aktor non negara peluangnya lebih besar. Itulah salah satu alasan mengapa isu keamanan maritim saat ini mengedepan. Sebab isu keamanan maritim mempunyai keterkaitan dengan stabilitas kawasan dan globalisasi.
Untuk menjaga stabilitas kawasan, tidak cukup hanya dalam bentuk mengamankan wilayah perairan sendiri. Banyak AL yang di masa lalu sangat jarang melakukan proyeksi kekuatan, saat ini justru telah mengalihkan salah satu fokusnya operasinya pada proyeksi kekuatan. Proyeksi itu dilaksanakan untuk menjaga keamanan maritim melalui kerjasama multilateral.
Disadari atau tidak, AL Indonesia yang akan segera menyebarkan kapal perangnya ke Lebanon untuk bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force, tengah mengalami perubahan paradigma menyangkut proyeksi kekuatan. Partisipasi tersebut menandakan bahwa ada pergeseran paradigma dalam memandang peran Angkatan Laut terhadap stabilitas keamanan kawasan dan dunia. Pergeseran paradigma demikian tentu saja sudah sepatutnya diacungi jempol.
Karena proses itu tidak berlangsung dalam semalam, melainkan diawali beberapa tahun silam. Apa yang terjadi saat ini merupakan kulminasi dari gagasan yang dilontarkan sejak beberapa tahun sebelumnya oleh pihak-pihak atau individu-individu yang concern. Secara pribadi, dengan segala kerendahan hati tanpa bermaksud melebih-lebihkan ataupun merasa berjasa, saya telah menyuarakan gagasan soal partisipasi AL kita dalam maritime peacekeeping operations sejak 2004.
Perubahan paradigma yang terjadi saat ini merupakan hasil sinergi semua pihak atau individu yang concern terhadap kemajuan AL kita. Sangat tidak pantas mengatakan bahwa perubahan ini hanya karena jasa seseorang, apalagi saya sebagai individu. Tidak mungkin seseorang, siapa pun dia, dapat mengubah paradigma di dalam organisasi besar tanpa bersinergi dengan pihak-pihak lain dalam organisasi itu yang satu pemahaman atau satu paradigma.
Lesson learned yang dapat ditarik dari kasus perubahan paradigma tentang proyeksi kekuatan, dalam hal ini menyangkut operasi perdamaian maritim yaitu perubahan hanya dapat dilakukan melalui perjuangan yang panjang, pantang menyerah, penuh kesabaran dan harus dilakukan bersama-sama. Perubahan paradigma lebih sulit daripada perubahan-perubahannya lainnya, sebab paradigma itu yang akan “menyetir” individu-individu yang menggerakkan organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar